Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar belakang

MASYARAKAT merupakan sebuah komunitas yang tak dapat dipisahkan dari budaya. Budaya
itu yang kemudian membedakan antar satu komunitas dengan komunitas yang lain. Budaya
berpengaruh pula terhadap adat kebiasaan, pola pikir serta sikap setiap individu yang tergabung
di dalamnya. Orang sunda berbeda dengan orang batak dari berbagai sisi, mulai bahasa, etika
serta standar kepribadiannya. Begitu pula dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia bahkan di
dunia.
Di era Nabi Muhammad, masyarakat Arab kala itu tersusun atas klan-klan suku. Nabi
Muhammad terlahir dan besar di tengah suku yang terpandang di jazirah Arab kala itu, yakni
Quraisy. Islam datang sebagai agama yang “menuntun” masyarakat Arab agar melaksanakan
perintah Tuhan Allah, serta meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka yaitu dewi-dewi
banatullah Al-Latta, Al-Uzza dan Al-Mannat. Dakwah Nabi ini tidak mudah sebab setiap klan
tidak menyetujui ajaran monotheisme yang diajarkan Nabi Muhammad. Dengan kegigihannya,
Islam pun berkembang hingga saat ini.
Dakwah memerlukan metode agar pesan yang dibawa tersampaikan dengan baik.
Metode-metode yang terkandung di dalam nash-nash ini perlu dikaji dan diterapkan di dalam
aktifitas dakwah. Begitupun, secara historis da’i perlu melihat perjuangan Rasul agar dakwah
dapat diterima dengan baik.

b. Rumusan Masalah

Rumusan yang menjadi master of question dalam makalah ini adalah :


1. Apa itu metode dakwah dan hal-hal yang berkaitan dengannya?
2. Kenapa metode dakwah begitu diperlukan?
3. Di mana dan kapan saat yang tepat bagi seorang da’i itu bedakwah?
4. Bagaimankah materi yang mampu menunjang efektivitas kegiatan dakwah??

c. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun guna melengkapi metode penyampain materi Dakwah yang diampu oleh
Bapak muh. Yusron . Isi di dalam makalah ini di antaranya mendalami metode pelaku dakwah
khususnya penyampai (da’i) agar efektifitas dakwah dapat tercapai.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Dakwah

SEBAGAIMANA telah dibahas oleh kelompok sebelumnya, dakwah merupakan suatu proses
upaya mengubah suatu situasi yang lebih baik sesuai ajaran Islam atau proses mengajak manusia
ke jalan Allah SWT yaitu agama Islam. Para ulama memberi definisi sesuai pemikiran masing-
masing sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Al-Babiy Al-Khuli bahwa dakwah adalah upaya
memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lebih baik. Pada prinsipnya, dakwah adalah
kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah
merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau
ajakan (wikipedia.org).
Sementara kata “metode”, dari aspek etimologi atau kebahasaan berasal dari dua kata,
yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Dalam bahasa Yunani kata “metode” berasal dari
kata “methodos” artinya jalan. Metode disebut sebagai manhaj atau thariqat dalam bahasa Arab
yang berarti tata cara, sedang dalam kamus bahasa Indonesia kata “metode” berarti cara yang
teratur dan sigtimatis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja (kamus ilmiah populer, Pius A
Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Arkola Surabaya). Jika digabungkan dengan kata “dakwah” maka
metode dakwah yaitu cara-cara atau langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau
menyeru umat ke jalan Allah SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Cara-cara ini disesuaikan dengan kondisi-kondisi mad’u (penerima dakwah) agar pesan
dapat diterima secara maksimal oleh mad’u tersebut. Dalam hal ini perlunya dakwah
dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain seperti antropologi, psikologi, sosiologi, filosofi, sejarah dan
lainnya. Apabila pesan dakwah diterima baik, maka dakwah tersebut bisa dikatakan berhasil.

B. Bentuk-Bentuk Metode Dakwah

ُ‫َّكُه َُوُأ َ ْعلَمُُ ِب َمن‬ َُّ ‫سنُُ ِإ‬


َُ ‫نُ َرب‬ َُ ‫سنَ ُِةُ َو َجاد ِْلهمُ ِبالَّ ِتيُ ِه‬
َ ‫يُأ َ ْح‬ َ ‫ظ ُِةُ ْال َح‬
َ ‫كُ ِب ْال ِح ْك َم ُِةُ َو ْال َم ْو ِع‬
َُ ‫لُ َر ِب‬
ُِ ‫س ِبي‬
َ ُ‫ادْعُُ ِإ ِلى‬
٥٢١-َُُ‫س ِبي ِل ُِهُ َوه َُوُأ َ ْعلَمُُ ِب ْالم ْهتَدِين‬ َ ُ‫عن‬ َُّ ‫ض‬
َ ُ‫ل‬ َ -

Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16 ayat 125).

2
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah seyogyanya menggunakan cara-cara
walau ayat di atas secara implisit tidak menngungkapkan metode-metode ilmiah sebagaimana
dikaji dewasa ini. Di dalam bagian ayat di atas disebutkan:
1. Seru dengan hikmah dan pelajaran yang baik
2. Bantah dengan cara yang baik
3. Tuhan lebih tahu kondisi keimanan manusia.

Para pakar keilmuan menyimpulkan dari pengertian ayat di atas bahwa ada tiga metode
dalam menyampaikan dakwah. Pertama ialah bi al-Hikmah, kedua bi al-Mauidhati al-Hasanah
dan ketiga bi al-Lati hiya ahsan.
Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai metode yang disampaikan oleh para pakar,
perlu diperhatikan metode-metode dakwah lainnya selain teknis dalam menyampaikannya.
Dampak dakwah merupakan kunci selain esensi dakwah sebagai penyampai pesan. Dalam ayat
di atas disebut secara gamblang bahwa menyampaikan dakwah dan membantah pendapat lainnya
harus menggunakan cara yang baik. Cara-cara yang baik umumnya tidak menyakitkan pihak
yang lain sehingga kata tersebut sering diartikan sebagai diskusi. Segala hal (benar atau salah)
diserahkan kepada Allah SWT melalui penegasan di akhir ayat: ...Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Ketegasan firman tersebut memberi gambaran atas fenomena yang terjadi belakangan ini,
di mana beberapa kelompok sparatis radikal yang mengatasnamakan agama menyerukan dakwah
dengan segala cara, sehingga penyampaian agama lebih mirip dengan penyampaian politik.
Kelompok-kelompok tak sepaham dianggapnya kafir. Umumnya orang seperti ini menutup
telinga dari argumentasi yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini bertentangan dengan firman
Allah SWT dalam surat An-Nahl tersebut di atas.
Selanjutnya akan dibahas metode-metode dakwah yang disusun oleh para pakar
keilmuan.

a. Metode Dakwah Al-Hikmah (Bi Al-Hikmah)


Dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan
atas dasar persuasif. Artinya dakwah di sini dilakukan tanpa adanya paksaan. Kata “hikmah”
bermakna arif dan bijaksana. Beberapa ulama mengartikan hikmah sebagai berikut
- Syekh Mustafa Al-Maroghi
Perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran dan
dapat menghilangkan keragu-raguan.
- Syekh Muhammad Abduh
Mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal.
- Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud an-Nafasi
Menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan
menghilangkan keraguan.

3
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-hikmah merupakan
kemampuan penyampai dakwah (da’i) dalam menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi
mad’u, sesuai situasi dan kondisi (muthabaqah li al-muqtadla al-hal). Sehingga pesan dapat
diterima oleh mad’u dengan baik. Mengenai efektifitas dakwah atau keberhasilan dakwah
merupakan rahasia Tuhan.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i berdakwah. Dengan
hikmah seorang da’i dapat berperan secara objektif melihat kondisi mad’unya sehingga tidak
menimbulkan konflik. Semisal di sebuah tempat terbiasa melakukan ritual-ritual yang berbeda
dengan apa yang dipahaminya, maka yang sebaiknya dilakukan oleh da’i ialah mempelajari
perilaku masyarakat tersebut dan diteliti melalui kacamata syar’i. Mempelajari masyarakat ini
memerlukan ilmu-ilmu lain, sesuai konsentrasinya.
Da’i yang sukses biasanya tak lepas dari kemampuan beretorika dan memilik kata. Modal
penting ini diperlukan dalam menarik peserta dakwah seperti yang dicontohkan oleh beberapa
da’i di negara ini.

b. Metode Dakwah Al-Mau’idzatil Hasanah


Kata Al-Mauidzatil Hasanal kerap melekat dalam pengajian-pengajian dan berbagai kegiatan
keagamaan yang di dalam acara tersebut terdapat ceramah. Ceramah ini yang disebut sebagai
mauidzah hasanah dan mendapat porsi yang khusus sebagai acara yang “ditunggu-tunggu.”
Secara bahasa mauidzah hasanah terdiri dari dua kata bahasa Arab yakni mauidzah dan
hasanah. Mauidzah berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sedang hasanah
berarti baik, kebaikan. Maka secara terminologi mau’idzah hasanah ialah nasihat atau peringatan
yang membawa kebaikan.
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasai, mauidzah hasanah adalah perkataan-
perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka (mad’u), bahwa engkau (da’i) memberikan
nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur’an.
Menurut Abdul Hamid Al-Bilali, mauidzah hasanah merupakan salah satu metode dalam
dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan cara memberikan nasihat atau membimbing
dengan lemah lembut agar mereka (mad’u) mau berbuat baik. Dari dua pendapat ini dapat
dirumuskan bahwa mauidzah hasanah terdiri dari beberapa model, di antaranya nasihat, tabsyir
wa tanzir dan wasiat.

1. Nasihat
Nasihat adalah cara yang bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan
akibat. Secara terminologi berarti memerintah atau melarang atau menganjurkan yang disertai
dalil motivasi dan ancaman.
Beberapa perintah nasihat dalam Al-Qur’an:

4
a. Surat Al-Ashr ayat 1-3

ُِ ‫ص ْواُ ِب ْال َح‬


ُ‫ق‬ َ ‫تُ َوتَ َوا‬ َّ ‫ّلُالَّذِينَُُآ َمنواُ َو َع ِملواُال‬
ُِ ‫صا ِل َحا‬ ُ َّ ‫ُ ِإ‬-٢-ُُ‫سانَُُلَ ِفيُخسْر‬ ِ ْ ُ‫ن‬
َ ‫اْلن‬ َُّ ‫ُ ِإ‬-٥-ُ‫ص ُِر‬ ْ ‫َو ْال َع‬
٣-ُ‫ْر‬ُِ ‫صب‬ َ ‫ َوتَ َوا‬-
َّ ‫ص ْواُ ِبال‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran
dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

b. Surat An-Nahl ayat 125

ُْ َ ‫َّكُه َُوُأ‬
ُُ‫علَم‬ َُّ ‫سنُُ ِإ‬
َُ ‫نُ َرب‬ َُ ‫سنَ ُِةُ َو َجاد ِْلهمُ ِبالَّ ِتيُ ِه‬
َ ‫يُأ َ ْح‬ َ ‫ظ ُِةُ ْال َح‬
َ ‫كُ ِب ْال ِح ْك َم ُِةُ َو ْال َم ْو ِع‬
َُ ‫لُ َر ِب‬ُِ ‫س ِبي‬
َ ُ‫ُُُُُُُادْعُُ ِإ ِلى‬.
٥٢١-َُُ‫س ِبي ِل ُِهُ َوه َُوُأ َ ْعلَمُُبِ ْالم ْهتَدِين‬ َ ُ‫عن‬ َُّ ‫ض‬
َ ُ‫ل‬ َ ُ‫بِ َمن‬-
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16 ayat 125).

2. Tabsyir wa tanzir
Tabsir wa tanzir berasal dari dua kata berbahasa Arab, yang berarti memperhatikan/rasa senang
dan peringatan. Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-
kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah. Sedang tandzir ialam
penyampaian dakwah di mana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya
kehidupan setelah kematian beserta konsekuensinya.
Tujuan tabsyir wa tanzir:
- Memperkuat/memperkokoh iman
- Memberikan harapan
- Menumbuhkan semangat beramal
- Menghilangkan sifat ragu-ragu
- Memberi peringatan agar waspada

3. Wasiat
Secara etimologi wasiat berasal dari kata bahasa Arab washa-washia-washiyatan yang berarti
pesan penting. Wasiat dibagi menjadi dua:
a. Wasiat orang yang masih hidup kepada orang yang masih hidup. Dapat berupa ucapan,
pelajaran atau arahan tentang suatu hal.

5
b. Wasiat orang yang meninggal (menjelang ajal) kepada orang yang masih hidup, berupa
ucapan ataupun benda (harta waris).
Dalam kontek dakwah, wasiat diartikan sebagai ucapan atau arahan kepada orang lain (mad’u),
terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi.

c. Dakwah Al-Mujadalah bi Al-Lati Hiya Ahsan


Secara etimologi atau kebahasaan al-mujadalah diambil dari kata bahasa Arab jadala yang
artinya memintal, melilit. Dapat juga berarti berdebat, perdebatan. Kata jadala dapat bermakna
menarik tali guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat diibaratkan menarik dengan ucapan
untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang
disampaikan. Al-mujadalah diartikan pula sebagai al-hiwar yang berarti bertukar pendapat yang
dilakukan oleh dua pihak secara sinergis tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya
permusuhan di antara kedua belah pihak.
Etika menggunakan metode ini, menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali dalam kitabnya
Ihya’ Ulumuddin ditegaskan agar orang yang bertukar pikiran tidak beranggapan bahwa antara
satu dengan lainnya merupakan musuh. Tetapi anggap forum perdebatan sebagai arena diskusi,
saling tolong-menolong dalam mencapai kebenaran.

Selain menggunakan pendekatan yang disebutkan dalam A-Qur’an, dalam sebuah haditis nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:
“Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu,
ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah
selemah-lemah iman.” [ H.R. Muslim ].

Dari hadits ini para pakar menyimpulkan ada 3 (tiga) tahapan metode, yaitu:
1. Metode dengan tangan (bil yad). Tangan secara tekstual diartikan sebagai tangan yang
digunakan dalam menggunakan situasi kemungkaran. Secara tekstual kata “tangan” dapat
diartikan sebagai kekuatan kekuasaan (power). Metode ini efektif bila dilakukan oleh
penguasa yang berjiwa dakwah.
2. Metode dengan lisan (bil lisan). Maksudnya dengan perkataan yang baik, lemah lembut dan
dapat dipahami oleh penerima dakwah (mad’u), bukan dengan kata-kata sukar apalagi
menyakitkan hati.
3. Metode dengan hati (bil qalb). Tahapan ini digunakan dalam situasi yang sangat berat.
Ketika mad’u sebagai penerima pesan menolak pesan yang disampaikan, mencemooh bahkan
mendzalimi da’i, yang sebaiknya dilakukan oleh da’i ialah bersabar serta terus mendo’akan
agar pesan dakwah dapat diterima suatu saat nanti.

6
C. Aplikasi Metode Dakwah

Dalam berdakwah dibutuhkan pendekatan-pendekatan agar pesan dakwah dapat tersampaikan


dengan baik, serta berharap pesan dakwah dapat diterima dan diamalkan oleh penerima dakwah
(mad’u). Dalam menyampaikan pesan dakwah, seorang da’i memerlukan teknik penyampaian
berupa pendekatan-pendekatan. Pendekatan-pendekatan ini di antaranya:
a. Personal. Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual (face to face) antara da’i
dan mad’u sehingga materi dapat langsung diterima. Biasanya respon mad’u dapat langsung
diketahui.
b. Pendidikan. Di masa nabi dakwah dalam pendidikan ditanamkan sejak Islam masuk dalam
kalangan sahabat. Kini pesan dakwah ditanamkan dalam lembaga-lembaga pendidikan
seperti pesantren, yayasan bercorak Islam, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang
mengkaji keislaman.
c. Diskusi. Dilakukan melalui diskusi-diskusi keagamaan. Da’i sebagai pembicara, audience
sebagai mad’u.
d. Penawaran. Pendekatan ini tanpa paksaan, bersifat menawarkan. Al-Qur’an sendiri menyebut
beberapa kali model penawaran. Seperti dalam masalah agama, Al-Qur’an menyebut “lakum
dinukum waliyadin”. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
e. Misi. Dalam agama nasrani misi ini dilakukan oleh para missionaris. Dalam agama Islam
ialah da’i. Pendekatan misi biasa dipahami sebagai pengiriman da’i ke daerah-daerah
tertentu.

D. Kode Etik Dakwah

Setiap hal memiliki batas etika. Begitupula dengan dakwah. Batas-batas yang dimaksud
merupakan ketetapan yang seharusnya diperhatikan oleh da’i agar dakwah dapat berjalan sesuai
harapan. Sebagaimana perilaku lain, dakwah mempunyai kode etik yang harus dijunjung tinggi.
Sumber rambu-rambu kode etik seorang da’i ialah Al-Qur’an, seperti yang telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad. Hal-hal tersebut meliputi:
a) Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Hal ini berdasar firman Allah surat Al-Shaff ayat 2-3

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan.

b) Tidak melakukan toleransi dalam berakidah


Toleransi beragama memang dianjurkan demi menata suatu komponen kehidupan yang damai.
Toleransi yang dikonsep dalam satu paham pluralisme merupakan tindakan menghormati

7
kepercayaan orang lain dalam beragama. Akan tetapi hal ini dibatasi secara tegas dalam masalah
akidah. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat 1-6
ُُُ
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir; Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah; Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah;
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Hal ini dipertegas dengan surat Al-Kahfi ayat 29

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

c) Tidak menghina sesembahan kepercayaan lain


Hal ini mengacu pada surat Al-An’am ayat 108

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.

d) Tidak melakukan diskriminasi sosial


Jika melihat sejarah Nabi Muhammad SAW, dalam berdakwah beliau tidak membeda-bedakan
manusia dari sisi kelas sosialnya. Semua manusia pada prinsipnya memiliki kesamaan yang
memiliki hak untuk disamakan. Sebab keadilan sangat penting dalam berdakwah. Kode ini
mengacu pada surat Abasa ayat 1-2
ُُُ
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling; karena telah datang seorang buta kepadanya.

Asbab an-Nuzul: Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada
Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam
dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan
pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi
teguran kepada Rasulullah s.a.w.

8
e) Tidak memungut imbalan
Prahara imbalan ini menjadi polemik antar ulama. Ada yang membolehkan dengan syarat tidak
“memasang tarif”. Perbedaan-perbedaan di sini di antaranya:
- Mazhab Hanafi: Haram mutlak, baik dengan peranjian sebelum atau sesudahnya
- Al-Hasan al-Bisri dkk: Boleh meminta imbalan dalam bentuk bisyarah asal dengan
perjanjian sebelumnya
- Imam Malik dan Imam Syafi’i: Boleh. Baik ada perjanjian sebelum atau sesudahnya maupun
tidak.
f) Tidak mengawani pelaku maksiat
Tujuannya agar tidak terjadi dampak yang buruk
g) Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Da’i yang tidak tahu hukum dan ia menyampaikannya, pasti hukum tersebut akan menyesatkan
umat. Seorang da’i tidak boleh menjawab pertanyaan atas selera pribadi tanpa ada dalil yang
menguatkan.

E. Karakteristik Kode Etik Dakwah


Karakteristik yang dimaksud ialah dari etika Islam itu sendiri, di mana cakupannya dari sumber
moral dakwah. Hal ini, jika ditilik dari studi Islam terbagi atas tiga bagian.
1. Bayani (tekstual) yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebab dakwah selalu merujuk pada nash-
nash yang terkandung di dalamnya.
2. Burhani dan Irfani (akal dan naluri). Rasionalisasi suatu hukum perlu disampaikan apabila
nash-nash yang terkandung tidak cukup menjawab masalah-masalah baru yang muncul. Sedang
naluri yang mendapat pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam kitab-Nya.
3. Motivasi iman
Dalam melakukan dakwah dibutuhkan motivasi dan dorongan, yaitu akidah dan iman. Hal ini
yang membuat da’i menjadi ikhlas, shalih, bekerja keras, rela berkorban dan iman yang
sempurna menjelma menjadi rasa cinta kepada Allah.

F. Hikmah dalam Etika Berdakwah


Secara umum hikmah yang didapatkan dari menjalankan kode etik dakwah ialah
1. Kemajuan rohani. Hal ini jelas sebab orang yang mengikuti ketentuan-ketentuan agama
memiliki akhlak yang mulia
2. Sebagai penunjuk kebaikan. Kode etik menuntut da’i pada jalan kebaikan sehingga
membentuk tatanan yang baik dan kemanfaatan bagi da’i pada khususnya dan umat pada
umumnya
3. Membawa kesempurnaan iman. Sebab iman yang sempurna membawa kesempurnaan diri. Ini
tidak dapat dicapai tanpa memahami agama secara kaffah.
4. Kerukunan antar umat beragama. Dengan sikap toleransi maka antar satu umat dengan lainnya
dapat berdampingan. Hal ini membuat kerukunan antar umat terjaga sehingga tidak ada
pertumpahdarahan akibat perbedaan keyakinan.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

- Metode dakwah adalah cara-cara atau langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau
menyeru umat ke jalan Allah SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
- Metode dakwah terdiri atas metode dakwah bil hikmah, bi mauidzatil hasanah, dan bil lati hiya
ahsan (sumber ayat Al-Qur’an) serta bil yad (tangan), bil lisan (ucapan) dan bil qalb (hati). Ini
mengacu pada hadits nabi.
- Aplikasi metode dakwah dapat diterapkan secara personal, pendidikan, diskusi, penawaran dan
misi.
- Di Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyeru manusia untuk berdakwah.
- Sebagaimana perilaku lain, dakwah juga memiliki kode etik yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits.

- Hikmah etika berdakwah di antaranya kemajuan rohani, penuntun kebaikan, kesempurnaan


iman dan kerukunan antar umat beragama.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. H A. Rosyad Sholeh Menejemen ilmu dakwah : yogyakarta. Juni 2010
2. Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

11

Anda mungkin juga menyukai