Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Tentang Dakwah Kultural

1. Dakwah

a. Pengertian Dakwah

Secara etimologis, kata dakwah berasal dari kata bahasa Arab

(da’watan)‫دعوة‬-‫( يدعو‬yad’u) - ‫( دعا‬da’a). kata tersebut memiliki berarti menyeru,

memanggil, mengajak, dan mengundang. 1

Kata dakwah secara etimologis biasanya digunakan dalam artian mengajak

kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah swt., para Nabi dan Rasul serta orang-

orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula diartikan mengajak

kepada keburukan yang pelakunya adalah syaitan, orang-orang kafir, orang-orang

munafik dan sebagainya.

Kata dakwah dalam bentuk fi’il amr yaitu ud’u. Yang memiliki arti ajaklah

atau serulah. 2 Sebagaimana dalam Qs. An-nahl/16:125:3

َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّتِ ْي ه‬


َ ‫ِي اَ ْح‬
َ‫سنُ ا َِّن َربَّك‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬ َ ‫ا ُ ْدعُ ا ِٰلى‬
َ ‫س ِب ْي ِل َر ِبكَ ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬

َ‫س ِب ْي ِله َوه َُو اَ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْهتَ ِديْن‬ َ ‫ه َُو اَ ْعلَ ُم ِب َم ْن‬
َ ‫ض َّل َع ْن‬

Muhammad Qadaruddin Abdullah, “Pengantar Ilmu Dakwah”, (Pasuruan: CV. Penerbit


1

Qiara Media, 2019), h.2.


2
Abdullah, “Ilmu Dawkah Kajian Ontology, Epistemologi, Aksiologi, dan Aplikasi
Dakwah”, (Depok: Rajawali Pers,2019), h.4.
3
Daparetemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
224.
Terjemahnya:

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik

serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah

yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu

siapa yang mendapat petunjuk.

Adapun pengertian dakwah secara terminology (istilah) menurut beberapa

para ahli yaitu:4

1) Abu Bakar Zakaria, mengatakan dakwah adalah:

Usaha para ulama dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama

Islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan

agama dan keagamaan

2) Syekh Muhammad Al-Khaidir al Husain, dakwah adalah:

Menyeru manusia kepada kebaikan dan melarang kemungkaran agar

mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

3) Muhammad Abu Al-Fath al-Bayanuni dakwah adalah:

Menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan

mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.

4) Menurut Syekh Abdullah Ba’lawy al-Haddad, dakwah adalah:

Mengajak, membimbing dan memimpin orang yang belum mengerti atau

sesat jalannya dari agama yang benar, untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada

4
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Kencana, 2004), h.10.
Allah, beriman kepada-Nya serta mencegah dari apa yang menjadi lawan kedua hal

tersebut, kemaksiatan dan kekufuran.

5) Menurut Muhammad Natsir, dakwah adakah:

Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada individu dan seluruh

umat konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini,

yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai macam media dan cara

yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengamalannya dalam peri kehidupan

masyarakat dan perikehidupan bernegara.

Dengan memperhatikan pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa

ahli ada makna yang tersirat di dalamnya terkandung tiga unsur pertama, al-taujih

yaitu memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan hidup mana yang harus dilalui

oleh manusia dan jalan mana yang harus dihindari, sehingga nyatalah yang mana

jalan hidayah dan jalan yang sesat. Kedua, al-taghyir yaitu mengubah dan

memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat kepada suasana hidup baru yang

didasarkan pada nilai-nilai Islam. Ketiga, yaitu memberikan pengharapan akan

sesuatu nilai agama yang disampaikan. Dalam hal ini dakwah harus mampu

menunjukkan nilai apa yang terkandung di dalam suatu perintah agama, sehingga

dirasakan sebagai kebutuhan vital dalam kehidupan masyarakat.

b. Dasar Hukum Dakwah

Dakwah adalah kewajiban bagi kaum muslimin untuk melaksanakannya,

karena dakwah merupakan nafas dan sumber gerakan Islam. Dengan dakwah,

ajaran Islam dapat tersebar secara merata dalam masyarakat, yang dimulai pada
masa Rasulullah saw. dilanjutkan kepada para sahabat-sahabatnya, kemudian

seterusnya kepada generasi sesudahnya sampai sekarang ini.

Perintah untuk melaksanakan dakwah dijelaskan beberapa nash, baik dari

Alquran maupun hadis. Perintah dari Alquran antara lain dijelaskan dalam QS. Ali

Imran (3): 104:5

ِ ‫عونَ ِإلَى ٱ ْل َخي ِْر َويَأْ ُم ُرونَ بِٱ ْل َم ْع ُر‬


‫وف َويَ ْن َه ْونَ َع ِن‬ ُ ‫َو ْلتَ ُكن ِمن ُك ْم أ ُ َّمة يَ ْد‬

َ‫ٱ ْل ُمن َك ِر ۚ َوأُو ٰلَئِكَ هُ ُم ٱ ْل ُم ْف ِل ُحون‬

Terjemahnya :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, para ulama sepakat menetapkan bahwa

hukumnya wajib. Kalimat ‫ ولتكن‬adalah sighat amar yang menunjukkan tentang

perintah dalam ayat tersebut (amar makruf nahi mungkar) adalah wajib,

berdasarkan pada kaidah ushul yang berbunyi: ‫ آالصل فى األمر للوجوب‬perintah itu

menunjukkan wajib.

c. Tujuan Dakwah

Dalam proses pelaksanaan dakwah dalam arti mengajak manusia ke dalam

Islam, diperlukan penetapan tujuan sebagai landasannya. Tujuan dakwah

mengandung arah yang harus ditempuh serta luasnya cakupan aktifitas dakwah

5
Muhammad Qadaruddin Abdullah, “Pengantar Ilmu Dakwah”, h. 2.
yang dapat dikerjakan. Dalam bahasa Arab, tujuan disebut dengan istilah al - qarad,

al - qa¡d, al - bugyat, al - hadf.6 Dari beberapa istilah tersebut maka dapat dipahami

bahwa tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau

kegiatan telah selesai.

Pada dasarnya tujuan dakwah sangat identik dengan tujuan penciptaan

manusia, karena dakwah diperuntukkan bagi manusia, dan dakwah sendiri

merupakan bagian dari dimensi hidup manusia, karena itu tujuan hidup manusia

merupakan tujuan akhir dakwah. Dengan proses ini maka dakwah secara langsung

bertujuan untuk mengajak, menyeru manusia supaya mengenal dan mempercayai

Tuhan-Nya, sekaligus mengikuti petunjuk dan mengindahkan seruan Allah dan

Rasul-Nya. Selain itu, Dengan semakin kompleknya permasalahan dalam

kehidupan, terutama dalam tantangan modernisasi serta era globalisasi informasi

yang di satu sisi menyebabkan dekadensi moral, maka dakwah pun seyogyanya

mampu memberikan solusi alternative terhadap suatu problematika yang dihadapi

dan mewarnai tingkah laku setiap manusia dengan akhlaq al-karimah, sebagaimana

juga Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. 7

Keadaan obyek dakwah sangat variatif (ada yang kafir, ahli kitab, dan

orang-oorang beriman), sehingga masing-masing obyek perlu ditinjau menurut

eksistensinya. Peninjauan yang berbeda bertujuan agar pesan bersifat kondisional

6
Muhammad Qadaruddin Abdullah, “Pengantar Ilmu Dakwah”, h. 15.

7
Choiriyah C “Pemikiran Syekh Abdussomad Al-Palimbani Dalam Kitab Faidhal Ihsani
(Tinjauan Terhadap Tujuan Dakwah)”,Ghaidan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Dan
Kemasyarakatan, no. 1 (2018): h. 46.
dan situasional dan dapat menunjukkan solusi setiap permasalahan yang dialami

oleh obyek.

Asmuni Syukir, meng-klasifikasikan tujuan dakwah menjadi dua bagian

tujuan umum dan khusus:8

1) Tujuan umum dakwah

Tujuan umum dakwah merupakan sesuatu yang hendak dicapai dalam

seluruh aktifitas dakwah. Ini berarti tujuan dakwah yang masih bersifat umum

(ijmal) dan utama, dimana seluruh geraklangkah proses dakwah harus ditujukan

dan diserahkan kepadanya. Tujuan umum dakwah adalah mengajak umat manusia

(meliputi mukmin maupun kafir) kepada jalan yang benar yang diridhoi Allh

Swt, agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun akhirat. Dalam

hal ini Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Anbiya:107:

َ‫س ْل ٰنكَ ا ََِّّل َر ْح َمةً ِل ْلعٰ لَ ِميْن‬


َ ‫و َما اَ ْر‬
Terjemahnya:

“Dan tidaklah kami utus engkau, melainkan menjadi rahmat bagi

seluruh alam”. 9

2) Tujuan khusus.

Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan sebagai perincian

dari pada tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan

seluruh aktifitas dakwah dapat jelas diketahui kemana arahnya ataupun jenis

8
Asmuni Syukir, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam”, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
50
9
Daparetemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
264.
kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan cara

yang bagaimana dan sebagainya secara terperinci. Adapun tujuan khusus dakwah

adalah sebagai berikut:

a) Mengajak manusia yang sudah memeluk islam untuk selalu meningkatkan

takwanya kepada Allah swt. Artinya mereka diharapkan untuk senantiasa

mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan perkara yang

dilarang-Nya. Firman Allah Swt dalam Qs. al-Maidah:2:10


ۤ
َ‫ْي َو ََّل ْالقَ َ َۤل ِٕىدَ َو ََّل ٰا ِميْنَ ْال َبيْت‬
َ ‫ام َو ََّل ْال َهد‬
َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬ ِ ‫ش َع ۤا ِٕى َر ه‬
َّ ‫ّٰللا َو ََّل ال‬ َ ‫ٰياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََّل ت ُ ِحلُّ ْوا‬

‫شنَ ٰانُ قَ ْو ٍم ا َ ْن‬


َ ‫جْر َمنَّكُ ْم‬ ْ ‫ام َي ْبتَغُ ْونَ فَض ًَْل ِم ْن َّر ِب ِه ْم َو ِرض َْوانًا َواِذَا َحلَ ْلت ُ ْم فَا‬
َ ‫ص‬
ِ ‫طاد ُْوا َو ََّل َي‬ َ ‫ْال َح َر‬

‫اَّلثْ ِم‬ َ ‫علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق ٰو ۖى َو ََّل ت َ َع َاونُ ْوا‬


ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫ع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ا َ ْن ت َ ْعتَد ْۘ ُْوا َوت َ َع َاونُ ْوا‬
َ ‫صد ُّْوكُ ْم‬
َ

ِ ‫ش ِد ْيد ُ ْال ِعقَا‬


‫ب‬ َ ‫ّٰللا ا َِّن ه‬
َ ‫ّٰللا‬ ِ ۖ ‫َو ْالعُد َْو‬
َ ‫ان َواتَّقُوا ه‬

Terjemahnya:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan

bertakwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya berat siksaannya ( bagi orang

yang tolong menolong dalam kejahatan”

b) Membina mental agama (islam) bagi kaum yang masih muallaf. Muallaf

artinya mereka-mereka yang masih menghawatirkan tentang ke-Islaman

dan keimanannya (baru beriman).

10
Daparetemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
85.
c) Mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah (memeluk

agama Islam).

d) Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya,

Dari beberapa tujuan dakwah di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan

dakwah bukannya mencari dan memperbanyak pengikut, tetapi untuk

menyelamatkan dan menolong sesama manusia, untuk membebaskan dari berbagai

masalah yang membelenggunya dan yang menyebabkan penderitaan, merugikan

kehidupan, dan menghambat kemajuan. Semakin banyak yang sadar (berakhlak

al-karimah dan beriman) nasyarakat maka akan semakin baik.

d. Unsur – Unsur Dakwah

yang dimaksud dengan unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen

yang ada dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah tujuan

dakwah, dai (pelaku dakwah), mad‟u (sasaran dakwah), maddah (materi

dakwah), wasilah (media dakwah), dan thariqah (metode).

1) Dai’ (Pelaku Dakwah)

Dai’ adalah subyek dakwah yang merupakan seorang atau sekumpulan orang

yang menjadi sumber ide, sehingga pesan dakwah akan sangat dipengaruhi oleh

keahlian, kecerdasan, keterampilan, sikap, dan tingkah laku subyek dakwah.

Dengan seiring perkembangan zaman maka dakwah juga dituntut untuk

berkembang atau berubah baik dari segi pendekatan, metode, maupun teknik
penyampaiannya. Dakwah yang mengikuti pola kehidupan ummat, tidak akan

kehilangan relevansi dan justru mengena pada sasaran dakwah. 11

Untuk dapat menemukan pendekatan dakwah yang tepat, subyek dakwah

baik yang berwujud perorangan maupun organisasi harus memenuhi dua syarat

yaitu tafaqquh fid diin dan tafaqqub fin naas." Tafaqquh fid diin ialah paham akan

risalah atau materi dakwah yang akan disampaikan, serta mampu menerapkan

ajaran tersebut ke dalam realitas kemasyarakatan yang kongkrit dalam konteks

budaya setempat. Contoh dalam hal ini adalah pendekatan budaya yang dilakukan

oleh Wali Songo. Dalam dakwahnya mempergunakan cara-cara yang luwes,

menafsirkan secara baru cerita wayang yang telah dikenal rakyat ke dalam nuansa

Islam. Sehingga al-Qur'an dapat diterima secara enak oleh penguasa-penguasa di

daerah pedalaman. 12

Sedangkan tafaqquli fin naas adalah paham akan keadaan sosio-kultural dari

sasaran dakwah, juga permasalahan yang dihadapinya. Subyek dakwah mampu

untuk mengatasi masalah dan kebutuhan kongkrit sasaran dakwah berdasar dan

berpedoman kepada cara-cara ilmiah yang dibenarkan oleh al-Qur'an atau Hadist.

Termasuk dalam bagian ini adalah menguasai ilmu jiwa, sosiologi, demografi,

sosiografi dan ilmu kemasyarakatan lainnya. Dari dua syarat tersebut dapat

ditemukan pendekatan dakwah yang tepat, yang pada gilirannya masyarakat

sebagai sasaran dakwah akan merasa perlu dan butuh terhadap dakwah serta mau

menyambut seruan dakwah karena merasa kepentingannya diperhatikan.

11
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup” (Yogyakarta: Samudra Biru, 2017), h. 33.
12
Rosihan Anwar, “Demi Dakwah”, (Bandung: Al-Ma’arif, 1976), h. 9.
Pendekatan dakwah menuntut kualifikasi yang baik dari subyek dakwah.

Menurut Syeikh Muhammad Abduh kualifikasi seorang da'i adalah: 13

a) hendaklah seseorang pembe- ri dakwah mempunyai pengetahuan yang

sempurna tentang al-Qur'an, Hadits, Sejarah Nabi, Sejarah para sahabat

b) berpengetahuan tentang keadaan ummat yang didakwahi, sosial, ekonomi,

dan budaya

c) berpengetahuan tentang sejarah supaya dapat mengetahui dari mana sumber

kerusakan akhlaq dan timbulnya adat istiadat yang mengganggu kecerdasan

berfikir

d) berpengetahuan tentang ilmu bumi atau geografi, sehingga diketahui

kondisi geografi suatu daerah yang menjadi medan dakwah

e) menguasai ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan mengamalkannya

f) mengetahui kehidupan dan kesenian yang berlaku dikalangan ummat

g) menguasai ilmu sosiolog, politik, dan Bahasa

Syekh Al-Maroghy dalam tafsirnya juz 4 menambahkan bahwa seorang da'i

juga perlu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:14

a) Alim dibidang al-Qur'an, Sunnah, menguasai biografi Rosulullah SAW,

dan Khulafaurrosyidin

b) Mampu memahami kondisiatau hal ihwal dari sasaran dakwah yaitu

tentang masalah-masalah yang dihadapi mereka, potensi yang dimiliki,

tabiat/wataknya, akhlak, serta kehidupan sosialnya

13
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup”, h. 36.
14
Hamka, “Tafsir Al-Izhar Juz 4”, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982), h. 47-51.
c) Memahami bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang didakwahi,

sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepada beberapa sahabat

untuk mempelajari bahasa Ibrani guna dijadikan alat berdialog dengan

orang Yahudi yang bertetangga dengan beliau dan untuk mengetahui

hakekat mereka

d) Memahami agama, aliran, dan mazhab-mazhab atau sekte-

sekte umat agar da'i mengetahui mana yang batil yang terkandung di

dalamnya. Sebab apabila seseorang itu tidak memahami tentang adanya

kebatilan yang dianutnya itu, tentulah orang tersebut akan sulit menerima

kebenaran yang dibawa oleh da'i

Penjelasan diatas menegaskan bahwa untuk menjadi seorang da’I memiliki

pengetahuan agama saja belum cukup akan tetapi seorang da’I juga harus memiliki

kemampuan lain seperti pengetahuan umum, bahasa, serta kemampuan untuk

merumuskan dan mencari pemecahan masalah ummat. Agar materi dakwah yang

disampaikan akan terasa aktual dan tidak membosankan, juga membuka mata pada

realitas yang tengah dialami oleh ummat.

2) Mad’u (Sasaran Dakwah)

Mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia yang

menerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia

yang beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara

keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama Islam dakwah bertujuan untuk

mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Islam, sedangkan kepada orang orang
yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas keberagamaan

mereka.15

Sasaran dakwah terbagi menjadi dua yaitu sasaran internal yang terdiri dari

semua lapisan masyarakat yang sudah memeluk agama Islam. Serta sasaran

eksternal yaitu masyarakat yang belum memeluk agama Islam. Dalam

menyampaikan dakwahnya seorang da'i harus memperhatikan karakteristik sasaran

atau obyek dakwah, yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, ekonomi atau

status sosial, hingga pada level geografis atau area tempat hidupnya ummat.16

Karena perlu diketahui bahwa sasaran dakwah adalah masyarakat yang selalu

berubah, baik berubah dari segi aspirasinya, pandangan hidupnya, cita rasanya,

sehingga materi dakwah yang disampaikan pada waktu lalu mungkin tidak relevan

lagi disampaikan pada saat sekarang. Oleh Karena itu ajaran Islam harus

disampaikan dengan orientasi dan analisa yang berbeda serta gaya berbeda pula.

3) Maddah (Materi)

Materi (maddah) dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang

disampaikan da’i pada mad’u atau segala sesuatu yang harus disampaikan subjek

kepada objek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada di dalam Kitabullah

(Al-Qur’an) maupun Sunnah Rasul-Nya.17 Materi dakwah atau pesan dakwah

merupakan isi dakwah yang berupa kata, gambar, lukisan dan sebagainya yang

diharapkan dapat memberikan pemahaman bahkan perubahan sikap dan perilaku

sasaran dakwah. Jika dakwah melalui tulisan yang menjadi pesan dakwah adalah

15
Munir (edt), “Manajemen Dakwah”, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 23.
16
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup”, h. 38.
17
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009), hlm. 88.
apa yang ditulis, bila dakwah melalui lisan maka yang menjadi pesan dakwah

adalah yang diucapkan oleh pembicara, dan bila melalui tindakan, perbuatan yang

dilakukan adalah pesan dakwah. Pesan dakwah baik berupa hal-hal yang ditulis,

diucapkan, dan dicontohkan dengan perbuatan diharapkan mampu dipahami dan

diamalkan oleh mad‟u sebagai objek dakwah.

4) Washilah (Media Dakwah)

Media dakwah adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk berdakwah

dengan tujuan supaya memudahkan penyampaian pesan dakwah kepada mad‟u.18

Dalam menentukan media dakwah harus didasarkan dengan kondisi obyektif

sasaran dakwah.

Beberapa media yang dapat digunakan dalam mensyiarkan dakwah atau

menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam yaitu : 19

a) Media melalui Mimbar merupakan salah satu tempat atau media

untuk berdakwah. Seorang dai dapat memanfaatkan mimbar sebagai

tempat untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan, gagasan, dan

peringatan tentang kebaikan.

b) Media Audio merupakan alat yang mengeluarkan bunyi seperti

radio, kaset, rekaman dan lainnya. Media radio sangat penting

digunakan dalam berdakwah karena sifatnya langsung, tidak

mengenal jarak dan rintangan, memiliki daya Tarik yang kuat, relatif

murah, tidak terhambat oleh kemampuan membaca dan menulis

18
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016), h. 404-405.
19
Suriati, Samsinar, “Ilmu Dakwah”, (Tulung Agung: Akademia Pustaka, 2021), h. 144-
147.
c) Media Sosial dapat digunakan dalam berdakwah. Media sosial ini

seperti facebook, twitter, whatsapp, youtube, dan lainnya, dapat

dimanfaatkan sebagai ruang untuk menyampaikan pesan dakwah.

Media ini memberi peluang bagi dai dalam menyerukan pesan-pesan

keagamaan dan nilai-nilai kebenaran dapat dituangkan melalui

media sesoal.

d) Media cetak juga merupakan media yang dapat digunakan oleh dai

dalam berdakwah. Dai dapat memanfaatkan media ini sebagai

sarana yang baik agar mad’u dapat lebih dekat dengan-Nya. Yang

termasuk media cetak yaitu buku, majalah, poster, brosur, selebaran,

dan media lainnya yang dicetak.

5) Tariqha (Metode)

Metode dakwah yaitu menyangkut cara bagaimana dakwah dilaksanakan.

Dalam berdakwah penggunaan metode yang tepat sangat berpengaruh terhadap

hasil yang didapatkan. Dalam al-Qur'an telah ditetapkan mengenai acuan atau

pedoman pelaksanaan dakwah yaitu terdapat dalam Qs. an-Nahl (16):125:20

َ ْ‫ي ا َح‬
‫سنُ ا َِّن‬ ْ ِ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّت‬
َ ‫ي ِه‬ َ ‫ظ ِة ا ْل َح‬ َ ‫اُدْعُ ا ِٰلى‬
َ ‫س ِب ْي ِل َر ِبكَ ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬

َ‫س ِب ْي ِله َوه َُو ا َ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْهت َ ِديْن‬


َ ‫ع ْن‬ َ ‫َربَّكَ ه َُو ا َ ْعلَ ُم ِب َم ْن‬
َ ‫ض َّل‬

20
Daparetemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
224.
Terjemahnya:

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang

baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu

Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang

paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.

Ayat diatas menjelaskan bahwa secara garis besar, terdapat tiga metode

dakwah, yakni bil hikmah, mau'idzah al-hasanah, dan mujadalah. Adapun

penjelasan dari ketiga metode tersebut yaitu:

a) Metode Al-Hikmah

Al-hikmah secara kebahasaan diartikan "meletakkan suatu pada tempatnya,

atau kebenaran suatu perkara".21 Jika dikaitkan dengan konteks ayat tadi, maka

menyampaikan dakwah secara hikmah ialah terlebih dahulu mengetahui tujuan dan

mengenal secara benar orang atau masyarakat yang menjadi sasaran. Oleh karena

itu, seorang da’i harus menggunakan berbagai macam metode sesuai

dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam,

misalnya, memperhatikan situasi dan kondisi audiens, tempat dakwah akan

disampaikan, dan sebagainya. Dengan demikian, metode al-hikmah disebut dengan

metode yang realistis-praktis. Maksudnya, da’I harus memperhatikan realitas yang

terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun

sosiologis. Maka dari itu dakwah di perkotaan harus dibeda-kan dengan dakwah di

daerah pinggiran dan pedesaan.

21
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, (Makassar: Alauddin University Press: 2013), h.
70.
Didin Hafidhuddin mendefinisikan dalam buku Prof Muliaty Amin bahwa

dakwah bi al-Hikmah adalah "segala metode dakwah untuk menyampaikan al-haq,

kebenaran dengan menggunakan hukum-hukum alam dan hukum-hukum sosial.22

Dapat dipahami bahwa metode dakwah tersebut berkenaan dengan aspek informasi

dan nilai. Yakni, nilai-nilai kebenaran yang diperkuat oleh hukum alam dan sosial

yang kesemuanya dapat diketahui oleh manusia sehingga penyampaian dakwah

tersebut sangat mudah diterima oleh rasio, akal, pemikiran mereka.

b) Metode Al-Mauidzah Al- Hasanah

Secara bahasa, mauizhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan

hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’dzayu’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang

berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah

merupakan kebalikan dari sayy’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan. 23

Secara istilah menurut Imam Abdullah bin Ahmad an Nasafi adalah, al-

Mauidzatul hasanah adalah perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa

engkau memberi nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan

Alquran. Cara dakwah semacam ini dengan memberi nasihat lazim ditemui dalam

masyarakat kita, dimana para dai berceramah di mimbar-mimbar, memberi nasihat

di depan umat dalam berbagai acara dan dalam banyak kesempatan.24

Kata al-mauwiizah dalam QS. al- Nahl (16): 125, dapat dipahami sebagai

metode dakwah dalam dua kategori: 25

22
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h. 71.
23
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, “Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 204.
24
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.78.
25
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.82.
a) pemberian nasehat dengan mengajak orang yang dinasehati untuk

mengamalkannya manjauhkan diri dari kenistaan dan

membimbingnya agar tidak banyak cenderung pada aspek-aspek

keduniaan pemberian nasehat harus memiliki jiwa yang bening dan

pemikiran yang jernih harus dibarengi dengan keikhlasan hanya untuk

Allah swt. Nasehat demikian memiliki nilai spiritual bagi

pendengarnya. Nasehat yang penuh ketulusan memiliki karisma

tersendiri bagi yang dinasehati.

b) nasehat berarti peringatan yaitu pemberian nasehat secara intensif

(tanpa bosan) dengan maksud menggugah perasaan efeksi dan emosi

untuk memotivasi dalam amal shaleh dengan menunjukkan ketaatan

dan ketundukan kepada perintah Allah swt. Dengan demikian,

dakwah dengan metode mavizhalt pemberian nasehat atau peringatan

terhadap mad'u, bertujuan agar jiwa dapat tersentuh terhadap apa yang

dinasehati, dibarengi keikhlasan yang mendalam serta memiliki gaya

bahasa yang retorika. Bahasa retorik yang dimaksud adalah,

penuturan bahasa ini dari pemakai yang menarik simpatik dan muda

dipahami, dalam arti bahasa sesuai dengan nalar vang dinasehati

c) Metode Mujadalah

Dari segi etimologi lafadz mujadalah terambil dari kata "jadala" yang

bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang

mengikuti wazan faa ala, (jā dala), dapat bermakna berdebat, dan mujadalah
adalah perdebatan. 26 Dari segi istilah (terminologi) Al- Mujadalah berarti upaya

tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana

yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. 27

Dari definisi diatas menjelskan bahwa metode ini digunakan apabila ada

pertanyaan atau bantahan dari obyek dakwah, maka jawablah dengan cara yang

baik, ajaklah berdebat dengan cara yang baik sehingga memuaskan mereka. Dalam

menjawab pertanyaan obyek dakwah maupun dalam berdebat dengan mereka perlu

pula diperhatikan tingkat kecerdasan mereka sebagaimana sabda Nabi yang

menyuruh kita untuk berbicara kepada manusia menurut kecerdasan mereka.

2. Dakwah Kultural

a. Pengertian Dakwah Kultural

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kultural berarti berhubungan

dengan kebudayaan. Maka dakwah kultural secara etimologi dapat diartikan

sebagai kegiatan dakwah yang dilakukan melalui pendekatan

kebudayaan.Pendekatan kultural mendahulukan kultur atau tradisi yang dijunjung

tinggi dan ada ditengah masyarakat untuk memanfaatkan seoptimal mungkin dalam

rangka mencapai tujuan dakwah. 28

Menurut Syamsul Hidayat seperti dikutip Abdul Basit, dakwah kultural

merupakan kegiatan dakwah yang memerhatikan potensi dan kecenderungan

26
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.85.
27
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.86.
28
Nirwan Wahyudi AR dan Asmawarni, “Dakwah kultural Melalui Akkorongtigi: Studi
Pada Masyarakat Kelurahan Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa”, AL Mutsla: Jurnal
Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 2, No. 1 (2020): h.29.
manusia sebagai makhluk berbudaya, guna menghasilkan budaya alternatif yang

islami, yakni berkebudayaan dan berperadaban yang dijiwai dengan pemahaman,

penghayatan dan pengalaman ajaran Islam yang bersumber dari ajaran Islam dan

al-Sunnah serta melepaskan diri dari budaya yang dijiwai oleh kemusyrikan,

takhayul, Bid’ah, dan khurafat.29

Dari penjelasan diatas menerangkan bahwa dakwah kultural ialah metode

yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi

kehidupan manusia dengan memperhatikan potensi dan kecenderungannya sebagai

makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang

sebenarnya.

Secara teknis, dakwah kultural dapat juga dimaknai sebagai dialog antara

idealitas nilai-nilai agama dan realitas kultur masyarakat yang multikultural.

Interaksi dengan pluralitas budaya tersebut, terlebih khusus seni budaya dan

komunitasnya telah melahirkan sejumlah ketegangan, baik yang berupa kreatif

maupun destruktif (menggambarkan). Ketegangan ini bersumber pada realitas

historis-sosiologis, bahwa banyaknya kebudayaan dan seni budaya pada khususnya

yang dikembangkan berasal dari ritual-ritual keagamaan sebelum kedatangan

Islam. Sehingga banyak di antaranya mengandung nilai-niali atau norma-norma

yang bertentangan dengan akidah Islam. 30

29
Abdul Basit, “FIlsafat Dakwah” (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 170.
30
Nirwan Wahyudi AR dan Asmawarni, “Dakwah kultural Melalui Akkorongtigi: Studi
Pada Masyarakat Kelurahan Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa”, AL Mutsla: Jurnal
Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 2, No. 1 (2020): h.32.
Dakwah kultural dalam tataran ini menemukan relevansinya dengan realitas

sosial, yakni dalam rangka mengubah kebudayaan yang bertentangan dengan

akidah Islam tanpa perlu menimbulkan resistensi terutama dari para pengusung

kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, dakwah kultural dapat menjadi strategi

dakwah yang berperan untuk memediasi ketegangan yang sering terjadi antara

doktrin agama dengan doktrin budaya setempat.

b. Fungsi Dakwah Kultural

Dakwah kultural yang dimainkan oleh para cendikiawan muslim menurut

Amin memiliki dua fungsi yaitu fungsi ke atas dan fungsi kebawah. Fungsi dakwah

kultural kelapisan atas adalah yang tindakan dakwahnya mengartikulasikan aspirasi

masyarakat terhadap kekuasaan, dikarenakan rakyat terkadang tidak mampu

mengekspresikan aspirasi mereka sendiri dan karena ketidakmampuan parlemen

untuk sepenuhnya mengartikulasikan aspirasi rakyat. Fungsi ini berbeda dari pola

dakwah struktural karena menekankan pada tersalurkannya aspriasi masyarakat

bawah kepada kalangan penentu kebijakan. Dakwah kultural jenis ini tetap

menekankan posisinya diluar keuasaan, bukan berarti mendirikan Negara Islam dan

tidak menekankan pada Islamisasi Negara dan birokrasi pemerintahan. Termasuk

pada fungsi dakwah kultural jenis ini mempelajari berbagai kecenderungan

masyarakat yang sedang berubah kearah modern-industrial sebagai langkah

strategis dalam mengantisipasi perubahan sosial. Dikhawatirkan proses

industrialisasi dan modernisasi akan memisahkan manusia dari keluarga, komunitas

dan lembaga keagamaan yang akan mengakibatkan mereka kehilangan arah dan
pegangan, maka disinilah dakwah Islam harus diserukan dan mereka memerlukan

perhatian dakwah Islam. 31

Sedangkan fungsi dakwah kultural yang bersifat kebawah adalah

penyelenggaraan dakwah dalam bentuk penerjemahan ide-ide intelektual tingkat

atas bagi umat Islam serta rakyat pada umumnya untuk membawakan transformasi

sosial, dengan mentransformasikan ide-ide tersebut kedalam konsep operasional

yang dapat dikerjakan oleh umat. Hal yang utama dalam proses ini adalah

penerjemahaan sumber-sumber agama sebagai jalan hidup manusia. Fungsi dakwah

kultural ini bernilai praktis dan mengambil bentuk utama dakwah bil hal, yaitu

dakwah yang terutama ditekankan kepada perubahan dan perbaikan kehidupan

masyarakat kurang mampu. Dengan perbaikan tersebut diharapkan prilaku

kekufuran dapat dicegah. 32

c. Prinsip Dakwah Kultural

Prinsip dakwah kultural dalam konteks ini adalah acuan prediktif yang

menjadi dasar berfikir dan bertindak merealisasikan bidang dakwah yang

mempertimbangkan aspek budaya dan keragamannya ketika berinteraksi dengan

objek dakwah dalam rentang ruang dan waktu sesuai perkembangan masyarakat.

Banyak ditemukan di dalam AlQur‟an ayat-ayat yang mengisyaratkan dua fungsi

31
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, h. 165
32
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, h. 166.
fundamental kaitannya dengan proses dakwah. fungsi tersebut mencangkup pada

metode serta prinsip-prinsip dakwah baik secara eksplisit maupun implisit. 33

Terdapat pada Qs. An-Nahl (16):125:

َ ْ‫ي اَح‬
‫سنُ اِ َّن َربَّكَ ه َُو‬ ْ ِ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّت‬
َ ‫ي ِه‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬ َ ‫اُدْعُ ا ِٰلى‬
َ ‫سبِ ْي ِل َربِكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬

َ‫سبِ ْي ِله َوه َُو ا َ ْعلَمُ بِ ْال ُم ْهت َ ِديْن‬ َ ‫ا َ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
َ ‫ض َّل عَ ْن‬

Terjemahnya:

Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesunggughnya Tuhan-mu

Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dia-

lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Berdasarkan ayat diatas, maka dapat disimpulkan prinsi-prinsip yang

digunakan dalam aktivitas dakwah kultural meliputi bilhikmah, mauizhatil

hasanah, dan mujadalah.

d. Unsur- Unsur Dakwah Kultural

Dalam pendekatan dakwah kultural materi dan obyek dakwah sangat

signifikan. Terkadang materi dakwah yang kurang menarik mad’unya karena

adanya kesenjangan antara materi dakwah dan obyeknya. Agar materi dakwah

menarik bagi mad’u, ada tiga unsur yang harus dipahami oleh para da’I, yaitu: 34

33
Rahmat Ramdhani, “Dakwah Kultural Masyarakat Lembak Kota Bengkulu”, Jurnal
Penelitian dan pengabdian Masyarakat , Vol, 04. No. 2. (2016): h. 169.
34
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h 95.
a) Unsur Tendensi, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi orang

cenderung akan mempunyai daya Tarik.

b) Unsur Distingsi, yaitu sesuatu yang unik akan menjadi daya tarik

melebihi sesuatu yang biasa- biasa saja.

c) Unsur Konsistensi atau Repitisi (pengulangan), yaitu sesuatu dapat

menarik perhatian apabila diberikan atau terjadi secara berulang-

ulang.

Jadi, ketiga unsur diatas sangat penting untuk menjadi acuan dalam melakukan

pendekatan dakwah kultural. Agar berhasilya suatu dakwah seorang dai harus

mengelola secara baik dari aspek materi maupun obyek dakwah itu sendiri.

e. Proses Dakwah Kultural

Sebelumnya kedatangan Islam, Jazirah Arab telah memiliki tiga

kebudayaan sendiri. Setidaknya tiga sikap Islam terhadap kebudayaan atau adat

istiadat, yaitu menerima, memperbaiki, dan menolak. Dalam kenyataan kehidupan

bahwa antara dakwah dengan kebudayaan selalu saling mempengaruhi. Dakwah

kultural berfokus pada upaya melembagakan ajaran Islam dalam kehidupan

masyarakat. Sebab, dakwah kultural melibatkan masyarakat umum, organisasi

keagamaan, tokoh adat, tokoh nonformal dan media massa.35

Sasaran dakwah adalah manusia yang memiliki hati, perasaan dan pilihan,

serta dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, dakwah tidak hanya bersifat

dogmatis, tetapi juga harus terbuka terhadap perubahan dan kemajuan tekhnologi

35
Abdullah, “Ilmu Dakwah” (Depok: Rajawali Pers, 2018), h. 251.
informasi. Perubahan adalah ketentuan Allah Swt yang akan terjadi dengan usaha

yang dilakukan manusia dalam melaksanakan fungsi kekhalifahan. 36

Dakwah kultural menekankan pada dai dan daiyah untuk memotivasi

sasaran dakwah agar meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran

Islam. Aktifitas ini berhubungan dengan pikiran, hati dan kehendak seseorang yang

inginkan kesuksesan dalam hidupnya. Keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari

reaksi sasaran dakwah pada pesan yang disampaikan, melainkan terjadinya

penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan

masyarakat. Untuk itu, dai dan daiyah tidak hanya mampu menjelaskan kejayaan

Islam masa lalu, kebesaran nama atau symbol simbol Islam, tetapi harus memiliki

semangat reformatif dan perubahan. 37

f. Tinjauan Tentang komunitas Tolotang Benteng

Asal usul masyarakat tolotang yang berdomisili deareh Kabupaten

Sidenreng Rappang itu berasal dari dua daerah kerajaan yaitu kerajaan Luwu dan

Kerajaan Wajo. Setelah Agama Islam di terima oleh kerajaan Luwu, ada diantara

penduduknya menolak dan meninggalkan daerahnya yang pada akhirnya bertempat

tinggal di Kerajaan Sidenreng yaitu Amparita. Golongan yang meninggalkan

daerah kerajaan Luwu itu dibawah pimpinan Uwa Ponreng. Selanjutnya di

Kerajaan Wajo oleh Raja yang bergelar Arung Matowa Wajo bernama La Sangkuru

Mulajaji menyatakan memeluk agama Islam pada tahun 1610 M. Maka beliau

mengajak pula rakyatnya untuk memeluk Agama Islam. dan sebagian dari

36
Fahrurrozi, Faizah, Kadri, “ Ilmu Dakwah” (Jakarta:Prenadamedia Group, 2019), h. 198.
37
Fahrurrozi, Faizah, Kadri, “Ilmu Dakwah”, h. 189-199.
rakyatnya tidak mau atau menolak ajakan beliau, sehingga mereka ini

meninggalkan daerah leluhurnya pada tahun 1616 M., mereka ini di bawah

pimpinan I Pabbare, dan telah menganut suatu keyakinan yang ajarannya sama

dengan yang dianut oleh golongan uwa’ ponreng dari Luwu yaitu ajaran

Sawerigading dan ajaran itu telah diperbaharui atau dirubah oleh La Panaungi. 38

Apabila kita melihat tradisi-tradisi dari golongan Tolotang, maka kita dapat

melihat bahwa dalam tubuh Tolotang tersebut terdapat perbedaan-perbedaan satu

golongan dengan golongan yang lain, walaupun dasar dasar keyakinan mereka itu

sama yaitu golongna Wa’ Ponreng dan golongan Wa’ Samang.

Golongan Wa’ Ponreng ini asal usul mereka berasal dari Luwu dan

golongan ini berada di daerah Kerajaan Addatowang Sidenreng sekitar tahun 1500

dan bertempat tinggal di Amparita jauh sebelum agama Islam datang di bawah

pemerintahan Addatowang. Menurut keterangan Camat Limpoe mengemukakan

asal usul kedatangan golongan Uwa’ Ponreng sebagai berikut:39

“Bahwa sebelum Agama Islam di daerah Kerajaan Sidenreng golongna

Uwa’ Ponreng sudah berada di daerah Sidenreng dan mereka senantiasa mematuhi

segala perintah kerajaan dan pada waktu Agama Islam diterima oleh Raja

Addatowang Sidenreng yang bernama La Patiroi pada tahun 1609 M. Sebagai

agama resmi dalam kerajaannya untuk dianut oleh rakyatnya, maka dari golongan

dari Luwu itu mengaku sebagai penganut agama baru tersebut yaitu Agama Islam,

38
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang
Benteng” (Makassar: Cv Sah Media, 2017), h. 18-19.
39
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h.22.
namun mereka masih melaksanakan tata cara tradisi dahulu yang pernah di anut

oleh nenek moyang mereka”.

Dengan demikian maka golongan ini sejak mereka berada di Amparita

dibawah pengawasan Addatowang Sidenreng diperkenankan untuk melaksanakan

semua tata cara tradisi mereka seperti Tudang Sipulung, mappenre nanre, dan

mendatangi suatu tempat yang mereka anggap keramat seperti sebuah sumur di

tengah-tengah kampung Amparita yang di sebut Sumur Pakkawarue. Sumur ini

ditempati merellau atau berdoa oleh golongan Uwa’ Ponreng. Golongan ini

biasanya datang ke sana disaat orang akan turun sawah dan sesudah panen, ataukah

hal-hal yang dianggap penting menyangkut golongannya, misalnya padi tidak jadi

atau terjangkitnya wabah penyakit menular. Menurut kepercayaan mereka air

sumur itu dapat di jadikan obat kalau ada di antara mereka menderita sesuatu

penyakit. Golongan Tolotang Uwa’ Ponreng ini sejak berada di Sidenreng mengaku

sebagai penganut Agama Islam, golongan inilah yang dinamai komunitas Tolotang

Benteng.

Menurut Atho Muzdhar bahwa istilah Tolotang Benteng terdiri atas kata

Tolotang dan Benteng. Tolotang berasal dari kata Tau yang berarti orang dan

lautang yang berarti selatan, sedangkan Benteng berarti pagar, jalan atau benteng

pertempuran.40 Jadi Tolotang Benteng berarti orang yang tinggal di sebelah selatan

pagar (jalan atau benteng pertempuran). Istilah itu menunjukkan lakasi tempat

tinggal. Kemudian pada perkembangan berikutnya istilah Tolotang Benteng

menjadi nama suatu aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bugis.

40
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 32.
Kelompok Tolotang Benteng adalah kelompok orang-orang yang

mempunyai dua unsur yaitu unsur Islam dan unsur Tolotang. Pada satu sisi secara

formal mereka menyatakan dari penganut Islam. Namun di dalam kehidupan

sehari-hari, mereka tidak menjalankan syariat Islam secara utuh seperti shalat,

puasa dan sebagainya. Akan tetapi hanya dua perihal saja selama hidup mereka

yang dikerjakan secara Islam yaitu dalam perkawinan dan kematian. Dalam hal

pernikahan mereka mendaftarkan diri pada Kantor Urusan Agama dan dikawinkan

oleh pejabat agama sebagaimana layaknya orang-orang Islam, kemudian dalam hal

kematian apabila di antara mereka ada orang yang meninggal dunia, ia

dimandikan, dikafankan (dibungkus dengan kain putih) disembahyangkan dan

dikuburkan secara Islam semua itu dilakukan oleh imam desa atau pejabat Kantor

Urusan Agama yang lazim disebut sebagai Pegawai syara atau guru.

Pada segi lain, mereka mengakui Dewata seuwae sebagai Tuhan mereka

dan Sawerigading sebagai Nabi mereka. Mereka pun memiliki kitab suci yang

dinamakan Lontara-Lontara, memiliki pemmali-pemmali, memiliki kebiasaan

mengunjungi dan meminta keselamatan ke kuburan dan mengakui adanya

molalaleng (hari akhirat) sebagai mana yang dimiliki oleh Towani Tolotang.

Lontara sebagai kitab suci mereka terdiri atas dua macam, yaitu Lontara katti yang

berisi soal-soal duniawi dan lontara Purokani yang berisi keterangan tentang hari

kemudian. Menurut isinya lontara-lontara itu terdiri atas empat judul besar, yaitu:41

41
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 32-
33.
1) Mula yolona Batara Guru yang berarti rencana PatotoE untuk menurunkan

Batara Guru, Tomanurung ke bumi.

2) Ritebbanna walenrengnge, berisi keistimewaan kayu walengrengnge (kayu

besar) yang dibuat menjadi perahu untuk dipakai oleh Sawerigading

berlayar ke benua barat untuk mengadakan perdebatan dengan Nabi

Muhammad Saw.

3) Ta’gilinna sinapatie yang berisi kisah perjalanan Sawerigading melihat

langit tujuh susun, tanah tujuh lapis dan orangt-orang yang sudah mati.

4) Sabuja, yang berisi kisah perjalanan Sawerigading pulang ke tanah tujuh

lapis dan memegang jabatan baru disana dengan gelar Guru Riselleng.

Ketika sabuja inilah Sawerigading memperinci generasi-generasi anak

cucunya yang diramalkan akan bertemu dengan Islam, sambil berpesan

bahwa apabila Islam datang agar tetap pada ajaran kepercayaan Lama yaitu

Toriolota (nenek moyang).

Menurut pengakuan mereka pendiri pertama Tolotang Benteng adalah La

Panaungi dengan gelar Uwatta Matanre Batunna yang berarti Uwatta yang tinggi

batu nisannya. Tidak jelas pada abad berapa la Panaungi hidup, tetapi kuburannya

ada di Amparita, banyak di kunjungi orang untuk meminta keselamatan. 42

Pusat kegiatan mereka bila melakukan ritus sipulung ialah di Pakawaruhe.

Pakawaruhe artinya mudah-mudahan selamat. Ia adalah nama sebuah sumur lama

yang pada bibirnya terletak beberapa buah batu dan berpagar setinggi dua meter.

Kompleks ini mempunyai pelataran seluas 100 M2, disana banyak ditumbuhi

42
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h.34.
semak belukar dan dipagari kawat berduri dengan pintu yang selalu terkunci kecuali

pada waktu sipulung terletak di tengah-tengan desa Amparita, hanya 10 M. Sebelah

selatan mesjid raya desa Amparita atau 100 M. sebelah tenggara kantor Kecamatan

Tellu Limpoe. Dahulu sumur itu milik La Panaungi, pendiri Tolotang Benteng.

Sekali setahun pada waktu yang ditetapkan, biasanya setelah panen sawah, ratusan

penganut Tolotang Benteng juga yang tinggal di luar Amparita datang berbondong-

bondong ke sumur tersebut. Mereka membawa seikat daun sirih segar sekitar 30

lembar, tiga butir buah pinang dan sebotol kecil minyak kelapa yang diberi warna

merah. Mereka duduk bersila di pelataran sumur tersebut, sementara Uwatta

memimpin ritus dengan membaca bacaan tertentu dalam bahasa Lontara (bahasa

Bugis) Uwatta berdiri dibibir sumur dan satu persatu secara silih berganti semua

yang hadir mendekat padanya dan memperlihatkan pinang dan daun sirihnya

masingmasing. Minyak kelapa masing-masing yang ditaruh dalam botol kecil, oleh

Uwatta dituangkan beberapa tetes ke dalam sumur, sementara Uwatta dan pemilik

minyak meminta keselamatan dalam hati untuk tahun itu. Sisa minyak setelah

diteteskan, dikembalikan kepada pemiliknya. Demikian pula daun sirih dan buah

pinang di bawah kembali pulang. Demikian silih berganti sampai semua yang hadir

setelah menyerahkan minyak kepada Uwatta. Bagi mereka, minyak yang telah

diteteskan, daun sirih dan buah pinang tersebut dapat dipergunakan untuk semua

keperluan yang bersifat keselamatan. Minyak dapat dioleskan dan daun sirih dapat

dikunyah sebagai obat. Sipulung dipakaweruhe selalu dikerjakan pada malam hari,

setelah siang harinya berkumpul di rumah Uwatta untuk mendengarkan pembacaan

lontara (meong palo) dan pesta makan bersama. Selain Pakaweruhe, mereka masih
mempunyai sumur lain yang setiap tahun juga di kunjungi, yaitu sumur pabbaju eja,

terletak di tengah-tengah sawah di daerah perbatasan antara desa Amparita dan

Massepe. Mereka juga memilki “Makkuraurang”. Makkuraurang artinya obat-

obatan, maksudnya ialah seperangkat peralatan seperti pisau, tali obat-obatan klasik

berupa akar-akaran dan daun-daunan seperti lipatan daun kelapa, daun lontara dan

sebagainya untuk disandingkan pada bayi yang baru lahir. Alat-alat dan obat obatan

yang baru di simpan didalam sebuah kotak berlapis kain berukuran panjang 40 cm,

lebar 25 cm dan tinggi 25 cm dan selalu tersimpan dalam setiap rumah penganut

Tolotang Benteng. Bayi yang lahir tanpa disandingi dengan makkuraurang,

keluarga dan bayi itu sendiri dipandang kurang baik, dikhawatirkan kelak akan

menjadi manusia yang berkepribadian kurang baik.43

Mereka juga memiliki “Yenrekang”. Yenrekang artinya naik, maksudnya

ialah ritus untuk menaikkan atau menghadirkan seorang anggota keluarga yang

telah meningggal dunia. Apabila suatu keluarga merasakan kerinduan ingin

bertemu dengan neneknya atau keluarga lain yang sudah meninggal, disiapkan

seperangkat sajian buah-buahan seperti kelapa, pisang, nenas dan sebagainya.

Sebagian dari buah-buahan diletakkan di atas ranjang di dalam kelambu, sebagian

lain diletakkan secara teratur di atas lantai rumah. Para anggota keluarga duduk

bersila mengelilingi sajian di lantai. Salah seorang anggota keluarga tertua atau

Uwa, biasa Uwa Tikah, membacakan bacaan tertentu dalam bahasa lontara bugis,

sementara semua yang hadir mendengarkan dan tafakkur. Apabila si mati yang

sedang dipanggil itu telah datang, mereka pun menemuinya dengan cara menengok

43
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 35.
sebentar ke dalam kelambu. Buah-buahan pun terlihat berbekas seperti baru saja di

makan seseorang. Barulah kemudian mereka bersama-sama memakan buah-buahan

yang terhidang di hadapan mereka. 44

44
Mattulada, “Sejarah, Masyarakat Dan Kebudayaan Sulawesi Selatan”, (Ujung pandang
: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1998), h. 162.

Anda mungkin juga menyukai