Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TAFSIR AYAT DAKWAH


TUJUAN DAKWAH

( Q,S AT–TAHRIM : 6 & Q.S AR-RAD : 11)

Dosen Pengampu : Khairullah, S.Ag, MA.

Disusun Oleh :
Kelompok 3 KPI-E
Euis Astrid Khofifah (2141010155)
Helga Malya Razita (2141010166)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN RADEN INTEN LAMPUNG
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang kami harapkan. Kami
juga berterima kasih kepada Bapak Khairullah, S.Ag, MA. selaku Dosen
Pengampu mata kuliah Tafsir Ayat Dakwah kami. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat Dakwah . Selain itu, makalah ini juga
dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang Tafsir Al-Qur’an
maupun Dakwah.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bisa membangun selalu kami
harapkan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu dan Teman-
teman yang telah berperan serta membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu meridhai setiap kegiatan kita. Aamiin.

Bandar Lampung, 01 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………………… 1
1.3. Tujuan Penulisan…………………………………………………..1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….. 2
2.1. Pengertian Dakwah…………………….…………………………. 2
2.2. Tujuan Dakwah…………………………………………………… 2
2.3. Tujuan Dakwah Berdasarkan Q.S At-Tahrim: 6…………………. 4
2.3.1 Asbab an-Nuzul………………………………………………..4
2.3.2 Penjelasan dan Tafsir Ayat…………………………………….4
2.3.3 Kandungan Ayat tentang Tujuan Dakwah…………………….6
2.4. Tujuan Dakwah Berdasaran Q.S Ar-Rad: 11………………….…. 7
2.4.1 Asbab an-Nuzul………………………………………………..8
2.4.2 Penjelasan dan Tafsir Ayat…………………………………….9
2.4.3 Kandungan Ayat tentang Tujuan Dakwah…………………….11

BAB III PENUTUP………………………………………………………...14


Simpulan……………………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keinginan melaksanakan dakwah bukan hanya sebagai bentuk kesadaran
dan tanggungjawab seorang muslim terhadap agamanya, lebih jauh lagi
merupakan konsekuensi dari pemahaman terhadap perintah Allah dan Rasul-
Nya yang terdapat dalam teks-teks ayat suci yang tertuang dalam al-Qur’an
dan al-hadits.
Dakwah adalah usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan
bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh da’i. Dakwah bukan hanya
sekedar menasehati, tapi juga bermaksud untuk mempersuasi seseorang agar
berubah menjadi individu yang lebih baik. Perintah untuk berdakwah
bukanlah sembarang perintah melainkan tertulis dengan jelas dalam al-Qur’an.
Tak hanya perintah untuk berdakwah, definisi hingga tujuan dakwah pun telah
dijelaskan serinci mungkin.
Salah satu tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar kita mengetahui apa
saja tujuan dakwah berdasarkan ayat-ayat Allah, khususnya berdasarkan Q.S
At-Tahrim : 6 dan Q.S Ar-Rad : 11.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Dakwah ?
2. Apa saja tujuan Dakwah ?
3. Apa saja dan bagaimana tujuan Dakwah berdasarkan Q.S At-Tahrim: 6?
4. Apa saja dan bagaimana tujuan Dakwah berdasarkan Q.S Ar-Rad: 11?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan definisi Dakwah.
2. Menjelaskan tujuan Dakwah.
3. Menjelaskan tujuan Dakwah berdasarkan Q.S At-Tahrim: 6.
4. Menjelaskan tujuan Dakwah berdasarkan Q.S Ar-Rad: 11.
5. Memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Dakwah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Dakwah.


Secara etimologis, kata dakwah berasal dari kata bahasa Arab ‫دعوة‬-‫يدعو‬-‫دعا‬
yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, mengundang (Mahmud Yunus,
1973: 127).
Kata dakwah secara etimologis terkadang digunakan dalam arti mengajak
kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah swt, para Nabi dan Rasul serta
orang-orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula
diartikan mengajak kepada keburukan yang pelakunya adalah syaitan. 1
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kata
dakwah adalah penyiaran; propaganda, penyiaran agama dan pengembangannya
di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan
ajaran agama. Jadi dapat diartikan bahwa dakwah merupakan salah satu bentuk
kegiatan agama untuk menyebarkan ajaran agama tersebut.
Jadi dapat dipahami bahwa dakwah merupakan suatu usaha memindahkan
umat dari situasi negatif kepada yang positif. Seperti dari situasi kekufuran
kepada keimanan, dari kemelaratan kepada kemakmuran, dari perpecahan
kepada persatuan, dari kemaksiatan kepada ketaatan untuk mencapai keridaan
Allah, semuanya itu termasuk dalam pengertian dakwah. 2

2.2. Tujuan Dakwah


Telah cukup banyak rumusan tujuan dakwah yang dikemukakan para
pakar dakwah. Tujuan-tujuan ini tampaknya berbeda satu sama lain
disebabkan perbedaan tinjauan dalam mencermati dakwah itu sendiri baik
berdasarkan pola dan model dakwah, ataaupun dari segi metode, strategi, dan
pendekatan dakwah. Semua itu tergantung pada perspektif masing-masing
pakar.
Dalam pandangan M. Syafaat Habib, tujuan utama dakwah adalah akhlak
yang mulia (akhlâq al-karîmah). Tujuan ini, menurutnya, paralel dengan misi

1
Dr. M. Qadaruddin Abdullah, Pengantar Ilmu Dakwah, (Pasuruan: Qiara Media, 2019)
2
Ibid

2
diutusnya Nabi Muhammad SAW. yaitu untuk menyempurnakan akhlak.
Berdasarkan hadis “innamâ bu‘itstu li utammima makârim al-akhlâq” (aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). 3 Dengan akhlak yang mulia ini,
manusia akan menyadari fungsinya sebagai manusia, yakni abdi atau hamba
Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya akan berbakti kepada-Nya, mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, kemudian menegakkan
prinsip “amar ma’rûf nahy al-munkar”.4
Sedangkan Jamaluddin Kafie mengklasifikasi tujuan dakwah ke dalam
beberapa tujuan. Pertama. Tujuan hakiki yaitu mengajak manusia untuk
mengenal Tuhannya dan mempercayai-Nya sekaligus mengikuti jalan
petunjuk-Nya. Kedua. Tujuan umum, yaitu menyeru manusia untuk
mengindahkan dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Ketiga. Tujuan
khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu tatanan masyarakat Islam yang
utuh (kâffah).5
Tidak seperti Kafie, Abdul Rosyad Saleh membagi tujuan dakwah ke
dalam dua bagian yaitu tujuan utama dan tujuan departemental. Tujuan
pertama adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan kedua adalah nilai-nilai
yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai Allah
SWT. sesuai dengan bidangnya. 6 Tujuan pertama ini sejalan dengan rumusan
pengertian dakwah yang diajukan oleh Syaikh ’Alî Mahfûzh bahwa dakwah
adalah “mengharuskan manusia melakukan kebaikan dan petunjuk
memerintahkan yang ma’rûf dan mencegah yang munkar untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.”7
Mungkin beberapa pakar tersebut dapat kita pahami pendapatnya
mengenai apa saja dan bagaimana tujuan dakwah. Tidak hanya pendapat
pakar, tujuan dakwah pun dapat dilihat dari perspektif al-Qur’an seperti Q.S
At-Tahrim: 6 dan Q.S Ar-Rad: 11 yang akan kami bahas.

3
M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1982)
4
Ibid
5
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya: Offset Indah,
1993)
6
A. Hasymi, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
7
Syaikh ‘Alî Mahfûzh, Hidayat al-Mursyidîn (Kairo: Dâr al-Kutub al-’Arâbîyyah, t t.)

3
2.3. Tujuan Dakwah Berdasarkan Q.S At-Tahrim: 6
ٰۤ
‫علَ ْي َها َمل ِٕى َكةٌ غ ََِلظٌ ِشدَاد ٌ ََّّل‬ َ ‫اس َو ْالحِ َج‬
َ ُ ‫ارة‬ ُ َّ‫َارا َّوقُ ْودُهَا الن‬ َ ُ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا قُ ْٰٓوا ا َ ْنف‬
ً ‫سكُ ْم َوا َ ْه ِل ْيكُ ْم ن‬
َ‫ّٰللا َما ٰٓ ا َ َم َرهُ ْم َويَ ْفعَلُ ْونَ َما يُ ْؤ َم ُر ْون‬
َ ‫ص ْونَ ه‬
ُ ‫يَ ْع‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (Q.S at-tahrim:6)

2.3.1 Asbab an-Nuzul


Surah ini turun berkaitan dengan janji Nabi kepada istri beliau
Hafshafi untuk tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak terlarang
beliau lakukan, dan yang tujuannya adalah menyenangkan hati istri-istri
beliau. Tema utamanya menurut Ibn ‘Asyur adalah tuntunan agar
seseorang tidak menghalangi dirinya melakukan sesuatu yang dibenarkan
Allah hanya dengan alasan untuk menyenangkan pihak lain, karena hal
tersebut bukanlah kemaslahatan baginya dan bagi orang lain itu.
Menurut al-Biqa’i, tujuannya adalah dorongan untuk selalu
memperhatikan sopan santun kepada Allah dan Rasul serta seluruh hamba-
hamba Allah. Ia juga mengajak untuk berprilaku sesuai tuntunan agama
yakni berinteraksi dengan baik, khususnya dengan wanita, yakni dengan
meneladani Nabi saw. dalam tata krama pergaulannya dan keharmonisan
hubungannya. Ia juga mengandung penjelasan tentang etika agama dalam
pergaulan yakni sekali dengan kesabaran dan lemah lembut dan di kali lain
pada tempatnya dengan keras dan tegas. Namanya at-Tahrim dan an-
Nabiy mengisyaratkan tujuan utama tersbut.8

2.3.2 Penjelasan dan Tafsir Ayat


Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka,” yaitu kamu perintahkan dirimu
dan keluarganya yang terdiri dari istri, anak, saudara, kerabat, sahaya

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 314

4
wanita dan sahaya laki-laki untuk taat kepada Allah. Dan, kamu larang
dirimu beserta semua orang yang berada di bawah tanggung jawabmu
untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Kamu ajari dan didik
mereka serta pimpin mereka dengan perintah Allah. Kamu perintahkan
mereka untuk melaksanakannya dan kamu bantu mereka dalam
merealisasikannya. Bila kamu melihat ada yang berbuat maksiat kepada
Allah maka cegah dan larang mereka. Ini merupakan kewajiban setiap
muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada di bawah tanggung
jawabnya segala sesuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh Allah
Ta’ala kepada mereka.
Makna ayat di atas sejalan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Saburah bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
‫علَ ْي َها‬
َ ُ‫بوه‬ َ ‫س ْب َع ِسنِيْنَ فَإذَا بَلَ َغ‬
ْ ‫ع ْش َر ِسنِيْنَ فَاض ِْر‬ َ ‫ص ََلةِ إذَا بَلَ َغ‬
َّ ‫ي بِال‬
َّ ِ‫صب‬
َّ ‫ُم ُروا ال‬
“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila telah
mencapai usia tujuh tahun. Bila telah mencapai umur sepuluh tahun,
pukullah mereka bila tidak mau mengerjakannya.”

Telah diriwayatkan, bahwa Umar berkata ketika turun ayat itu,


“Wahai Rasulullah, kita menjaga diri sendiri. Tetapi bagaimana kita
menjaga keluarga kita?” Rasulullah saw. menjawab, “Kamu larang mereka
mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu, dan kamu perintahkan
kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan
antara diri mereka dengan neraka.”
Allah swt. berfirman, “Yang bahan bakaranya adalah manusia dan
batu,” yaitu yang kayu bakarnya terdiri atas manusia dan jin. “Al-Hijarah”
dalam ayat ini ada yang mengatakan sebagai patung-patung yang mereka
disembah. Ibnu Mas’ud dan yang lain mengatakan, “Batu belerang.” Dan
ditambahkan oleh Mujahid, “Batu yang baunya lebih busuk daripada
bangkai.” Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
Firman Allah swt., “Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,”
yaitu yang tabiatnya kasar. Allah telah mencabut dari hati-hati mereka rasa

5
kasih sayang terhadap orang-orang kafir. “Yang keras,” yaitu susunan
tubuh mereka sangat keras, tebal, dan penampilannya yang mengerikan.
Wajah-wajah mereka hitam dan taring-taring mereka menakutkan. Tidak
tersimpan dalam hati masing-masing mereka rasa kasih sayang terhadap
orang-orang kafir, walaupun sebesar biji dzarrah.
Allah berfirman, “Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” Yaitu, mereka tidak pernah menangguhkan bila datang
perintah dari Allah walaupun sekejap mata, padahal mereka bisa saja
melakukan hal itu dan mereka tidak mengenal lelah. Mereka itulah para
malaikat Zabaniah – kita berlindung kepada Allah dari mereka.

2.3.3 Kandungan Ayat tentang Tujuan Dakwah


Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan
harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju
kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada
mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (Ibu dan ayah)
sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan
berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua
orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan
masing- masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu
rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh
hubungan yang harmonis. 9
Bahwa manusia menjadi bahan bakar neraka, dipahami oleh
Thabathaba’i dalam arti manusia terbakar dengan sendirinya. Menurutnya
ini sejalan dengan QS. al-Mu’min [40]: 72.
Malaikat yang disifati dengan gilazh/kasar bukanlah dalam arti
kasar jasmaninya sebagaimana dalam beberapa kitab tafsir, karena
malaikat adalah makhluk-makhluk halus yang tercipta dari cahaya. Atas
dasar ini, kata tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau

9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 327

6
ucapannya. Mereka telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka.
“Hati” mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintisan, tangis atau
permohonan belas kasih, mereka diciptakan Allah dengan sifat sadis, dan
karena itulah mereka syidad/keras yakni makhluk-makhluk yang keras
hatinya dan keras pula perlakuannya10
Dalam surat at-Tahrim ayat enam ini firman Allah ditujukan
kepada orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya kemudian
keluarganya dari siksa api neraka. Ole h karena itu kita diwajibkan untuk
taat kepada-Nya agar kita selamat dari siksa-Nya.
Kalimat perintah dalam ayat ini menggambarkan bahwa sebagai
orang yang beriman, kita wajib berdakwah. Dan kegiatan dakwah tersebut
harus dimulai dari diri sendiri. Setelah kita mampu mengoreksi diri sendiri
dengan pesan-pesan dakwah, maka kita diwajibkan untuk berdakwah
kepada orang lain. Sesuai dengan ayat ini, maka yang harus diutamakan
adalah berdakwah kepada keluarga terdekat terlebih dahulu. Karena
keluarga adalah unsur paling dasar bagi terbentuknya umat. Dan dari umat
tersebut akan terbentuk masyarakat Islam.
Caranya adalah membina diri kita terlebih dahulu dalam
mendalami ajaran-ajaran Islam kemudian setelah kita mampu
melaksanakannya, maka kita wajib mendakwahkan kepada keluarga
terdekat kita mulai dari orang tua, istri, anak, adik, kakak dan karib kerabat,
dan seterusnya. Semua itu adalah tanggung jawab kita. Oleh karena itu,
sebagai orang yang beriman kita tidak boleh pasif.

2.4. Tujuan Dakwah Berdasarkan Q.S Ar-Rad: 11

ٰٓ‫ّٰللا ََّل يُغ َِي ُر َما ِبقَ ْو ٍم َحتهى يُغ َِي ُر ْوا َما ِبا َ ْنفُ ِس ِه ۗ ْم َواِذَا‬ ِ ‫ت م ْۢ ِْن َبي ِْن َيدَ ْي ِه َوم ِْن خ َْلف ِٖه َي ْحفَظُ ْونَهٗ م ِْن ا َ ْم ِر ه‬
َ ‫ّٰللا ۗا َِّن ه‬ ٌ ‫لَهٗ ُم َعقِب‬
‫ّٰللاُ بِقَ ْو ٍم سُ ٰۤ ْو ًءا فَ ََل َم َردَّ لَهٗ َۚو َما لَ ُه ْم م ِْن د ُْون ِٖه م ِْن َّوال‬
‫ا َ َرادَ ه‬

“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran,


dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka

10
Ibid

7
mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S ar-Ra’d: 11)

2.4.1 Asbab an-Nuzul


Asbabun Nuzul ayat ini masih bersangkut paut dengan ayat yang ke
8 sampai ke 13 dan kemudian berhubungan kepada ayat yang ke 31. Yaitu
mengetengahkan sebuah hadits:
Imam Thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis
melalui Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Arbad bin Qais dan Amir bin Thufail
datang ke Madinah menemui Rasulullah saw. Lalu Amir bin Thufail
berkata, "Hai Muhammad! Hadiah apakah yang akan engkau berikan
kepadaku, jika aku masuk Islam?" Rasulullah saw. menjawab, "Engkau
akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh kaum Muslimin
yang lain, dan engkau pun akan menerima seperti apa yang mereka
alami?" Lalu Amir berkata lagi, "Apakah engkau akan menjadikan aku
sebagai penggantimu sesudahmu?" Rasulullah saw. menjawab, "Hal
tersebut bukan untukmu dan bukan untuk kaummu." Lalu mereka berdua
keluar dari majelis Rasulullah saw. Setelah mereka keluar, lalu Amir
berkata kepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri
Muhammad dengan berbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu
tebas dia dengan pedangmu?" Arbad setuju dengan usul tersebut, lalu
keduanya kembali lagi menemui Rasulullah saw. Sesampainya di sana
Amir berkata, "Hai Muhammad! Berdirilah bersamaku, aku akan
berbicara kepadamu." Kemudian Amir berbicara kepadanya, dan Arbad
menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbad meletakkan tangannya
pada pegangan pedangnya, tiba-tiba tangannya lumpuh. Dan Rasulullah
saw. melirik kepadanya serta melihat tingkahnya itu dengan jelas, lalu
beliau berlalu meninggalkan mereka. Maka setelah itu keduanya pergi, dan
ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm, lalu Allah mengutus
halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintar itu
membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya, "Allah mengetahui apa
yang dikandung oleh setiap perempuan..." (Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan

8
firman-Nya, "Dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Ar-
Ra'd 13).11

2.4.2 Penjelasan dan Tafsir Ayat


Q.S ar-Ra’d ayat 11 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya
yang menjelaskan bahwa Allah Maha mengetahui apa yang Nampak dan
apa yang ghaib. Dia mengetahui segala sesuatu baik yang disembunyikan
maupun yang terang-terangan. Keduanya diibaratkan seperti orang yang
bersembunyi di malam yang gelap gulita dan orang yang berjalan di siang
hari bolong. Tidak berbeda sedikit pun pengetahuan-Nya menyangkut
yang jelas dan yang tersembunyi, walau terdapat perbedaan dalam nyata
dan tersembunyinya sesuatu.12
Mengapa siapa-siapa pun tidak bisa menyembunyikannya? Karena
masing-masing dari kita memiliki pengikut-pengikut. yakni malaikat-
malaikat atau makhluk yang selalu mengikutinya secara bergiliran, di
hadapannya dan juga di belakangnya, mereka, yakni para malaikat itu
menjaganya atas perintah Allah. 13
Menurut Shihab M. Quraish (2002: 565) Kata (‫ )المعقبات‬al-
mu'aqqibat adalah bentuk jamak dari kata (‫ )المعقبة‬al-mu‘aqqibah. Kata
tersebut terambil dari kata (‫‘)عقب‬aqib yaitu tumit, dari sini kata tersebut
dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu
meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang
digunakan di sini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah
malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara
sungguh-sungguh.
Kata (‫ )يحفظونه‬yahfadzunahu/memeliharanya dapat dipahami dalam
arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik ketika dia
tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti

11
Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-
Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 317 – 318
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Jilid 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 565
13
Ibid

9
memeliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan
penciptaannya.
Thabathaba’i memahami kata (‫ )من بين يديه و من خلفه‬min bayni
yadaihi wa min khalfihi/di hadapannya dan juga di belakangnya pada ayat
ini dalam arti seluruh totalitas manusia, yakni seluruh arah yang
mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, dan tercakup juga semua
fase kehidupan kejiwaan yang dialaminya, demikian juga kebahagiaan dan
kesengsaraannya, amal-amalnya yang baik dan yang buruk, serta apa yang
disiapkan baginya dari sanksi atau ganjaran. Semua itu, baik yang terjadi
di masa lalu maupun masa datang.
Selanjutnya Thabathaba’i mengingatkan bahwa manusia adalah
makhluk lemah. Allah swt. menyifatinya dengan makhluk yang tidak
memiliki kemampuan untuk menampik mudharat, tidak juga
mendatangkan manfaat, tidak kematian, tidak juga kehidupan atau
kebangkitan. Dia tidak memiliki kemampuan memelihara apa yang
berkaitan dengan dirinya atau dampak-dampaknya baik yang hadir
bersama dia sekarang maupun yang telah lalu. Semua itu hanya dapat
dipelihara oleh Allah swt. karena Allah adalah Hafidz/Maha Pemelihara
(QS. Asy-Syura [42]: 6) dan juga ada petugas-petugas yang ditugaskan-
Nya sebagaimana firman-Nya: dan sesungguhnya atas kamu ada
pengawas-pengawas/pemelihara-pemelihara (QS. al-Infithar [82]: 10).
Seandainya tidak ada apa yang dinamai Allah “mu'aqqibat” maka pastilah
manusia segera mengalami kebinasaan pada dirinya sendiri baik dalam
hal-hal yang berkaitan dengan yang di hadapannya atau yang sedang
terjadi, maupun di belakangnya. Tetapi karena amr Allah/perintah Allah,
yakni karena adanya pemeliharaan atas dasar perintah-Nya untuk
memelihara manusia, maka dia tidak punah. Pemeliharaan itu juga adalah
pemeliharaan dari amr Allah, yakni dari terjadinya kehancuran dan
kebinasaan.
Dari sini Thabathaba’i melihat kaitan yang sangat erat antara
penggalan ayat di atas "mereka menjaganya atas perintah Allah” dengan
penggalan berikutnya yang menyatakan ( ‫)إن ّٰللا َّل يغير ما بقوم حتى يغير ما بأنفسهم‬

10
‘‘Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. ” Dalam arti Allah
menjadikan para mu'aqqibat itu melakukan apa yang ditugaskan
kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas
karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka,
yakni kondisi kejiwaan/sisi dalam mereka seperti mengubah kesyukuran
menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi
penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni'mat (nikmat)
menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan
menjadi kesengsaraan dan seterusnya.
Firman-Nya ‫" وإذا أراد ّٰللا بقوم سوءا فَل مرد له‬Apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya,” adalah penegasan tentang kandungan penggalan
sebelumnya tentang sunnatullah bagi terjadinya perubahan, khususnya dari
positif menjadi negatif. Yakni tidak ada satu kekuatan pun yang dapat
menghalangi berlakunya ketentuan sunnatullah itu. Penggalan ini
menguatkan sekali hakikat yang berulang-ulang ditegaskan oleh al-Qur’an
bahwa segala sesuatu kembali kepada pengaturan Allah dan kehendak-Nya.

2.4.3 Kandungan Ayat tentang Tujuan Dakwah


Seperti yang dijelaskan dalam tafsir ayat ‫إن ّٰللا َّل يغير ما بقوم حتى يغير‬
‫ ما بأنفسهم‬bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat
(kaum) kecuali dia berusaha mengubah kondisinya sendiri. Maka dalam
suatu kaum harus ada penggerak yang berinisiatif untuk mengubah kondisi
kaum tersebut. Dalam artian untuk mengubahnya dari hal negatif ke hal
positif. Yang mampu menasehati, dan memotivasi yang lainnya untuk
melakukan amalan baik.
Tertulis juga dalam Q.S al-Anfal: 53 yang berbunyi :

ۙ‫ذلِكَ بِاَ َّن ه َّٰللا لَ ْم يَكُ ُمغَيِ ًرا نِ ْع َمةً اَ ْن َع َم َها َعلى قَ ْو ٍم َحتهى يُغَيِ ُر ْوا َما بِاَ ْنفُ ِس ِه ْۙ ْم َواَ َّن ه َّٰللا سَمِ ْي ٌع َع ِل ْي ٌم‬

11
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum,
hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”

kedua ayat tersebut berbicara tentang dua pelaku perubahan.


Pelaku yang pertama adalah Allah swt. yang mengubah nikmat yang
dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami
oleh suatu masyarakat, atau katakanlah sisi luar/ lahiriah masyarakat.
Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang
melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua
ayat di atas (‫ ) َما ِبا َ ْنفُ ِس ِه ْۙ ْم‬ma bi anfusihim/apa yang terdapat dalam diri
mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang
diistilahkan oleh ayat di atas dengan (‫ )ما بقوم‬ma bi qaumin menyangkut
banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit,
kemuliaan atau kehinaan, persatuan atau perpecahan dan lain-lain yang
berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu.
Sehingga bisa saja ada di antara anggotanya yang kaya, tetapi jika
mayoritasnya miskin, maka masyarakat tersebut dinamai masyarakat
miskin, demikian seterusnya. 14
kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan
oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh
masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil
akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan
penguasa atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak
berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. 15
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa untuk
membuat suatu masyarakat/kaum menjadi lebih baik perlu ada yang
membawa perubahan tersebut. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan
untuk membawa perubahan tersebut, mulai dari hal kecil, seperti saling
menasehati antar sesama teman dan keluarga, saling mengingatkan jika
14
Ibid
15
Ibid

12
ada yang melakukan suatu perbuatan buruk, dan lain-lain. Semua contoh
perbuatan tersebut merupakan salah satu contoh kecil dari Dakwah. Perlu
kita ketahui bahwa dakwah tak hanya berupa kajian agama seperti
ceramah, tablig akbar, atau majelis ta’lim saja. Contoh-contoh perbuatan
kecil yang telah disebutkan sebelumnya juga merupakan bentuk dari
dakwah. Dakwah tidak hanya berupa lisan namun juga dapat berupa
tulisan, bahkan dengan hati. Berupa tulisan contohnya seperti menulis
buku bertema motivasi yang dapat membuat seseorang menjadi individu
yang lebih baik. Dan dengan hati contohnya kita mendoakan orang
tersebut agar dapat berubah dari kebiasaan buruk yang sering dia lakukan
menjadi sosok individu yang lebih baik. Semua perbuatan baik kecil
ataupun besar yang dapat menasehati, memotivasi, dan membuat
seseorang menjadi lebih baik dapat disebut dengan dakwah.
Berdasarkan ayat tersebut Allah menginginkan suatu kaum untuk
berubah, dan perubahan itu harus dimulai dari diri masing-masing.
Walaupun ada penggerak namun tidak ada keinginan dari diri masing-
masing untuk berubah, hal tersebut tidak akan berhasil dan sia-sia saja.
Jadi kesimpulan dari tujuan dakwah yang terkandung dalam Q.S ar-Rad:
11 ini adalah untuk merubah anfus/sisi dalam setiap individu untuk
menjadi lebih baik. Karena Jika tidak adanya dakwah, tidak ada perubahan
dari setiap individu, tidak ada perubahan dalam suatu kaum, dan Allah
tidak akan merubah kondisi kaum tersebut jika bukan mereka yang
berusaha mengubahnya.

13
BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya semua pendidikan bermula dari rumah. Ayat di atas walau
secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya
tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (Ibu dan
Ayah) untuk mengajarkan dan bertanggung jawab kepada anak-anaknya.
Kalimat perintah dalam ayat ini menggambarkan bahwa sebagai orang
yang beriman, kita wajib berdakwah. Dan kegiatan dakwah tersebut harus dimulai
dari diri sendiri. Setelah kita mampu mengoreksi diri sendiri dengan pesan-pesan
dakwah, maka kita diwajibkan untuk berdakwah kepada orang lain. Sesuai dengan
ayat ini, maka yang harus diutamakan adalah berdakwah kepada keluarga terdekat
terlebih dahulu. Karena keluarga adalah unsur paling dasar bagi terbentuknya
umat. Dan dari umat tersebut akan terbentuk masyarakat Islam.
Seperti yang dijelaskan dalam tafsir ayat ‫إن ّٰللا َّل يغير ما بقوم حتى يغير ما بأنفسهم‬
bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat (kaum) kecuali dia
berusaha mengubah kondisinya sendiri. Maka dalam suatu kaum harus ada
penggerak yang berinisiatif untuk mengubah kondisi kaum tersebut. Dalam artian
untuk mengubahnya dari hal negatif ke hal positif. Yang mampu menasehati, dan
memotivasi yang lainnya untuk melakukan amalan baik.
Perbuatan tersebut merupakan salah satu contoh kecil dari Dakwah.
Berdasarkan ayat tersebut Allah menginginkan suatu kaum untuk berubah, dan
perubahan itu harus dimulai dari diri masing-masing. Walaupun ada penggerak
namun tidak ada keinginan dari diri masing-masing untuk berubah, hal tersebut
tidak akan berhasil dan sia-sia saja. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dakwah
yang terkandung dalam Q.S ar-Rad: 11 ini adalah untuk merubah anfus/sisi dalam
setiap individu untuk menjadi lebih baik. Karena Jika tidak adanya dakwah, tidak
ada perubahan dari setiap individu, tidak ada perubahan dalam suatu kaum, dan
Allah tidak akan merubah kondisi kaum tersebut jika bukan mereka yang berusaha
mengubahnya.

14
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Qadarudin. (2019). Pengantar Ilmu Dakwah, Pasuruan: Qiara
Media,
Habib, M. Syafaat. (1982). Buku Pedoman Dakwah . Jakarta: Widjaya
Kafie, Jamaluddin. (1993). Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan
Acuan. Surabaya: Offset Indah
Hasymi, A. (1994). Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan
Bintang

Mahfûzh, Ali. Hidayat al-Mursyidîn . Kairo: Dâr al-Kutub al-’Arâbîyyah

Ar-Rifa'i, Muhammad. Nasib. (1999). Kemudahan dari Allah . In Ringkasan


Tafsir Ibnu Katsir 4. Jakarta: Gema Insani Press.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, (1993). Terjemah Tafsir al-Maraghi. (p. 28).


Semarang: PT Karya Toha Putra.

As-Suyuthi, Jalaluddin. (2011) Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau


Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie. Jakarta:
Gema Insani

Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir al-Mishbah Jilid 6. Jakarta: Lentera Hati.

15

Anda mungkin juga menyukai