Di susun Oleh
Kelompok:7
Mujahidin : 21801055
Alhamdulillah dengan karunia akal dan nikmat kesehatan yang dilimpahkan Allah kepada kami
sehingga dapat membuat makalah ini dengan judul “Tafsir Surah Al-Maidah ayat 67’’ sebagai
bentuk tanggungjawab kami untuk keberlangsungan akademik dalam mata kuliah Tafsir
Tarbawi. Berikut kami akan sajikan hasil makalah kami, ketika ada kemudian kritik atau saran
akan kami jadikan bahan perbaikan kedepan. Sekian dan terima kasih.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Apabila proses
pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Namun faktanya, masih banyak guru yang kesulitan untuk
menggunakan metode yang tepat dalam pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Ahmad
Tafsir tentang kurang tepatnya penggunaan metode ini patut menjadi renungan bersama. Beliau
mengatakan pertama, banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu materi
pelajaran, kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang
rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan mengangap remeh mata pelajaran tertentu.
Hal diatas menunjukan bahwa metode merupakan salah satu faktor dominan dalam kegiatan
belajar mengajar. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin lebih jauh meneliti tentang
penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berdimensi pendidikan, khususnya QS. Al-
Maidah ayat 67 tentang metode pendidikan dan relevansinya dengan pendidikan saat ini, dengan
harapan semoga metode yang ditawarkan al-Quran mampu memberikan solusi atas permasalahan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsir QS. Al-Maidah ayat 67 dan relevansinya dengan pendidikan Islam?
3. Apaaspek Kandungan dan Nilai pendidikan dari Surah Al-Maidah ayat 67?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 67
¸ ر إ َل َ ˚يك أ˚ ن ˚مص ك و رس ال َ ˚ غتف َ َ َ َ ام ت َ إ ن و ي
َ َن ن َ م ي ˚ ه ¸د ى ال َ ل َل ¸إ
ام َ َ اه كَ ¸ ف ¸ ير
ا نَ ˚ ل كَب
Artinya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepadamu.
Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan
amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
Surat Al-Maidah merupakan surat ke-5 dalam Al-Quran. Terdiri dari 120 ayat. Surat ini
termasuk surat Madaniyah (yang diturunkan di Madinah) berdasarkan ijma’. Diriwayatkan
bahwa surat ini diturunkan sekembalinya Rasulullah SAW dari Hudaibiyah.Terdapat beberapa
riwayat tentang asbabul nuzul/ turunnya surat al-Maidah ayat 67 ini, diantaranya dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
Dalam ayat ini Allah telah memerintahkan kepada nabi-Nya SAW agar menyampaikan
apa yang diturunkan kepadanya. Allah memberikan kesaksian untuknya mengenai pelaksanaan
perintah tersebut dalam banyak ayat seperti: QS. Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu”, QS. An-Nur: “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu
melainkan menyampaikan amanat Allah”, QS. Al-Ahzab ayat 37: “Sedang kamu
menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kpada
manusia sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”
Dalam ayat tersebut tersirat makna bahwa menyampaikan risalah merupakan perintah
Allah. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan risalah kenabiannya kepada
umatnya. Jika nabi tidak menyampaikan risalah tersebut maka termasuk orang yang tidak
menyampaikan amanat.
Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena
ada dukungan langsung dari Alloh maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah sebagai
pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan
risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang
sempurna yaitu Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak
ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai
merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir
hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir” . Sehingga Allah berfirman sebagai
penegasan dukungan keselamatan :
˚مص ك و َل ˚لال َ َ ناس َن = Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia
˚ عم
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau
mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan.
Beliau menulis dalam tafsirnya :
المش رك ين من خوف ا ي خفيه اإ ل س ال م أول ف, اآلية هذ ه ف ي ب إظه ا ره أم ر ثم, أنه هلل وأعلم ه
قيل: ي ك ان ألنه ;التبل ي غ أظه ر م عن اه
الناس من ي ع صمه
Arti “baligh” menurut Imam Al-Qurtubi lebih menampakan pada proses penyampaian amanah
kapada masyarakat. Karena di awal penyebaran agama Islam nabi khawatir kepada orang-orang
musyrik Makkah. Kemudian Allah memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut
dengan diturunkannya ayat ini. Dan Alloh memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga
keselamatannya. Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan
amanat tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang “kadzab”, berdusta.
Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila
dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat
mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan
sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif dan efisien dapat diperoleh
bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat
khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat
setempat. Hal yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta
didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus. Tidak jarang di
sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan yang hadir untuk
bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh makna sehingga menyentuh
dalam setiap sanubari pendengarnya.
Menurut beberapa hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu
Abbas, Abu Said Al-Khudri, Al-Barra’ bin Azib, Abu Hurairah, dan lainnya, ayat ini turun setelah
Nabi Muhammad adalah teladan di dalam alam nyata. Mereka memperhatikan beliau,
sedangkan beliau adalah manusia seperti mereka lalu melihat bahwa sifat-sifat dan daya-daya itu
menampakan diri di dalam diri beliau. Mereka menyaksikan hal itu secara nyata di dalam diri
seorang manusia. Oleh karena itu hati mereka tergerak dan perasaan mereka tersentuh. Mereka
ingin mencontoh rasul, masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan
kesanggupannya meningkat lebih tinggi. Semangat mereka tidak mengendur, perhatian mereka
tidak dipalingkan, serta tidak membiarkannya menjadi impian kosong yang terlalu muluk, karena
mereka melihatnya dengan nyata hidup di alam nyata, dan menyaksikan sendiri kepribadian itu
secara konkrit bukan omong kosong di alam khayal.
Oleh karena itu rasulullah s.a.w merupakan teladan terbesar buat umat manusia, beliau
adalah seorang pendidik seorang yang memberi petunjuk kepada manusia dengan tingkah
lakunya sendiri terlebih dahulu sebelum dengan kata-kata yang baik, dalam hal ini al-quran dan
hadits menyebutkannya.
Teladan itu akan tetap lestari selama langit dan bumi ini lestari, kepribadian Rosulullah s.a.w
sesungguhnya bukanlah hanya teladan buat suatu masa, satu generasi satu bangsa, satu golongan
atau satu lingkungan tertentu. Ia merupakan teladan universal buat seluruh manusia dan seluruh
generasi. Beliau diutus buat seluruh makhluk dan seluruh manusia kapan pun ia lahir, buat
seluruh generasi dan buat seluruh tempat. Teladan yang abadi, yang tidak akan habis-habis
berkurang atau rusak. Pantaslah orang-orang yang bertemu dengan Rosulullah dan melihat
langsung pribadinya yang mulia itu, telah mengisi penuh roh, hati, otak, peraaan, dan tubuh
mereka. Dan melihat pribadinya yang mulia itu sungguh merupakan terjemahan konkrit dari Al-
Qur’an. Oleh karena itu mereka mengimani agama yang secara nyata mereka lihat terwujud
secara konkrit itu.
Semuanya itu sudah merupakan ketetapan Allah, dan ketetapannya itu sudah terealisasi
dengan diturunkanya Al-Qur’an. Islam berpendapat, sebagaimana telah kita singgung didalam
permulaan pasal ini, bahwa suri tauladan adalah tehnik pendidikan yang paling baik, dan seorang
anak harus memperoleh teladan dari keluarga dan orang tuanya agar ia semenjak kecil sudah
menerima norma-norma Islam dan berjalan berdasarkan konsepsi yang tinggi itu.
Rasulullah adalah seorang teladan. Oleh karena itu Rasulullah saw merupakan teladan
terbesar bagi umat manusia, beliau adalah seorang pendidik yang memberi petunjuk kepada
manusia dengan tingkah lakunya terlebih dahulu sebelum dengan kata-kata yang baik, dalam hal
ini Allah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 110:
˚
˚ن َ َ ه˚ و ˚ ع ˚ر و َك
َ نَا ˚ل ˚ م˚ ن آل َ َ م ˚و ا َ¸ لَ َل ¸ ˚نم و َ ن˚م ˚ ه˚ م ˚ م˚ ي اك َن َ َ ل ا˚ ل َأ
نَ ف م ˚ رو
˚ي ˚م َم لن أ˚ ˚ خ¸ رج
˚
ر َ س„ ة أ ˚ت َ تأَ تن ََو ا ˚ َل م ¸ رتو˚ ˚ ؤ ¸ ن ع ك َ ا ˚ ه ب نَ لَ َو
َ ¸ت ˚ ه َ ار
˚˚نت
خا ََ خ
َن نَ ˚ ما ˚ل ˚ م˚ ؤ¸ نم˚ و ا ˚لف َ َ ا ق˚س و
َأو َ ˚ ثكَ َ ˚ ˚هر
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Teladan itu akan tetap utuh selama langit dan bumi ini utuh, kepribadian Rasulullah saw
sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu bangsa melainkan seluruh manusia dan seluruh
generasi.
Pendidikan yang tersirat dalam Surat Al-Maidah ini mengandung makna bahwa
menyampaikan risalah itu merupakan perintah Tuhan. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW
untuk menyampaikan risalah kenabian kepada umatnya jika tidak maka nabi termasuk orang
yang tidak menyampaikan amanat. Peringatan Allah kepada Nabi meng- akibatkan beliau sangat
ketakutan sehingga dada nabi terasa sesak, saking beratnnya tugas ini. Bagi keluarga dan orang
tua hendaklah mendidik anaknya dengan cara meniru akhlak Rasulullah SAW. Sehingga
terciptalah norma-norma Islam dan kepribadian dalam diri anak tersebut. Salah satu dari metode
untuk menyampaikan ilmu dalam proses pembelajaran adalah dengan menggunakan metode
ceramah atau tabligh semua ilmu yang diturunkan Allah dimuka bumi ini. Metode ini merupakan
metode yang paling sederhana dalam penyampaian informasi ilmu pengetahuan kepada semua
objek pendidikan. Metode tabligh adalah suatu metode yang dapat diperkenalkan dalam dunia
pendidikan modern. Yaitu suatu metode pendidikan dimana guru tidak sekadar menyampaikan
pengajaran kepada murid, tetapi dalam metode itu terkandung beberapa persyaratan guna
terciptanya efektivitas proses belajar mengajar. Beberapa persyaratan dimaksud adalah :
a. Aspek kepribadian guru yang selalu menampilkan sosok uswah hasanah, suri tauladan yang
baik bagi murid-muridnya.
c. Aspek penguasaan metodologis yang cukup sehingga mampu meraba dan membaca kejiwaan
Apabila beberapa persyaratan di atas dipenuhi oleh seorang guru, maka nasehat dan
materi yang disampaikan kepada murid akan merupakan qaulan baligha, yaitu ucapan yang
ditaati, komunikatif dan efektif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Maidah ayat 67 berisi tentang
perintah Allah kepada Muhammad untuk tabligh/ menyampaikan semua risalah kepada
ummatnya. Implementasi metode tabligh dalam konteks pendidikan diantaranya adalah bahwa
guru harus menyampaikan ilmunya kepada siswa sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak
boleh ada materi-materi yang seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru selalu
meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari yang pada ujungnya keilmuan
tersebut diajarkan atau disampaikan kepada siswa-siswanya.
kita selaku umat nabi Muhammad S.A.W harus meniru dan mensuri tauladani akhlak nabi
Muhammad s.a.w, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi keluarga dan orang tua hendaklah mendidik anaknya dengan cara meniru akhlak rasululloh
sehingga terciptalah norma-norma islam dan kepribadian dalam diri anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: PT. Departemen Agama RI, 2004) h.
426
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010) h. 437
Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Labaabut Tafsir Min Ibni Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-syafi’i, 2008), h. 154-156.
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: PT. Pustaka Al-Kautsar, 2011)
h. 79 Kementrian Agama RI, Op.Cit, h. 437-439 Muhammad Said, Tafsir Al-Qur’an At-Tibyan,
(Bandung: PT. Pustaka Alma’arif, 2000) h. 222