Anda di halaman 1dari 23

TAFSIR KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas ujian akhir semester Mata Kuliah Studi al-
Qur’an dan Hadits
Pengampu Dr. Moh. Mufid, Lc., M.HI

Oleh:
Imam Fauzan (20200011121)

PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES


PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
2021
A. Pendahuluan

Pemikiran Abdullah Saeed telah menarik perhatian berbagai kalangan. Hal ini
tidak lain karena gagasan-gagasannya tentang upaya interpretasi kontekstual. Tidak
dapat dipungkiri bahwa gagasan-gagasan Saeed tersebut tidak terlepas dari pengaruh
pemikirpemikir Islam sebelumnya, seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Ziyad.
Namun demikian, tidak seperti pendahulunya, Abdullah Saeed tidak banyak
mendapatkan pertentangan radikal dari kalangan masyarakat Muslim. Berbeda dengan
apa yang menimpa pemikir-pemikir pendahulunya.

Hal ini mungkin dikarenakan gagasan Saeed tidak hanya menyeru pada
kontekstualitas saja. Melainkan pada dasarnya, ia masih mengacu pada nilai dasar yang
diyakini oleh masyarakat Islam. Hal ini terlihat dari bangunan hierarki nilai yang
disusunnya dalam upaya interpretasi teks etis-legal. Di sini nampak bahwa latar belakang
Saeed yang memulai jenjang pendidikan di wilayah Arab dan kemudian berhijrah ke
Barat, dalam hal ini Australia, turut mempengaruhi pemikiran-pemikirannya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji gagasan interpretasi
kontekstulis Abdullah Saeed, khususnya terkait dengan hierarki nilai yang
dirumuskannya untuk melakukan interpretasi tesk etis-legal.

B. Sekilas Biografi Abdullah Saeed

Abdullah Saeed lahir di Maladewa, beliau meraih gelar BA di bidang bahasa Arab
atau Islamic Studies di Islamic University Saudi Arabia, beliau juga meraih gelar MA
bidang Islamic Studies dan Applied Linguistics hingga phD bidang Islamic Studies di
Malbourne University Australia.1 Abdullah Saeed juga merupakan seorang The Sultan of
Oman Professor of Arab and Islamic Studies. ia juga menjabat sebagai Director of The
Center for The Study of Contemporary Islam di Universitas Melburne Australia.2

Saeed terkenal sebagai tokoh akademisi yang ulet, selain beliau seorang dosen di
Universitas Malbourne Australia mengajar Studi Arab dan Islam pada program S1 dan
program Pascasarjana Internasional, beliau juga terlibat aktif dalam berbagai dialog antar
1
Abdullah Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Sulkhan & Sahiron Syamsudin (Yogyakarta:
Baitul Hikmah Press, 2016), h. Back Cover
2
Achmad Zaini, “Model Interpretasi al-Qur’an Abdullah Saeed” Islamica, Vol. 6, No. 1 September
2011, h. 28
agama, Kristen, Islam, dan antar Yahudi dan Islam. Saeed juga dikenal sebagai tokoh
akademisi yang mahir di berbagai bahasa, beberapa bahasa yang dikuasainya adalah
bahasa Inggris, Arab, Maldivia, Urda, Indonesia dan Jerman. Saeed sangat aktif dalam
melakukan berbagai riset yang berhubungan kajian Islam kontemporer. Berkat beberapa
relasi dan karya yang berhasil ia ciptakan membuat Saeed dianggap sebagai seorang
tokoh yang cukup berpengaruh di dunia akademisi tingkat Internasional.3

Beberapa karya Abdullah Saeed yang terkenal dan sampai sekarang masih
dipelajari kaum akademisi tiap Universitas di berbagai belahan dunia di antaranya adalah:
Freedem of Religion, Apostary and Islam,4 yang di tulis bersama Hasan Saeed, (Asghate
Pubhlising, 2004); Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions
(Commawealth Goverment, 2004); Islam and Political Legitimacy, sebagai editor
bersama S. Akbarzedah (Curzon 2003). Dan beberapa karyanya di bidang Qur’anic
Studies di antaranya: The Qur’an: an Intraduction (Roudletge: 2003), Interpreting The
Qur’an; Towards a Contemporary Approuch (Routledge, 2006); Contemporary
Approaches to Qor’an in Indonesia, sebagai editor (Oxford University, 2005); Reading
the Qur’an in the Twenty-first Century a Contextualist Approuch (Rputledge, 2014).5

Satu hal yang menarik adalah Saeed tidak merumuskan sesuatu gagasan tanpa ada
alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, Saeed berangkat dari pemahamannya tentang
wahyu. ia menilai bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah
otentik. Namun perlu adanya rekonstruksi pemahaman bahwa turunnya wahyu tidak
lepas dari kondisi sosio-historis dimana wahyu diturunkan. Kedua, adanya tradisi klasik
terhadap penafsiran berbasis konteks. Saeed menyebutkan bahwa tafsir berbasis konteks
sudah ada sejak masa lalu seperti peristiwa nasikh dan mansukh yang menyebabkan
perubahan etika hukum karena situasi dan kondisi tertentu. Dalam arti Saeed tidak
3
Eka Suriansyah & Suherman, “Melacak Pemikiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” Jurnal Kajian
Islam, Vol. 3, No. 1 April 2011, h. 44-45
4
Karya yang satu ini sebagian besar membahas bagaimana paradigma kebebasan dalam beragama,
Saeed mengritik beberapa kesalah pahaman pemikir Muslim di era pro modern atas term kebebasan
beragama dalam al-Qur’an. Saeed juga sangat tegas mengkritik produk-produk hukum Islam yang
dihasilkan oleh para pemikir Muslim pra modern yang di anggap telah menghilangkan sisi hak dan
martabat kemanusiaan. Saeed kemudian mencontohkan beberapa produk hukum Islam yang di anggap
mengabaikan sisi kemanusiaan, seperti hukuman had, rajam¸ qişāş dan sebagainya. lihat, Abdullah Saeed
& Hassan Saeed, Freedom of Religion Apostasy and Islam (Asghate Publishing: 2004), h. 139
5
Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual (Studi Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an
Abdullah Saeed” Turats, Vol 2, No 4 januari 2015, h. 40.
memunculkan gagasan yang baru, namun pengembangan dari metode yang telah ada
sejak masa lalu. Bukan hanya berasal dari konsep double movement Fazlur Rahman,
namun jauh lagi yakni sejak masa al Qur’an diturunkan.6

C. Kerangka Dasar Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed


Pada dasarnya, gagasan interpretasi kontekstualis Saeed dilhami oleh kebebasan
interpretasi generasi Muslim awal terhadap al-Qur’an, di mana ia menyebutnya sebagai
interpretasi proto-contextualist. Kebebasan interpretasi tersebut dibuktikan dengan
adanya kebebasan bagi generasi Muslim awal dalam mengaitkan teks al-Qur’an dengan
kondisi yang berlaku saat itu. Hal ini lantaran tidak adanya sebuah metodologi dan
prinsip-prinsip baku yang mengatur interpretasi al-Qur'an. Contohnya, interpretasi
‘Umar bin al-Khattab terhadap lafal

al-mu’allafah qulūbuhum dalam Q.S. at-Taubah (9): 60 yang termasuk golongan


ini adalah para pemimpin suku yang memiliki dukungan politik penting sebagaimana
dipraktikkan pada masa Nabi dan pemerintahan Abu Bakr. Namun demikian, Umar
menginterpretasikan lain, menurutnya dukungan politik para kepala suku tersebut tidak
dibutuhkan lagi pada masa pemerintahannya sehingga mereka tidak mendapatkan bagian
zakat. Adapun contoh-contoh lainnya dapat dilacak dalam literatur hukum Islam dan
hadis pada masa generasi Muslim awal.7

Saeed menemukan bahwa dasar teoritis interpretasi proto-contextualist juga


terdapat dalam literatur maqāşid asy-syarī‘ah. Namun, menurutnya maqāşid tidak cukup
untuk menjadi metodologi alternatif dalam menangani masalah literalisme dalam
interpretasi al-Qur’an. Hal ini terlihat dalam pandangan para tokoh maqāşid, seperti al-
Ghazali dan asy-Syāţibī, terlalu membatasi interpretasi alQur’an. Di samping itu, Saeed
melihat ada tokoh yang cukup radikal, seperti at Tūfī, yang membebaskan interpretasi
teks dari literalisme dengan pendapatnya bahwa kemaslahatan atau kepentingan umum
merupakan dasar untuk interpretasi ayat-ayat etis-legal dalam al-Qur’an. Namun,
pandangan at-Tūfī ini tidak mendapatkan popularitas dan dianggap terlalu radikal dalam

6
Thoriq Aziz Jayana, Model Interprestasi Al-Quran dalam Pendekatan Hermeneutika Kontekstual
Abdullah Saeed, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 2, Agustus 2019. Hlm. 114-116.
7
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur n: towards a contemporary approachʼān: towards a
contemporary approach (London ; New York: Routledge, 2006), 126.
pandangan ulama usul.8 Interpretasi proto-contextualist mengalami perluasan pada masa
modern.

Hal ini terlihat dalam pandangan Fazlur Rahman yang berkontribusi dalam
pengembangan metodologi interpretasi alternatif terhadap teks etis-legal dengan
menghubungkan teks dan konteks. Menurut Saeed, Rahman tampaknya berpendapat
untuk mengembangkan hierarki nilai yang diperlukan untuk melakukan interpretasi teks
etis-legal. Namun demikian, Rahman tidak memberikan seperangkat gagasan khusus
untuk mengembangkan hierarki nilai ini selain menyatakan bahwa seseorang harus
terlebih dahulu memperoleh prinsip-prinsip umum dari aturan tertentu dalam al-Qur’an
dengan memberikan pertimbangan penuh pada konteks sosio-historis. Alhasil, umat
Islam harus mengembangkan apa yang dia sebut sebagai “teori sosiomoral yang terpadu
dan komprehensif”. Rahman mengilhami inti dari metode Saeed yang dia sebut sebagai
kontekstualis.9

Dalam pandangan Rahman, langkah pertama dan terpenting dalam


mengembangkan metodologi ini adalah memunculkan prinsip-prinsip umum melalui dua
gerakan dasar. Pada gerakan pertama, konteks sosio-historis al-Qur’an dipertimbangkan
untuk mengeksplorasi kasus-kasus tertentu di dalam Al-Qur'an guna memperoleh
prinsip-prinsip umum, seperti keadilan. Pada gerakan kedua, prinsip-prinsip umum
tersebut digunakan sebagai dasar untuk merumuskan ketentuan hukum yang relevan
dengan zaman modern. Dalam merumuskan ketentuan hukum ini seseorang harus benar-
benar memahami kondisi zaman modern. Menurut Saeed, pentingnya teori gerakan
ganda Rahman adalah bahwa teori ini memperhitungkan kondisi zaman wahyu dan juga
zaman modern, dengan demikian menghubungkan teks dengan kebutuhan masyarakat.

D. Kerangka Dasar Hierarki Nilai Abdullah Saeed


Pengembangan hierarki nilai Saeed didasarkan pada interpretasi
protocontextualist periode awal Islam, beberapa aspek maqāşid, dan pendekatan berbasis
nilai Rahman. Hierarki nilai ini akan memandu interpretasi kontekstualis terhadap teks-
teks etis-legal di dalam al-Qur’an. Menurut Saeed nilai di dalam Al-Qur'an mencakup
8
Ibid, h.126-127
9
Ibid, h.128
banyak hal, seperti estetika dan epistemologi. Namun demikian, dalam hierarki nilai
yang dibangunnya ini, ia memfokuskan pada nilai etis dari “tindakan yang benar”.
Alasan Saeed bahwasanya al-Qur'an menganggap tindakan benar sebagai dasar agama.
Di samping itu, menurutnya dari awal turunnya wahyu alQur’an hingga akhir misi Nabi,
nilai-nilai yang berkaitan dengan tindakan yang benar merupakan tema yang sering
disinggung oleh al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan pesan yang jelas berupa dorongan
untuk melakukan tindakan yang benar dan menahan diri dari melakukan tindakan yang
salah.10

Berdasarkan tindakan yang benar tersebut, generasi-generasi Muslim telah menekankan


tema ini dan mengembangkan hukum yang luas berdasarkan tindakan yang benar.
Menurutnya, identifikasi tindakan yang benar merupakan hal yang mendominasi upaya
penafsiran Muslim di zaman modern yang berupaya untuk menghubungkan al-Qur’an
dengan kebutuhan kontemporer. Hal ini kemudian memeunculkan beberapa pertanyaan
mendasar, antara lain apakah semua instruksi etis-legal dalam al-Qur’an masih relevan
saat ini? Berkenaan dengan perbuatan benar, apakah tingkat kewajiban bagi orang
beriman? Apakah tindakan yang benar adalah wajib, direkomendasikan, atau hanya
diperbolehkan? Di sini, Saeed memfokuskan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam
al-Qur’an. Sehingga dia tidak menyinggung nilai yang terdapat dalam sunnah.11

E. Hierarki Nilai dalam al-Qur’an untuk Interpretasi Ayat-Ayat Etis-Legal

Dalam melakukan identifikasi nilai, Saeed berfokus pada konsep tindakan yang
benar. Menurutnya hal ini akan memberikan daftar ekstensif nilai-nilai yang dapat
diklasifikasikan dan diprioritaskan guna memperoleh suatu bentuk hierarki yang
mencerminkan penekanan al-Qur’an. Identifikasi ini dimulai dengan pembacaan al-
Qur’an menggunakan indeks dan kamus yang tersedia. Konkordansi rinci masih relatif
sedikit, sehingga perlu mengandalkan teks itu sendiri untuk mengidentifikasi nilai-nilai
tersebut. Di samping itu, juga melihat pada materi pendukung dari tafsir maupun fikih. 12

10
Ibid, h.129
11
Ibid, h.
12
Ibid., 129-130.
Di sini terlihat bahwasanya Saaed juga melihat pada turats yang telah ada guna
membantu bangunan hierarki nilainya.

Berdasarkan al-Qur'an dan sumber lainnya, Saeed telah mengidentifikasi


sejumlah besar nilai yang berkaitan dengan tindakan yang benar. Setelah melakukan
penelitian dan eksperimen dengan berbagai klasifikasi, Saeed mengadopsi kategori nilai
yang cukup representatif yang mencakup sebagian besar nilai tindakan benar yang tidak
melanggar keyakinan-keyakinan fundamental di dalam al-Qur’an. Kategori nilai tersebut
mencakup lima kategori yang membentuk sebuah hierarki secara berurut, yakni wajib,
fundamental, proteksional, implementasional, dan instruksional. Dalam mengembangkan
hierarki nilai, Saeed mempertimbangkan keyakinan esensial dalam agama Islam Islam,
hal yang diterima dengan suara bulat dalam tradisi Muslim, dan ide-ide yang
dikembangkan dalam yurisprudensi Islam berkaitan dengan lima kategori tindakan
manusia.13 Penjelasan lebih lanjut mengenai hierarki nilai tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Nilai-nilai Wajib

Nilai-nilai yang tergolong di dalam kategori ini ditekankan di seluruh


alQur’an, baik pada periode Mekah maupun periode Madinah. Nilai-nilai ini juga
tidak bergantung pada budaya. Di samping itu, nilai-nilai ini dianggap bagian penting
di dalam al-Qur’an oleh orang-orang Muslim dari semua latar belakang. Lebih lanjut,
Saeed menjelaskan tiga sub-kategori dari nilai-nilai tersebut:14
a. Nilai-nilai yang terkait dengan sistem kepercayaan atau iman, misalnya
kepercayaan kepada Tuhan, para nabi, kitab-kitab, hari penghakiman,
pertanggungjawaban dan kehidupan setelah kematian. Niai-nilai ini secara
tradisional dikenal sebagai rukun iman.
b. Nilai-nilai yang berkaitan dengan praktik peribadatan yang ditekankan di
dalam al-Qur’an, misalnya salat, puasa, dan haji, serta mengingat Tuhan.
Ulama mengelompokkan nilai-nilai ini ke dalam kategori ibadat, yakni

13
Ibid., 130
14
Ibid., 130-132
bentuk-bentuk dari ibadah. Nilai-nilai ini dapat dianggap berlaku secara
universal.
c. Nilai-nilai yang secara spesifik dijabarkan dengan jelas oleh al-Qur’an tentang
sesuatu yang diperbolehkan (halal) dan sesuatu yang dilarang (haram).
Nilainilai halal dan haram yang secara tegas dijelaskan oleh al-Qur’an ini
berlaku universal dan tidak dapat diubah, seperti nilai halal dari makanan
dalam laut, mendatangi istri pada malam hari ketika puasa, dan memakan
binatang ternak atau nilai haram dari memakan bangkai, memakan anjing, dan
praktik riba. Namun demikian, nilai halal dan haram di sini tidak sama dengan
daftar panjang dari halal dan haram yang terdapat dalam teks fikih.

2. Nilai-nilai Fundamental

Nilai-nilai fundamental ini ditekankan berulang kali di dalam al-Qur’an


dan memiliki dalil tekstual substansial yang menunjukkan bahwa nilai-nilai
tersebut merupakan salah satu dasar ajaran al-Qur’an. Nilai-nilai tersebut
ditekankan sebagai nilai-nilai dasar kemanusiaan, misalnya perlindungan
terhadap jiwa seseorang, keluarga, dan harta. Banyak ulama awal menyadari
nilai-nilai tersebut, seperti al-Ghazali yang menjabarkan lima nilai-nilai universal
yang dia sebut sebagai kulliyyāt, yakni meliputi perlindungan agama, jiwa,
kehormatan, keturunan, dan harta. Nilai-nilai ini dianggap sebagai tujuan utama
dari syariat bagi para ulama.15

Lima nilai universal yang dirujuk di atas diperoleh dengan menggunakan


metode pembuktian induktif oleh para ahli hukum terkemuka, seperti ‘Izz bin
‘Abd as-Salām. Meskipun para ahli hukum, seperti al-Ghazali dan as-Saţibī,
membatasi pada lima nilai fundamental tersebut, namun dengan menggunakan
metode pembuktian induktif sejumlah nilai baru dapat dikembangkan pula.
Misalnya, mengembangkan nilai-nilai universal yang relevan dengan konteks
saat ini berupa perlindungan orang difabel atau perlindungan kebebasan
beragama.16
15
Ibid., 133.
16
Ibid.
Selain itu, universalitas ini terdapat di dalam bagian teori hukum Islam,
seperti ijma dan maslahah. Universalitas ini merupakan fondasi dari syariat yang
terbentuk atas dasar keserbaragaman hal-hal partikular atau juz’yyāt yang
kesemuanya membuktikan satu makna atau tema yang universal. Dengan metode
ini, seseorang dapat memperoleh nilai-nilai yang melindungi berbagai hak asasi
manusia yang sebelumnya tidak dicakup oleh para sarjana hukum klasik,
misalnya kebebasan berbicara, persamaan di depan hukum, kebebasan dari
penyiksaan atau hukuman yang tidak manusiawi, kebebasan dari penangkapan
sewenang-wenang, praduga tidak bersalah, perlindungan lingkungan, dan
sebaginya. Dalam kategori nilai ini masih dimungkinkan adanya pengembangan
dan perluasan yang mengacu pada kebutuhan dan problem terkini yang muncul di
masyarakat.17

3. Nilai-nilai Proteksional

Nilai-nilai proteksional ini merupakan nilai-nilai yang memberikan


dukungan legislatif pada nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental tidak
berarti apapun kecuali dipraktikkan. Praktik tersebut tidak cukup hanya dengan
menyatakan nilai itu sebagai fundaental, melainkan juga dengan adanya sarana
yang melindungi nilai itu. Misalnya dalam perlindungan harta, terdapat nilai
proteksional berupa pelarangan pencurian dan juga praktik riba. 18 Selain itu terdapat
larangan membunuh untuk menjaga jiwa dan larangan berbuat zina untuk menjaga
keturunan.

Nilai-nilai proteksial ini seringkali bergantung pada satu atau beberapa dalil
teks. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi pentingnya nilai tersebut di
dalam Al-Qur'an. Sebab, kekuatan nilai-nilai ini sebagian besar berasal dari nilai-
nilai fundamental dan perintah khusus yang berkaitan dengan nilai proteksional itu
sendiri. Lantaran nilai-nilai proteksional sangat penting dalam memelihara nilai-
nilai fundamental, universalitas nilai-nilai ini juga perlu dilakukan perluasan.19

17
Ibid, h.
18
Ibid., 134.
19
Ibid.
4. Nilai-nilai Implementasional

Nilai-nilai implementasional merupakan nilai-nilai yang berupa tindakan-


tindakan tertentu yang digunakan untuk mengimplementasikan nilainilai
proteksional. Misalnya, dalam nilai proteksional larangan pencurian terdapat nilai
implementasional berupa hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian berdasarkan
pada Q.S. al-Mā’idah (5): 38. Al-Qur’an menetapkan tindakan-tindakan ini sesuai
dengan konteks budaya waktu itu, di mana hukuman fisik telah mengakar di dalam
masyarakat Arab pada masa itu. Ukuran tindakan ini menurut Saeed tidak menjadi
tujuan fundamental dari al-Qur’an, melainkan tujuannya adalah untuk mencegah
seseorang melakukan perilaku kriminal.20

Adapun jika seseorang telah melakukan tindakan kriminal, yang terpenting


adalah bertobat dan menahan diri dari pelanggaran serupa. Saeed melihat
bahwasanya al-Qur’an setelah menetapkan tindakan pencegahan berupa hukuman,
kemudian menyatakan bahwa pertobatan dapat menyebabkan pengampunan tindakan
tersebut. Namun secara umum, hukum Islam tidak sepenuhnya menyadari hal ini dan
lebih menekankan penegakan hukuman. Menurut ar-Rāzī pertobatan dapat
membebaskan hukuman, yang nampaknya juga merupakan pandangan dari asy-
Syāfi‘i, Ahmad bin Hanbal, dan juga Ibn Qayyim. Melihat pada implementasi
hukuman rajam dalam kasus Mā‘iz, Ibn Qayyim berpandangan bahwa keputusan
Nabi menjatuhkan hukuman karena desakan dan permintaan berulang-ulang dari si
pelaku.21

Menurut Saeed, implementasi hukuman hādd tersebut, seperti amputasi,


rajam, atau cambuk, tidak menjadi tujuan utama al-Qur’an. Melainkan tujuan
utamanya adalah menghindari kejahatan di satu sisi, dan pertobatan terhadap
kejahatan yang dilakukan di sisi lain. Namun demikian, hukuman harus tetap
diberlakukan untuk mencegah orang-orang yang cenderung terlibat dalam
kriminalitas semacam ini. Adapun implementasi hukumannya harus disesuaikan
dengan konteks peristiwa yang terjadi.22 Sehingga dalam tataran nilai ini masih

20
Ibid, h.
21
Ibid., 134-135.
22
Ibid., 135-136.
sangat dimungkinkan untuk dilakukan pengembangan terkait implementasi hukuman
pencegahan yang efektif dari tindakan kriminal.

5. Nilai-nilai Instruksional

Nilai-nilai instruksional merupakan nilai yang berkaitan dengan tindakan


yang diinstruksikan oleh al-Qur’an ketika berhadapan dengan suatu permasalahan
yang spesifik pada saat wahyu diturunkan. Menurut Saeed, nilai ini paling banyak,
bervariasi, dan beragam. Oleh karena itu, kategori nilai ini paling sulit difahami
dibandingkan kategori yang lain. Bahkan, Saeed menyatakan bahwa sebagian besar
nilai al-Qur’an itu bersifat instruksional.23

Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas nilai-nilai intruksional ini menggunakan


berbagai aspek kebahasan yang beragam. Misalnya, berupa imperatif atau perintah
(amr), larangan (lā), pernyataan sederhana yang menunjukkan sebuah tindakan
benar, perumpamaan, maupun kisah tentang kejadian tertentu. Contohnya adalah
instruksi untuk menikah lebih dari satu wanita dalam keadaan tertentu, instruksi
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dan instruksi untuk menjadi baik
kepada orang-orang tertentu, dan intruksi-intruksi lainnya.24

Pada wilayah intruksi-intruksi ini, terdapat sebuah kesulitan bagi para penafsir
untuk menghubungkan teks dengan konteks terkini. Kesulitan tersebut disebabkan
oleh adanya ambiguitas dalam nilai-nilai intruksional ini. Oleh karena itu, Saeed
merumuskan suatu cara agar bisa mengeksplorasi nilai-nilai tersebut guna mengetahui
keberlakuannya secara universal atau terbatas pada keadaan masa penurunannya.
Saeed merumuskan tiga kriteria, yakni frekuensi nilai tersebut di dalam al-Qur’an,
penekanan nilai tersebut pada saat misi dakwah kenabian, dan relevansinya dengan
masa, tempat, budaya, dan keadaan Nabi dan generasi Muslim awal. Lebih lanjut
tentang tiga kriteria ini adalah sebagai berikut:25
a) Frekuensi

23
Ibid., 137.
24
Ibid.
25
Ibid., 139-140.
Frekuensi ini berkaitan dengan seberapa sering nilai tersebutdisebutkan di
dalam al-Qur’an. Hal ini bisa diukur melalui penelusuran tematema inti yang
berkaitan dengan nilai tersebut. Misalnya tentang menolong orang-orang miskin,
berdasarkan penelusurannya hal ini disampaikan oleh alQur’an melalui beberapa
konsep yang beragam, seperti “menolong mereka yang membutuhkan”, “memberi
makan fakir miskin”, dan “merawat anak yatim”. Di sini, seorang penafsir dituntut
untuk memberikan “perkiraan” yang paling akurat tentang frekuensi penyebutan nilai
tertentu. Semakin sering sebuah tema itu diulang dalam al-Qur’an, maka semakin
penting pula nilai tersebut.

b) Penekanan

Konsep penekanan ini mempertanyakan apakah nilai-nilai tertentu itu benar-benar


ditekankan selama dakwah kenabian. Prinsipnya adalah semakin besar penekanan nilai
itu, maka semakin signifikan nilai tersebut di dalam al-Qur’an. Misalnya, nilai untuk
“membantu orang yang terzalimi” merupakan nilai yang ditekankan oleh Nabi sejak
awal dakwah kenabian, baik pada periode Mekah maupun Madinah. Namun, jika suatu
nilai hanya disebutkan sekali atau beberapa kali saja kemudian ditinggalkan, maka dapat
diasumsikan bahwa nilai tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan.

c) Relevansi

Konsep relevansi memiliki dua tipe. Pertama, relevansi partikularyang terikat


oleh waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Tipe ini digunakan untuk melihat relevansi
dengan konteks sosio-historis ketika turunnya wahyu. Kedua, relevansi universal yang
bersesuaian dengan budaya apapun tanpa terbatas pada waktu, tempat, maupun keadaan.
Tipe ini yang menjadi minat utama dalam konsepnya guna melihat relevansi nilai-nilai
dalam al-Qur’an dengan kebutuhan masyarakat modern.26

Beberapa aturan umum terkait dengan nilai-nilai instruksional tersebut adalah sebagai
berikut:27

26
Ibid., 140.
27
Ibid., 141.
a. Semakin sering suatu nilai muncul kembali dalam al-Qur'an, semakin besar
kemungkinan untuk dapat diterapkan secara universal.
b. Semakin besar cakupan nilai, semakin banyak kemungkinan besar menjadi
universal.
c. Semakin umum relevansi nilai, semakin besar kemungkinan menjadi universal.

d. Jika suatu nilai memenuhi tiga kriteria (pada ujung positif ekstrim dari kontinum),
nilai tersebut (paling mungkin) setara dengan nilai universal dan penerapannya
bersifat universal dan dengan demikian mengikat.
e. Jika nilai memenuhi tiga kriteria (di ujung paling negatif dari kontinum), nilai
tersebut (kemungkinan besar) adalah nilai non-universal secara religius (khusus
budaya ), dan penerapannya bergantung pada keadaan.

F. Langkah-langkah Interpretasi Secara Kontekstual

Abdullah Saeed membagi ke dalam beberapa tahap dalam menginterpretasikan


teks al-Qur’an secara kontekstual, hal itu diharapkan agar makna yang dihasilkan atas
upaya interpretasi bersifat kontemporer dan menjadi solusi bagi kehidupan konteks
kontemporer. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi secara
kontekstual adalah:

1. Langkah Pertama (Pertimbangan-pertimbangan Awal).

Langkah awal bagi seorang pelaku interpretasi adalah meluangkan waktu untuk
memahami serta mengakrabi konteks dengan cangkupan yang lebih luas dalam
melakukan tugas interpretasi, beberapa langkah bagi seorang pelaku interpretasi sebagai
upaya dalam memahami konteks yang lebih luas adalah: pertama, memahami
subjektivitas sang pelaku interpretasi. Tampaknya Abullah Saeed menyadari akan
keterlibatan proses pra pemahaman atas diri sang pelaku. Dalam pandangan Abdullah
Saeed, sisi subjektif dari mufassir adalah berkaitan dengan pengalaman hidup, kesukaan,
ketidak sukaan dan prioritas hidup seorang mufassir, juga mencangkup identitas-identitas
seperti gender, etnik, budaya bahasa profesi, status serta peran komunitasnya dalam
masyarakat. Saaed kemudian mengatakan bahwa dengan kesadaran mufassir akan
beberapa sisi subjektifnya diharapkan mengindarkan mufassir dari argumen yang
mengklaim akan kesempurnaan hasil interpretasinya, karena bagaimanapun setiap hasil
interpretasi tidak terlepas dari perspektif personal yang melekat dalam proses
interpretasi.28

Kedua, langkah berikutnya sebelum memluai penafsiran, pelaku interpretasi juga


harus memahami “Dunia Al-Qur’an”. Pada tahap ini mufassir di tuntut untuk mengetahui
hakikat dan tujuan diturunkannya al-Qur’an, mengenal pengarang al-Qur’an dan
mengetahui tujuan utama yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an secara universal.
Saeed menyebutkan beberapa tujuan terpenting dari teks al-Qur’an jika dipandang secara
universal adalah untuk membenahi akhlak bagi setiap manusia. Sebagaimana yang ia
kutip dari Fazlurrahman bahwa “Tuhan dan Zat-nya Bukanlah fokus utama dari dokumen
wahyu ini (al-Qur’an), namun tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah manusia dan
akhlaknya, bukan Tuhan”.29

Dalam pandangan Saeed, beberapa ujaran yang disodorkan oleh al-Qur’an tentang
tuntutan bagi manusia untuk bertakwa mengindikasikan bahwa teks al-Qur’an
mendorong bagi para pembaca untuk menjadi manusia yang bermoral, berakhlak dan
menjalankan perintah serta tidak melampau batasan-batasan larangan Tuhan yang
ditentukan.30 Dalam kasus manusia sebagai objek diturunkannya al-Qur’an yang artinya
manusia berhak mengambil posisi utama al-Qur’an (the World of the Quran), seharusnya
mampu memahami tensi-tensi moral yang ditetapkan oleh Tuhan, oleh karena itu dalam
pandangan Saeed “takwa ditumbuhkan dalam al-Qur’an tidak hanya dalam konteks
hubungan yang sesuai antara manusia dan penciptanya, tetapi juga dalam konteks
hubungan yang sesuai antara manusia dan manusia”.31

28
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2016), h.160
29
Ibid, h. 162
30
Konsep takwa yang diutarakan oleh Saeed berdasarkan pertimbangan dengan memandang teks al-
Qur’an secara universal, tampaknya tidak berbeda jauh dengan kunci hermeneutik kedua dari Farid Esack.
Dalam menginterpretasi teks, Farid Esack menempatkan takwa sebagai kunci hermeneutik yang bersifat
mendasar bagi para mufassir sebelum kemudian mufassir menginterpretasi term-term yang lain dalam al-
Qur’an. Setelah melewati tahap kunci hermeneutik pertama (tauhid) dan kedua (takwa) mufassir akan
menuju kapada kunci-kunci hermeneutik yang lain seperti adil, mustadh’afīn dan sebagainya. Teknik
interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan kunci-kunci Hermeneutik Farid Esack. Lebih lengkapnya
silahkan lihat. Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligious
Solidarity Against Oppression (England: Oneworld, 1997), h. 47
31
Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, h.162-163
Ketiga adalah memahami bagaimana makna di konstruksi, Saeed beranggapan
bahwa makna lahir berkat intraksi empat elemen yaitu, kehendak Tuhan (sebagai author),
teks al-Qur’an, para penerima wahyu pertama (Nabi dan masyarakat Muslim abad 7M,
dan konteks makro ketika wahyu diturunkan. Oleh karena itu, untuk menemukan makna
“terbaik”. Mufassir harus memahami bagaimana para penerima wahyu pertama dalam
merespons pesan setiap diturunkannya teks al-Qur’an dan mengidentifikasi bagaimana
respons mereka berkaitan dengan konteks pewahyuan. Artinya, dalam pandangan Saeed
makna akan terus berevolusi, karena makna sangat bergantung dengan perubahan ruang
konteks tertentu.32

2. Langkah ke dua (Memulai Tugas Penafsiran)

Setelah mufassir melewati langkah pertama, langkah berikutnya bagi seorang


mufassir adalah memulai untuk menafsirkan teks al-Qur’an. Langka ini adalah mencakup
usaha seorang mufassir dalam mengidentifikasi teks secara utuh yang sedang di tafsirkan
(Textuality), yang artinya seorang mufassir membawa dirinya seolah sedang membaca
teks yang sama dengan teks yang dikomunikasikan di era pertama kali al-Qur’an
diwahyukan (abad 7M). Hal ini tentunya berkaitan dengan pengetahuan terkait qiraat,
bahasa dan struktur linguistik original al-Qur’an yaitu bahasa Arab, yang digunakan oleh
nabi dalam menyampaikan pesan kepada para pengikutnya.33

3. Langkah ke tiga (Mengidentifikasi Makna Teks).

Dalam menafsirkan al-Qur’an, mufassir memerlukan beberapa prinsip, prangkat


dan gagasan penafsiran (Qawā’idu al-Tafsīr)¸ untuk menemukan makna teks yang
ditafsirkan. Saeed tampaknya juga menghargai beberapa produk tafsir pra modern.
Sebagaimana yang ia sebutkan bahwa mufassir perlu “mempertimbangkan bagaimana
teks itu dipahami pada awal abad ke 7M, dan juga dipahami dalam tradisi tafsir. Adapun
prinsip penting dalam mengidentifikasi makna teks adalah: 1) Merekonstruksi konteks
makro 1 (awal abad ke-7M) adalah memahami bagaimana al-Qur’an dalam mereformasi
kondisi sosial, politik, ekonomi, kultural dan intelektual berkaitan dengan teks al-Qur’an
yang sedang dikaji. 2) Menentukan unit teks secara tematik, sebagaimana kita ketahui

32
Ibid, h. 164-165.
33
Ibid, h. 165.
bahwa susunan setiap ayat al-Qur’an tidak sistematis, maka tugas seorang mufassir
adalah mengklompokkan ayat-ayat al-Qur’an yang dipandang satu tema dengan ayat
yang sedang dikaji. 3) Mengidentifikasi waktu dan tempat spesifik di mana teks di
komunikasikan. (asbābu al-nuzūl) Sebagai mufassir juga perlu untuk mengetahui kapan
dan di mana teks diturunkan, untuk siapa, misalnya kelompok Muslim tertentu dan
sebagainya. Mengetahui penaggalan al-Qur’an. Apakah ditrurnkan di Madinah atau
Makkah, karena hal ini akan mempengaruhi titik penekanan dari pesan teks al-Qur’an. 4)
Menentukan jenis teks. Mufassir juga perlu mengetahui secara spesifik jenis teks yang
sedang di kaji, apakah teks tersebut sebuah teks historis (kisah tentang para nabi atau
kaum terdahulu) atau teks yang berkaitan dengan larangan, perintah instruksi dan nasihat
atau yang disebutkan oleh Saeed teks eticho-legal, atau teks perumpamaan dan atau teks
yang berkaitan dengan hal gaib (membicarakan seputar Tuhan, hari kiamat, dsb). 5)
Mengkaji aspek linguistik teks, hal ini mencangkup upaya dalam mengidentifikasi
perbedaan atas fitur-fitur linguistik yang digunakan oleh teks al-Qur’an, dan apakah
perbedaan tersebut akan memberikan makna yang berbeda pula. 6) Mengeksplorasi Hadis
mengenai topik yang sama, adalah sebuah keniscayaan ketika seorang mufassir
memerlukan hadis dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Beberapa informasi pesan dalam
al-Qur’an bisa ditemukan di dalam hadis. Dalam hal ini mufassir juga perlu
mempertimbangkan aspek kajian hadis, terkait keabsahan dan bagaimana dalam mencari
kandungan utama dalam sebuah hadis yang dianggap paralel dengan teks al-Qur’an yang
sedang dikaji.34

4. Langkah ke-empat (Mengaitkan Penafsiran Teks dengan Konteks Masa


Kini).

Dalam pencarian makna untuk kemudian dikaitkan dengan konteks modern,


seorang mufassir perlu melihat bagaimana teks yang sedang dikaji dalam tradisi tafsir.
Hal ini terkait apakah teks yang sedang di kajinya sudah dimaknai secara konsisten oleh
mufassir dalam tradisi penafsiran sebelumnya, karena dalam pandangan Saeed semakin
teks yang sedang dikaji mendapat sambutan dan dimaknai berbeda dari para mengkaji
tafsir, mengidentifikasi akan fleksibilitas teks tersebut, sehingga dalam kasus ini mufassir

34
Ibid, h. 166-177.
kontekstual lebih fleksibel dalam memberi penafsiran lain yang logis untuk periode
modern. Saeed kemudian memberikan beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan
dalam mengaitkan penafsiran teks dengan konteks masa kini.35

Pertama, adalah mempertimbangkan penafsiran dominan dengan konteks lebih


luas, dalam tahapan ini sang mufassir dapat melihat bagaimana paradigma penafsiran
dominan dalam tradisi tafsir apakah dipengaruhi oleh mazhab, hukum atau tarekat
tertentu. Karena walau bagaimanapun tidak dapat dipungkiri, beberapa produk tafsir
terdahulu sangat terpengaruh dengan medzhab dan golongan tertentu. Perbedaan-
perbedaan hasil penafsiran tersebut akan membuat mufassir lebih bebas dalam
menafsirkan dengan pedenkatan yang berbeda. Dalam konteks ini tentunya adalah
penafsiran dengan pendekatan kontekstual.

Kedua, adalah mengaitkan teks dalam konteks yang berbeda-beda. Mufassir


kemudian mengaitkan pemahaman teks terhadap konteks makro 1 (abad ke-7 M) menuju
ke pemahaman konteks makro 2 (konteks modern). Seorang mufassir juga perlu
menganalisis dan memetakan berbagai isu-isu politik, ekonomi, budaya, sosial dan
intelektual yang dianggap relevan dengan tema yang sedang di kaji. Dengan demikian
mufassir akan mengetahui perbedaan-perbedaan isu tersebut atas konteks makro 1 dan
konteks makro 2. Mufassir kemudian perlu mengeksplorasi nilai-nilai pesan yang
disampaikan oleh teks al-Qur’an apakah bersifat spesifik atau universal, yang artinya
apakah pesan tersebut bersifat baku atau dinamis, maka dengan mengetahui sifat nilai
pesan yang disampaikan teks, selanjutunya adalah bagaimana mufassir dalam
mengaplikasikan pesan tersebut dalam konteks modern.

G. Aplikasi Penafsiran Al Qur’an dengan Pendekatan Kontekstual


Isu kesetaraan gender menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam
kontemporer. Banyak mufassir tekstual menilai bahwa al-Qur’an memberikan lebih
banyak hak kepada laki-laki ketimbang perempuan. Pendekatan tekstual ini sangat
bergantung pada tafsir-tafsir pra-modern mengenai beberapa teks al-Qur’an. Para
pengusung tafsir kontekstual berpendapat bahwa konteks makro saat ini sangat berbeda
dengan kontes makro pra-modern, sehingga saat ini perlu adanya penafsiran baru atas tes-

35
Ibid, h. 177-178.
teks al-Qur’an yang telah digunakan pada masa pra- modern untuk menjustifikasi
ketidaksetaraan kaum perempuan. Berikut ayat yang menjadi fokus mengenai isu-isu
seputar kesetaraan gender dalam Islam (4:34).

ؕ ‌ۡ‫ض َّومِبَ اۤ اَ ۡن َف ُق ۡوا ِم ۡن اَمۡ َواهِلِم‬


ٍ َ‫ض ُهمۡ َع ٰلى ۡبع‬ ِ ‫ال َق َّوام ۡو َن علَى الن‬
ٰ َّ َ‫ٓاء مِب ا ف‬
َ ‫ض َل اللّ هُ بَ ۡع‬ َ ‫ِّس‬ َ َ ُ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
‫ظ ال ٰلّ‌هُ ؕ َواٰلّىِت ۡى خَتَافُ ۡو َن نُ ُش ۡو َز ُه َّن فَعِظُ ۡو ُه َّن َوا ۡه ُج ُر ۡو ُه َّن‬ ِ ‫ت لِّ ۡلغَ ۡي‬
َ ‫ب مِب َا َح ِف‬ ِ
ٌ ‫ٰت ٰحف ٰظ‬
ِ ‫الص لِ ٰح‬
ٌ ‫ت ٰقنت‬
ُ ّٰ َ‫ف‬
‫ض ِربُ ۡو ُه َّ‌ن ۚ فَاِ ۡن اَطَ ۡعنَ ُكمۡ فَاَل تَ ۡبغُ ۡوا َعلَ ۡي ِه َّن َسبِ ۡياًل‌ ؕاِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًۡريا‬ ِ ‫ىِف ا ۡلمض‬
ۡ ‫اج ِع َوا‬ َ َ
Artiya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Konteks Ayat
Al-Thabari mengutip sejumlah riwayat mengenai kisah dalam usahanya
menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini.36 Semua ayat yang ia gunakan diriwayatkan
dari para mufassir generai kedua umat Islam (tabi’in). 37 Kisah tersebut tampaknya terkait
dengan penyebutan “pemukulan” pada bagian kedua ayat ini. Dalam riwayat tersebut,
seorang perempuan atau keluarganya mengadu kepada Rasulullah setelah sang suami
memukulnya. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar suami dari perempuan tersebut
dijatuhi hukuman qisash, sehingga turunlah ayat ini. Rasulullah lalu memanggil istri atau
ayahnya kembali dan membacakan ayat tersebut, seraya bersabda, “Saya menginginkan
sesuatu, namun Allah menghendaki yang lain.”38
Para mufassir sesudahnya juga merujuk riwayat-riwayat tersebut dengan
menambahkan rincian yang lebih lengkap. Ibnu Katsir dan al-Suyuthi misalnya mengutip
riwayat bahwa Rasulullah bersabda, “Jangan memukul hamba-hamba Allah (kaum
perempuan).” Maka, datanglah Umar seraya berkata, “Mereka telah memperlakukan para

36
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21, Tafsir Kontekstual, terj. Erfan Nurtawwab (Mizan: Bandung,
2016), 185
37
Ini mencakup al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, dan al-Sudi
38
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21, Tafsir Kontekstual.... 185
suami mereka secara tidak pantas.” Lalu Rasulullah membolehkan suami untuk memukul
istrinya.”39
1. Beberapa Penekanan Pada Tafsir-Tafsir Pra-Modern
Al-Thabari tetap dengan pemahaman literalnya atas kata-kata dalam ayat di atas
dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial merupakan para frase atas ayat
tersebut. Misalnya, dia mengutip pandangan Ibnu Abbas terkait frase dalam ayat ini.
Ar-rijālu qawwāmūna ‘alā al-nisā’ maksudnya “pemimpin” (umarā) atas mereka,
bahwa perempuan seyoganya mematuhi suaminya atas apa yang Tuhan
perintahkan atas kaum laki-laki untuk ditaati, dan menaati suaminya. Jika
demikian, ia berarti beramal shaleh bagi keluarga suaminya dan melindungi harta
milik suaminya. Karena itu, Tuhan mengutamakan (faddhalahu) laki-laki
membiayai istrinya dan menjadi pemimpin atasnya.40
Al-Thabari menyimpulkan riwayat-riwayat yang terkait dengan frase pertama ayat
ini dengan mengatakan bahwa ayat ini memberi hak para suami memikul tanggungjawab
atas berbagai urusan kaum perempuan (hak mendidik dan memerintah). Argumentasinya,
kewajiban suami untuk membiayai istri secara finansial dalam bentuk maskawin dan
begitu juga selama nikah. Al-Thabari mengutip juga beberapa riwayat yang terkait
dengan frase “qanītat”. Ia menafsirkan kata tersebut dengan makna “taat”, dalam konteks
ketaatan kepada Tuhan dan ketaatan kepada suami.41

Masih menurut al-Thabari, bahwa frase “ḥāfizāt li al-ghaibi” mengindikasikan


pemaknaan bahwa perempuan shalihah adalah perempuan yang menjaga bagian-bagian
pribadi mereka dan harta milik suami mereka ketika suami mereka tidak ada. Al-Thabari
menambahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kaum perempuan yaitu
memenuhi hak dan kewajiban yang telah diberikan Tuhan kepada kaum laki-laki.42
Berbeda dengan al-Thabari, Fakhruddin al-Razi memberikan catatan dengan
mengaitkan ayat tersebut dengan ayat waris dan menunjukkan bahwa Tuhan melebihkan
lakilaki atas perempuan dalam hal waris hanya karena laki-laki adalah “qawwāmūn” atas
perempuan yang dalam konteks ini tampaknya bermakna bahwa laki-laki berkewajiban
memberi maskawin dan menghidupi istri-istri mereka secara finansial. Menurut al-Razi
39
Ibid
40
Ibid, 186-187
41
Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir sependapat dengan al-Thabari ihwal wanita shalihah, qanītat
berhubungan dengan ketaatan kepada suami, dan tidak menyebut ketaatan kepada tuhan.
42
Dalam hal ini, Ibnu Katsir sependapat dengan al-Thabari. Lebih lanjut baca Abdullah Saed, al-
Qur’an Abad 21, Tafsir Kontekstual..., 188 dan 195.
kata “qawwāmūn” tidak saja bermakna mengurusi urusan istrinya, tetapi juga bermakna
melindungi dan menjaga istrinya.43
Al-Qurthubi melakukan kajian kebahasaan atas lafaz qawwām. Menurutnya, lafal
ini adalah bentuk intensif dari lafal qiyām. Dengan begitu, lafal ini bermkana
melaksanakan sesuatu, memiliki satu-satunya hak untuk membuat keputusan terkait
dengannya dan berusaha menjaganya.
2. Tafsir-tafsir modern atas ayat ini
Abdullah Saeed dalam hal ini, memberikan contoh-contoh penafsiran mengenai
topik qiwāmah. Ia mengatakan masih banyak mufassir yang menafsirkan ayat dengan
nuansa yang sangat patriarkhi. Namun ada juga tafsir-tafsir yang tidak bernuansa
patriarkhi.
3. Para Sarjana Muslim yang Menekankan Superioritas Laki-laki
Menurut Abdullah Saeed, beberapa sarjana, seperti halnya mufasssir pra-modern,
berpendapat bahwa superioritas laki-laki atas perempuan berasal dari sejumlah kualitas
hakiki laki-laki yang tidak dimiliki perempuan. Karena itu, dalam sebuah pernikahan,
peran seorang suami adalah menjaga hal yang Allah bebankan kepadanya. Sementara
peran istri adalah menaati Tuhannya dan suaminnya.44
Abdullah Saeed mengutip Tafhīm al-Qur’ān karya Abu A’la al-Maududi yang
menyataan bahwa laki-laki itu superior dari perempuan secara umum dan dalam keluarga.
Untuk mendukung pendapatnya tentang wanita shalihah, ia mengutip riwayat yang
disebut para mufassir pra-modern. Namun menurut al-Maududi, ketaatan kepada Tuhan
adalah di antara yang paling penting ketimbang ketaatan kepada suami dan lebih utama
atasnya.45
4. Pendekatan-Pendekatan Non Patriarkhi
Pandangan mengani qiwāmah (kepemimpinan) dipandang oleh beberapa sarjana
perempuan Muslim dengan cara yang seimbang; dengan memberikan laki-laki sebuah
peran kepemimpinan di dalam keluarga, sementara membebankan mereka dengan
tanggungjawab atas istri mereka, termasuk menafkahi secara finansial.

43
Ibid, 188.
44
Ibid, 197-198
45
Ibid, 201
Hifaa Jawad, salah seorang akademisi Muslim Inggris, tampaknya setuju bahwa
Q.S. 4:34 memberi suami hak untuk bertanggungjawab atas keluarganya. Namun,
kepemimpinan laki-laki seharusnya tidak menjadi legitimasi untuk kediktatoran. Jika
suami menyalahgunakan statusnya, sang istri berhak ikut campur guna memperbaiki
situasi tersebut. Jawad merinci bahwa ayat-ayat tersebut semestinya dipahami dalam
konteks keluarga. Dia mengidentifikasi gagasan ideal moral al-Qur’an sebagai sebuah
hubungan yang setara yang telah berubah di kalangan umat Islam oleh‘suatu
otoritarianisme dan kediktatoran.46
Riffat Hasan sebagaimana dikutip Saeed dalam An Islamic Perspective
menyatakan bahwa qawwām berkaitan dengan ekonomi, yakni pencari nafkah. Dia
menunjukkan bahwa Q.S. 3:34 khususnya kalimat pertama dalam ayat ini bersifat
normatif ketimbang deskriptif, karena tidak semua laki-laki menafkahi istrinya.
Menurutnya, meskipun al-Qur’an membebani suami dengan tugas sebagai pencari
nafkah, hal in tidak berarti bahwa perempuan tidak bisa atau tidak boleh menafkahi diri
sendiri.47
Fazlurrahman berpendapat bahwa kecukupan ekonomi seorang istri dan
kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga mengurangi superioritas. suami karena
sebagai manusia dia tidak punya kewenangan atas istrinya. Al-Hibri dan Fazlurrahman
berpendapat bahwa secara keagamaan, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan yang
absolut.
Lebih lanjut, Fazlurrahman mengaitkan superioritas laki-laki di sini dengan ayat-
ayat lain di dalam al-Qur’an yang menyebut keutamaan yang diberikan Tuhan atas
beberapa yang lainnya dalam hal kesejahteraan atau kekuasaan, atau keutamaan beberapa
rasul atas yang lain. Artinya, jenis-jenis superioritas ini tidak melekat namun bersifat
fungsional. Khaled Abu el-Fadl berpendapat bahwa status qiwāmah secara khusus
dikaitkan dengan illa’ yakni kemampuan memperoleh pendapatan dan memberi nafkah.
Jadi hal ini tidak sepenuhnya melekat pada laki-laki. Ia sependapat dengan al-Hibri
bahwa qiwāmah laki-laki tidak muncul jika dia tidak menafkahi keluarganya. Khaled
Abou El Fadl berpendapat bahwa suami istri bisa setara berbagi kewajiban qiwāmah.
H. Kesimpulan
46
Ibid, 202
47
Ibid, 203
Sebagai seorang ilmuan muslim yang progresif Abdullah Saeed berhasil
membawa angin segar dalam khazanah perkembangan tafsir sekaligus menyempurnakan
pendahulunya yang sangat kental dengan tafsir tekstual. Saeed telah berhasil menawarkan
alternatif motodologis berupa “tafsir kontekstual” yang peka konteks dalam rangka
mengimbangi tafsir tekstual yang begitu dominan. Saeed telah merumuskan aspek-aspek
metodologis, mulai dari landasan teoritis, gagasan dan prinsip kunci hingga langkah
operasional penafsiran secara rigid dan sistematis.

Secara umum, empat langkah operasional penafsiran kontekstual, yaitu: 1)


mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan awal dengan memahami subjektivitas
penafsir, mengkonstruksi bahasa dan makna dan dunia al-Qur’an (perjumpaan dengan
dunia teks); 2) memulai tugas penafsiran dengan cara mengidentifikasi maksud original
(asli) teks dan meyakini otentisitas serta reliabilitas teks (analisis kritis teks secara
independen); 3) mengidentifikasi makna teks dengan mengeksplorasi setiap konteksnya
(makna bagi penerima pertama; 4) mengaitkan penafsiran teks dengan konteks saat ini
(proses kontekstualisasi, makna untuk saat ini).

DAFTAR PUSTAKA

Aziz Jayana, Thoriq. 2019. Model Interprestasi Al-Quran dalam Pendekatan


Hermeneutika Kontekstual Abdullah Saeed. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6
No. 2.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligious
Solidarity Against Oppression, England: Oneworld, 1997.
Saeed, Abdullah & Saeed, Hassan. Freedom of Religion Apostasy and Islam (Asghate
Publishing. 2004.
_____, Abdullah. al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab. Bandung.
PT Mizan Pustaka, 2016.
_____, Abdullah. Interpreting the Qur n: towards a contemporary approachʼān: towards
a contemporary approach. London ; New York. Routledge, 2006.
_____, Abdullah. Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Sulkhan & Sahiron Syamsudin
Yogyakarta, Baitul Hikmah Press, 2016.
Sovia, Sheyla. “Interpretasi Kontekstual (Studi Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an
Abdullah Saeed” Turats, Vol 2, No 4 januari 2015.
Suriansyah, Eka & Suherman. “Melacak Pemikiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” Jurnal
Kajian Islam, Vol. 3, No. 1 April 2011.
Zaini, Achmad. “Model Interpretasi al-Qur’an Abdullah Saeed” Islamica, Vol. 6, No. 1
September 2011.

Anda mungkin juga menyukai