PENDAHULUAN
a. Latar belakang
MASYARAKAT merupakan sebuah komunitas yang tak dapat dipisahkan dari budaya. Budaya
itu yang kemudian membedakan antar satu komunitas dengan komunitas yang lain. Budaya
berpengaruh pula terhadap adat kebiasaan, pola pikir serta sikap setiap individu yang tergabung
di dalamnya. Orang sunda berbeda dengan orang batak dari berbagai sisi, mulai bahasa, etika
serta standar kepribadiannya. Begitu pula dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia bahkan di
dunia.
Di era Nabi Muhammad, masyarakat Arab kala itu tersusun atas klan-klan suku. Nabi
Muhammad terlahir dan besar di tengah suku yang terpandang di jazirah Arab kala itu, yakni
Quraisy. Islam datang sebagai agama yang “menuntun” masyarakat Arab agar melaksanakan
perintah Tuhan Allah, serta meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka yaitu dewi-dewi
banatullah Al-Latta, Al-Uzza dan Al-Mannat. Dakwah Nabi ini tidak mudah sebab setiap klan
tidak menyetujui ajaran monotheisme yang diajarkan Nabi Muhammad. Dengan kegigihannya,
Islam pun berkembang hingga saat ini.
Dakwah memerlukan metode agar pesan yang dibawa tersampaikan dengan baik.
Metode-metode yang terkandung di dalam nash-nash ini perlu dikaji dan diterapkan di dalam
aktifitas dakwah. Begitupun, secara historis da’i perlu melihat perjuangan Rasul agar dakwah
dapat diterima dengan baik.
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun guna melengkapi metode penyampain materi Dakwah yang diampu oleh
Bapak muh. Yusron . Isi di dalam makalah ini di antaranya mendalami metode pelaku dakwah
khususnya penyampai (da’i) agar efektifitas dakwah dapat tercapai.
1
BAB II
PEMBAHASAN
SEBAGAIMANA telah dibahas oleh kelompok sebelumnya, dakwah merupakan suatu proses
upaya mengubah suatu situasi yang lebih baik sesuai ajaran Islam atau proses mengajak manusia
ke jalan Allah SWT yaitu agama Islam. Para ulama memberi definisi sesuai pemikiran masing-
masing sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Al-Babiy Al-Khuli bahwa dakwah adalah upaya
memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lebih baik. Pada prinsipnya, dakwah adalah
kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah
merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau
ajakan (wikipedia.org).
Sementara kata “metode”, dari aspek etimologi atau kebahasaan berasal dari dua kata,
yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Dalam bahasa Yunani kata “metode” berasal dari
kata “methodos” artinya jalan. Metode disebut sebagai manhaj atau thariqat dalam bahasa Arab
yang berarti tata cara, sedang dalam kamus bahasa Indonesia kata “metode” berarti cara yang
teratur dan sigtimatis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja (kamus ilmiah populer, Pius A
Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Arkola Surabaya). Jika digabungkan dengan kata “dakwah” maka
metode dakwah yaitu cara-cara atau langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau
menyeru umat ke jalan Allah SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Cara-cara ini disesuaikan dengan kondisi-kondisi mad’u (penerima dakwah) agar pesan
dapat diterima secara maksimal oleh mad’u tersebut. Dalam hal ini perlunya dakwah
dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain seperti antropologi, psikologi, sosiologi, filosofi, sejarah dan
lainnya. Apabila pesan dakwah diterima baik, maka dakwah tersebut bisa dikatakan berhasil.
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16 ayat 125).
2
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah seyogyanya menggunakan cara-cara
walau ayat di atas secara implisit tidak menngungkapkan metode-metode ilmiah sebagaimana
dikaji dewasa ini. Di dalam bagian ayat di atas disebutkan:
1. Seru dengan hikmah dan pelajaran yang baik
2. Bantah dengan cara yang baik
3. Tuhan lebih tahu kondisi keimanan manusia.
Para pakar keilmuan menyimpulkan dari pengertian ayat di atas bahwa ada tiga metode
dalam menyampaikan dakwah. Pertama ialah bi al-Hikmah, kedua bi al-Mauidhati al-Hasanah
dan ketiga bi al-Lati hiya ahsan.
Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai metode yang disampaikan oleh para pakar,
perlu diperhatikan metode-metode dakwah lainnya selain teknis dalam menyampaikannya.
Dampak dakwah merupakan kunci selain esensi dakwah sebagai penyampai pesan. Dalam ayat
di atas disebut secara gamblang bahwa menyampaikan dakwah dan membantah pendapat lainnya
harus menggunakan cara yang baik. Cara-cara yang baik umumnya tidak menyakitkan pihak
yang lain sehingga kata tersebut sering diartikan sebagai diskusi. Segala hal (benar atau salah)
diserahkan kepada Allah SWT melalui penegasan di akhir ayat: ...Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Ketegasan firman tersebut memberi gambaran atas fenomena yang terjadi belakangan ini,
di mana beberapa kelompok sparatis radikal yang mengatasnamakan agama menyerukan dakwah
dengan segala cara, sehingga penyampaian agama lebih mirip dengan penyampaian politik.
Kelompok-kelompok tak sepaham dianggapnya kafir. Umumnya orang seperti ini menutup
telinga dari argumentasi yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini bertentangan dengan firman
Allah SWT dalam surat An-Nahl tersebut di atas.
Selanjutnya akan dibahas metode-metode dakwah yang disusun oleh para pakar
keilmuan.
3
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-hikmah merupakan
kemampuan penyampai dakwah (da’i) dalam menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi
mad’u, sesuai situasi dan kondisi (muthabaqah li al-muqtadla al-hal). Sehingga pesan dapat
diterima oleh mad’u dengan baik. Mengenai efektifitas dakwah atau keberhasilan dakwah
merupakan rahasia Tuhan.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i berdakwah. Dengan
hikmah seorang da’i dapat berperan secara objektif melihat kondisi mad’unya sehingga tidak
menimbulkan konflik. Semisal di sebuah tempat terbiasa melakukan ritual-ritual yang berbeda
dengan apa yang dipahaminya, maka yang sebaiknya dilakukan oleh da’i ialah mempelajari
perilaku masyarakat tersebut dan diteliti melalui kacamata syar’i. Mempelajari masyarakat ini
memerlukan ilmu-ilmu lain, sesuai konsentrasinya.
Da’i yang sukses biasanya tak lepas dari kemampuan beretorika dan memilik kata. Modal
penting ini diperlukan dalam menarik peserta dakwah seperti yang dicontohkan oleh beberapa
da’i di negara ini.
1. Nasihat
Nasihat adalah cara yang bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan
akibat. Secara terminologi berarti memerintah atau melarang atau menganjurkan yang disertai
dalil motivasi dan ancaman.
Beberapa perintah nasihat dalam Al-Qur’an:
4
a. Surat Al-Ashr ayat 1-3
ُْ َ َّكُه َُوُأ
ُُعلَم َُّ سنُُ ِإ
َُ نُ َرب َُ سنَ ُِةُ َو َجاد ِْلهمُ ِبالَّ ِتيُ ِه
َ يُأ َ ْح َ ظ ُِةُ ْال َح
َ كُ ِب ْال ِح ْك َم ُِةُ َو ْال َم ْو ِع
َُ لُ َر ِبُِ س ِبي
َ ُُُُُُُُادْعُُ ِإ ِلى.
٥٢١-َُُس ِبي ِل ُِهُ َوه َُوُأ َ ْعلَمُُبِ ْالم ْهتَدِين َ ُعن َُّ ض
َ ُل َ ُبِ َمن-
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16 ayat 125).
2. Tabsyir wa tanzir
Tabsir wa tanzir berasal dari dua kata berbahasa Arab, yang berarti memperhatikan/rasa senang
dan peringatan. Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-
kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah. Sedang tandzir ialam
penyampaian dakwah di mana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya
kehidupan setelah kematian beserta konsekuensinya.
Tujuan tabsyir wa tanzir:
- Memperkuat/memperkokoh iman
- Memberikan harapan
- Menumbuhkan semangat beramal
- Menghilangkan sifat ragu-ragu
- Memberi peringatan agar waspada
3. Wasiat
Secara etimologi wasiat berasal dari kata bahasa Arab washa-washia-washiyatan yang berarti
pesan penting. Wasiat dibagi menjadi dua:
a. Wasiat orang yang masih hidup kepada orang yang masih hidup. Dapat berupa ucapan,
pelajaran atau arahan tentang suatu hal.
5
b. Wasiat orang yang meninggal (menjelang ajal) kepada orang yang masih hidup, berupa
ucapan ataupun benda (harta waris).
Dalam kontek dakwah, wasiat diartikan sebagai ucapan atau arahan kepada orang lain (mad’u),
terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi.
Selain menggunakan pendekatan yang disebutkan dalam A-Qur’an, dalam sebuah haditis nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:
“Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu,
ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah
selemah-lemah iman.” [ H.R. Muslim ].
Dari hadits ini para pakar menyimpulkan ada 3 (tiga) tahapan metode, yaitu:
1. Metode dengan tangan (bil yad). Tangan secara tekstual diartikan sebagai tangan yang
digunakan dalam menggunakan situasi kemungkaran. Secara tekstual kata “tangan” dapat
diartikan sebagai kekuatan kekuasaan (power). Metode ini efektif bila dilakukan oleh
penguasa yang berjiwa dakwah.
2. Metode dengan lisan (bil lisan). Maksudnya dengan perkataan yang baik, lemah lembut dan
dapat dipahami oleh penerima dakwah (mad’u), bukan dengan kata-kata sukar apalagi
menyakitkan hati.
3. Metode dengan hati (bil qalb). Tahapan ini digunakan dalam situasi yang sangat berat.
Ketika mad’u sebagai penerima pesan menolak pesan yang disampaikan, mencemooh bahkan
mendzalimi da’i, yang sebaiknya dilakukan oleh da’i ialah bersabar serta terus mendo’akan
agar pesan dakwah dapat diterima suatu saat nanti.
6
C. Aplikasi Metode Dakwah
Setiap hal memiliki batas etika. Begitupula dengan dakwah. Batas-batas yang dimaksud
merupakan ketetapan yang seharusnya diperhatikan oleh da’i agar dakwah dapat berjalan sesuai
harapan. Sebagaimana perilaku lain, dakwah mempunyai kode etik yang harus dijunjung tinggi.
Sumber rambu-rambu kode etik seorang da’i ialah Al-Qur’an, seperti yang telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad. Hal-hal tersebut meliputi:
a) Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Hal ini berdasar firman Allah surat Al-Shaff ayat 2-3
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan.
7
kepercayaan orang lain dalam beragama. Akan tetapi hal ini dibatasi secara tegas dalam masalah
akidah. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat 1-6
ُُُ
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir; Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah; Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah;
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.
Asbab an-Nuzul: Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada
Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam
dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan
pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi
teguran kepada Rasulullah s.a.w.
8
e) Tidak memungut imbalan
Prahara imbalan ini menjadi polemik antar ulama. Ada yang membolehkan dengan syarat tidak
“memasang tarif”. Perbedaan-perbedaan di sini di antaranya:
- Mazhab Hanafi: Haram mutlak, baik dengan peranjian sebelum atau sesudahnya
- Al-Hasan al-Bisri dkk: Boleh meminta imbalan dalam bentuk bisyarah asal dengan
perjanjian sebelumnya
- Imam Malik dan Imam Syafi’i: Boleh. Baik ada perjanjian sebelum atau sesudahnya maupun
tidak.
f) Tidak mengawani pelaku maksiat
Tujuannya agar tidak terjadi dampak yang buruk
g) Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Da’i yang tidak tahu hukum dan ia menyampaikannya, pasti hukum tersebut akan menyesatkan
umat. Seorang da’i tidak boleh menjawab pertanyaan atas selera pribadi tanpa ada dalil yang
menguatkan.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Metode dakwah adalah cara-cara atau langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau
menyeru umat ke jalan Allah SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
- Metode dakwah terdiri atas metode dakwah bil hikmah, bi mauidzatil hasanah, dan bil lati hiya
ahsan (sumber ayat Al-Qur’an) serta bil yad (tangan), bil lisan (ucapan) dan bil qalb (hati). Ini
mengacu pada hadits nabi.
- Aplikasi metode dakwah dapat diterapkan secara personal, pendidikan, diskusi, penawaran dan
misi.
- Di Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyeru manusia untuk berdakwah.
- Sebagaimana perilaku lain, dakwah juga memiliki kode etik yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. H A. Rosyad Sholeh Menejemen ilmu dakwah : yogyakarta. Juni 2010
2. Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
11