Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

METODE DA’WAH

Mata Kuliah : Fiqih Da’wah 1

Dosen : Ustadz H. Jamaludin Nibun, M.Pd

Disusun oleh :

Eni Mulyani

Khonsa Qonita

Putri Amelia

Sayidah Naila Brilian Arrahman

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAIS ASY-SYUKRIYYAH TANGERANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Segala puji bagi Allah SWT atas karunia yang telah diberikan-Nya sehingga makalah

“Metode Dakwah” yang disusun sebagai tugas mata kuliah Fiqih Dakwah 1 dapat

diselesaikan semaksimal mungkin. Shalawat serta salam disanjungkan kepada nabi agung

Muhammad SAW yang memberikan inspirasi dakwah sehingga makalah ini tersusun salah

satunya atas spirit perjuangan beliau.

Akhirnya ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen Fiqih Dakwah, Ustadz

H. Jamaludin Nibun, M.Pd yang telah memberikan kami kesempatan berdiskusi ria

membahas Metode dakwah sehingga muncul teori-teori untuk mengangkat dakwah sebagai

sebuah kajian dan kegiatan yang efektif. Permintaan maaf kami haturkan atas kesalahan-

kesalahan yang kami lakukan dalam penyusunan makalah ini, baik kecil maupun besar.

Akhir kata.

Wassalamu’alaikum wr wb.
A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan

informasi, telah membawa dampak berarti pada perubahan sendi-sendi etika umat Islam. Era

globalisasi memiliki potensi untuk merubah hampir seluruh sistem kehidupan masyarakat

baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan dibidang pertahanan dan keamanan.

Dakwah ke depan ini menempatkan perencanaan dan strategi yang tepat dengan

merujuk kepada metode dakwah Rasulullah SAW. Para intelektual muslim dapat

merumuskan konsep dan metode dakwah untuk generasi muda, orang dewasa atau objek

dakwah bagi berbagai lapisan masyarakat yang tingkat pemahaman keagamaannya tergolong

rendah atau sebaliknya bagi masyarakat yang tingkat pendidikannya tergolong tinggi,

sehingga materi dakwah sesuai dengan objeknya.

Ada yang berpendapat bahwa berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah, dengan

menisbatkan pada lokasi-lokasi yang didiami para dai dan muballigh. Artinya, jika pada satu

kawasan sudah ada yang melakukan dakwah, maka dakwah ketika itu hukumnya fardhu

kifayah. Tetapi jika dalam satu kawasan tidak ada orang yang melakukan dakwah padahal

mereka mampu, maka seluruh penghuni kawasan itu berdosa di mata Allah. Dengan

demikian sebenarnya dakwah merupakan kewajiban dan tugas setiap individu. Hanya dalam

pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di lapangan.


B. Pembahasan

1. Pengertian Metode Dakwah

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang merupakan gabungan dari kata

meta dan hodos. Meta berarti melalui, mengikuti, atau sesudah, sedangkan hodos berarti

jalan, arah atau cara. Metode dalam bahasa arab disebut dengan thariqat dan manhaj yang

mengandung arti tata cara, sementara itu dalam kamus Bahasa Indonesia metode artinya cara

yang teratur dan berfikir baik-baik untuk maksud (dalam ilmu pengetahuan) untuk mencapai

tujuan yang ditentukan. Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau jalan yang sudah

diatur dengan pertimbangan tertentu yang bisa ditempuh guna mencapai tujuan tertentu.

Secara etimologis dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u, da’wan, du’a,

yang diartikan sebagai mengajak/menyeru, memanggil, seruan, permohonan dan permintaan.

Istilah dakwah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma’ruf dan

nahi mungkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzar, washiyah, tarbiyah, ta’lim dan khotbah.

Setelah mendata seluruh kata dakwah dapat didefinisikan bahwa dakwah Islam adalah

sebagai kegiatan mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah

untuk meniti jalan Allah dan istiqoamah dijalaNya serta berjuang bersama meninggikan

agama Allah. Oleh karena itu, secara terminologis pengertian dakwah dimaknai dari aspek

positif ajakan tersebut, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia akhirat.

Sementara itu, para ulama memberikan definisi yang bervariasi mengenai kata dakwah,

antara lain :

a. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dakwah adalah mengajak seseorang agar

beriman kepada Allah dan kepada apa yang dibawa oleh para RasulNya dengan cara

membenarkan apa yang mereka beritakan dan mengikuti apa yang mereka perintahkan.

b. Syaikh Muhammad Ash-Shawwaf mengatakan, ”Dakwah adalah risalah langit yang

diturunkan ke bumi, berupa hidayah sang khaliq kepada makhluk, yakni dien dan jalan-Nya
yang lurus yang sengaja dipilih-Nya dan dijadikan sebagai jalan satu-satunya untuk bisa

selamat kembali kepada-Nya.”

c. Ahmad Ghalwasy dalam bukunya ”ad dakwah al-Islamiyah” mengatakan bahwa, ilmu

dakwah adalah ilmu yang dipakai untuk mengetahui berbagai seni menyampaikan kandungan

ajaran Islam, baik itu akidah, syariat, maupun akhlak.

d. Drs. Muhammad Al-Wakil mendefinisikan, ”Dakwah adalah mengumpulkan manusia

dalam kebaikan dan menunjukkan mereka jalan yang benar dengan cara amar ma’ruf dan

nahi munkar.”

Dari beberapa definisi di atas dengan redaksi yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa

esensi dakwah bukan hanya terbatas pada penjelasan dan penyampaian semata, namun juga

menyentuh pada pembinaan dan takwin (pembentukan) pribadi, keluarga, dan masyarakat

Islam.

2. Tujuan Metode Dakwah

Dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai

suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak

langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh aktivitas dakwah akan sia-

sia (tiada artinya).

Didin Hafidhudin mengemukakan tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku

sasaran dakwah agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam dataran

kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga,

maupun sosial kemasyarakatan, agar mendapat kebaikan dunia dan akhirat serta terbebas dari

azab neraka.

Amrullah Ahmad dalam bukunya Dr. H. Ali Aziz, M. Ag. menyinggung tentang

tujuan dakwah yaitu untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak
manusia pada dataran individual dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam

dalam semua segi kehidupan.

Dari beberapa tujuan dakwah tersebut,secara garis besar tujuan dakwah dapat dibagi dua

yaitu:

a. Tujuan Umum, tujuan dakwah secara umum adalah penyelamat umat manusia dari

lembah kegelapan dan membawa ke tempat yang terang dari jalan yang sesat ke jalan yang

lurus, dari lembah kemusykilan dengan segala bentuk kesengsaraan menuju kepada tauhid

yang menjadi kebahagiaan.

b. Tujuan khusus, selain tujuan umum dakwah juga memiliki tujuan secara khusus yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Terlaksana ajaran Islam secara keseluruhan dengan cara yang benar dan berdasarkan

keimanan sehingga terwujud masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama

dengan merealisasikan ajaran Islami secara positif penuh dan menyeluruh.

2) Terwujudnya masyarakat muslim yang diidamidamkan dalam suatu tatanan hidup

berbangsa dan bernegara, adil, makmur, damai dan sejahtera dibawah bimbingan rahmat,

karunia dan ampunan Allah.

3) Mewujudkan sikap beragama yang benar dari masyarakat.

3. Prinsip-Prinsip Metode Dakwah Menurut Al-Quran

Prinsip metode dakwah artinya ruh atau sifat yang menyemangati atau melandasi

berbagai cara atau pendekatan dalam kegiatan dakwah. Untuk lebih jelas diantaranya

mengacu kepada petunjuk al-Quran surat al-Nahl ayat 125 terdiri dari tiga prinsip yaitu al-

hikmah, al-mauidzah al-hasanah, dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Ayat tersebut berbunyi:

َ ‫س ُن ۚ إِنَّ َربَّكَ ه َُو أَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬


َ ‫ض َّل ع َْن‬
‫سبِي ِل ِه ۖ َوه َُو‬ َ ‫ِي أَ ْح‬
َ ‫سنَ ِة ۖ َوجَا ِد ْل ُه ْم بِا َّلتِي ه‬ َ ‫سبِي ِل َربِكَ بِا ْلحِ ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِع‬
َ ‫ظ ِة ا ْل َح‬ َ ‫ع إِلَ ٰى‬
ُ ‫ا ْد‬

َ‫أ َ ْعلَ ُم بِا ْل ُم ْهت َ ِدين‬


“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan

bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu ialah yang lebih

mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. Al-Nahl :125).1

a. Bi al-Hikmah

Kata al-hikmah mempunyai banyak pengertian. Dalam beberapa kamus, kata al-

hikmah diartikan: al-adl (keadilan), al-hilm (kesabaran dan ketabahan), al-Nubuwah

(kenabian), al-ilm (ilmu pengetahuan), al- Quran, falsafah, kebijakan, pemikiran atau

pendapat yang baik, al-haqq (kebenaran), meletakan sesuatu pada tempatnya, kebenaran

sesuatu, mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama.

Dalam kitab - kitab tafsir, al-hikmah dikemukakan sebagai berikut: Tafsir Al-Quran

Al-adzim karya Jalalain memberi makna bi al-hikmah dengan Al-Quran, Syekh Muhammad

Nawawi Al - Jawi memberi makna bi al - hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, dan

berpaedah untuk penetapan akidah atau keyakinan. Al - Zamakhsari memberikan makna bi

al-hikmah sebagai perkataan yang sudah pasti benar, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran

dan menghilangkan keraguan atau kesamaran. Ia juga mengartikannya dengan al-Quran,

yakni “ serulah mereka untuk mengikuti kitab yang memuat al-hikmah”. Wahbah al-Juhaili

dalam karyanya tafsir al-Munir memberi makna bi al-hikmah sebagai perkataan jelas dengan

dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan. Al-

Maragi memberi makna bi al-hikmah secara lebih luas, yaitu wahyu Allah yang telah

diberikan kepadamu.

Dari beberapa pemaknaan al-hikmah tersebut, diambil kesimpulan bahwa dakwah bi

al-hikmah pada intinya merupakan penyeruan atau pengajakan dengan cara bijak, filosofis,

1
Syukriadi Sambas dan Rasihon Anwar, pen. Di Balik Strategi Dakwah rasulullah
(Membedah Wacana Kepemimpinan, Kaderisasi dan Etika Dakwah Nabi (Bandung: Mandiri Press,
1999) , h. 46.
argumentatif, dilakukan dengan adil, penuh kesabaran dan ketabahan, sesuai dengan risalah

al-nubuwwah dan ajaran al-Quran atau wahyu Illahi. Dengan demikian terungkaplah apa

yang seharusnya secara al-haq (benar) terposisikannya sesuatu secara proporsional.

Menurut Ibnu Rusyd, dakwah dengan hikmah artinya dakwah dengan pendekatan substansi

yang mengarah pada falsafah dengan nasihat yang baik, yang berarti retorika yang efektif dan

populer, serta argumentatif atau dialektis yang unggul. Dakwah bi al-hikmah, yang berarti

dakwah bijak, mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u

(muqtadha al-hal). Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis

sebagaimana tantangan dan kebutuhan dengan memperhatikan kadar pemikiran dan

intelektual,suasana psikologis, serta situasi sosial kultural mad’u.

Ada 3 unsur yang saling terkait di sini:

1) Unsur Ilmu, yakni ilmu yang shahih yang dapat memisahkan antara yang haq dan

batil, serta ilmu yang dapat mengetahui tentang rahasia dan faedah sesuatu.

2) Unsur jiwa, yakni menyatunya ilmu tersebut ke dalam jiwa seorang da’i, sehingga

menjadi darah daging dalam dirinya.

3) Unsur amal perbuatan, yakni ilmu pengetahuan yang telah menyatu ke dalam jiwa

tersebut mampu memotivasi diri da’i untuk melakukan sesuatu. (Awaludin Pimai)

Jadi, dakwah bil hikmah adalah kemampuan seorang da’i di dalam melaksanakan

dakwah dengan jitu yang didukung oleh ilmu pengetahuan yang dia miliki. Atau, dakwah bil

hikmah adalah kemampuan seorang da’i dalam melaksanakan dakwah dengan cara

mamahami persoalan mad’u dan mampu mencarikan solusinya.

Prinsip-prinsip metode dakwah bi al-hikmh ditujukan terhadap mad’u yang kapasitas

intelektual pemikirannya terkategorisasikan khawas, cendikiawan, atau ilmuwan. Menurut

Sayid Qutub (1997: 22), dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apabila

memperhatikan tiga faktor. Pertama, keadaan dan situasi orang-orang yang didakwahi.
Kedua, kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka merasa tidak

keberatan dengan beban materi tersebut. Ketiga, metode penyampaian materi dakwah dengan

membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.

Menurut Muhammad Husen Yusuf, dakwah dengan hikmah berarti dakwah yang

disesuaikan dengan kadar akal, bahasa, dan lingkungan para pendengarnya. Sebab manusia

secara fitrah terdiri atas tiga macam. Salah satunya manusia yang secara fitrah memiliki

tendensi pada kebenaran. Dengan pemikirannya, ia menerima dakwah dengan mudah, selama

dakwah itu tegak dan dijalankan sesuai dengan proporsinya. Ia tidak akan berbelit-belit dalam

menyambut dakwah dan tidak ragu untuk membelanya demi berjuang dijalan Allah, seperti

yang dilakukan generasi pertama Islam. Mereka tidak ragu-ragu untuk menyambut ajaran

Rasulullah. Dengan hanya mendengar ayat-ayat al-Quran dan penjelasan-penjelasan yang

disampaikan kepada mereka.

b. Al-Mauidzah al-Hasanah

Yang dimaksud dg mau’izah hasanah adalah kemampuan seorang da’i dalam

memberikan pengajaran yang baik kepada mad’u dg lemah lembut tanpa ada unsur paksaan.

(Sayyid Qutub).

Juga berarti ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran,

kisah, peringatan, pesan, wasiyat yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan umat

manusia. (Abd Hamid al-Bilali)

Mau’izah Hasanah arti dasarnya nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan yang

baik. Bisa diartikan ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran,

kisah2, berita gembira, pesan2 positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan untuk

keselamatan di dunia dan akhirat. Mau’izah hasanah berarti memasukkan ke dalam kalbu

kata2 dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak
membongkar kesalahan orang lain, karena kelemah lembutan dalam menasehati dapat

meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar.

Al-mauidzah al-hasanah, menurut beberapa ahli bahasa dan pakar tafsir, memiliki

pengertian sebagai berikut:

a) Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling dari perbuatan jelek melalui tarhib dan

targhib (dorongan dan motivasi); penjelasan, keterangan, gaya bahasa, peringatan, penuturan,

contoh teladan, pengarahan, dan pencegahan dengan cara halus.

b) Pelajaran, keterangan, penuturan, peringatan, pengarahan, dengan gaya bahasa yang

mengesankan, atau menyentuh dan terpatri dalam naluri;

c) Simbol, alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan

melalui al-qaul al-rafiq (ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);

d) Kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki peningkatan amal;

e) Nasihat, bimbingan, dan arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan dengan baik dan

penuh tanggung jawab, akrab, komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan di hati sanubari

mad’u.

f) Suatu ungkapan dengan penuh kasih sayang yang terpatri dalam kalbu, penuh

kelembutan sehingga terkesan dalam jiwa, tidak melalui cara pelarangan dan pencegahan,

sikap mengejek, melecehkan, menyudutkan atau menyalahkan, meluluhkan hati yang keras,

menjinakan kalbu yang liar.

g) Tutur kata yang lemah lembut, perlahan-lahan, bertahap dan sikap kasih sayang –

dalam konteks dakwah-, dapat membuat seseorang merasa dihargai rasa kemanusiaannya dan

mendapat respon positif dari mad’u.

Ruang Lingkup Mauizah hasanah bisa dipahami dengan makna yang lebih luas:

Ceramah/Pengajian, Pendidikan atau pengajaran (sekolah), Tulisan/buku, Tauladan diri.


Prinsip-prinsip metode ini diarahkan kepada mad’u yang kapasitas intelektual dan

pemikiran serta pengalaman spiritualnya tergolong kelompok awam. Dalam hal ini, peranan

juru dakwah adalah sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, yang menyayangi dan

memberikannya segala hal yang bermanfaat serta membahagiakan mad’unya.

c. Al-Mujadalah

Al - Mujadalah merupakan upaya dakwah melalui bantahan, diskusi, atau berdebat

dengan cara yang terbaik, sopan, santun, saling menghargai, dan tidak arogan. Dalam

pandangan Muhammad Husain Yusuf, cara dakwah ini diperuntukan bagi manusia jenis

ketiga. Mereka adalah orang-orang yang hatinya dikungkung secara kuat oleh tradisi

jahiliyah, yang dengan sombong dan angkuh melakukan kebatilan, serta mengambil posisi

arogan dalam menghadapi dakwah. Kesombongannya yang transparan mendorongnya untuk

berkata: “Mengapakah al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang-orang yang besar dari

salah satu dari dua negeri (Mekah dan Thaif) ini”. Mereka mengucapkan perkataan yang

serupa dengan orang-orang terdahulu, sebagaimana direkam dalam al-Quran yang

terjemahnya: ”Mereka berkata, “Apakah betul, apabila kami telah mati dan menjadi tanah

serta tulang belulang akan dibangkitkan? Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah

diberi ancaman (dengan) ini dahulu kala”.Bagi manusia semacam itu, keindahan balaghah al-

Quran dan nasihat yang baik tidak berarti apa-apa.

Mereka harus dihadapkan pada perdebatan yang baik dengan cara menegakan berbagai

argumentasi yang dapat mematahkan mereka, dengan tetap menjaga sikap arif dan lembut

kepada mereka. Sebab,cara demikian sangat kondusif untuk memadamkan api jahiliyah.

Sikap keras dan kasar kepada mereka hanya membuat mereka menjadi semakin sombong

saja.2

2
Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), cet. I, h. 78-82
Atau bisa dikatakan metode al – mujadalah adalah sebuah metode dakwah yang lebih

mengedepankan unsur dialog dalam pelaksnaan dakwahnya. Dialog dalam hal ini haruslah

mengacu kepada persyaratnya yaitu: Tanpa kekerasan, Tidak mencari menang kalah, Tidak

ada unsur permusuhan, Tidak ada sikap sombong, Tidak ada provokasi.

Dalam pelaksanaan metode mujadalah, ada 3 aspek yang harus dikuasai oleh para

da’i, yaitu:

1) 1 . Menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai modal dialog

2) 2. Punya kedewasaan sikap dan prilaku sehingga dialog bisa berjalan lancar.

3) Mampu mengambil langlkah atau upaya bagi berhasilnya sebuah dialog yang

berkualitas.

4. Metode Dakwah Dalam Perspektif Pendidikan

a. Tarbiyah

Dalam literatur-literatur berbahasa Arab kata tarbiyah mempunyai banyak definisi

yang intinya sama yaitu mengacu pada proses pengembangan potensi yang dianugrahkan

pada manusia.

Kedua istilah ini Tarbiyah dan Ta’lim mempunyai istilah yang tidak jauh berbeda

dengan dakwah. Keduanya umumnya diartikan dengan pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai, ilmu pengetahuan, maupun ketrampilan yang

membentuk wawasan sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat. Ta’lim disisi lain ada

yang menjelaskan ta’lim sebagai proses pengajaran yang hanya pada tingkat pemahaman,

sedangkan tarbiyah adalah upaya mendorong untuk melaksanakannya.

Definisi itu antara lain sebagai berikut:


a. Menurut Thabary, Tarbiyyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal

dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa

dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.

b. Menurut Tafsir Al-Maraghy, Tarbiyyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh

kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.

c. Menurut Al- Ashqalany, Tarbiyyah adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu,

menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

d. Menurut Al- Maraghy, Tarbiyyah adalah yang mencakup pengembangan, pemeliharaan,

penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan

dan perasaan memiliki terhadap anak didik.

Para ahli memberikan definisi tarbiyah, bila diidentikkan dengan al-rabb adalah sebagai

berikut:

a. Menurut al-Quturbi, bahwa; arti arrabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang

maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan (al-Qurthuby, tth: 15).

b. Menurut Louis al-Ma’luf ar-rabb : berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan,

tambah, dan mengumpulkan (Ma’luf, 1960: 6).

c. Menurut Fahru Razi, ar-rabb : merupakan fonem yang seakar dengan al-tarbiyah yang

mempunai arti attanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan) (al-Razi, t.th: 12).

d. Al-Jauhari yang dikutip oleh alAbrasy memberi arti kata tarbiyah dengan rabban dan

rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh (Zuhairini, 1950: 17).

Dari pandangan beberapa pakar tafsir tersebut, kata dasar ar-rabb, mempunyai arti yang luas

antara lain; memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan,

mengembangkan dan berarti pula memanage.


Konsep tarbiyyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting.

Menurut Al-Attas (Naquib, : 65), secara semantik istilah tarbiyyah tidak tepat dan tidak

memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana

dipaparkan, bahwa: Istilah tarbiyyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan

sebagaimana dipergunakam di masa kini, tidak secara alami mengandung unsur-unsur

esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-

unsur pendidikan yang sebenarnya. Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang

berhubungan dengan pengetahuan disusupkan dalam konsep rabba, maka makna tersebut

mengacu pada pemilikan pengetahuan (penulis: pada aspek manajerial) dan bukan

penanamannya. Konsep tarbiyyah merupakan proses mengurus dan mengatur supaya

perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar.

Kata al-rabb juga berasal dari kata tarbiyyah yang berarti mengantarkan sesuatu

kepada kesempurnaan secara bertahap, sebagaimana Q.S. al Syu’ara: 18,

“Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami,

waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari

umurmu”.

Ini menegaskan pada proses pengasuhan atau membesarkan. Proses tarbiyah tidak

mencakup langsung keterlibatan ilmu sebagai aspek penting dalam pendidikan. Proses

pengembangan (penumbuhan) diri sebagai pengembangan yang bersifat materi, pada dimensi

biologis (meterialistik) dan bersifat kuantitatif (aturan, fasilitas dan kondisi).

b. Ta’lim

Ta’lim berasal dari akar kata ‘allama (‫ )علّم‬, yu‘allimu (‫ )يعلم‬,dan ta’lim (‫)تعليم‬.

Yu’allimu diartikan dengan mengajarkan, dan ta’lim artinya pengajaran (instruction; teach-

of). M. Thalib mengatakan bahwa ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada
seseorang yang belum tahu (Thalib, 1996: 16). Dan mu’allim atau pengajar yang berarti

orang yang melakukan pengajaran.2 Sebagaimana hadits nabi Muhammad SAW.:

Artinya: “Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat

kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi

larangan-larangan. Karena yang demikian itu akan memelihara mereka dan kamu dari api

neraka”.

Artinya: “sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan

mengajarkannya”. (H.R. al-Bukhary)

Taklim secara umum hanya terbatas pada pengajaran (proses transfer ilmu

pengetahuan) dan pendidikan kognitif semata-mata (proses dari tidak tahu menjadi tahu). 3

Beberapa ahli Pendidikan mendefinisikan taklim, sebagai berikut:

a. Abdul Fatah Jalal, mendefinisikan taklim sebagai proses pemberi pengetahuan,

pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah. Taklim menyangkut

aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman

perilaku yang baik.

b. Menuruit Rasyid Ridho, taklim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada

jiwa individu tanpa adanya batasan ketentuan tertentu. Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’

sebagai proses transmisi

yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis

asma yang diajarkan Allah kepadanya. taklim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan

orang dewasa.

c. Menurut Muhammad Athiyah alAbrasy, taklim lebih khusus dibandingkan dengan

tarbiyah, karena taklim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada

aspek-aspek tertentu saja, sedankan tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.

Penggunaan kata ‘allama-ta’lim juga didapatkan pada hadits-hadits berikut:


“Barang siapa yang mengajarkan suatu ilmu maka dia memperoleh pahala orang

yang mengamalkannya.”

(HR. Ibn Majah).

Berdasarkan beberapa ayat dan beberapa hadts tersebut, istilah ta’lim menunjukkan

bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir.

Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena

pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik,

sesuai peran dan fungsinya menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam konsep ta’lim,Allah

adalah “Guru” para nabi dan manusia. Menurut AzZajjaj, taklim merupakan cara Allah

mengajarkan para nabi dan umat manusia tentang “ilmu pengetahuan” dan “teknologi”,

sebagaimana dipahami dalam petikan ayat: “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat

baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu

bersyukur (kepada Allah)” (Q.S. al-Anbiya: 80). Ilmu pengetahuan menurut Islam merupakan

landasan kuat bagi keimanan dan sekaligus pedoman amal dalam meningkatkan kualitas

hidup manusia untuk memperoleh ridha Allah SWT.

Konsep taklim secara filosofis dalam al-Qur’an digunakan khusus untuk

menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diulang dan dikembangkan,

sehingga menghasilkan pengaruh ke arah ketinggian spiritual pada diri muta’allim.


C. Kesimpulan

Melihat persoalan umat Islam di atas, nampaknya dakwah Islam harus dilakukan

dengan upaya yang serius dan tidak hanya cukup dilakukan dengan dakwah bil lisan, dakwah

yang dibutuhkan adalah kerja nyata yang mampu menimbulkan perubahan-perubahan sosial

kemasyarakatan dan mampu memberikan solusi bagi permasalahan umat.

Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampaian ilmu pengetahuan yang benar,

pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. ta’lim disini

mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam

hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.

Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimibangan anak supaya

berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara

sempurna.

Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman

ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.

Anda mungkin juga menyukai