TINJAUAN TEORITIS
1. Dakwah
a. Pengertian Dakwah
kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah swt., para Nabi dan Rasul serta orang-
orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula diartikan mengajak
Kata dakwah dalam bentuk fi’il amr yaitu ud’u. Yang memiliki arti ajaklah
َس ِب ْي ِله َوه َُو اَ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْهتَ ِديْن َ ه َُو اَ ْعلَ ُم ِب َم ْن
َ ض َّل َع ْن
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik
serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu
Usaha para ulama dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama
kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan
sesat jalannya dari agama yang benar, untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada
4
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Kencana, 2004), h.10.
Allah, beriman kepada-Nya serta mencegah dari apa yang menjadi lawan kedua hal
umat konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini,
yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai macam media dan cara
ahli ada makna yang tersirat di dalamnya terkandung tiga unsur pertama, al-taujih
yaitu memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan hidup mana yang harus dilalui
oleh manusia dan jalan mana yang harus dihindari, sehingga nyatalah yang mana
jalan hidayah dan jalan yang sesat. Kedua, al-taghyir yaitu mengubah dan
memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat kepada suasana hidup baru yang
sesuatu nilai agama yang disampaikan. Dalam hal ini dakwah harus mampu
menunjukkan nilai apa yang terkandung di dalam suatu perintah agama, sehingga
karena dakwah merupakan nafas dan sumber gerakan Islam. Dengan dakwah,
ajaran Islam dapat tersebar secara merata dalam masyarakat, yang dimulai pada
masa Rasulullah saw. dilanjutkan kepada para sahabat-sahabatnya, kemudian
Alquran maupun hadis. Perintah dari Alquran antara lain dijelaskan dalam QS. Ali
Terjemahnya :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
perintah dalam ayat tersebut (amar makruf nahi mungkar) adalah wajib,
berdasarkan pada kaidah ushul yang berbunyi: آالصل فى األمر للوجوبperintah itu
menunjukkan wajib.
c. Tujuan Dakwah
mengandung arah yang harus ditempuh serta luasnya cakupan aktifitas dakwah
5
Muhammad Qadaruddin Abdullah, “Pengantar Ilmu Dakwah”, h. 2.
yang dapat dikerjakan. Dalam bahasa Arab, tujuan disebut dengan istilah al - qarad,
al - qa¡d, al - bugyat, al - hadf.6 Dari beberapa istilah tersebut maka dapat dipahami
bahwa tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
merupakan bagian dari dimensi hidup manusia, karena itu tujuan hidup manusia
merupakan tujuan akhir dakwah. Dengan proses ini maka dakwah secara langsung
yang di satu sisi menyebabkan dekadensi moral, maka dakwah pun seyogyanya
dan mewarnai tingkah laku setiap manusia dengan akhlaq al-karimah, sebagaimana
Keadaan obyek dakwah sangat variatif (ada yang kafir, ahli kitab, dan
6
Muhammad Qadaruddin Abdullah, “Pengantar Ilmu Dakwah”, h. 15.
7
Choiriyah C “Pemikiran Syekh Abdussomad Al-Palimbani Dalam Kitab Faidhal Ihsani
(Tinjauan Terhadap Tujuan Dakwah)”,Ghaidan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Dan
Kemasyarakatan, no. 1 (2018): h. 46.
dan situasional dan dapat menunjukkan solusi setiap permasalahan yang dialami
oleh obyek.
seluruh aktifitas dakwah. Ini berarti tujuan dakwah yang masih bersifat umum
(ijmal) dan utama, dimana seluruh geraklangkah proses dakwah harus ditujukan
dan diserahkan kepadanya. Tujuan umum dakwah adalah mengajak umat manusia
(meliputi mukmin maupun kafir) kepada jalan yang benar yang diridhoi Allh
Swt, agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun akhirat. Dalam
seluruh alam”. 9
2) Tujuan khusus.
dari pada tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
seluruh aktifitas dakwah dapat jelas diketahui kemana arahnya ataupun jenis
8
Asmuni Syukir, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam”, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
50
9
Daparetemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
264.
kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan cara
yang bagaimana dan sebagainya secara terperinci. Adapun tujuan khusus dakwah
Terjemahnya:
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
b) Membina mental agama (islam) bagi kaum yang masih muallaf. Muallaf
10
Daparetemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
85.
c) Mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah (memeluk
agama Islam).
Dari beberapa tujuan dakwah di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan
yang ada dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah tujuan
Dai’ adalah subyek dakwah yang merupakan seorang atau sekumpulan orang
yang menjadi sumber ide, sehingga pesan dakwah akan sangat dipengaruhi oleh
berkembang atau berubah baik dari segi pendekatan, metode, maupun teknik
penyampaiannya. Dakwah yang mengikuti pola kehidupan ummat, tidak akan
baik yang berwujud perorangan maupun organisasi harus memenuhi dua syarat
yaitu tafaqquh fid diin dan tafaqqub fin naas." Tafaqquh fid diin ialah paham akan
risalah atau materi dakwah yang akan disampaikan, serta mampu menerapkan
budaya setempat. Contoh dalam hal ini adalah pendekatan budaya yang dilakukan
menafsirkan secara baru cerita wayang yang telah dikenal rakyat ke dalam nuansa
daerah pedalaman. 12
Sedangkan tafaqquli fin naas adalah paham akan keadaan sosio-kultural dari
untuk mengatasi masalah dan kebutuhan kongkrit sasaran dakwah berdasar dan
berpedoman kepada cara-cara ilmiah yang dibenarkan oleh al-Qur'an atau Hadist.
Termasuk dalam bagian ini adalah menguasai ilmu jiwa, sosiologi, demografi,
sosiografi dan ilmu kemasyarakatan lainnya. Dari dua syarat tersebut dapat
sebagai sasaran dakwah akan merasa perlu dan butuh terhadap dakwah serta mau
11
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup” (Yogyakarta: Samudra Biru, 2017), h. 33.
12
Rosihan Anwar, “Demi Dakwah”, (Bandung: Al-Ma’arif, 1976), h. 9.
Pendekatan dakwah menuntut kualifikasi yang baik dari subyek dakwah.
dan budaya
berfikir
dan Khulafaurrosyidin
13
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup”, h. 36.
14
Hamka, “Tafsir Al-Izhar Juz 4”, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1982), h. 47-51.
c) Memahami bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang didakwahi,
hakekat mereka
sekte umat agar da'i mengetahui mana yang batil yang terkandung di
kebatilan yang dianutnya itu, tentulah orang tersebut akan sulit menerima
pengetahuan agama saja belum cukup akan tetapi seorang da’I juga harus memiliki
merumuskan dan mencari pemecahan masalah ummat. Agar materi dakwah yang
disampaikan akan terasa aktual dan tidak membosankan, juga membuka mata pada
Mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia yang
menerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia
yang beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara
keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama Islam dakwah bertujuan untuk
mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Islam, sedangkan kepada orang orang
yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas keberagamaan
mereka.15
Sasaran dakwah terbagi menjadi dua yaitu sasaran internal yang terdiri dari
semua lapisan masyarakat yang sudah memeluk agama Islam. Serta sasaran
atau obyek dakwah, yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, ekonomi atau
status sosial, hingga pada level geografis atau area tempat hidupnya ummat.16
Karena perlu diketahui bahwa sasaran dakwah adalah masyarakat yang selalu
berubah, baik berubah dari segi aspirasinya, pandangan hidupnya, cita rasanya,
sehingga materi dakwah yang disampaikan pada waktu lalu mungkin tidak relevan
lagi disampaikan pada saat sekarang. Oleh Karena itu ajaran Islam harus
disampaikan dengan orientasi dan analisa yang berbeda serta gaya berbeda pula.
3) Maddah (Materi)
Materi (maddah) dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang
disampaikan da’i pada mad’u atau segala sesuatu yang harus disampaikan subjek
kepada objek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada di dalam Kitabullah
merupakan isi dakwah yang berupa kata, gambar, lukisan dan sebagainya yang
sasaran dakwah. Jika dakwah melalui tulisan yang menjadi pesan dakwah adalah
15
Munir (edt), “Manajemen Dakwah”, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 23.
16
M. Rasyid Ridla, Afif Rifa’I, Suisyanto, “Pengantar Ilmu Dakwah: Sejarah, Perspektif,
dan Ruang Lingkup”, h. 38.
17
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009), hlm. 88.
apa yang ditulis, bila dakwah melalui lisan maka yang menjadi pesan dakwah
adalah yang diucapkan oleh pembicara, dan bila melalui tindakan, perbuatan yang
dilakukan adalah pesan dakwah. Pesan dakwah baik berupa hal-hal yang ditulis,
Media dakwah adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk berdakwah
sasaran dakwah.
mengenal jarak dan rintangan, memiliki daya Tarik yang kuat, relatif
18
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016), h. 404-405.
19
Suriati, Samsinar, “Ilmu Dakwah”, (Tulung Agung: Akademia Pustaka, 2021), h. 144-
147.
c) Media Sosial dapat digunakan dalam berdakwah. Media sosial ini
media sesoal.
d) Media cetak juga merupakan media yang dapat digunakan oleh dai
sarana yang baik agar mad’u dapat lebih dekat dengan-Nya. Yang
5) Tariqha (Metode)
hasil yang didapatkan. Dalam al-Qur'an telah ditetapkan mengenai acuan atau
َ ْي ا َح
سنُ ا َِّن ْ ِسنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّت
َ ي ِه َ ظ ِة ا ْل َح َ اُدْعُ ا ِٰلى
َ س ِب ْي ِل َر ِبكَ ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع
20
Daparetemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Cordoba, 2019), h.
224.
Terjemahnya:
baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang
Ayat diatas menjelaskan bahwa secara garis besar, terdapat tiga metode
a) Metode Al-Hikmah
atau kebenaran suatu perkara".21 Jika dikaitkan dengan konteks ayat tadi, maka
menyampaikan dakwah secara hikmah ialah terlebih dahulu mengetahui tujuan dan
mengenal secara benar orang atau masyarakat yang menjadi sasaran. Oleh karena
dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam,
sosiologis. Maka dari itu dakwah di perkotaan harus dibeda-kan dengan dakwah di
21
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, (Makassar: Alauddin University Press: 2013), h.
70.
Didin Hafidhuddin mendefinisikan dalam buku Prof Muliaty Amin bahwa
Dapat dipahami bahwa metode dakwah tersebut berkenaan dengan aspek informasi
dan nilai. Yakni, nilai-nilai kebenaran yang diperkuat oleh hukum alam dan sosial
Secara bahasa, mauizhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan
Secara istilah menurut Imam Abdullah bin Ahmad an Nasafi adalah, al-
Mauidzatul hasanah adalah perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa
engkau memberi nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan
Alquran. Cara dakwah semacam ini dengan memberi nasihat lazim ditemui dalam
Kata al-mauwiizah dalam QS. al- Nahl (16): 125, dapat dipahami sebagai
22
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h. 71.
23
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, “Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 204.
24
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.78.
25
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.82.
a) pemberian nasehat dengan mengajak orang yang dinasehati untuk
terhadap mad'u, bertujuan agar jiwa dapat tersentuh terhadap apa yang
penuturan bahasa ini dari pemakai yang menarik simpatik dan muda
c) Metode Mujadalah
Dari segi etimologi lafadz mujadalah terambil dari kata "jadala" yang
bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang
mengikuti wazan faa ala, (jā dala), dapat bermakna berdebat, dan mujadalah
adalah perdebatan. 26 Dari segi istilah (terminologi) Al- Mujadalah berarti upaya
tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana
Dari definisi diatas menjelskan bahwa metode ini digunakan apabila ada
pertanyaan atau bantahan dari obyek dakwah, maka jawablah dengan cara yang
baik, ajaklah berdebat dengan cara yang baik sehingga memuaskan mereka. Dalam
menjawab pertanyaan obyek dakwah maupun dalam berdebat dengan mereka perlu
2. Dakwah Kultural
tinggi dan ada ditengah masyarakat untuk memanfaatkan seoptimal mungkin dalam
26
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.85.
27
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h.86.
28
Nirwan Wahyudi AR dan Asmawarni, “Dakwah kultural Melalui Akkorongtigi: Studi
Pada Masyarakat Kelurahan Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa”, AL Mutsla: Jurnal
Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 2, No. 1 (2020): h.29.
manusia sebagai makhluk berbudaya, guna menghasilkan budaya alternatif yang
penghayatan dan pengalaman ajaran Islam yang bersumber dari ajaran Islam dan
al-Sunnah serta melepaskan diri dari budaya yang dijiwai oleh kemusyrikan,
makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenarnya.
Secara teknis, dakwah kultural dapat juga dimaknai sebagai dialog antara
Interaksi dengan pluralitas budaya tersebut, terlebih khusus seni budaya dan
29
Abdul Basit, “FIlsafat Dakwah” (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 170.
30
Nirwan Wahyudi AR dan Asmawarni, “Dakwah kultural Melalui Akkorongtigi: Studi
Pada Masyarakat Kelurahan Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa”, AL Mutsla: Jurnal
Ilmu-ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 2, No. 1 (2020): h.32.
Dakwah kultural dalam tataran ini menemukan relevansinya dengan realitas
akidah Islam tanpa perlu menimbulkan resistensi terutama dari para pengusung
kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, dakwah kultural dapat menjadi strategi
dakwah yang berperan untuk memediasi ketegangan yang sering terjadi antara
Amin memiliki dua fungsi yaitu fungsi ke atas dan fungsi kebawah. Fungsi dakwah
untuk sepenuhnya mengartikulasikan aspirasi rakyat. Fungsi ini berbeda dari pola
bawah kepada kalangan penentu kebijakan. Dakwah kultural jenis ini tetap
menekankan posisinya diluar keuasaan, bukan berarti mendirikan Negara Islam dan
dan lembaga keagamaan yang akan mengakibatkan mereka kehilangan arah dan
pegangan, maka disinilah dakwah Islam harus diserukan dan mereka memerlukan
atas bagi umat Islam serta rakyat pada umumnya untuk membawakan transformasi
yang dapat dikerjakan oleh umat. Hal yang utama dalam proses ini adalah
kultural ini bernilai praktis dan mengambil bentuk utama dakwah bil hal, yaitu
Prinsip dakwah kultural dalam konteks ini adalah acuan prediktif yang
objek dakwah dalam rentang ruang dan waktu sesuai perkembangan masyarakat.
31
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, h. 165
32
Samsul Munir Amin, “Ilmu Dakwah”, h. 166.
fundamental kaitannya dengan proses dakwah. fungsi tersebut mencangkup pada
َ ْي اَح
سنُ اِ َّن َربَّكَ ه َُو ْ ِسنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّت
َ ي ِه َ ظ ِة ْال َح َ اُدْعُ ا ِٰلى
َ سبِ ْي ِل َربِكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع
َسبِ ْي ِله َوه َُو ا َ ْعلَمُ بِ ْال ُم ْهت َ ِديْن َ ا َ ْعلَ ُم بِ َم ْن
َ ض َّل عَ ْن
Terjemahnya:
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesunggughnya Tuhan-mu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dia-
adanya kesenjangan antara materi dakwah dan obyeknya. Agar materi dakwah
menarik bagi mad’u, ada tiga unsur yang harus dipahami oleh para da’I, yaitu: 34
33
Rahmat Ramdhani, “Dakwah Kultural Masyarakat Lembak Kota Bengkulu”, Jurnal
Penelitian dan pengabdian Masyarakat , Vol, 04. No. 2. (2016): h. 169.
34
Muliaty Amin, “Metodologi Dakwah”, h 95.
a) Unsur Tendensi, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi orang
b) Unsur Distingsi, yaitu sesuatu yang unik akan menjadi daya tarik
ulang.
Jadi, ketiga unsur diatas sangat penting untuk menjadi acuan dalam melakukan
pendekatan dakwah kultural. Agar berhasilya suatu dakwah seorang dai harus
mengelola secara baik dari aspek materi maupun obyek dakwah itu sendiri.
kebudayaan sendiri. Setidaknya tiga sikap Islam terhadap kebudayaan atau adat
Sasaran dakwah adalah manusia yang memiliki hati, perasaan dan pilihan,
serta dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, dakwah tidak hanya bersifat
dogmatis, tetapi juga harus terbuka terhadap perubahan dan kemajuan tekhnologi
35
Abdullah, “Ilmu Dakwah” (Depok: Rajawali Pers, 2018), h. 251.
informasi. Perubahan adalah ketentuan Allah Swt yang akan terjadi dengan usaha
Islam. Aktifitas ini berhubungan dengan pikiran, hati dan kehendak seseorang yang
inginkan kesuksesan dalam hidupnya. Keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari
masyarakat. Untuk itu, dai dan daiyah tidak hanya mampu menjelaskan kejayaan
Islam masa lalu, kebesaran nama atau symbol simbol Islam, tetapi harus memiliki
Sidenreng Rappang itu berasal dari dua daerah kerajaan yaitu kerajaan Luwu dan
Kerajaan Wajo. Setelah Agama Islam di terima oleh kerajaan Luwu, ada diantara
Kerajaan Wajo oleh Raja yang bergelar Arung Matowa Wajo bernama La Sangkuru
Mulajaji menyatakan memeluk agama Islam pada tahun 1610 M. Maka beliau
mengajak pula rakyatnya untuk memeluk Agama Islam. dan sebagian dari
36
Fahrurrozi, Faizah, Kadri, “ Ilmu Dakwah” (Jakarta:Prenadamedia Group, 2019), h. 198.
37
Fahrurrozi, Faizah, Kadri, “Ilmu Dakwah”, h. 189-199.
rakyatnya tidak mau atau menolak ajakan beliau, sehingga mereka ini
meninggalkan daerah leluhurnya pada tahun 1616 M., mereka ini di bawah
pimpinan I Pabbare, dan telah menganut suatu keyakinan yang ajarannya sama
dengan yang dianut oleh golongan uwa’ ponreng dari Luwu yaitu ajaran
Sawerigading dan ajaran itu telah diperbaharui atau dirubah oleh La Panaungi. 38
Apabila kita melihat tradisi-tradisi dari golongan Tolotang, maka kita dapat
golongan dengan golongan yang lain, walaupun dasar dasar keyakinan mereka itu
Golongan Wa’ Ponreng ini asal usul mereka berasal dari Luwu dan
golongan ini berada di daerah Kerajaan Addatowang Sidenreng sekitar tahun 1500
dan bertempat tinggal di Amparita jauh sebelum agama Islam datang di bawah
Uwa’ Ponreng sudah berada di daerah Sidenreng dan mereka senantiasa mematuhi
segala perintah kerajaan dan pada waktu Agama Islam diterima oleh Raja
agama resmi dalam kerajaannya untuk dianut oleh rakyatnya, maka dari golongan
dari Luwu itu mengaku sebagai penganut agama baru tersebut yaitu Agama Islam,
38
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang
Benteng” (Makassar: Cv Sah Media, 2017), h. 18-19.
39
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h.22.
namun mereka masih melaksanakan tata cara tradisi dahulu yang pernah di anut
semua tata cara tradisi mereka seperti Tudang Sipulung, mappenre nanre, dan
mendatangi suatu tempat yang mereka anggap keramat seperti sebuah sumur di
ditempati merellau atau berdoa oleh golongan Uwa’ Ponreng. Golongan ini
biasanya datang ke sana disaat orang akan turun sawah dan sesudah panen, ataukah
hal-hal yang dianggap penting menyangkut golongannya, misalnya padi tidak jadi
sumur itu dapat di jadikan obat kalau ada di antara mereka menderita sesuatu
penyakit. Golongan Tolotang Uwa’ Ponreng ini sejak berada di Sidenreng mengaku
sebagai penganut Agama Islam, golongan inilah yang dinamai komunitas Tolotang
Benteng.
Menurut Atho Muzdhar bahwa istilah Tolotang Benteng terdiri atas kata
Tolotang dan Benteng. Tolotang berasal dari kata Tau yang berarti orang dan
lautang yang berarti selatan, sedangkan Benteng berarti pagar, jalan atau benteng
pertempuran.40 Jadi Tolotang Benteng berarti orang yang tinggal di sebelah selatan
pagar (jalan atau benteng pertempuran). Istilah itu menunjukkan lakasi tempat
menjadi nama suatu aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bugis.
40
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 32.
Kelompok Tolotang Benteng adalah kelompok orang-orang yang
mempunyai dua unsur yaitu unsur Islam dan unsur Tolotang. Pada satu sisi secara
sehari-hari, mereka tidak menjalankan syariat Islam secara utuh seperti shalat,
puasa dan sebagainya. Akan tetapi hanya dua perihal saja selama hidup mereka
yang dikerjakan secara Islam yaitu dalam perkawinan dan kematian. Dalam hal
pernikahan mereka mendaftarkan diri pada Kantor Urusan Agama dan dikawinkan
oleh pejabat agama sebagaimana layaknya orang-orang Islam, kemudian dalam hal
dikuburkan secara Islam semua itu dilakukan oleh imam desa atau pejabat Kantor
Urusan Agama yang lazim disebut sebagai Pegawai syara atau guru.
Pada segi lain, mereka mengakui Dewata seuwae sebagai Tuhan mereka
dan Sawerigading sebagai Nabi mereka. Mereka pun memiliki kitab suci yang
molalaleng (hari akhirat) sebagai mana yang dimiliki oleh Towani Tolotang.
Lontara sebagai kitab suci mereka terdiri atas dua macam, yaitu Lontara katti yang
berisi soal-soal duniawi dan lontara Purokani yang berisi keterangan tentang hari
kemudian. Menurut isinya lontara-lontara itu terdiri atas empat judul besar, yaitu:41
41
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 32-
33.
1) Mula yolona Batara Guru yang berarti rencana PatotoE untuk menurunkan
Muhammad Saw.
langit tujuh susun, tanah tujuh lapis dan orangt-orang yang sudah mati.
lapis dan memegang jabatan baru disana dengan gelar Guru Riselleng.
bahwa apabila Islam datang agar tetap pada ajaran kepercayaan Lama yaitu
Panaungi dengan gelar Uwatta Matanre Batunna yang berarti Uwatta yang tinggi
batu nisannya. Tidak jelas pada abad berapa la Panaungi hidup, tetapi kuburannya
yang pada bibirnya terletak beberapa buah batu dan berpagar setinggi dua meter.
Kompleks ini mempunyai pelataran seluas 100 M2, disana banyak ditumbuhi
42
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h.34.
semak belukar dan dipagari kawat berduri dengan pintu yang selalu terkunci kecuali
selatan mesjid raya desa Amparita atau 100 M. sebelah tenggara kantor Kecamatan
Tellu Limpoe. Dahulu sumur itu milik La Panaungi, pendiri Tolotang Benteng.
Sekali setahun pada waktu yang ditetapkan, biasanya setelah panen sawah, ratusan
penganut Tolotang Benteng juga yang tinggal di luar Amparita datang berbondong-
bondong ke sumur tersebut. Mereka membawa seikat daun sirih segar sekitar 30
lembar, tiga butir buah pinang dan sebotol kecil minyak kelapa yang diberi warna
memimpin ritus dengan membaca bacaan tertentu dalam bahasa Lontara (bahasa
Bugis) Uwatta berdiri dibibir sumur dan satu persatu secara silih berganti semua
yang hadir mendekat padanya dan memperlihatkan pinang dan daun sirihnya
masingmasing. Minyak kelapa masing-masing yang ditaruh dalam botol kecil, oleh
Uwatta dituangkan beberapa tetes ke dalam sumur, sementara Uwatta dan pemilik
minyak meminta keselamatan dalam hati untuk tahun itu. Sisa minyak setelah
diteteskan, dikembalikan kepada pemiliknya. Demikian pula daun sirih dan buah
pinang di bawah kembali pulang. Demikian silih berganti sampai semua yang hadir
setelah menyerahkan minyak kepada Uwatta. Bagi mereka, minyak yang telah
diteteskan, daun sirih dan buah pinang tersebut dapat dipergunakan untuk semua
keperluan yang bersifat keselamatan. Minyak dapat dioleskan dan daun sirih dapat
dikunyah sebagai obat. Sipulung dipakaweruhe selalu dikerjakan pada malam hari,
lontara (meong palo) dan pesta makan bersama. Selain Pakaweruhe, mereka masih
mempunyai sumur lain yang setiap tahun juga di kunjungi, yaitu sumur pabbaju eja,
obatan, maksudnya ialah seperangkat peralatan seperti pisau, tali obat-obatan klasik
berupa akar-akaran dan daun-daunan seperti lipatan daun kelapa, daun lontara dan
sebagainya untuk disandingkan pada bayi yang baru lahir. Alat-alat dan obat obatan
yang baru di simpan didalam sebuah kotak berlapis kain berukuran panjang 40 cm,
lebar 25 cm dan tinggi 25 cm dan selalu tersimpan dalam setiap rumah penganut
keluarga dan bayi itu sendiri dipandang kurang baik, dikhawatirkan kelak akan
ialah ritus untuk menaikkan atau menghadirkan seorang anggota keluarga yang
bertemu dengan neneknya atau keluarga lain yang sudah meninggal, disiapkan
lain diletakkan secara teratur di atas lantai rumah. Para anggota keluarga duduk
bersila mengelilingi sajian di lantai. Salah seorang anggota keluarga tertua atau
Uwa, biasa Uwa Tikah, membacakan bacaan tertentu dalam bahasa lontara bugis,
sementara semua yang hadir mendengarkan dan tafakkur. Apabila si mati yang
sedang dipanggil itu telah datang, mereka pun menemuinya dengan cara menengok
43
Andi Rusdi Maidin, “Model Kepemimpinan Uwatta dalam Komunitas Tolotang Benteng”, h. 35.
sebentar ke dalam kelambu. Buah-buahan pun terlihat berbekas seperti baru saja di
44
Mattulada, “Sejarah, Masyarakat Dan Kebudayaan Sulawesi Selatan”, (Ujung pandang
: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1998), h. 162.