Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas ujian akhir semester Mata Kuliah Studi al-
Qur’an dan Hadits
Pengampu Dr. Moh. Mufid, Lc., M.HI
Oleh:
Imam Fauzan (20200011121)
Pemikiran Abdullah Saeed telah menarik perhatian berbagai kalangan. Hal ini
tidak lain karena gagasan-gagasannya tentang upaya interpretasi kontekstual. Tidak
dapat dipungkiri bahwa gagasan-gagasan Saeed tersebut tidak terlepas dari pengaruh
pemikirpemikir Islam sebelumnya, seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Ziyad.
Namun demikian, tidak seperti pendahulunya, Abdullah Saeed tidak banyak
mendapatkan pertentangan radikal dari kalangan masyarakat Muslim. Berbeda dengan
apa yang menimpa pemikir-pemikir pendahulunya.
Hal ini mungkin dikarenakan gagasan Saeed tidak hanya menyeru pada
kontekstualitas saja. Melainkan pada dasarnya, ia masih mengacu pada nilai dasar yang
diyakini oleh masyarakat Islam. Hal ini terlihat dari bangunan hierarki nilai yang
disusunnya dalam upaya interpretasi teks etis-legal. Di sini nampak bahwa latar belakang
Saeed yang memulai jenjang pendidikan di wilayah Arab dan kemudian berhijrah ke
Barat, dalam hal ini Australia, turut mempengaruhi pemikiran-pemikirannya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji gagasan interpretasi
kontekstulis Abdullah Saeed, khususnya terkait dengan hierarki nilai yang
dirumuskannya untuk melakukan interpretasi tesk etis-legal.
Abdullah Saeed lahir di Maladewa, beliau meraih gelar BA di bidang bahasa Arab
atau Islamic Studies di Islamic University Saudi Arabia, beliau juga meraih gelar MA
bidang Islamic Studies dan Applied Linguistics hingga phD bidang Islamic Studies di
Malbourne University Australia.1 Abdullah Saeed juga merupakan seorang The Sultan of
Oman Professor of Arab and Islamic Studies. ia juga menjabat sebagai Director of The
Center for The Study of Contemporary Islam di Universitas Melburne Australia.2
Saeed terkenal sebagai tokoh akademisi yang ulet, selain beliau seorang dosen di
Universitas Malbourne Australia mengajar Studi Arab dan Islam pada program S1 dan
program Pascasarjana Internasional, beliau juga terlibat aktif dalam berbagai dialog antar
1
Abdullah Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Sulkhan & Sahiron Syamsudin (Yogyakarta:
Baitul Hikmah Press, 2016), h. Back Cover
2
Achmad Zaini, “Model Interpretasi al-Qur’an Abdullah Saeed” Islamica, Vol. 6, No. 1 September
2011, h. 28
agama, Kristen, Islam, dan antar Yahudi dan Islam. Saeed juga dikenal sebagai tokoh
akademisi yang mahir di berbagai bahasa, beberapa bahasa yang dikuasainya adalah
bahasa Inggris, Arab, Maldivia, Urda, Indonesia dan Jerman. Saeed sangat aktif dalam
melakukan berbagai riset yang berhubungan kajian Islam kontemporer. Berkat beberapa
relasi dan karya yang berhasil ia ciptakan membuat Saeed dianggap sebagai seorang
tokoh yang cukup berpengaruh di dunia akademisi tingkat Internasional.3
Beberapa karya Abdullah Saeed yang terkenal dan sampai sekarang masih
dipelajari kaum akademisi tiap Universitas di berbagai belahan dunia di antaranya adalah:
Freedem of Religion, Apostary and Islam,4 yang di tulis bersama Hasan Saeed, (Asghate
Pubhlising, 2004); Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions
(Commawealth Goverment, 2004); Islam and Political Legitimacy, sebagai editor
bersama S. Akbarzedah (Curzon 2003). Dan beberapa karyanya di bidang Qur’anic
Studies di antaranya: The Qur’an: an Intraduction (Roudletge: 2003), Interpreting The
Qur’an; Towards a Contemporary Approuch (Routledge, 2006); Contemporary
Approaches to Qor’an in Indonesia, sebagai editor (Oxford University, 2005); Reading
the Qur’an in the Twenty-first Century a Contextualist Approuch (Rputledge, 2014).5
Satu hal yang menarik adalah Saeed tidak merumuskan sesuatu gagasan tanpa ada
alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, Saeed berangkat dari pemahamannya tentang
wahyu. ia menilai bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah
otentik. Namun perlu adanya rekonstruksi pemahaman bahwa turunnya wahyu tidak
lepas dari kondisi sosio-historis dimana wahyu diturunkan. Kedua, adanya tradisi klasik
terhadap penafsiran berbasis konteks. Saeed menyebutkan bahwa tafsir berbasis konteks
sudah ada sejak masa lalu seperti peristiwa nasikh dan mansukh yang menyebabkan
perubahan etika hukum karena situasi dan kondisi tertentu. Dalam arti Saeed tidak
3
Eka Suriansyah & Suherman, “Melacak Pemikiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” Jurnal Kajian
Islam, Vol. 3, No. 1 April 2011, h. 44-45
4
Karya yang satu ini sebagian besar membahas bagaimana paradigma kebebasan dalam beragama,
Saeed mengritik beberapa kesalah pahaman pemikir Muslim di era pro modern atas term kebebasan
beragama dalam al-Qur’an. Saeed juga sangat tegas mengkritik produk-produk hukum Islam yang
dihasilkan oleh para pemikir Muslim pra modern yang di anggap telah menghilangkan sisi hak dan
martabat kemanusiaan. Saeed kemudian mencontohkan beberapa produk hukum Islam yang di anggap
mengabaikan sisi kemanusiaan, seperti hukuman had, rajam¸ qişāş dan sebagainya. lihat, Abdullah Saeed
& Hassan Saeed, Freedom of Religion Apostasy and Islam (Asghate Publishing: 2004), h. 139
5
Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual (Studi Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an
Abdullah Saeed” Turats, Vol 2, No 4 januari 2015, h. 40.
memunculkan gagasan yang baru, namun pengembangan dari metode yang telah ada
sejak masa lalu. Bukan hanya berasal dari konsep double movement Fazlur Rahman,
namun jauh lagi yakni sejak masa al Qur’an diturunkan.6
6
Thoriq Aziz Jayana, Model Interprestasi Al-Quran dalam Pendekatan Hermeneutika Kontekstual
Abdullah Saeed, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 2, Agustus 2019. Hlm. 114-116.
7
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur n: towards a contemporary approachʼān: towards a
contemporary approach (London ; New York: Routledge, 2006), 126.
pandangan ulama usul.8 Interpretasi proto-contextualist mengalami perluasan pada masa
modern.
Hal ini terlihat dalam pandangan Fazlur Rahman yang berkontribusi dalam
pengembangan metodologi interpretasi alternatif terhadap teks etis-legal dengan
menghubungkan teks dan konteks. Menurut Saeed, Rahman tampaknya berpendapat
untuk mengembangkan hierarki nilai yang diperlukan untuk melakukan interpretasi teks
etis-legal. Namun demikian, Rahman tidak memberikan seperangkat gagasan khusus
untuk mengembangkan hierarki nilai ini selain menyatakan bahwa seseorang harus
terlebih dahulu memperoleh prinsip-prinsip umum dari aturan tertentu dalam al-Qur’an
dengan memberikan pertimbangan penuh pada konteks sosio-historis. Alhasil, umat
Islam harus mengembangkan apa yang dia sebut sebagai “teori sosiomoral yang terpadu
dan komprehensif”. Rahman mengilhami inti dari metode Saeed yang dia sebut sebagai
kontekstualis.9
Dalam melakukan identifikasi nilai, Saeed berfokus pada konsep tindakan yang
benar. Menurutnya hal ini akan memberikan daftar ekstensif nilai-nilai yang dapat
diklasifikasikan dan diprioritaskan guna memperoleh suatu bentuk hierarki yang
mencerminkan penekanan al-Qur’an. Identifikasi ini dimulai dengan pembacaan al-
Qur’an menggunakan indeks dan kamus yang tersedia. Konkordansi rinci masih relatif
sedikit, sehingga perlu mengandalkan teks itu sendiri untuk mengidentifikasi nilai-nilai
tersebut. Di samping itu, juga melihat pada materi pendukung dari tafsir maupun fikih. 12
10
Ibid, h.129
11
Ibid, h.
12
Ibid., 129-130.
Di sini terlihat bahwasanya Saaed juga melihat pada turats yang telah ada guna
membantu bangunan hierarki nilainya.
1. Nilai-nilai Wajib
13
Ibid., 130
14
Ibid., 130-132
bentuk-bentuk dari ibadah. Nilai-nilai ini dapat dianggap berlaku secara
universal.
c. Nilai-nilai yang secara spesifik dijabarkan dengan jelas oleh al-Qur’an tentang
sesuatu yang diperbolehkan (halal) dan sesuatu yang dilarang (haram).
Nilainilai halal dan haram yang secara tegas dijelaskan oleh al-Qur’an ini
berlaku universal dan tidak dapat diubah, seperti nilai halal dari makanan
dalam laut, mendatangi istri pada malam hari ketika puasa, dan memakan
binatang ternak atau nilai haram dari memakan bangkai, memakan anjing, dan
praktik riba. Namun demikian, nilai halal dan haram di sini tidak sama dengan
daftar panjang dari halal dan haram yang terdapat dalam teks fikih.
2. Nilai-nilai Fundamental
3. Nilai-nilai Proteksional
Nilai-nilai proteksial ini seringkali bergantung pada satu atau beberapa dalil
teks. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi pentingnya nilai tersebut di
dalam Al-Qur'an. Sebab, kekuatan nilai-nilai ini sebagian besar berasal dari nilai-
nilai fundamental dan perintah khusus yang berkaitan dengan nilai proteksional itu
sendiri. Lantaran nilai-nilai proteksional sangat penting dalam memelihara nilai-
nilai fundamental, universalitas nilai-nilai ini juga perlu dilakukan perluasan.19
17
Ibid, h.
18
Ibid., 134.
19
Ibid.
4. Nilai-nilai Implementasional
20
Ibid, h.
21
Ibid., 134-135.
22
Ibid., 135-136.
sangat dimungkinkan untuk dilakukan pengembangan terkait implementasi hukuman
pencegahan yang efektif dari tindakan kriminal.
5. Nilai-nilai Instruksional
Pada wilayah intruksi-intruksi ini, terdapat sebuah kesulitan bagi para penafsir
untuk menghubungkan teks dengan konteks terkini. Kesulitan tersebut disebabkan
oleh adanya ambiguitas dalam nilai-nilai intruksional ini. Oleh karena itu, Saeed
merumuskan suatu cara agar bisa mengeksplorasi nilai-nilai tersebut guna mengetahui
keberlakuannya secara universal atau terbatas pada keadaan masa penurunannya.
Saeed merumuskan tiga kriteria, yakni frekuensi nilai tersebut di dalam al-Qur’an,
penekanan nilai tersebut pada saat misi dakwah kenabian, dan relevansinya dengan
masa, tempat, budaya, dan keadaan Nabi dan generasi Muslim awal. Lebih lanjut
tentang tiga kriteria ini adalah sebagai berikut:25
a) Frekuensi
23
Ibid., 137.
24
Ibid.
25
Ibid., 139-140.
Frekuensi ini berkaitan dengan seberapa sering nilai tersebutdisebutkan di
dalam al-Qur’an. Hal ini bisa diukur melalui penelusuran tematema inti yang
berkaitan dengan nilai tersebut. Misalnya tentang menolong orang-orang miskin,
berdasarkan penelusurannya hal ini disampaikan oleh alQur’an melalui beberapa
konsep yang beragam, seperti “menolong mereka yang membutuhkan”, “memberi
makan fakir miskin”, dan “merawat anak yatim”. Di sini, seorang penafsir dituntut
untuk memberikan “perkiraan” yang paling akurat tentang frekuensi penyebutan nilai
tertentu. Semakin sering sebuah tema itu diulang dalam al-Qur’an, maka semakin
penting pula nilai tersebut.
b) Penekanan
c) Relevansi
Beberapa aturan umum terkait dengan nilai-nilai instruksional tersebut adalah sebagai
berikut:27
26
Ibid., 140.
27
Ibid., 141.
a. Semakin sering suatu nilai muncul kembali dalam al-Qur'an, semakin besar
kemungkinan untuk dapat diterapkan secara universal.
b. Semakin besar cakupan nilai, semakin banyak kemungkinan besar menjadi
universal.
c. Semakin umum relevansi nilai, semakin besar kemungkinan menjadi universal.
d. Jika suatu nilai memenuhi tiga kriteria (pada ujung positif ekstrim dari kontinum),
nilai tersebut (paling mungkin) setara dengan nilai universal dan penerapannya
bersifat universal dan dengan demikian mengikat.
e. Jika nilai memenuhi tiga kriteria (di ujung paling negatif dari kontinum), nilai
tersebut (kemungkinan besar) adalah nilai non-universal secara religius (khusus
budaya ), dan penerapannya bergantung pada keadaan.
Langkah awal bagi seorang pelaku interpretasi adalah meluangkan waktu untuk
memahami serta mengakrabi konteks dengan cangkupan yang lebih luas dalam
melakukan tugas interpretasi, beberapa langkah bagi seorang pelaku interpretasi sebagai
upaya dalam memahami konteks yang lebih luas adalah: pertama, memahami
subjektivitas sang pelaku interpretasi. Tampaknya Abullah Saeed menyadari akan
keterlibatan proses pra pemahaman atas diri sang pelaku. Dalam pandangan Abdullah
Saeed, sisi subjektif dari mufassir adalah berkaitan dengan pengalaman hidup, kesukaan,
ketidak sukaan dan prioritas hidup seorang mufassir, juga mencangkup identitas-identitas
seperti gender, etnik, budaya bahasa profesi, status serta peran komunitasnya dalam
masyarakat. Saaed kemudian mengatakan bahwa dengan kesadaran mufassir akan
beberapa sisi subjektifnya diharapkan mengindarkan mufassir dari argumen yang
mengklaim akan kesempurnaan hasil interpretasinya, karena bagaimanapun setiap hasil
interpretasi tidak terlepas dari perspektif personal yang melekat dalam proses
interpretasi.28
Dalam pandangan Saeed, beberapa ujaran yang disodorkan oleh al-Qur’an tentang
tuntutan bagi manusia untuk bertakwa mengindikasikan bahwa teks al-Qur’an
mendorong bagi para pembaca untuk menjadi manusia yang bermoral, berakhlak dan
menjalankan perintah serta tidak melampau batasan-batasan larangan Tuhan yang
ditentukan.30 Dalam kasus manusia sebagai objek diturunkannya al-Qur’an yang artinya
manusia berhak mengambil posisi utama al-Qur’an (the World of the Quran), seharusnya
mampu memahami tensi-tensi moral yang ditetapkan oleh Tuhan, oleh karena itu dalam
pandangan Saeed “takwa ditumbuhkan dalam al-Qur’an tidak hanya dalam konteks
hubungan yang sesuai antara manusia dan penciptanya, tetapi juga dalam konteks
hubungan yang sesuai antara manusia dan manusia”.31
28
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2016), h.160
29
Ibid, h. 162
30
Konsep takwa yang diutarakan oleh Saeed berdasarkan pertimbangan dengan memandang teks al-
Qur’an secara universal, tampaknya tidak berbeda jauh dengan kunci hermeneutik kedua dari Farid Esack.
Dalam menginterpretasi teks, Farid Esack menempatkan takwa sebagai kunci hermeneutik yang bersifat
mendasar bagi para mufassir sebelum kemudian mufassir menginterpretasi term-term yang lain dalam al-
Qur’an. Setelah melewati tahap kunci hermeneutik pertama (tauhid) dan kedua (takwa) mufassir akan
menuju kapada kunci-kunci hermeneutik yang lain seperti adil, mustadh’afīn dan sebagainya. Teknik
interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan kunci-kunci Hermeneutik Farid Esack. Lebih lengkapnya
silahkan lihat. Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligious
Solidarity Against Oppression (England: Oneworld, 1997), h. 47
31
Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, h.162-163
Ketiga adalah memahami bagaimana makna di konstruksi, Saeed beranggapan
bahwa makna lahir berkat intraksi empat elemen yaitu, kehendak Tuhan (sebagai author),
teks al-Qur’an, para penerima wahyu pertama (Nabi dan masyarakat Muslim abad 7M,
dan konteks makro ketika wahyu diturunkan. Oleh karena itu, untuk menemukan makna
“terbaik”. Mufassir harus memahami bagaimana para penerima wahyu pertama dalam
merespons pesan setiap diturunkannya teks al-Qur’an dan mengidentifikasi bagaimana
respons mereka berkaitan dengan konteks pewahyuan. Artinya, dalam pandangan Saeed
makna akan terus berevolusi, karena makna sangat bergantung dengan perubahan ruang
konteks tertentu.32
32
Ibid, h. 164-165.
33
Ibid, h. 165.
bahwa susunan setiap ayat al-Qur’an tidak sistematis, maka tugas seorang mufassir
adalah mengklompokkan ayat-ayat al-Qur’an yang dipandang satu tema dengan ayat
yang sedang dikaji. 3) Mengidentifikasi waktu dan tempat spesifik di mana teks di
komunikasikan. (asbābu al-nuzūl) Sebagai mufassir juga perlu untuk mengetahui kapan
dan di mana teks diturunkan, untuk siapa, misalnya kelompok Muslim tertentu dan
sebagainya. Mengetahui penaggalan al-Qur’an. Apakah ditrurnkan di Madinah atau
Makkah, karena hal ini akan mempengaruhi titik penekanan dari pesan teks al-Qur’an. 4)
Menentukan jenis teks. Mufassir juga perlu mengetahui secara spesifik jenis teks yang
sedang di kaji, apakah teks tersebut sebuah teks historis (kisah tentang para nabi atau
kaum terdahulu) atau teks yang berkaitan dengan larangan, perintah instruksi dan nasihat
atau yang disebutkan oleh Saeed teks eticho-legal, atau teks perumpamaan dan atau teks
yang berkaitan dengan hal gaib (membicarakan seputar Tuhan, hari kiamat, dsb). 5)
Mengkaji aspek linguistik teks, hal ini mencangkup upaya dalam mengidentifikasi
perbedaan atas fitur-fitur linguistik yang digunakan oleh teks al-Qur’an, dan apakah
perbedaan tersebut akan memberikan makna yang berbeda pula. 6) Mengeksplorasi Hadis
mengenai topik yang sama, adalah sebuah keniscayaan ketika seorang mufassir
memerlukan hadis dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Beberapa informasi pesan dalam
al-Qur’an bisa ditemukan di dalam hadis. Dalam hal ini mufassir juga perlu
mempertimbangkan aspek kajian hadis, terkait keabsahan dan bagaimana dalam mencari
kandungan utama dalam sebuah hadis yang dianggap paralel dengan teks al-Qur’an yang
sedang dikaji.34
34
Ibid, h. 166-177.
kontekstual lebih fleksibel dalam memberi penafsiran lain yang logis untuk periode
modern. Saeed kemudian memberikan beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan
dalam mengaitkan penafsiran teks dengan konteks masa kini.35
35
Ibid, h. 177-178.
teks al-Qur’an yang telah digunakan pada masa pra- modern untuk menjustifikasi
ketidaksetaraan kaum perempuan. Berikut ayat yang menjadi fokus mengenai isu-isu
seputar kesetaraan gender dalam Islam (4:34).
36
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21, Tafsir Kontekstual, terj. Erfan Nurtawwab (Mizan: Bandung,
2016), 185
37
Ini mencakup al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, dan al-Sudi
38
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21, Tafsir Kontekstual.... 185
suami mereka secara tidak pantas.” Lalu Rasulullah membolehkan suami untuk memukul
istrinya.”39
1. Beberapa Penekanan Pada Tafsir-Tafsir Pra-Modern
Al-Thabari tetap dengan pemahaman literalnya atas kata-kata dalam ayat di atas
dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial merupakan para frase atas ayat
tersebut. Misalnya, dia mengutip pandangan Ibnu Abbas terkait frase dalam ayat ini.
Ar-rijālu qawwāmūna ‘alā al-nisā’ maksudnya “pemimpin” (umarā) atas mereka,
bahwa perempuan seyoganya mematuhi suaminya atas apa yang Tuhan
perintahkan atas kaum laki-laki untuk ditaati, dan menaati suaminya. Jika
demikian, ia berarti beramal shaleh bagi keluarga suaminya dan melindungi harta
milik suaminya. Karena itu, Tuhan mengutamakan (faddhalahu) laki-laki
membiayai istrinya dan menjadi pemimpin atasnya.40
Al-Thabari menyimpulkan riwayat-riwayat yang terkait dengan frase pertama ayat
ini dengan mengatakan bahwa ayat ini memberi hak para suami memikul tanggungjawab
atas berbagai urusan kaum perempuan (hak mendidik dan memerintah). Argumentasinya,
kewajiban suami untuk membiayai istri secara finansial dalam bentuk maskawin dan
begitu juga selama nikah. Al-Thabari mengutip juga beberapa riwayat yang terkait
dengan frase “qanītat”. Ia menafsirkan kata tersebut dengan makna “taat”, dalam konteks
ketaatan kepada Tuhan dan ketaatan kepada suami.41
43
Ibid, 188.
44
Ibid, 197-198
45
Ibid, 201
Hifaa Jawad, salah seorang akademisi Muslim Inggris, tampaknya setuju bahwa
Q.S. 4:34 memberi suami hak untuk bertanggungjawab atas keluarganya. Namun,
kepemimpinan laki-laki seharusnya tidak menjadi legitimasi untuk kediktatoran. Jika
suami menyalahgunakan statusnya, sang istri berhak ikut campur guna memperbaiki
situasi tersebut. Jawad merinci bahwa ayat-ayat tersebut semestinya dipahami dalam
konteks keluarga. Dia mengidentifikasi gagasan ideal moral al-Qur’an sebagai sebuah
hubungan yang setara yang telah berubah di kalangan umat Islam oleh‘suatu
otoritarianisme dan kediktatoran.46
Riffat Hasan sebagaimana dikutip Saeed dalam An Islamic Perspective
menyatakan bahwa qawwām berkaitan dengan ekonomi, yakni pencari nafkah. Dia
menunjukkan bahwa Q.S. 3:34 khususnya kalimat pertama dalam ayat ini bersifat
normatif ketimbang deskriptif, karena tidak semua laki-laki menafkahi istrinya.
Menurutnya, meskipun al-Qur’an membebani suami dengan tugas sebagai pencari
nafkah, hal in tidak berarti bahwa perempuan tidak bisa atau tidak boleh menafkahi diri
sendiri.47
Fazlurrahman berpendapat bahwa kecukupan ekonomi seorang istri dan
kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga mengurangi superioritas. suami karena
sebagai manusia dia tidak punya kewenangan atas istrinya. Al-Hibri dan Fazlurrahman
berpendapat bahwa secara keagamaan, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan yang
absolut.
Lebih lanjut, Fazlurrahman mengaitkan superioritas laki-laki di sini dengan ayat-
ayat lain di dalam al-Qur’an yang menyebut keutamaan yang diberikan Tuhan atas
beberapa yang lainnya dalam hal kesejahteraan atau kekuasaan, atau keutamaan beberapa
rasul atas yang lain. Artinya, jenis-jenis superioritas ini tidak melekat namun bersifat
fungsional. Khaled Abu el-Fadl berpendapat bahwa status qiwāmah secara khusus
dikaitkan dengan illa’ yakni kemampuan memperoleh pendapatan dan memberi nafkah.
Jadi hal ini tidak sepenuhnya melekat pada laki-laki. Ia sependapat dengan al-Hibri
bahwa qiwāmah laki-laki tidak muncul jika dia tidak menafkahi keluarganya. Khaled
Abou El Fadl berpendapat bahwa suami istri bisa setara berbagi kewajiban qiwāmah.
H. Kesimpulan
46
Ibid, 202
47
Ibid, 203
Sebagai seorang ilmuan muslim yang progresif Abdullah Saeed berhasil
membawa angin segar dalam khazanah perkembangan tafsir sekaligus menyempurnakan
pendahulunya yang sangat kental dengan tafsir tekstual. Saeed telah berhasil menawarkan
alternatif motodologis berupa “tafsir kontekstual” yang peka konteks dalam rangka
mengimbangi tafsir tekstual yang begitu dominan. Saeed telah merumuskan aspek-aspek
metodologis, mulai dari landasan teoritis, gagasan dan prinsip kunci hingga langkah
operasional penafsiran secara rigid dan sistematis.
DAFTAR PUSTAKA