Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TAFSIR AHKAM

Tafsir Ayat
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Zaitunah

Disusun oleh :
M. Hamdi Humaidi (11190440000076)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat ALLAH SWT. Berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami
masih dianugrahi kesempatan untuk dapat menyelesaikan Makalah untuk Presentasi dari
Mata Kuliah Tafsir Ahkam dengan judul “Hukum Nusyuz dan Syiqaq”. Salawat serta salam,
semoga ALLAH SWT tetap mencurahkan dan melimpahkan kepada Rasul sekaligus Nabi
terakhir kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang diutus untuk senantiasa menegakkan dan
menjunjung tinggi ajaran Agama Islam, sehingga terwujudnyamasyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.

Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan tugas ini tidak terlepas dari
adanya tantangan dan hambatan. Namun, berkat usaha dan motivasi dari setiap pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung, membuat lancar jalannya penyusunan tugas ini
sehingga, tugas resume ini dapat kami susun dan kami tuntaskan seperti sekarang ini. Oleh
karena itu, kami haturkan rasa syukur dan ucapkan terima kasih atas berkah dan rahmat
ALLAH SWT, juga bantuan dan motivasi yang diberikan sehingga, penyusun dapat
menyelesaikan tugas ini. Semoga resume ini dapat memberikan manfaat dengan menjadi
referensi dan tambahan materi pembelajaran bagi kita semua, Aamin Yaa Rabb.

Ciputat, 5 November 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana di dalamnya
hanya terdiri dari suami, istri dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti
menginginkan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah yang di
dalamnya pasti terdapat kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun berada di luar
rumah.
Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat pada umumnya di zaman sekarang
seperti yang sering kita lihat dan pernah kita dengar dari mana-mana bahkan media yang ada,
sepertinya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Di antara perceraian tersebut
meliputi berbagai macam faktor salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan
kewajiban antara suami istri, biasanya istri tidak menerima akhirnya terjadilah nusyuz
(pembangkangan) seorang istri kepada suaminya. Biasanya perselisihan seperti ini
dilatarbelakangi adanya suatu kecurigaan dan tidak ingin bermusyawarah sebelumnya. Dan
akhirnya suami istri tersebut bertengkar dan berselisih sehingga terjadilah perceraian.Melihat
fenomena tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan tentang konsep
nusyuz, syiqaq, dan hakamain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa isi kandungan surat An-Nisa ayat 34?
2. Apa isi kandungan surat An-Nisa ayat 35?
3. Apa isi kandungan surat An-Nisa ayat 128?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan dan informasi mengenai Nusyuz, Syiqaq, dan Hakamain kepada rekan
rekan pembaca pada umumnya dan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fiqh
Munakahat pada khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Q.S.An-Nisa’ Ayat: 34

ِ ‫=ات لِ ْل َغ ْي‬
‫ب بِ َم=ا‬ ٌ َ‫َات َحافِظ‬ ٌ ‫ات قَانِت‬ ُ ‫ْض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم فَالصَّالِ َح‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬ َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
َّ َ‫الرِّ َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف‬
‫اض= ِربُوه َُّن فَ=ِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب ُغ==وا َعلَ ْي ِه َّن َس=بِيال ِإ َّن‬
ْ ‫ضا ِج ِع َو‬ َ ‫َحفِظَ هَّللا ُ َوالالتِي تَ َخافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬
‫هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا‬

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An-Nisa: 34)

1.1. Asbabun Nuzul Surah An-Nisa ayat: 34

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id bin Rabi‘ yang
telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena telah melakukan
nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang kepada Rasul saw. dan
mengadukan peristiwa tersebut yang oleh Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk
menjatuhkan qishash kepada Sa‘id. Akan tetapi, Malaikat Jibril kemudian datang dan
menyampaikan wahyu surat an-Nisa‘ ayat 34 ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang
artinya), “Aku menghendaki satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain.
Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishash tersebut.1

Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi,
‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim
dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah menampar istrinya. Istrinya

1
 Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, juz V, hlm. 53-54.
kemudian datang kepada Rasul mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishash di
antara keduanya. Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:

َ ‫َوالَ تَ ْع َجلْ بِ ْالقُرْ آ ِن ِم ْن قَب ِْل َأ ْن يُ ْق‬


ُ‫ضى ِإلَ ْيكَ َوحْ يُه‬

Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum pewahyuannya disempurnakan


kepadamu. (QS Thaha: 114).

Rasul pun diam. Setelah itu, turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga akhir ayat.

1.2. Tafsir Ayat

Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab kelebihan
seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan
bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris, dan melarang keduanya untuk
mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria)
atas sebagian yang lain (kaum wanita).

Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu,
mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “‫”الرِّ َج= ا ُل قَوَّا ُم==ونَ َعلَى النِّ َس=ا ِء‬,
bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan
sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan
yang bersifat natural (fitri) antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau
karena proses sosial, seperti dipahami oleh penganut teori kultur.

Frasa ‫ ال ِّر َج= ا ُل قَوَّا ُم==ونَ َعلَى النِّ َس =ا ِء‬bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum
wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang
berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itru,
jihad menjadi kewajiban atas pria, dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan
bagian waris yang lebih besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk
menanggung nafkah atas wanita.2

Imam Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk
mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya)

2
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana
kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.3

Pada frasa  ‫ْض‬ َ ‫ض== َل هَّللا ُ بَع‬


ٍ ‫ْض==هُ ْم َعلَى بَع‬ َّ َ‫بِ َم==ا ف‬, huruf  ba-nya adalah ba sababiyah yang
berkaitan erat dengan kata   َ‫قَوَّا ُم=ون‬. Dengan begitu dapat dipahami, bahwa kepemimpinan
kaum pria atas wanita adalah karena kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka
(kaum pria) atas kaum wanita.

Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki adalah
pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena
berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah: ‫َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ْي ِه َّن‬
ٌ‫( د ََر َجة‬bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita) (QS al-Baqarah: 228). Selain itu,
karena laki-laki berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya.4

Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, At-Thabari, bahkan hingga
Imam ‘Ali Ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat, kecuali belakangan manakala
pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan dengan wacana pemikiran Barat dan juga
fakta yang memang menunjukkan tidak sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas
kontemporer.

Ibnu ‘Abbas misalnya, mengartikan kata َ‫ قَوَّا ُم===ون‬sebagai pihak yang memiliki
kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang lebih sama juga
dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya Marah Labid.

Dengan nada yang sama, At-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûnbermakna


penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing
wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.

Menurut Imam Al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita karena kelebihan mereka
dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria diberi kelebihan akal dan pengaturan
sehingga mereka berhak menjadi pemimpin atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan
dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surah An-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban
pria untuk mendidik wanita.

Sementara itu, Imam Asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan


bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati  dalam hal-hal yang memang
3
‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, hlm. 273.
4
 Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya, dengan
berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya.
Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi
nafkah dan berusaha.

Tentang kelebihan laki-laki atas wanita, Imam ‘Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya juga
mengatakan bahwa kalimat ‫ الرِّ َج= ا ُل قَوَّا ُم=ونَ َعلَى النِّ َس=ا ِء‬adalah jumlah ismiyyah yang berfungsi
sebagai dawam dan istimrar (tetap dan terus-menerus).

Sebab kepemimpinan (yakni adanya kelebihan) laki-laki atas wanita ada dua, yakni:

Pertama, adanya kelebihan dalam hal fisik penciptaan (jasadiyyah khalqiyyah). Pada
faktanya, pria memiliki bentuk penciptaan yang sempurna, pemahaman dan akal yang lebih
kuat, perasaan yang lebih adil,  dan tubuh yang kokoh. Pria memiliki kelebihan atas wanita
dalam hal akal, pendapat, tekad, dan kekuatan. Oleh karena itu, pada pundak kaum prialah
dibebankan risalah, kenabian, imamah kubra (khalifah, ataupun jabatan di bawahnya
(imamah sughra), hakim, serta melakukan syiar-syiar agama—seperti azan, iqamat, khutbah,
shalat Jumat, dan jihad. Wewenang menjatuhkan talak juga ada di tangan mereka. Mereka
juga boleh berpoligami, memiliki kekhususan persaksian dalam kasus jinayat dan hudud,
memiliki kelebihan bagian dalam pembagian waris, dan lain-lain.

Dalam tafsirnya, Fakhr Ar-Razi menyatakan bahwa kelebihan kaum pria atas wanita itu
terdapat pada banyak aspek. Di antaranya adalah sifat hakiki dan sebagiannya terkait dengan
hukum-hukum syariat. Sifat hakiki dikembalikan pada dua hal, yakni ilmu
dan qudrah (kemampuan). Dua hal inilah yang menghasilkan kelebihan kaum pria atas
wanita dalam hal akal, tekad, dan kekuatan; dalam kemampuan menulis, berkuda
(berkendaraan), melempar. Dari kalangan mereka pula diutusnya para nabi dan banyaknya
para ulama. Imamah (baik khalifah maupun jabatan penguasa di bawahnya), jihad, azan,
khutbah, itikaf, kesaksian dalam masalah hudud dan qishash, kelebihan dalam pembagian
waris, kewajiban membayar diyat dalam pembunuhan atau kesalahan dan dalam hal sumpah
juga ada pada mereka. Kewenangan dalam pernikahan, talak, rujuk, dan berpoligami,
penisbatan garis nasab juga ada pada merek. Semua itu menunjukkan adanya kelebihan kaum
pria atas kaum wanita.

Kedua, adanya kelebihan dalam hal taklif syariat. Frasa ‫ َوبِ َم==ا َأ ْنفَقُ==وا ِم ْن َأ ْم= َوالِ ِه ْم‬ mengandung
pengertian bahwa kaum pria  memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan
kerabat dekat yang menjadi tanggungannya; mereka juga harus membayarkan mahar kepada
kaum wanita untuk memuliakan mereka.5

Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan kaum wanita (para istri) dalam kehidupan berumah
tangga: adakalanya mereka taat; adakalanya mereka membangkang
ٌ ‫ات قَانِت‬
(melakukan nusyuz).6 Dalam Shafwah At-Tafasir, dijelaskan bahwa frasa ‫َ===ات‬ ُ ‫الص===الِ َح‬
َّ َ‫ف‬
ِ ‫=ات لِ ْل َغ ْي‬
ُ ‫ب بِ َم==ا َحفِ=ظَ هَّللا‬ ٌ =َ‫ َحافِظ‬merupakan perincian dari keadaan para wanita yang berada dalam
kepemimpinan pria. Allah telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita) tersebut terbagi
dalam dua keadaan, yakni: (1) kelompok wanita shalihah dan taat; (2) kelompok wanita yang
bermaksiat dan membangkang. Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah Swt. dan
suaminya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah, senantiasa melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari melakukan perbuatan keji, menjaga
kehormatan mereka, menjaga harta suami  dan anak-anak mereka, dan menjaga rahasia apa
yang terjadi antara mereka berdua (suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga
kerahasiaannya.7

Frasa ‫ َوالالتِي تَخَ افُونَ نُ ُشوزَ ه َُّن‬ adalah menunjuk pada kelompok wanita yang kedua, yakni para
wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni mereka yang menyombongkan diri dan
meninggikan diri dari melakukan ketaatan kepada suami.

Berdasarkan ayat di atas, ketika telah tampak bagi suami tanda-tanda nusyuz ini pada istrinya,
suami wajib melakukan beberapa langkah untuk melakukan perbaikan (mengembalikan istri
ke jalan yang benar) dengan menempuh tahapan sebagai berikut:

1. ‫فَ ِعظُوه َُّن‬: memberikan nasihat, petunjuk, dan peringatan yang memberi pengaruh pada
jiwa istrinya; dengan mengingatkan istrinya akan ancaman siksa yang diberikan Allah
kepadanya karena kemaksiatan yang dilakukannya.8

2. ‫اج ِع‬
ِ ‫ض‬َ ‫ َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬: memisahkan diri dan berpaling darinya (istri) di pembaringan
(pisah ranjang). Ini adalah kinayah (kiasan) dari meninggalkan  jimak (persetubuhan),
atau tidak melakukan tidur bersama istri dalam satu tempat tidur yang sama, tidak
mengajaknya bicara, dan tidak mendekatinya. Akan tetapi, suami tidak diperkenankan
tidak mengajak bicara istri lebih dari 3 hari. Ibn ‘Abbas berkata, al-hajru bermakna

5
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 55.
6
 Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 55.
7
‘Ali ash-Shabuni, op.cit., hlm. 274.
8
 ‘Ali ash-Shabuni, op.cit., hlm. 274
tidak menjimak istri,  tidak tidur bersamanya di pembaringannya, dan berpaling dari
punggungnya.9 Tindakan ini akan sangat menyakitkan istri; dilakukan untuk membuat
seorang istri  memikirkan dan merenungkan kembali apa yang telah dilakukannya.
Jika yang demikian telah membuat istri sadar dan menaatinya, suami harus
menerimanya dan tidak boleh melakukan langkah yang ketiga. Sebaliknya, jika yang
demikian tidak membuat istri sadar juga, suami diperkenankan melakukan langkah
yang ketiga.

3. ‫ َواضْ ِربُوه َُّن‬: memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak berbekas; tidak lain
tujuannya sema-mata demi kebaikan.

Selanjutnya, kalimat  ‫ فَ =ِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب ُغ==وا َعلَ ْي ِه َّن َس =بِيال‬mengandung pengertian, bahwa jika istri
menaati perintah suami, janganlah suami mencari jalan lain untuk menyakiti istrinya. Artinya,
para suami dilarang menzalimi para istri mereka dengan cara lain yang di dalamnya terdapat
aktivitas menyakiti dan menyiksa mereka.

Terakhir, kalimat ‫ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا‬ mengandung pengertian bahwa sesungguhnya Allah lebih
tinggi dan lebih besar daripada para suami; Dia adalah pelindung para istri dari siapa pun
yang menzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap mereka. 10 Ini adalah peringatan
keras bagi para suami agar tidak menzalimi istrinya. Maksudnya adalah agar para suami
menerima tobat dari istrinya. Sebab, jika Yang Mahatinggi dan Mahabesar saja senantiasa
menerima tobat hamba-Nya yang bermaksiat, maka tentu para suami lebih layak untuk
menerima tobat para istri.11

1.3. Kandungan Hukum

Nusyus adalah keadaan dimana suami atau isteri meninggalkan kewajiban bersuami isteri
sehingga menimbulkan ketegangan rumah tangga keduanya. Nusyus dapat datang dari pihak
isteri maupun suami, nusyus dari isteri dapat berbentuk menyalahi tata cara yang telah diatur
oleh suami dan dilaksanakan oleh isteri yang sengaja untuk menyakiti hati suaminya.

Sedangkan nusyus dari pihak suami terhadap isterinya adalah dari yang selama ini bersifat
lembut dan penuh kasing saying lalu berubah menjadi kasar, atau suami yang biasanya
bersikap ramah dan bermuka manis berubah bersikap tak acuh dan bermuka masam atau

9
 Ibid, hlm. 274.
10
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 57.
11
 Ibid, hlm. 57.
menentang. Dan kelalain suami untuk memenuhi kewajibannya pada isteri baik nafkah lahir
maupun batin.

Dengan diwahyukannya surat al-Nisa’ ayat 34, agar seorang muslim memahami dan mampu
bernbuat bijak jika terjadi permasalah rumah tangga. Seorang suami tidak boleh serta merta
melukai istri dengan pukulan yang menyakitkan. Karena Islam tidak mengajarkan yang
demikian, telah ada aturan yang baik dan benar ketika suami tengah menghadapi
permasalahan seperti itu. Meskipun memukul istri itu dibenarkan dalam Islam, namun
memukul yang tidak sampai melukai istri dan dengan niatan mendidik.

Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri tak kunjung usai, belum menemukan jalan
keluar, maka Islam pun telah mengatur dengan begitu rapi yaitu dengan mendatangkan dua
hakim (hakamain) dari pihak suami maupun istri yang berfungsi untuk memberikan solusi
atau jalan tengah ketika permasalahan itu sedang alot dari pasangan suami istri.

Nusyus muncul karena adanya suatu persoalan yang terjadi dirumah tangga suami isteri
tersebut. Mungkin salah satu diantara mereka merasa ridak puas dengan sikap dan tingkah
laku yang lain, sehingga ganjalan-ganjalan ini menimbulkan perubahan sikap seorang
diantara keduanya.

Jika sikap ini muncul dari pihak isteri, maka Allah SWT telah memberikan jalan keluar yang
baik seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an an-Nisa’ : 34. Dalam ayat tersebut ada tiga
langkah yang dianjurkan Allah bagi setiap suami, yaitu:

a)      Memberi nasehat bagi istri semaksimal mungkin, dengan mengingatkan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh seorang isteri.

b)      Jika setelah dinasehati istri tidak berubah sikapnya. Maka suami memisahkan tempat
tidurnya.

c)      Jika sikap istri belum berubah, maka Allah SWT mengijinkan untuk memukul mereka
sekedar member peringatn yang sifatnya tidak melukai.

Apabila pada langkah-langkah awal telah terjadi perubahan, maka sang suami tidak
dibenarkan untuk sewenang-wenang dengan melakukan sesuatu yang menyusahkan atau
menyakiti istri.12

12
Dosri Yoki, Nusyuz, Syiqaq dan Fungsi Hakamain Dalam Penyelesaiannya. Artikel diakses pada tanggal 20 Mei
2012 dari http://poetrachania13.blogspot.com/2010/12/nusyuz-shiqaq-dan-fungsi-hakamain-dalam.html.
Q.S An Nisa ayat 35

ٰ ۟
ِ ِّ‫ق بَ ْينِ ِه َما فَٱ ْب َعثُوا َح َك ًما ِّم ْن َأ ْهلِ ِهۦ َو َح َك ًما ِّم ْن َأ ْهلِهَٓا ِإن ي ُِريدَٓا ِإصْ لَحًا ي َُوف‬
ُ ‫ق ٱهَّلل‬ َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬
٣٥﴿ ‫﴾بَ ْينَهُ َمٓا ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َخبِيرًا‬

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-
isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul surat ini ketika seorang perempuan bernama Habibah binti Zaid ibn Abu
Zuhair melaporkan suaminya yaitu Saad ibn Ar-Rabi, yang ditemani oleh ayahnya.
Kemudain Habibah mengadu kepada Rasulullah, kemudain sang ayah berkata “saya berikan
anakku kepadanya untuk menjadi teman tidurnya, namun ia menempelengnya”

Setelah nabi mendengar aduan tersebut maka nabi berkata “Hendalah kamu mengambil
pembalasan kepadanya, yakni menamparnya.” Setalh mendapat jawaban dari Rasulullah
kemudian Haabibah pulang dan melakukan pembalasan atau qisash kepada suaminya.
Kemudian Habibah balik lagi ke Rasulullah unutk melaporkan perbuatannya, kemudian Nabi
bersabda “Kembalilah kamu, ini jibril dating dan Allah menurunkan ayat ini (surat An Nisa
ayat 35).” Kemudian rasul membacakannya dan bersabda “Kita berkehendak begitu, Allah
berkehendak begini. Dan apa yang Allah kehendaki itulah yang terbaik.”

Diayat ini dasar penentuannya yaitu adanya mediator ataau penegah yang bertugas
mendamaikan suami istri melalui jalan yang terbaik yang disepakati semua pihak. Jika
prtunjuk Alquran kita jalankan dengan baik, maka tidak perlulah suami istru menghadap ke
hakim pengadilan untuk memutuskan tali pernikahan dengan akhir perjalanan berupa
perceraian.13

Tafsir QS. An Nisa’ (4): 35

Tafsir QS. An Nisaa’ (4): 35 Oleh Kementrian Agama

Jika kamu khawatir akan terjadi syiqaq (persengketaan) antara suami istri, sesudah


melakukan usaha-usaha tersebut di atas, maka kirimlah seorang hakam (perantara, wasit, juru
damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.Kedua hakam itu
dikirim oleh yang berwajib atau oleh suami istri, atau oleh keluarga suami istri. Dua orang
hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri, dan boleh
dari orang lain.Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi
dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan keduanya.Tugas serupa itu tepat
dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari keluarga suami istri yang
mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk
menyelesaikannya.Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.

Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara kedua suami istri yang bersengketa
pada tahap pertama tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya
sebagai wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan
kepadanya.Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang
hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.

Tafsir QS. An Nisaa’ (4): 35 Oleh Muhammad Quraish Shihab

Jika terjadi perselisihan di antara sepasang suami-istri, dan kalian khawatir perselisihan itu
akan berakhir dengan perceraian, tentukanlah dua orang penengah:
yang pertama dari pihak keluarga suami, dan yang kedua dari pihak keluarga istri.
Kalau pasangan suami-istri itu benar-benar menginginkan kebaikan, Allah pasti akan
memberikan jalan kepada keadaan yang lebih baik, baik berupa keharmonisan rumah tangga

13
Rahmat Yudistiawan, “Ayat-ayat Tentang Mediasi Perselisihan Suami-istri dalam Surah An-Nisa ayat 34 dan
35” (https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/ayat-ayat-hukum-tentang-mediasi-perselisihan-
suami-istri-dalam-surah-an-nisa-ayat-34-dan-35-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses pada 9 Oktober 2020 pukul
11.24)
maupun perceraian secara baik-baik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui perbuatan lahir
dan batin hamba-hamba-Nya.14

Surah An-Nisa Ayat 128

ۚ ‫ص ْل ًحا‬ ِ ‫وِإ ِن ٱمرَأةٌ خافَت ِم ۢن بعلِها نُشوزا َأو ِإعراضا فَاَل جناح علَي ِهمٓا َأن ي‬
ُ ‫صل َحا َبْيَن ُه َما‬ ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ َ َْ َ
‫ُّح ۚ َوِإن حُتْ ِسنُو ۟ا َوَتَّت ُقو ۟ا فَِإ َّن ٱللَّهَ َكا َن مِب َا َت ْع َملُو َن َخبِ ًريا‬
َّ ‫س ٱلش‬
ُ ‫ف‬
ُ ‫ٱَأْلن‬ ِ ‫ضر‬
‫ت‬ َ
ِ ‫ٱلص ْلح خير ۗ وُأح‬
ْ َ ٌ ْ َ ُ ُّ ‫َو‬

Terjemah Arti: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.

Asbabun Nuzul
Pada tahun ke 10 setelah kenabian, kaum Muslim dikejutkan dengan meninggalnya
Khadijah bint Khuwaili, Ummul Mukminin yang pertama, isteri yang sangat dicintai dan
dimuliakan Rasulullah. Kematian Khadijah yang senantiasa mendampingi Rasulullah dalam
suka dan duka, semakin memberatkan tekanan hidup Rasulullah. Para pemuka Quraisy
semakin gencar menyerang dan menyakiti beliau dan kaumnya, sementara Rasulullah harus
membagi waktu antara menyebarkan ajaran Islam dan mengurus rumah tangganya yang
ditinggal Khadijah.
Khaulah bint Al Hakim, wanita shaleha pelayan Rasulullah menyarankan agar
Rasulullah menikah lagi. Mula-mula Rasulullah diminta meminang Aisyah bint Abu Bakar,
namun mengingat Aisyah masih kanak-kanak, maka pernikahannya ditangguhkan hingga ia
dewasa. Kemudiah Khaulah menyarankan Rasulullah untuk melamar Saudah bint Zam’ah
yang belum lama ditinggal mati suaminya Al Sukran ibn Amr.

Siapakah Saudah...? Dia adalah seorang janda tua, yang tidak cantik, tidak menarik hati kaum
laki-laki, berbeda jauh dengan Khadijah yang membuat para lelaki cemburu ketika dinikahi
Rasulullah.

Pada saat Saudah bersuamikan Al Sukran, dia bermimpi: ‘Yang Pertama Rasulullah
memeluk lehernya dan yang kedua bulan menjauhi dirinya’. Dia menceritakan mimpi itu
kepada suaminya. Allah seakan-akan menyingkapkan tirai zaman dari Al Syukran, ia tiba-
tiba berkata: “Seandainya mimpimu benar aku sebentar lagi akan mati dan engkau akan
14
Risalah Muslim, “QS. An Nisaa’ (Wanita) – Surah 4 ayat 35 (QS. 4:35” (https://risalahmuslim.id/quran/an-
nisaa/4-35/, 9 Oktober 2020, pukul 11.53)
dinikahi Rasulullah”. Tidak ada sebercikpun dalam pikiran Saudah untuk menjadi
pendamping Rasulullah, mengingat dia tahu siapa dirinya. Namun Allah berkehendak lain,
Dia menjadikan Saudah bint Zam’ah, janda dari Al Sukran menjadi isteri Rasulullah setelah
Khadijah. Mulai saat itu Saudah hidup menjadi pasangan suami isteri dan hidup tenang,
damai dan bahagia bersama Rasulullah. Dia mengambil peran sebagai pemelihara dan
pengasuh anak-anak Rasulullah serta mengatur rumah tangga. Ketika Rasulullah sudah
menetap di Madinah dan Aisyah sudah cukup dewasa, beliau resmi menikahi Aisyah. Tentu
saja usia Aisyah dengan Saudah terpaut sangat jauh, sehingga perasaan Aisyah kepada
Saudah layaknya anak terhadap ibu yang mengasihinya. Namun keduanya hidup dengan
tenang sebagai isteri-isteri Rasulullah.
Tidak lama setelah itu masuk pula beberapa wanita lain yang menjadi isteri-isteri
Rasulullah, yaitu Hafshah bint Umar ibn Khathab, Zainab bint Jahsy dan Ummu Salamah
yang masing-masing memiliki hak yang sama di sisi Rasulullah. Namun sebagai manusia
biasa, Rasulullah memiliki kendala untuk menundukkan perasaannya dalam bersikap adil
terhadap Saudah sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Agar Saudah dapat hidup bebas dari
rasa ketidak adilannya, maka beliau berniat untuk menceraikan Saudah. Mendengar
Rasulullah akan menceraikannya, Saudah dengan hati yang sedih dan duka memohon kepada
Allah agar dia sampai kapanpun tetap menjadi isteri Rasulullah.
Ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu atas nama
Dzat Yang Menurunkan KitabNya kepadamu dan aku memuliakanmu diantara seluruh
ciptaanNya, janganlah engkau menceraikanku. Biarkan aku sebagai isterimu...akan kuberikan
malam-malam giliranku kepada Aisyah. Aku tidak menghendaki darimu sesuatupun seperti
yang dikehendaki wanita-wanita lain”. Rasulullah sangat memahami perasaan Saudah dan
Allah Subhanahu wa ta’ala langsung menyayangi keduanya sehingga turunlah ayat tersebut.15

Tafsir Ayat

1. Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri
Suriah 127-128.
Dan mereka akan minta keterangan kepadamu tentang perempuan-perempuan: "Allah
akan memberi keterangan kepada kamu di tentang mereka, dan (juga) apa-apa yang
dibacakan kepada kamu di dalam Kitab (ini), di tentang anak-anak yatim perempuan
yang kamu tidak mau berikan kepada mereka apa yang diwajibkan untuk mereka,
padahal kamu suka bernikah dengan mereka, dan (begitu juga) di tentang anak-anak
yang lemah; Katakan : padahal (kalau) kamu urus anak- anak yatim itu dengan adil, dan
(kalau) kebaikan, Allah itu Mengetahui akan dia kerjakan apa-apa sesungguhnya kamu
adalah. Dan jika seorang perempuan takut (terbit) dari suaminya kebencian atau
perpalingan, maka tidak mengapa atas mereka berdua membikin satu perdamaian antara
mereka berdua, karena perdamaian itu baik, padahal hati (manusia) itu diberi perangai

15
Mimuk Bambang Irawan, “ASBABUN NUZUL SURAH 4 – AN NISAA AYAT 128”,
(http://risalahmutiaratauhid.blogspot.com/2015/04/asbabun-nuzul-surah-4-nisaa-ayat-128.html), 9 Oktober
2020, pukul 13.21)
kikir, tetapi jika kamu ber buat baik dan kamu berbakti, maka sesungguhnya ada- lah
Aiiah itu amat Mengetahui apa yang kamu kerjakan.16

2. Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr.


Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
Dan apabila seorang wanita mengetahui dari suaminya terdapat sikap arogansi dan
keangkuhan kepadanya atau acuh tak acuh kepadanya, maka tidak ada dosa atas mereka
berdua untuk mengadakan kesepakatan sesuai dengan kerelaan jiwa mereka, terkait
pembagian giliran menginap dan nafkah. Dan perdamaian itu lebih baik dan lebih utama.
Dan jiwa-jiwa manusia tercipta dalam tabiat tamak dan kikir. Dan apabila kalian
memperbaiki pergaulan kalian terhadap istri-istri kalian dan bertakwa kepada Allah
dalam memperlakukan mereka, maka sesungguhnya Allah terhadap apa yang kalian
perbuat berupa sikap kikir dan sifat lainnya Maha Mengetahui, tidak ada sesuatupun
yang tersembunyi bagiNya,dan akan memberikan balasan kepada kalian atas perbuatan
tersebut.17

3. Tafsir Jalalayn
(Dan jika seorang wanita) imra-atun marfu' oleh fi'il yang menafsirkannya (takut) atau
khawatir (dari suaminya nusyuz) artinya sikap tak acuh hingga berpisah ranjang
daripadanya dan melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau karena
matanya telah terpikat kepada wanita yang lebih cantik dari istrinya itu (atau
memalingkan muka) daripadanya (maka tak ada salahnya bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenarnya). Ta yang terdapat pada asal kata diidgamkan pada shad,
sedang menurut qiraat lain dibaca yushliha dari ashlaha. Maksud perdamaian itu ialah
dalam bergilir dan pemberian nafkah, misalnya dengan sedikit mengalah dari pihak istri
demi mempertahankan kerukunan. Jika si istri bersedia, maka dapatlah dilangsungkan
perdamaian itu, tetapi jika tidak, maka pihak suami harus memenuhi kewajibannya atau
menceraikan istrinya itu. (Dan perdamaian itu lebih baik) daripada berpisah atau dari
nusyuz atau sikap tak acuh. Hanya dalam menjelaskan tabiat-tabiat manusia, Allah
berfirman: (tetapi manusia itu bertabiat kikir) artinya bakhil, seolah-olah sifat ini selalu
dan tak pernah lenyap daripadanya. Maksud kalimat bahwa wanita itu jarang bersedia
menyerahkan haknya terhadap suaminya kepada madunya, sebaliknya pihak laki-laki
jarang pula yang memberikan haknya kepada istri bila ia mencintai istri lain. (Dan jika
kamu berlaku baik) dalam pergaulan istri-istrimu (dan menjaga diri) dari berlaku lalim
atau aniaya kepada mereka (maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu lakukan) hingga akan memberikan balasannya.18

16
‫ وهبة بن مصطفى الزحيلي الدمشقي‬,‫التفسير الوجيز على هامش القرآن العظيم ومعه أسباب النزول وقواعد الترتيلو‬

17
tafsirweb, “Tafsir Qur’an Surat An-Nisa 128”, https://tafsirweb.com/1660-quran-surat-an-nisa-ayat-
128.html, 9 Oktober 2020, pukul 13.31
18
Tafsirq, “Surat An-Nisa’ Ayat 128”, https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-128#tafsir-jalalayn, 9 Oktober 2020,
pukul 13.37
4. Tafsir Quraish Syihab
Jika seorang istri khawatir akan sikap ketidakpedulian suaminya terhadap urusan
keluarga atau sikap tak acuh terhadap dirinya, maka mereka boleh mengadakan
perbaikan dan pendekatan secara baik-baik. Suami atau istri yang mengerti adalah yang
memulai upaya damai itu. Dan cara damai itu selalu baik. Sebenarnya yang menghalangi
terciptanya kedamaian di antara suami istri adalah sikap keras masing- masing pihak
dalam mempertahankan haknya secara utuh karena dikuasai oleh sikap kikir. Tidak ada
jalan untuk mengembalikan cinta kasih mereka kecuali jika salah satu pihak bersedia
melepas sebagian haknya. Ia, yang bersedia melepas sebagian haknya itu, adalah orang
yang berbuat baik dan bertakwa. Barangsiapa mengerjakan kebaikan dan bertakwa
kepada Allah, maka Allah Maha Mengetahui segala amal perbuatan dan akan memberi
balasannya.19

19
Tafsirq, “Surat An-Nisa’ Ayat 128”, https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-128#tafsir-quraish-shihab, 9 Oktober
2020, pukul 13.39

Anda mungkin juga menyukai