Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TAFSIR TARBAWI

SURAH FUSSILAT AYAT 33-35


Dosen pengampu: Prof. Dr.H.M.Galib, MA

Disusun oleh :

Suci Ramadani
21801043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA


ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah Surah fussilat ayat 33-35 ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya dan kepada kita selaku umatnya. Kami ucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan kami menyadari
pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan
informasi yang akan menjadi bahan makalah ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena
kesempurnaan hanya milik yang maha kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita
sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Aamiin

Makassar, 12 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................5
C. Tujuan..............................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
A. Surat Fushilat ayat 33-35....................................................................................................................6
B. Tafsiran Ayat......................................................................................................................................7
C. Kandungan Ayat...............................................................................................................................12
D. Hubungan Surat Fushilat Ayat 33-35 dengan Dakwah.....................................................................13
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan yang sempurna’ merupakan suatu nama
pilihan Allah Swt. Yang sungguh tepat, karena tidak ada satu bacaan pun sejak manusia
mengenal baca-tulis lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an al-Karim,
bacaan yang sempurna bagi mulia itu.1 Tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an adalah berisi
pedoman dan sebagai petunjuk bagi umat manusia.Hal ini tentu sangat penting artinya, karena
sasaran utama diturunkannya kitab suci tersebut adalah agar tercapainya kebahagiaan didunia
dan akhirat.Untuk menempatkan al- Qur’an sesuai fungsinya, diperlukan sebuah upaya yang
dikenal istilah tafsir. Tafsir merupakan penjelas dari al-Qur’an karya para ulama-ulama Islam,
dimana tafsir berupaya untuk menyingkap makna al-Qur’an, Al- Azhahaby menjelaskan bahwa
tafsir adalah: “Ilmu pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah yang terdapat dalam al-
Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia yang didukung dengan berbagai disiplin ilmu untuk
membantu memahami maksud-maksud Allah tersebut.
Al-Qur’an yang mulia merupakan alat peneguh yang paling utama, dia merupakan tali
Allah yang kuat, cahaya yang menerangi, siapa yang berpegang teguh dengannya Allah akan
melindunginya, siapa yang mengikutinya Allah akan menyelamatkannya dan siapa yang
menyeru kepadanya akan ditunjukkan kepadanya jalan yang lurus.3 Dalam saat-saat perjuangan
semakin menghebat, dan tantangantantangan yang dihadapi pada saat ini, dunia semakin kalang
kabut, perjuangan semakin berat baik di dalam menghadapi tantangan mengenai agama maupun
mengenai hidup yang semakin dipersulit, semakin perlu melipat gandakan kewaspadaan dan
keteguhan hati memegang pendirian.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di jelaskan dalam surah fussilat ayat 33-35?


2. Bagaimana tafsiran ayat fussilat ayat 33-35?
3. Jelaskan kandungan ayat surah fussilat ayat 33-35?
4. Bagaimana hubungan surat fussilat ayat 33-35 dengan dakwah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui surah fussilat ayat 33-35


2. Untuk mengetahui tafsiran ayat fussilat ayat 33-35
3. Untuk mengetahui kandungan ayat surah fussilat ayat 33-35
4. Untuk mengetahui hubungan surah fussilat ayat 33-35 dengan dakwah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Surat Fussilat ayat 33-35

‫س ِّل‬
‫ِّإ من ا‬ ‫ِ حا و‬ ‫ِّمل‬ ‫ى أ ال‬ ‫حسن قَ ْوال ن َد‬ ‫و من ا‬
‫ِّم ْىن‬
‫ْل م‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ّ ‫وع‬ ‫عآ‬ ‫ِّ’]مم‬
ّ ‫ل‬

‫ّنى ل‬ ‫ص‬

‫ع ا ل ه حسن َفإ] ذَ]ا ا ’ل ِّذ ى ب و ب ع َد]ا‬ ]ُ‫و َال ت س] تَ]و ى ا و ال ]س ِّ’ىئَ]ةُ] ا‬


َ ِّ
‫ْى نَ ك ْىنَه‬ ‫ِّتى ى ا‬ ‫س نَ ت‬ ‫ْل ح‬
‫وة كأَ] َّنهُ] و ح ِّم ْىم‬
‫لى‬

‫عظ‬ ُ َّ َ َ ْ
’ ‫َ ر وا ما ىُلق هآ إ ال ذ‬ ‫اَ] لَّ ِّذ ىن‬ ]‫و ما ُى]لَقَّهآ‬
Artinya : ‫ْى ٍّم‬ ‫و‬ ‫ب و‬
‫ظ‬
‫ص‬
‫ح‬
33) Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah
dan mengerjakan kebajikan dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang
berserah diri).
34) Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman
yang setia.
35) Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugrahkan kecuali kepada orang-orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar.
Surat Fushilat terdiri dari 54 ayat termasuk golongan surat Makkiyah, diturunkan sesudah
surat Al Mu’min. Dinamai Fushshilat (Yang dijelaskan) karena ada hubungannya dengan
perkataan “Fushshilat” yang terdapat pada permulaan surat ini, yang berarti “yang dijelaskan”.
Maksudnya ayat-ayat ini diperinci dengan jelas tentang hukum-hukum, keimanan, janji dan
ancaman, budi pekerti, kisah dan sebagainya. Dinamai juga dengan”Haa Miim As Sajdjah”
karena surat ini di mulai dengan “Haa Miin” dan dalam surat ini terdapat ayat sajdah.
B. Tafsiran Ayat

1. Surat Fushilat ayat 33


‫ِّإ‬ ‫ص و‬ ‫ِّمل‬ ‫و من َا حسن َق ْو ِّ ن عآ ل َى أ‬
‫ن‬ ]‫ِّل حا] قَا‬ ‫وع‬ ‫ال‬ ‫’ د‬
ّ ‫م‬
‫م‬
‫ّنى من ل‬
‫ا ْل م س ِّل ِّم ْىن‬
Artinya: Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim
(yang berserah diri).
Ayat ini mencela orang-orang yang mengatakan yang bukan-bukan tentang Al-Qur’an. Al-
Qur’an mempertanyakan: perkataan manakah yang lebih baik daripada Al-Qur’an, siapakah yang
lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru manusia agar taat kepada Allah.
Ibnu sirin, as-Suddi, Ibnu Zaid dan al-Hasan berpendapat bahwa orang yang paling baik
perkataannya itu ialah Rasulullah SAW. Al-Hasan apabila membaca ayat ini maka ia berkata:
Inilah Rasulullah; inilah habibullah; inilah waliyullah; inilah sawfatullah; inilah khairotullah;
inilah, demi Allah penduduk bumi yang paling di cintai Allah. Dia memenuhi seruan Allah dan
menyeru manusia agar memenuhi seruan Allah. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ayat ini
maksudnya umum, yang semua orang yang menyeru untuk menaati Allah. Rasulullah, termasuk
orang yang paling baik perkataannya, karena beliau menyeru manusia kepada agama
Allah. Sedangkan, dalam tafsir Ibnu Katsier berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat ini
adalah para juru azan.
Dan dalam tafsir Al-Misbah, lafadz
‫ِّإ َلى‬ ‫عآ‬ َ‫ د‬/ yang menyeru
ِ kepada
‫أ‬
ّ ‫هلل ال‬
Allah mengandung banyak macam dan peringkat. Peringkat pertama dan utama tentunya
diduduki oleh Rasul SAW, yang memang digelar oleh Allah sebagai da’iyan ila Allah, disusul
oleh para ulama dan cendikiawan yang tulus dan mengamalkan ilmunya dan yang terjun ke
masyarakat membimbing mereka. Semakin luas lapangan bimbingan semakin tinggi pula
peringkat da’I, demikian juga sebaliknya, sampai sementara ulama menyebut pengumandang
adzan pun termasuk dalam pengertian kata ini walau yang diajaknya hanya seorang.
Dalam Tafsir Maraghi dijelaskan bahwa, tidak ada seorang pun yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang memiliki tiga sifat berikut ini
a. Menyeru manusia agar mengesakan dan mematuhi Allah
Ibnu Sirin as-suddi, ibnu zaid, dan Al-hasan berkata: orang yang menyeru ialah Rasulullah SAW.
b. Amal saleh, yaitu dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan dan menghindari hal-hal yang
diharamkan
c. Mengambil Islam sebagai agamanya dan ikhlas kepada Tuhannya, yakni, seperti kata orang; ini
adalah Qaul si fulan, yang artinya madzhab dan keyakinan dia.
Dengan menerangkan perkataan yang paling baik itu, seakan-akan Allah menegaskan
kepada Rasulullah bahwa tugas yang diberikan kepada beliau itu adalah tugas yang paling mulia.
Oleh karena itu, beliau diminta untuk tetap melaksanakan dakwah, dan sabar dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran dan rintangan-rintangan yang dilakukan orang-orang kafir.
Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan oleh seorang muslim
ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati segala perintah
Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain
mengikuti agama Allah. Orang yang bersih jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal
yang saleh, ajakannya lebih diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan
yang kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.
2. Surat Fushilat ayat 34
]ُ‫فَع ِّبا] ِّت ه حسن فَإ]ِّ ذَ]ا ال’ ِّذ ْى و َب ْى نَ ه‬ ]ُ‫و الَ ت س و ى ا و الس ِّى’ئَ]ة‬
‫ى نَ ك‬ ‫ى ىا‬ ‫اُ] ت‬ ‫ْ ل حس ن‬ ‫ت‬
‫عدَ]ا وة كأَ هُ و ح ِّم ْىم‬
‫لى‬
Artinya : Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti
teman yang setia.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan yang diridhai Allah dan diberi pahala itu tidak sama
dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang melakukannya pasti diazab. Di dalam tafsir
Al-Qur’an dan tafsirnya ayat ini dapat ditafsirkan dengan pernyataan bahwa tidak sama dakwah
orang yang menyeru kepada Allah dan mengikuti islam, dengan perbuatan mencela orang-orang
yang melaksanakan dakwah itu.
Sikap orang kafir yang mencela para da’I diterangkan dalam firman Allah:
‫ْىه‬ ‫ُقلُ ْو َ ي كن ’م ْو‬
‫َنآ‬ ‫نا ا ة َما تَ]د‬
Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya…(Fusslilat/41:5)
Dengan ayat ini seakan-akan Allah menyatakan kepada Rasulullah SAW bahwa jika ia
mengerjakan kebaikan, maka akan memperoleh ganjaran kebaikan berupa penghargaan selama
hidup di dunia dan pahala yang besar di akhirat nanti. Sedang orang-orang kafir yang
mengerjakan kejahatan dengan kejahatan tentu mereka akan memperoleh kerugian yang berlipat
ganda. Oleh karena itu, Rasulullah diperintahkan untuk membalas kejahatan mereka dengan
kebaikan. Kemudian Allah menerangkan cara membalas kejahatan orang-orang kafir itu dengan
kebaikan dengan memerintahkan Rasulullah agar membalas kebodohan dan kejahatan orang-
orang kafir dengan cara yang paling baik, membalas perbuatan buruk mereka dengan perbuatan
baik, memaafkan kesalahan mereka, dan menghadapi kemarahan mereka dengan kesabaran[12].
Pendapat ini, hampir sama dengan Tafsir Ibnu Katsier[13], firman Allah “Dan tidaklah sama
kebaikan & kejahatan” yaitu terdapat perbedaan yang amat besar antara kebaikan dan kejahatan.
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik” yaitu jika ada orang yang berlaku buruk
kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih baik. Maksudnya, hadapilah tindakan mereka
yang buruk dengan berbuat baik kepada mereka, hadapilah dosa dengan member maaf, marah
dengan bersabar dan mendiamkan kekeliruan-kekeliruan serta menanggung hal-hal yang tidak
disukai.[14] Firman Allah”Maka tiba-tiba yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang baik.” yakni, jika engkau berbuat baik kepada orang yang
berbuat jahat kepadamu, niscaya kebaikan itu akan mengarahkannya untuk bersikap tulus
kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu, sehingga seakan-akan dia menjadi teman setia
dalam arti mendekatinya dengan rasa kasih saying dan berbuat baik.
Muqatil berkata: Ayat ini turun mengenai Abu Sufyan bin Harm. Dulunya, ia memusuhi Nabi
SAW, namun kemudian menjadi pendukungnya dalam islam dan sahabatnya yang setia dengan
cara berbesan, karena sikap nabi yang tidak berdendam, tidak melepaskan sakit hati.[15]
Inilah suatu contoh yang ditinggalkan Rasulullah SAW bahwasannya orang kerap kali
memusuhi islam, membenci dan menghalanginya, sebagaimana dilakukan oleh Abu Sufyan
tersebut. Tetapi karena cara Nabi SAW menghadapinya bukan dengan kebencian, bukan
memperbanyak musuh, melainkan memperbanyak kawan, akhirnya Abu Sufyan takluk.[16]
Prinsip ini terbukti kebenarannya dalam realita. Kobaran nafsu berubah menjadi kelembutan,
kemarahan menjadi kentemtraman, dan kekerasan menjadi rasa malu. Hal itu karena da’i yang
berpegang kepada kalimat yang baik, cara yang tenang, dan karakter yang lembut dalam
menghadapi kobaran kemarahan dan kebinalan. Kalaulah perbuatan mereka dibalas dengan
pekerjaan yang sama, niscaya kemarahannya semakin berkobar, semakin kereas, binal, menolak
dan akhirnya hilang rasa malu dari dirinya, lepas kendali, dan merasa bangga berbuat dosa.
Namun, toleransi tersebut memerlukan jiwa besar, terutama tatkala dia mampu berbuat buruk
dan membalasnya. Kemampuan ini sangat penting bagi adanya dampak toleransi sehingga
kebaikan terhadap pelaku keburukan tidak dianggap sebagai kelemahan. Jika dia meresa lemah,
maka toleransinya tidak bernilai dan tidak memiliki dampak kebaikan sedikitpun.
Toleransi ini pun terbatas pada kondisi keburukan pribadi, bukan permusuhan terhadap
akidah dan fitnah di antara kaum mukminin. Jika yang terjadi permusuhan dan fitnah, dia perlu
melawannya dengan segala cara atau dia bersabar hingga Allah memutuskan perkaranya. Inilah
suatu peringkat, yaitu peringkat pembalasan keburukan dan kebaikan. Toleransi terhadap
dorongan kemarahan dan kedengkian serta sikap proporsional dalam menetapkan kapan dia
harus toleran dan kapan membalas dengan kebaikan. Merupakan derajat agung yang tidak dapat
dilakukan oleh semua manusia. Peringkat ini memerlukan kesabaran. Perangkat itupun
merupakan perolehan yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang berusaha, sehingga
mereka berhak menerimanya
3. Tafsir Ayat 35
‫اَ] لَّ ِّذ ىن ص َبر واْ و ما] ىُ]لَقَّهآ إَ] الَّ ذُ] و ح ’ظ‬ ‫و ما ىُ]لَقَّهآ‬
‫عظ ْى ٍّم‬
Artinya: Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugrahkan kecuali kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar.
Pada ayat ini, Allah menerangkan cara yang paling baik menghadapi orang-orang kafir, yaitu
orang yang sabar ketika menderita kesulitan dan kesengsaraan, dapat menahan marah, tidak
pendendam, dan suka memaafkan. Anas r.a dalam menafsirkan ayat ini ialah apabila seseorang
dimaki oleh orang lain, ia berkata, “Jika engkau memaki dengan alasan yang benar, mudah-
mudahan Allah akan mengampuni dosamu. Jika engkau memakiku dengan alasan yang tidak
benar, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku.”
Ayat ini merupakan nasihat agar berlaku sabar, menahan amarah, dan suka memaafkan
kesalahan orang lain itu adalah suatu nasihat yang paling utama dan tinggi nilainya. Yang dapat
menerima nasihat itu hanyalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh, yang akan
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti.
Qatadah mengatakan bahwa arti dari “keuntungan yang besar” ialah surga. Maksud ayat ini
ialah tidak ada yang menerima nasehat seperti ini kecuali orang yang pasti masuk surga.
Dalam Tafsir Ibnu katsir, di jelaskan bahwa “sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar” tidak ada uang dapat menerima dan mengamalkan
wasiat ini kecuali orang-orang yang sabar atas hal itu, karena ini amat berat bagi jiwa. “Dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang
besar.” Yaitu, orang yang mendapatkan bagian terbesar berupa kebahagiaan di dunia dan dan
akhirat. Ali bin abi thalhah berkata, dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk sabar ketika marah, lapang dada ketika
diperlakukan tidak baik, dan memaafkan ketika disalahkan. Jika mereka melakukan itu, niscaya
Allah memelihara mereka dengan syaitan serta menundukkan musuh-musuh mereka seakan-akan
menjadi teman setia
Dalam tafsir Al-Azhar, orang yang mempunyai jiwa besar ialah orang yang insaf bahwa dia
berjuang bukan untuk dirinya, melainkan untuk kepentingan agama Tuhannya. Perangai dan
akhlak Nabi yang demikian tinggi diteladani jiga oleh sahabatnya Ali bin Abu Thalib. Pada suatu
hari dia berkelahi dengan orang Yahudi, berperang dan berhadap-hadapan satu sama satu.
Karena hebatnya perkelahian, kuat sama kuat, akhirnya terbentanglah Yahudi itu jatuh dan
dengan secepatnya Sayyidina Ali telah duduk di atas perut lawannya dan mengunci kedua belah
tangannya sehingga tidak dapat bergerak lagi hendak mempertahankan dirinya. Tiba-tiba karena
akal lain tidak ada lagi, dan sangat murka dan gemasnya, orang yahudi telah meludahi wajah
Sayyidina Ali.
Setelah mukanya diludahi dan basah karena air ludah, sayyidina Ali terdiam, lalu tidak
berapa lama kemudian, dia pun tegak. Diambilnya serbannya, dihapusnya mukanya dan
musuhnya dibiarkan berdiri. Dengan keheranan musuhnya, si Yahudi bertanya “Mengapa tidak
engkau bunuh aku? Padahal kesempatan yang sebaik-baiknya? Dan aku meludah engkau karena
tidak berdaya lagi?”
Sayyidina Ali menjawab “Saya berkelahi dengan engkau tadi, karena mempertahankan
Agama Allah. Saya akan bunuh engkau selama engkau menentang Tuhan. Tetapi setelah engkau
meludahi mukaku, soalnya bukan lagi mempertahankan agama Allah. Dia telah berganti dengan
soal pribadi. Aku sangat murka kepada engkau karena meludahiku. Maka kalau aku bunuh
engkau karena kemungkaran berkenaan dengan urusan diri sendiri, tidaklah berarti lagi
perjuanganku. Karena tidak lagi karena mempertahankan Agama Allah, melainkan karena
mempertahankan harga diri.”
Sikap yang seperti ini pun adalah sikap seorang yang berjiwa besar. Seakan-akan beliau
berkata “Aku sendiri boleh engkau maki-maki, aku tidak akan marah. Tetapi kalau Agama Allah
yang engkau singgung, engkau akan mendapat bagianmu yang setimpal”. Ini merupakan yang
tinggi hingga mencapai batas seperti tampak pada diri Rasulullah di mana beliau tidak pernah
marah untuk membela dirinya sendiri. Apabila beliau marah karena Allah, tiada seorangpun yang
dapat meredakannya.

C. Kandungan Ayat

1. Ada tiga sifat orang yang menjadikan seseorang menjadi orang baik:
1. Menyeru orang lain untuk mentaati Allah
2. Beramal amalan saleh, dan
3. Mengucapkan bahwa ia seorang muslim yang tunduk kepada Tuhan. Menyeru orang lain
untuk taat kepada Allah masuk pekerjaan amal makruf nahi munkar. Setiap muslim harus
melakukannya menurut kadar kekuatannya.
2. Perbuatan buruk orang lain, hendaklah diladeni dengan cara yang baik dan bijaksana. Kejahatan
orang lain yang diladeni dengan cara bijaksana , sering menjadikan orang itu sadar, kembali ke
jalan yang benar dan akhirnya menjadi sahabat akrab. Jangan lekas emosi dan bertindak
sembrono. Sifat demikian ialah suatu sifat yang terpuji dan tanda jiwa besar.

D. Hubungan Surat Fussilat Ayat 33-35 dengan Dakwah

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan
mengerjakan kebajikan dan berkata “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang
berserah diri) Fushilat (41):33
Ayat ini memiliki hubungan yang erat dengan dakwah, di dalam ayat di jelaskan “Siapa yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah” ada beberapa peringkat
yang termasuk dalam kategori ini, dan Da’i juga termasuk dalam kategori ini, karena Da’i juga
dituntut untuk memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati segala
perintah Allah dan menjauhi larangannya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain mengikuti
agama Allah, orang yang bersih jiwa, kuat iman dan mengerjakan amal yang saleh, ajakannya
lebih diperhatikan karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan yang kuat dan dengan suara
mantap, tidak ragu-ragu.
Dakwah ditujukan kepada seluruh manusia dalam keadaan umurnya yang berbeda-beda, serta
tingkat kedudukannya di masyarakat, di samping kecerdasan dan alam lingkungannya, kemauan
serta jalan pikirannya, kesemuanya berlainan. Hal ini menyebabkan para da’i harus menjadi
orang-orang yang bijaksana , mahir dalam menyampaikan ceramah, pendapat dan pengertiannya
kepada mad’unya. Berikut beberapa syarat, agar da’i tidak tergelincir dalam berbicara[24]:
1. Memilih kata-kata yang baik saja
Ucapan-ucapan yang baik dapat menyuburkan kasih sayang sesama manusia, mengeratkan
persahabatan dan mencegah tipu daya syaitan yang berusaha merapuhkan tali perhubungan dan
menimbulkan persengketaan. Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-hari hendaknya kita
membiasakan ucapan-ucapan yang baik, terlebih bagi seorang da’i, karena ucapan yang baik
akan menghasilkan kebajikan.
2. Meletakkan pembicaraan tepat pada tempatnya dan sengaja mencari kesempatan yang benar
Pembicaraan yang tidak mengandung manfaat adalah pembicaraan yang terbengkalai dan
tertinggal (tak digubris). Jika pembicaraan yang seharusnya diakhirkan, adalah suatu kelambatan
dan kelemahan. Sebab tiap tempat ada pembicaraannya masing-masing dan setiap zaman juga
mempunyai amalannya masing-masing.
3. Berbicara dengan pembicaraan sekedar keperluan
Lisan seseorang yang pembicaraannya kaku, kurang gairah, dan tidak terarah menunjukkan
bahwa hatinyapun seperti itu. lisan dapat menunjukkan bahwa hatinya pun seperti itu. lisan dapat
menunjukkan suasana hati, sebaliknya lisan yang fasih, tegar dan penih percaya diri merupakan
gambaran kondisi hati seseorang yang tenang dan bersemangat.
Dalam surat Fushilat ayat 34, Allah menerangkan cara membalas kejahatan orang-orang kafir
itu dengan kebaikan dengan memerintahkan kepada Rasulullah agar membalas kebodohan dan
kejahatan orang-orang kafir dengan cara yang paling baik, membalas perbuatan buruk mereka
dengan perbuatan baik, memaafkan kesalahan mereka, dan menghadapi kemarahan mereka
dengan kesabaran. Sifat ini, juga dimiliki seorang da’i. Pada dasarnya, Dakwah yang dilakukan
seorang pendakwah tidaklah semulus orang kira, banyak rintangan dan tantangan yang harus
mereka lewati, dan hal ini membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi. Selain itu, ada banyak
mad’u yang menolak dakwah para da’i, namun ini semua bukan halangan bagi mereka dalam
menegakkan Agama Allah. Berikut, pentingnya sifat sabar dalam berdakwah[25]:
1. Sabar merupakan salah satu rukun akhlak terpuji yang diperlukan oleh setiap muslim umumnya
dan para da’i khususnya
2. Sabar dalam berdakwah merupakan unsur yang sangat penting. Oleh sebab itu, Allah telah
menyebutkan kata sabar dalam Al-Qur’an sebanyak Sembilan puluh kali, sebagaimana yang
telah dikatakan Imam Ahmad
3. Sabar dalam berdakwah adalah nilai-nilai taqarrub kepada Allah yang paling besar, dan
termasuk anugerah Allah yang paling mulia kepada manusia
4. Sabar dalam dakwah merupakan sikap para Nabi dan rasul a.s secara keseluruhan. Berdakwah
pada kesabaranlah, dakwah mereka Berjaya
5. Sabar dapat menjadikan dai bisa mengatasi musuh-musuhnya. Dengan sabar, ia dapat
mengalahkan orang kafir, orang munafik, orang yang membangkang, dan orang islam yang
berbuat zalim,
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan oleh seorang muslim
ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati segala perintah
Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain
mengikuti agama Allah. Orang yang bersih jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal
yang saleh, ajakannya lebih diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan
yang kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan yang diridhai Allah dan diberi pahala itu tidak
sama dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang melakukannya pasti diazab. Di dalam
tafsir Al-Qur’an dan tafsirnya ayat ini dapat ditafsirkan dengan pernyataan bahwa tidak sama
dakwah orang yang menyeru kepada Allah dan mengikuti islam, dengan perbuatan mencela
orang-orang yang melaksanakan dakwah itu.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI. Bukhara (Al-Qur’an Tajwid & Terjemah). Bandung: Sygma.
2007, hlm:480
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahan (Djuz 21-Djuz 30). Jakarta:
Jamunu. 1969, hlm: 772
Ahmad Mustofa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. Semarang: Cv. Toha Putra. 1992. Hlm: 240-241
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Juz 22-24 Jilid 8). Jakarta: Widya Cahaya,
2011. hlm: 619
Eomar, Bakry. Tafsir Rahmat.
M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah(Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.
12). Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm, 412

Anda mungkin juga menyukai