Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN, SUMBER

DAN LANDASAN METODOLOGI DAKWAH

(MAKALAH INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


METODOLOGI DAKWAH)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. VEGY JULIANDARI (1920501036)


2. HERIO MELLIUS (1920501040)

DOSEN PENGAMPU : DR. SELVIA ASSOBURU, M.HUM

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang ........................................................................................ iii
2. Rumusan masalah ................................................................................... iv
3. Tujuan ..................................................................................................... iv

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian metodologi dakwah .............................................................. 5
2. Apa saja sumber dan landasan metodologi dakwah ............................ 7

BAB III PENUTUP


Kesimpulan .......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah ajaran Allah yang sempurna dan diturunkan untuk mengatur
kehidupan individu dan masyarakat. Akan tetapi, kesempurnaan ajaran islam
hanya merupakan ide dan angan-angan saja jika ajaran yang baik itu tidak
disampaikan kepada manusia. Lebih-lebih jika ajaran itu tidak diamalkan dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, dakwah merupakan suatu aktivitas yang
sangat penting dalam keseluruhan ajaran islam. Dengan dakwah, islam dapat
diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh manusia dari generasi ke generasi
berikutnya. Sebaliknya, tanpa dakwah terputuslah generasi manusia yang
mengamalkan islam dan selanjutnya islam akan lenyap dari permukaan bumi. .
Dakwah islam bertugas memfungsikan kembali indra keagamaan manusia
yang memang telah menjadi fikri asalnya, agar mereka dapat menghayati tujuan
hidup yang sebenarnya untuk berbakti kepada Allah. Sayid qutub mengatakan
bahwa (risalah) atau dakwah islam ialah mengajak semua orang untuk tunduk
kepada Allah Swt. Taat kepada Rosul. Dan yakin akan hari akhirat. Sasarannya
adalah mengeluarkan manusia menuju penyembahan dan penyerahan seluruh
jiwa raga kepada Allah Swt. Dari kesempitan dunia ke alam yang lurus dan dari
penindasan agama-agama lain sudahlah nyata dan usaha-usaha memahaminya
semakin mudah sebaliknya, kebatilan sudah semakin tampak serta akibat-
akibatnya sudah dirasakan di mana-mana. Dengan demikian dakwah yang
menjadi tanggung jawa kaum muslimin adalah bertugas menuntun manusia ke
alam terang, jalan kebenaran dan mengeluarkan manusia yang berada dalam
kegelapan kedalam penuh cahaya.
Dari uraian di atas, maka dapat disebutkan fungsi dakwah adalah: Dakwah
berfungsi untuk menyebarkan islam kepada manusia sebagai individu dan
masyarakat sehingga mereka merasakan rahmat islam sebagai Rahmatan Lil
„Alamin bagi seluruh makhluk Allah SWT. Dakwah berfungsi melestarikan nilai-
nilai islam dari generasi ke generasi kaum muslimin berikutnya sehingga
kelangsungan ajaran islam beserta pemeluknyadari generasi ke generasi

iii
berikutnya tidak terputus. Dakwah berfungsi korektif artinya meluruskan akhlak
yang bengkok, mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari
kegelapan rohani.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan metodologi dakwah
2. Apa saja sumber dan landasan dalam metodologi dakwah

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian metodologi dakwah
2. Untuk mengetahui sumber dan landasan metodologi dakwah

iv
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Metode Dakwah
1. Defenisi Metodologi Dakwah
Menurut Abdul Karim Munsyi dalam Soiman secara etimologi, kata
metode berasal dari bahasa Latin “methodus” yang berarti “cara”. Dalam bahasa
Yunani, methodos berarti “cara, jalan”. Maksudnya adalah suatu cara atau jalan
yang bisa ditempuh untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi, juga dapat
diartikan sebagai “suatu cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai/
menyelesaikan suatu tujuan, rencana, sistem dan tata fikir manusia”. Dalam
bahasa Arab, metode disebut dengan uslub artinya cara, metode, atau seni.
Berbeda dengan metode, metodologi secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani, yakni dari kata “metodos” yang berarti cara, dan “logos” artinya ilmu.
Adapun secara semantic metodologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dengan hasil
yang efektif dan efisien.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dakwah berarti penyiaran
;propaganda; penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat;
seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.
Kata dakwah menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata ‫( دعا‬da’a)- ‫(يدعؤ‬yad’uw)- ‫( دعؤة‬da’watan). Kata tersebut mempunyai makna
menyeru, memanggil, mengajak dan melayani. Selain itu, juga bermakna
mengundang, menuntun dan menghasung. Sementara dalam perintah atau fiil
amr, yaitu ud‟u yang berarti ajaklah dan serulah. Dalam konteks terminologi,
dakwah diartikan upaya aktivitas individu untuk mengajak orang lain untuk
mayakini dan mengamalkan ajaran Islam dalam keidupan sehari-hari.
Menurut M. Arifin buku Abdullah, dakwah mengandung pengertian
sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan
sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha memengaruhi
orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul
dalam dirinya suatu pengertian,kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan,
terhadap ajaran agama sebagaimessageyang disampaikan kepadanya tanpa ada
unsur paksaan.
Menurut Ahmad Subandi dalam Abdullah, ilmu dakwah adalah suatu
pengetahuan mengenai alternatif-alternatif dan sarana-sarana terbuka bagi
terlaksananya komunikasi mengajak dan memanggil umat manusia kepada agama
Islam, memberi informasi mengenai amar makruf nahi mugkar agar dapat tercapai
kebahagiaan di dunia dan diakhirat, dan supaya terlaksana ketentuan Allah
menyiksa orang yang menolak dan menganugrahkan pahala bagi orang yang
beriman dengan pesan komunikasi tersebut.
Adapun menurut Amrullah Ahmad, ilmu dakwah adalah kumpulan
pengetahuan yang berasal dari Allah yang dikembangkan umat Islam dalam
susunan yang sistematis dan terorganisir mengenai manhaj melaksanakan
kewajban dakwah dengan tujuan berikhtiar mewujudkan khairul ummah.Dengan
demikian, metodologi dakwah merupakan pengetahuan yang yang mempelajari
cara-cara berdakwah untuk mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien,
yakni membentuk manusia muslim sesuai dengan yang dikehendaki oleh tujuan
dakwah Islamiyah.1

2. Sumber Metode Dakwah


Sumber dan landasan pokok metode dakwah ialah Alquran, sunnah Rasul,
sejarah hidup para sahabat, pendapat dan pandangan para ahli, serta pengalaman
juru dakwah di saat melaksanakan dakwahnya.
1. Sumber dan Landasan Metodologi Dakwah dari Al-Quran
Surat An-Nahl: 125

ِ ِ ِ ‫اا مْة عظِ ةَ ِ ا ِْح‬ ِ ‫ادْع إِ َلى ب يِِ ِ بِِ َ ِلا ِْحِ ْم ة‬
َ َِّ‫ن ُن ۖ إِ نَّ َب‬ ْ ‫ن ةَ ۖ َا َج اد ْْلُ ْم ِلا مَّ ِِت ه َي‬
َ ‫أَح‬ ََ َْ َ َ َّ َ ُ
‫ين‬ ِ ِ ِ‫ض َّ ظ ن ب يِ ِلِ ه‬ ِ
َ ‫ۖ َا ُه َع أَظْ لَ مُ لا مْ ُة ْه تَد‬ َ ْ َ َ ‫ُه َع أَظْ لَ مُ ِبَ ْن‬

1
Wahidin Saputra,Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Raja Gerafindo Persada, 2012),
hal 242

6
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(An-Nahl: 125)[2]

a. Tafsiran Al-Qur‟an
ْ hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala
Kata (‫)ال ِح ْك َم ِة‬
sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau
tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan
sebagai sesuatau yang bila digunakan /diperhatikan akan mendatangkan
kemashalatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi
terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik
dari kata Hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi
hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginka n, atau menjadi liar.
Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah.
Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai
hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana).
Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah
yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Thahir
ibn „asyur menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpuna segala ucapan
atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan
manusia secara bersinambung. Thabathaba‟i mengutip ar-raghib al-ashfahani
yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena
kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian hikmah adalah argumen
yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung
kelemahan tidak juga kekaburan.

َ ‫ ) َۖ ْال َم ْو ِع‬al-mau‟izhah terambil dari kata wa‟azha yang berarti nasehat.


b. Kata (‫ظ ِة‬
Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar pada kebaikan.
Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedang kata ( ‫ ) َۖ َجاد ِْل ُه ْم‬jadilhum

7
terambil dari kata jidal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang
mematahkan alasan atau dalil mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat
bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya
oleh mitra bicara.
Ditemukan di atas, bahwa mau‟izhah hendaknya disampaikan dengan
hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata `|¡ômr& ahsan/yang
terbaik, bukan sekadar yang baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak
disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau‟izhah ada yang baik dan ada
yang tidak baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang
buruk.
2. Sunnah Rasul
Pedoman utama yang tidak dapat berubah serta dinamis adalah Alquran
dan Sunnah atau Hadis. karena secara epistemologis Hadis dipandang oleh
mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, sebab
Hadis merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat Alquran yang masih mujmal
(global), (umum) dan mutlaq atau tanpa batasan. Dapat disimpulkan bahwa
Hadis dari Rasulullah berfungsi sebagai pendukung dari firman Allah yang
terkodifikasi di dalam Alquran.
Sehingga dari penjelasan tersebut Hadis dapat menjadi landasan metode
dakwah. Hal ini berdasarkan keterangan dari Allah SWT yang tertera di dalam
Alquran surah al-Ahzab ayat 21 yang menyatakan: “Sungguh terdapat di dalam
diri Rasulullah teladan yang baik bagimu…” sehingga setiap aktivitas dakwah
harus dirancang serta dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan
berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah dalam melaksanakan dakwah.
1. Dakwah bil-yadi
Dakwah dengan tangan (bil-yadi) dapat diinterpretasikan sebagai bentuk
dakwah dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan, dapat juga diartikan
sebagai kemampuan (ability) seseorang dalam menyampaikan ajaran Islam.
Selain itu, dapat juga diartikan sebagai bentuk dakwah dengan menggunakan

8
kekuasaan, seperti berdakwah di tengah kalangan pemerintah atau berdakwah
dengan kekuasaan yang dimiliki.
Hal tersebut dapat berupa ikut serta secara aktif dalam kegiatan
penyuluhan masyarakat dalam melawan fenomena penyimpangan dan tindak
pidana melalui jalur khusus di dalam setiap wilayah pemerintahan, atau
mendirikan sektor khusus di pemerintahan yang bertugas memberikan
pengarahan dan penyuluhan agama kepada masyarakat, serta mengoptimalkan
peran menjadi seorang da‟i yang berjuang di jalan Allah.
Memahami kalimat “hikmah” yang terdapat di dalam surah an-Nahl ayat
125, jika dihubungkan dengan interpretasi terhadap dakwah bil-yadi dapat
dikategorikan dengan hikmah yang dimaksud di dalam Alquran, dengan konteks
bahwa hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan
suatu perbuatan. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami makna kebijaksanaan
atau hikmah yang dimaksud adalah bentuk nyata di dalam perbuatan seseorang.
2. Dakwah bil-lisan
Secara umum, dakwah dipahami hanya dalam bentuk dakwah bil-lisan,
karena itu istilah dakwah yang menjadi asumsi masyarakat adalah dalam bentuk
penyampaian lidah atau ucapan di masjid-masjid, pengajian, dan sebagainya. Hal
ini menyebabkan ruang lingkup pemahaman masyarakat terhadap dakwah
menjadi sempit, karena makna dakwah sendiri tidak hanya dalam bentuk ucapan,
dan ucapan merupakan salah satu bentuk dari metode dakwah.

Dakwah yang sering dilakukan Rasulullah dalam konteks sejarah adalah


dakwah bil-lisan untuk menyampaikan risalah Islam, baik dengan metode
ceramah, khutbah, diskusi, nasehat, dan sebagainya. Ahmad Janawi memaparkan
metode dialog yang juga pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap pemeluk
agama Yahudi, Nasrani, dan agama lainnya dengan berbagai hal.2
Sebagai contoh ketika beliau berbicara dengan orang Nasrani Najran yang
berjumlah 60 orang yang dipimpin oleh al-Sayyid dan al-„Aqib mengenai
persoalan Nabi Isa as, Rasulullah mengatakan kepada mereka bahwa Nabi Isa

2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 384

9
bukan anak Allah, kemudian mereka membantah dengan memberikan
pertanyaan, “siapa ayah Isa?” tetapi Rasulullah memberikan gambaran bahwa
Allah itu tidak akan mati dan tetap hidup, sedangkan Isa tidak seperti itu.
Allah itu pemberi rizki dan pencipta segala sesuatu, sedangkan Isa tidak,
Rasulullah juga memberikan penjelasan bahwa Isa dikandung oleh seorang ibu
seperti ibu lainnya, sehingga secara logika seorang ayah akan mempunyai
kemiripan dengan ayahnya, sedangkan Isa tidak seperti itu, dengan penjelasan
tersebut orang Nasrani Najran tersebut dapat menerima dan akhirnya masuk
Islam dengan perdamaian.
Dakwah dengan menggunakan metode dialog seperti yang dilakukan
Rasulullah dapat dikaitkan dengan metode mujadalah (berdiskusi) yang terdapat
di dalam surah an-Nahl 125, selain itu dakwah bil-lisan dapat berbentuk hal lain
yang mempunyai tujuan yang sama meskipun dengan pelaksanaan yang sedikit
berbeda, seperti dialog interaktif, atau yang sejenisnya.
Seorang da‟i harus berbicara dengan gaya bahasa yang menimbulkan
kesan di dalam hati para mad‟u (obyek dakwah), sehingga agar tidak terdapat
kesalahan dalam berbicara yang menyebabkan kegagalan dalam penyampaian
pesan-pesan dakwah, diperlukan untuk memperhatikan empat hal sebagai
berikut: Memilih kata-kata yang baik; Meletakkan pembicaraan tepat pada
tempatnya dan mencari kesempatan yang benar, Berbicara dengan pembicaraan
sekedar keperluan; dan Memilih kata-kata yang akan dibicarakan.
3. Dakwah bil-qalb
Abdullah Gymnastiar menyatakan bahwa salah satu potensi di dalam diri
manusia yang tidak setiap orang dapat mengembangkan dengan baik adalah hati,
hati membuat otak cerdas menjadi mulia serta badan yang kuat menjadi mulia,
dan dengan hati orang yang tidak berdaya menjadi mulia, sehingga hati yang
bersih memberikan pengaruh terhadap pola berfikir manusia (Gymnastiar, 2005:
5).
Di dalam redaksi Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim yang
menyatakan bahwa apabila tidak mampu mencegah kemunkaran dengan tangan
atau lidah, maka dengan hati dan hal tersebut merupakan bentuk lemahnya iman.

10
Pemahaman tersebut dapat dianalisa alasan mengapa berdakwah dengan hati
dikategorikan sebagai bentuk lemahnya iman.
Sebagian para pakar mengkategorikan dakwah bil-qalb dalam bentuk
dakwah bil-hal (dengan perilaku), hal ini didasarkan karena dakwah tidak harus
selalu dengan kata-kata, karena dari sekian banyak permasalahan ternyata
solusinya tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan memberikan teladan yang
baik, karena perbuatan seorang da‟i adalah salah satu bentuk dakwah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diam dapat menjadi solusi pada
kondisi yang tertentu, Rasulullah bersabda di dalam redaksi Hadis yang
dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif (lemah), kemudian dia
membenarkan bahwa Hadis ini bernilai mauquf dari ucapan Luqman Hakim,
redaksi Hadis yang memuat Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
“Dari Anas berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: diam itu suatu
kebijaksanaan, tetapi sedikit orang yang melakukannya.”
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang yang menyaksikan suatu kesalahan
(dosa) lalu membencinya dengan hatinya, maka dia sama dengan orang yang
tidak menyaksikan perbuatan itu apabila dia tidak mampu mencegah dengan
tangan atau lidahnya. Dan apabila dia menyaksikan perbuatan dosa atau
kesalahan itu kemudian dia membiarkannya, maka orang tersebut sama seperti
orang yang menyaksikan perbuatan tersebut dan mampu untuk mencegah
perbuatan tersebut tetapi tidak dilakukannya.
Diam juga bisa menjadi faktor penyebab gagalnya dakwah, hal ini karena
diam dapat bermacam-macam, diam yang dapat menjadikan gagalnya dakwah
adalah diam yang disebabkan oleh penyakit futūr, oleh Sayyid M. Nuh
menjelaskan dengan mengutip dari kitab lisan al-arab bahwa futūr berasal dari
kata fatara yang berarti sikap berdiam diri setelah sebelumnya giat atau menjadi
lemah setelah sebelumnya kuat, sedangkan menurut istilah pengertiannya adalah
penyakit hati atau rohani yang efeknya menimbulkan rasa malas untuk
melakukan sesuatu yang sebelumnya sering dilakukan.
Sehingga dapat dipahami bahwa maksud dari Hadis Nabi yang
menyatakan bahwa mencegah suatu kemunkaran dengan hati adalah bentuk

11
lemahnya iman dipandang dari sudut negatif, sehingga kriteria mencegah dengan
hati masih dapat dimaklumi, karena dari berbagai kriteria tertentu diam dapat
menjadi solusi untuk memecahkan masalah, dan diam juga dapat menjadi
penyebab gagalnya dakwah, sehingga hal ini yang dimaksud oleh Rasulullah
sebagai bentuk lemahnya iman.
Di dalam sebuah riwayat, Abu Juhaifah berkata bahwa Ali r.a berkata:
“sesungguhnya yang pertama mengalahkan kamu di dalam jihad adalah jihad
dengan tangan, kemudian lidah dan terakhir dengan hati, maka orang yang
hatinya tidak mengenal kebaikan dan tidak menolak keburukan, maka dia akan
dibalik dimana bagian atas dijadikan bagian bawah.

3. Sejarah hidup para sahabat


Dalam sejarah hidup para sahabat besar dan para tabi‟in cukuplah
memberikan contoh yang berguna bagi juru dakwah. Karena mereka adalah
orang–orang yang lebih tahu tentang ajaran agama dan ahli dalam berdakwah
serta berbagai pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi pengembangan
dakwah Islam.

4. Pendapat Para Ahli


Ahli disini adalah mufassir, muhaditsin, dan fukaha. Fukaha adalah orang
yang ahli dalam menggali hukum Islam dari sumber-sumber atau dalil-dalil
syariat Islam. Adapun mufasir adalah orang yang ahli dalam menafsirkan ayat-
ayat tentang metode dakwah. Adapun muhaditsin adalah ahli hadits, yakni
mereka yang ahli dan menekuni bidang kajian ilmu hadits untuk menggali
berbagai hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan kegiatan dakwah Islam,
termasuk didalamnya tentang cara berdakwahnya Rasulullah saw.
Memahami metode dakwah yang tercantum di dalam Hadis Rasulullah
yang banyak membahas masalah kewajiban untuk mencegah kemunkaran,
menurut pandangan para ahli diperlukan pemahaman terhadap obyek dakwah
atau masyarakat itu sendiri, karena efek yang terjadi pada obyek dakwah
merupakan indikator atau dapat dikatakan sebagai tolak ukur kesuksesan

12
dakwah, sehingga beberapa ahli memberikan beberapa pendapat di antaranya
sebagai berikut:

1. Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Apakah kamu suka bahwa Allah dan
rasul-Nya didustai orang, berbicaralah kepada manusia dengan
pengetahuan dan tinggalkanlah sesuatu yang membuat mereka ingkar.”
2. Ali Mahfuz di dalam bukunya yang berjudul hidayah al-mursyidin,
menyatakan: “Tukarlah setiap orang itu sesuai dengan ukuran akalnya dan
timbanglah dia sesuai dengan bobot pemahamannya.”
3. M. Natsir menyatakan bahwa akan sulit bagi seorang muballigh
mencernakan isi dan cara berdakwah yang tepat apabila dia tidak lebih
dahulu mengetahui corak, sifat, tingkat kecerdasan, kepercayaan yang
tradisional dan aliran-aliran dari luar yang mempengaruhi masyarakat yang
sedang dihadapinya.
4. M. Isa Anshary memberikan pendapat bahwa tanpa mengenal
masyarakat, tidak ada gunanya sama sekali segala buku yang telah dibaca
setiap hari, karena ilmu yang banyak dan pengetahuan yang luas tidak akan
berguna apabila buku atau pengetahuan tentang masyarakat yang
berkembang setiap hari tidak dipelajari.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sangat
penting bagi seorang da‟i untuk mengenal masyarakat selaku obyek dakwah,
sehingga kesuksesan dakwah yang disampaikan tergantung kepada pemilihan
metode yang tepat dengan berlandaskan pengetahuan terhadap obyek dakwah
yang beraneka ragam.
Dari beberapa pendapat tersebut menjadikan keharusan dalam pelaksanaan
dakwah diperlukan pemilihan metode yang tepat dan relevan dengan keadaan
mad‟u, sehingga apa yang menjadi tujuan dakwah islamiyah dapat terwujud.
Metode dakwah merupakan salah satu unsur yang menentukan dalam

13
keberhasilan dakwah, penyesuaian dan pemilihan metode yang tepat memberikan
stimulant terhadap kesuksesan dakwah.3

5. Pengalaman Da‟i
Pengalaman juru dakwah merupakan kumpulan hasil interaksinya dengan
orang banyak, merupakan penerapan teori-teori yang diapahaminya dari sumber-
sumber terdahulu. Setiap juru dakwah hendaklah mampu memanfaatkan
pengalamannya dan pengalaman orang lain dalam menerapkan berbagai metode
dakwah.

3
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
halm. 55 dan M. Mashyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta: 1997, Al amin
Press), halm. 8

14
DAFTAR PUSTAKA

M. Mashyhur Amin.1997. Dakwah Islam dan Pesan Moral. Jakarta: Al amin


Press
M. Quraish Shihab.2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
Siti Muriah.2000. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Wahidin Saputra.2012. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Raja Gerafindo
Persada

15

Anda mungkin juga menyukai