Tafsir Dakwah
Oleh:
Dosen Pengampu:
Muhammad Hasan, M.I.S
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Metode dan Strategi Dakwah?
2. Bagaimana Tafsiran Surah Al-Maidah (6) : 67, Surah Al-Nahl (16) : 125, Al-
Baqarah (2) : 26,256?
3. Apa Pendapat ulama mengenai surah-surah tersebut?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdul Rani Usman, “Metode dakwah kontemporer,” Jurnal Al Bayan 19, no. 28 (2013): 110.
2
Syahida Yasya Moeniri, “Like Islam Project, Strategi Dakwah Masa Kini,” Dirosat : Journal of Islamic Studies
2, no. 1 (2017): 66, https://doi.org/10.28944/dirosat.v2i1.66.
2
Strategi dapat diartikan sebagai tata cara dan usaha-usaha untuk menguasaidan
mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan.3
Dari berbagai pemaknaan tersebut, ada beberapa karakter yang melekat dalam
pengartian metode dakwah yaitu; metode dakwah merupakan cara-cara sistematis
yang menjelaskan arah strategi dakwah. Karena menjadi bagian dari strategi yang
masih berupa konseptual, metode dakwah bersifat lebih konkrit dan praktis.
Sedangkan tujuan dari metode dakwah tidak hanya untuk menunjang efektivitas
dakwah, tetapi juga dapat meminimalisir hambatan dakwah. Meskipun demikian,
perlu kiranya dipahami bahwa setiap strategi tentu memiliki keunggulan dan
kelemahan. Oleh karena itu, pemilihan metode yang tepat menjadi keniscayaan
dalam mewujudkan keberhasilan dakwah.4
Dalam Tafsir Nurul Quran, Allamah Kamal Faqih Imani (2004:452- 453)
menjelaskan secara terperinci bahwa: Dalam ayat ini, yang diajak berbicarahanya
Nabi SAW. Ayat ini hanya menyatakan keajiban beliau. Teks ayat di atas dimulai
dengan kata-kata “Wahai Rasul!” dan selanjutnya secara eksplisit dan penuh
3
Hatmansyah, S.Ag., ME, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo,” Al-Hiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik
Dakwah 3, no. 5 (2017): 12, https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.
4
Muhammad Diak Udin dan Metode Dakwah, “Muhammad Diak Udin Abstrak” 1, no. 2 (2019): 96.
3
penekanan ia memerintahkan kepada beliau demikian, ...sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu... Kemudian, untuk penekanan lebih lanjut, ia
memperingatkan beliau bahwa jika beliau tidak melaksanakan hal itu (sesuatu hal
yang tidak akan pernah terjadi pada beliau), berarti beliau tidak menyampaikan
sama sekali risalah-Nya kepada umat manusia. Ayat di atas mengatakan, Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berati) kamu sama sekali tidak
menyampaikan risalah-Nya. Setelah itu, wahyu di atas menghibur Nabi SAW.
seolah-olah beliau cemas dan khawatir bahwa akan terjadi insiden tertentu, dan
mengatakan kepada beliau agar tidak merasa takut terhadap manusia dalam
melaksanakan kewajiban ini. Ayat di atas mengatakan, Allah akan memelihara
kamu dari (gangguan) manusia ... Dan di akhir ayat, sebagai ancaman dan
hukuman bagi mereka yang menolak atau mengingkari pesan khusus ini dan
dengan keras hatinya menolaknya, ayat di atas mengatakan, Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.5
4
manusia agar mereka berjalan diatas jalan Allah (Sabilillah), atau Shirathal
Mustaqim, atau ad-Dinul Haqq, Agama yang benar. Menurut Hamka, di dalam
melakukan dakwah, hendaklah memakai tiga macam cara atau metode.6
Pertama, Hikmah (kebijaksanaan).Hikmah menurut bahasa adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itu merupakan arti kata hikmah secara
ethimologi. Menurut Hamka, dakwah dengan hikmah Yaitu dengan secara
bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik
perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Menurut
Hamka, hikmah adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Menurutnya, filsafat
hanya dapat difahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi
pendapat logikanya. Sedangkan hikmah dapat menarik orang yang belum maju
kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar.
Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga
dengan tindakan dan sikap hidup.
Kedua, al-Mau’izhatul Hasanah.Mau’izhah secara bahasa artinya adalah
nasihat. Menurut Hamka, mau’izhah hasanah artinya pengajaran yang baik, atau
pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Menurutnya termasuk
kategori mau’izhah hasanah adalah pendidikan ayah bunda dalam rumah tangga
kepada anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula, pendidikan dan
pengajaran dalam perguruan-perguruan. kalau melihat penjelasan Hamka, jelas
sekali dakwah dengan metode mau’izhah hasanah memiliki cakupan yang luas
bukan hanya digunakan ketika menyampaikan dakwah di masyarakat umum, tetapi
lingkungan keluarga, kampus dan lain sebagainya.
Yang ketiga adalah jadilhum billati hiya ahsan (bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik). Menurut Hamka, Kalau terpaksa timbul perbantahan atau
pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemic, ayat ini menyuruh agar
dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan
yang sebaikbaiknya. Diantaranya ialah memperbedakan pokok soal yang tengah
dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah
diajak berbantah. Misalnya, seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran
6
A M Ismatulloh, “METODE DAKWAH DALAM AL-QUR’AN (Studi Penafsiran Hamka terhadap QS. An-
Nahl: 125),” Lentera IXX, no. 2 (2015): 165, https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21093/lj.v17i2.438.
5
Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena
bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan
dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau
terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah,
mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui,
karena hatinya disakitkan.
Ketiga pokok cara atau metode dakwah diatas, menurut Hamka amatlah
diperlukan disegala zaman. Sebab dakwah atau ajakan dan seruan membawa umat
manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda.7
7
Ismatulloh, 166–67.
6
nyamuk diolokolok oleh kaum Kafirin, karena jangkauan pengetahuan mereka
tidak seluas jangkauan pandangan al-Qur‟an yang melintas capaian zaman.
Al-Maraghi dan Quraish Shihab memandang, bahwa اءNN الحيadalah
ungkapan khawatir mendapatkan celaan dari orang lain. Jika diperhatikan,
nyamuk dijadikan perumpamaan oleh Tuhan saat bangsa Arab (baik Muslim
dan non Muslim) belum mengenal teknologi dan ilmu pengetahuan modern.
Sudah menjadi suatu keniscayaan, orang-orang Munafik menolak untuk
menerima. Karena nyamuk masih dilihat dengan kaca mata biasa. Ia hanya
dianggap sebagai hewan invertebrata yang lemah tanpa faedah.
Mengenai hal ini, Fakhr al-Razi berpendapat bahwa dijadikannya
nyamuk sebagai perumpamaan, merupakan seni Tuhan dalam menjawab
celaan. Orang-orang arab sering menggunakan perumpamaan dalam
percakapan mereka supaya ia lebih memberi kesan kepada makna. Berkaitan
dengan hewan-hewan kecil seumpama serangga, terdapat perumpamaan yang
telah digunakan dalam kalangan orang Arab sejak zaman-berzaman.8
Allah memberikan perumpamaan dengan menyinggung sesuatu
tertentu, kecil maupun besar, sekalipun hanya membuat perumpamaan dengan
sesuatu yang sangat kecil, seperti nyamuk, lalat dan sejenisnya yang Allah
membuat permisalan dengannya sebagai bukti kelemahan segala yang
disembah selain Allah.9
ت َو ُي ْؤ ِم ۢنْ بِال ٰلّ ِه َف َق ِد ْ ْ َْ َ ُّ ٓاَل اِ ْك َر َاه فِى الدِّيْ ۗ ِن قَ ْد َّتَبيَّ َن
ِ الر ْش ُد ِمن الْغَ ِّي ۚ فَمن يَّ ْك ُفر بِالطَّاغُو
7
Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh,
dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.
Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Terkait dengan ayat ini, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan seorang sahabat Anshar yang memaksa dua anaknya
utntuk masuk Islam. Ibnu Abbas berkata, “ayat ini turun berkenaan dengan
seseorang sahabat anshar bernama hushain yang memaksa dua anaknya yang
beragama nasrani untuk masuk islam. Namun, mereka menolak”.
Berikut paparan Ibnu Katsir terkait dengan QS Al-Baqarah ayat 256
yang dikutip dari kitab Lubaabut Tafsir Min Ibnui Katsiir yang ditahqiq (teliti)
oleh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh
yang diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M. Allah berfirman ٓاَل اِ ْك َراهَ فِى ال ِّد ْي ۗ ِن
“tidak ada paksaan untuk memasuki agama” Maksudnya, janganlah kalian
memaksa seseorang memeluk agama Islam. Karena sesungguhnya dalil-dalil
dan bukti-bukti sudah sedemikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada
pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluknya. Dan barang siapa yang
dibutakan hatinya oleh Allah Ta‟ala, dikunci mati pendengaran dan
pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan
untuk memeluk agama Islam Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya
ayat ini adalah berkenaan dengan beberapa kaum anshar, meskipun hukumnya
berlaku umum.10
Dalam penafsiran Hamka terhadap ayat ini menjelaskan korelasi dengan
ayat sebelumnya yang dikenal sebagai ayat kursi. Ayat 255 (Ayatul Kursi)
menjelaskan inti sari dari ajaran Islam yaitu tauhid. Kemudian makna daripada
tauhid tersebut meliputi makna ketuhanan seluruhnya yang sesuai dengan fitrah
manusia. Maka dari itu, jika hati seorang manusia tulus dan ikhlas yang tidak
dipengaruhi oleh taklid terhadap nenek moyang atau dari paksaan para pemuka
agama dalam melakukan dogmatisasi, maka dengan sendirinya akan menerima
pesan dari ayat kursi tersebut, sehingga tidak perlu adanya paksaan karena
sudah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat.
10
Iqbal Amar Muzaki, “Pendidikan Toleransi Menurut Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 Perspektif Ibnu Katsier,”
Jurnal Wahana Karya Ilmiah 3, no. 2 (2019): 412.
8
Menurut Hamka agama Islam memberi orang kesempatan untuk
menggunakan pikirannya secara murni untuk mencari kebenaran. Jika
seseorang membebaskan dirinya dari taklid dan pengaruh hawa nafsu, niscaya
dia akan bertemu dengan kebenaran. Suasana tersebut tidak bisa dilakukan
dengan paksa, harus melalui keinsafan diri.11
BAB III
PENUTUP
Dewi Nurmasari Pane, Miftah EL Fikri, dan Husni Muharram Ritonga, “済無 No Title No Title,” Journal of
11
9
Kesimpulan
Melakukan dakwah sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah,
memang sangatlah berat. Namun demikian seorang dai harus melakukan sesuai
dengan kemampuannya masing-masing. Islam yang kita anut merupakan
agama yang paling mulia sehingga harus melakukan amar-makruf nahi
mungkar dimana saja dan kapan saja, termasuk terhadap pemimpin kita yang
dianggap menyimpang.
Metode dakwah yang dipraktekkan dari masa ke masa secara
subtansilnya tidak berbeda. Namun secara teknis metode dan strategi dakwah
saat ini cenderung mengikuti perkembangan zaman. Dalam pandungan dunia
global ini fenomena dakwah semakin menarik untuk dikaji dan akhirnya
metode dakwahpun dipraktekkan sesuai dengan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Mangsur, Mochamad. “Metode Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al Quran Surat Al Maidah
Ayat 67 Dan Al Nahl Ayat 125 (Kajian Tafsir Al Misbah)” 125 (2015): 114.
http://perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/7868265430.pdf.
Moeniri, Syahida Yasya. “Like Islam Project, Strategi Dakwah Masa Kini.” Dirosat : Journal
of Islamic Studies 2, no. 1 (2017): 59. https://doi.org/10.28944/dirosat.v2i1.66.
Muzaki, Iqbal Amar. “Pendidikan Toleransi Menurut Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 Perspektif
Ibnu Katsier.” Jurnal Wahana Karya Ilmiah 3, no. 2 (2019): 405–15.
Pane, Dewi Nurmasari, Miftah EL Fikri, dan Husni Muharram Ritonga. “済無 No Title No
Title.” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2018): 1689–99.
S.Ag., ME, Hatmansyah,. “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo.” Al-Hiwar : Jurnal Ilmu
dan Teknik Dakwah 3, no. 5 (2017). https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.
Udin, Muhammad Diak, dan Metode Dakwah. “Muhammad Diak Udin Abstrak” 1, no. 2
(2019): 94–110.
Usman, Abdul Rani. “Metode dakwah kontemporer.” Jurnal Al Bayan 19, no. 28 (2013): 109–
18.
11