Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN ABDULLAH SAEED

Makalah

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan


Paradigma Ulum Alquran Kontemporer pada
Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

KHOIRURROZIQIN E93215070
MARTINO EKO JAYANA PUTRA E93215071
MUHAMMAD DZAKY AZIZ MAHBUB E93215074

Dosen Pengampu:
FEJRIAN YAZDAJIRD IWANEBEL, S.TH.I, M.HUM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017
Abdullah Saeed

A. Pendahuluan
Dalam sejarahnya, Al-Qur’an telah menjadi bagian sentral dalam kehidupan
setiap Muslim. Sebagai petunjuk bagi semua manusia (hudan li al-nas), Al-Qur’an
telah menjadi rujukan dalam setiap laku kehiduapan Muslim. Al-Qur’an bagi
seorang Muslim bukan hanya sebuah teks yang dibaca dan dipahami, namun juga
teks yang ‘didengar’ (petuah-petuahnya).1
Tafsir Al-Qur’an memiliki tempat yang penting dalam perkembangan tradisi
intelektual Muslim dan peradaban Islam secara umum. Sebagai sebuah sumber
utama ajaran Islam, kaum Muslim selama berabad-abad mencoba memahami
makna Al-Qur’an agar sesuai dengan kebutuhan zaman, salah satunya dengan cara
kontekstualisasi.
Pertanyaannya adalah bagaimana membawa makna lokal Al-Qur’an yang
memiliki setting histori Arab ke dunia luar yang memiliki kondisi yang sangat
berbeda? Pertanyaan inilah di era sekarang menjadi masalah. Setidaknya ada dua
karakter umat Islam dalam merespon pertanyaan tersebut. Pertama, yang
berpandangan bahwa makna Al-Qur’an dan budaya Arab tidak bisa dipisahkan,
sehingga dalam penyebarannya kedua hal tersebut harus dibawa beriringan.
Kedua, yang berpandangan bahwa nilai-nila Al-Quran saja yang dibawa,
sementara budaya Arabnya ditinggalkan, mengikuti budaya setempat atau lokal
baru yang disinggahinya. Pendapat pertama akan menghasilkan Islamisasi dan
Arabisasi, sementara yang kedua akan menghasilkan Islamisasi dan
Kontekstualisasi. Pertanyaan kemudian bagaimana melakukan kontekstualisasi
tersebut? bagaimana agar nilai-nilai Al-Qur’an dapat hidup di daerah baru di
zaman yang baru seperti sekarang?
Sesungguhnya konsep kontekstualisasi Al-Quran di awal abad 19 sudah
bermuculan, yang muncul ditangan pemikir-pemikir Muslim kontemporer, seperti
Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan lain sebagainya. Namun

1
Abdullah Saeed, “Contextualizing”, dalam Andrew Rippin (ed), The Blackwell Companion to
The Quran (Oxford: Blackwell publishing, 2006), 41.
gagasan kontekstualisasi ini baru benar-benar nampak dan dikukuhkan oleh
Fazlur Rahman dengan metode hermeneutik gerak ganda (double movement).
Pemikiran Rahman ini kemudian menyebar keberbagai belahan dunia bersama
para pemikir Islam progresif lainnya.2
Abdullah Saeed adalah seorang yang tertarik mensistematisasikan pemikiran
Rahman. Konsep kontekstualisasi Rahman dengan double movementnya masih
menyisakan kekuarangan, meskipun sukses menanamkan dasar dan pondasi
dalam hal pembaharuan model penafsiran, khususnya gagasan kontekstualisasi.
Rahman tidak begitu menjelasakan mengenai langkah-langkah kontekstualisasi
secara terperinci. Rahman juga tidak mengaitkan masalah kontekstualisasi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Kekurang tersebut kemudian disikapi cerdas
oleh Abdullah Saeed. Sehingga nampaklah sebuah metode kontekstualisasi Al-
Qur’an yang utuh. Tulisan ini akan membahas bagaimana gagasan
kontekstualisasi penafsiran Saeed yang secara implisit terpengaruhi hermeneutika
Gadamer. Kemudia juga akan dibahas bagaimana langkah-langkah Saeed dalam
melakukan kontekstualisasi.3

B. Biografi Abdullah Saeed


Abdullah Saeed adalah intelektual Muslim progresif berkembangsaan
Oman, yang terbilang relative muda. Saeed lahir di Maldives, pada tanggal 25
September 1964. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Maldives, karena
kepentingan studi, Saeed hijrah ke Saudi Arabia untuk menuntut ilmu. Setelah
sampai di Saudi Saeed mempelajari bahasa Arab di Institute of Arabic Language
hingga mendapatkan gelar BA, kemudian Saeed memasuki beberapa lembaga
formal, seperti; Istitut Bahasa Arab Dasar (1977-1979), Institut Bahasa Arab
Menengah (1979-1982), serta Universitas Islam Saudi Arabia di Madinah (1982-
1986). Selanjutnya pada tahun 1987, Saeed melanjutkan studinya di University of
Melbourne, Australia, dimulai dari Sarjana Strata Satu (Master of Art
Preliminary) pada Jurusan Studi Timur Tengah (1987). Kemudian, Master dalam

2
Hatib Rahmawan, Hermeneutika Alquran Kontekstual: Metode Menafsirkan Alquran Abdullah
Saeed, dalam jurnal “ilmu-ilmu keislaman Afkaruna”, Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2013, 149.
3
Ibid., 150.
Jurusan Linguistik Terapan (1988-1992) dan doktornya dalam Islamic Studies
(1992-1994) diselesaikannya pada universitas yang sama. Pada tahun 1996, Saeed
telah menjadi dosen senior di universitas Melbourne, dan menjadi anggota
asosiasi profesor dengan dtatus Full Profesor dan diangkat menjadi Profesor the
Sultan Oman.4
Abdullah Saeed sebagai cendikiawan dalam dunia dunia yaitu dunia Timur
dan dunia Barat, menjadikannya kometen untuk menilai hal-hal yang bersifat
kontemporer. Dalam dirinya ada spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa
sholih fi kulli zaman wa makan.5 Di samping Abdullah Saeed dikenal sebagai
pemikir Muslim yang progresif, Saeed juga dikenal sebagai scholar yang cukup
produktif. Saeed menulis beberapa karya, diantaranya; 6 the Al-Qu’an: an
Introduction, Islamic Thought: an Introduction, Interpreting the Al-Qur’an:
Towards a Contemporary Approach, Contemporary Approaches to Qur’an in
Indonesia.
Saeed juga menulis beberapa buku tentang isu kebebasan agama, politik dan
Islam di Australia: Freedom of Religion, Apostasy and Islam; Muslim
Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions; Islam and Political
Legitimacy; Islam in Australia; Muslim Communities in Australia. Selain itu ada
puluhan artikel dan makalah seminar Abdullah Saeed yang bisa ditelusuri
langsung dalam situs resminya.

C. Latar Belakang Pemikiran Abdullah Saeed


Berangkat dari kenyataan bahwa tradisi umat Islam sepanjang sejarah selalu
didominasi oleh kaum tekstualis, yaitu kelomp[ok yang mengadopsi pendekatan
literalistik terhadap teks. Sehingga Saeed berkeinginan untuk emngimbangi tafsir
tekstual dengan menawarkan sebuah alternatif metodologis yang dia sebut sebagai
“tafsir kontekstual” yaitu, sebuah pendekatan dalam manafsirkan Al-Qur’an yang

4
MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci
Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, 5.
5
Anik Faridah, Trend Pemikiran islam Progresif (Telaah atas pemikiran Abdullah Saeed), Jurnal.
6
Achmad Zaini, Model Intetpretasi Al-Qur’an Abdullah Saeed, Vol. 6, No. 1, September 2011,
30.
tidak hanya memperhatikan linguistik teks, melainkan juga konteks sosio-historis
masa pewahyuan dan konteks penafsiran.7
Kegelisahan Saeed juga dilatar belakangi oleh suatu kondisi bahwa
mayoritas umat Islam merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu sudah final. Hal
ini meyebabkan setiap ada persoalan baru, para ulama tidak merujuk pada Al-
Qur’an untuk digali maknanya yang sesuai dengan konteks sosial masa kini, tapi
hanya merujuk kepada kitab-kitab klasik yang secara sosio-historis, kultur, nilai
berbeda dengan kondisi masa sekarang.8
Selama ini metode penafsiran Al-Qur’an terjebak kepada kepentingan-
kepentingan ideologis, Sunni-Syiah, Mu’tazilah-Asy’ary, dan sebagainya.
Menjawab pertanyaan tersebut Saeed memandang agar berbeda. Penggunaan
hermeneutik menurutnya memberikan celah bagi hadirnya makna baru yang tidak
tunggal. Sehingga kita dihadapkan pada variasi penafsiran dan penafsiran tidak
terjebak otoritarianisme, sebab yang layak otoriter adalah Al-Qur’an.
Hermeneutik mencoba memberikan makna baru yang relevan dengan zamannya.
Sebab selama ini penafsiran klasik menuju makna tunggal otoritatif. Akibatnya
karya tafsir mengalami kesenjangan dengan kondisi sekarang.
Dalam konteks ini, Saeed mangajukan tawaran sebuah model yang dapat
digunakan sebagai penedekatan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

D. Landasan Teoritis Interpretasi Kontekstual


Sejak awal, Saeed sudah menegaskan, bahwa pencarian metode yang bisa
diterima dalam periode modern seharusnya tidak mengabaikan dan melupakan
tradisi penafsiran klasik secara keseluruhan. Sebaliknya, Saeed percaya akan
perlunya menghargai, belajar dan memanfaatkan apa yang masih relevan dan
berguna dari tradisi klasik bagi masalah-masalah kontemporer. Perumusan sebuah
model tafsir baru tidak akan mungkin tanpa proses menyaring, mengembangkan,
meragukan, mempertanyakan, dan menambah tradisi.9 Karena itu, menurut Saeed,
pengetahuan tentang bagaimana Al-Qur’an telah ditafsirkan sepanjang sejarah
7
MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual..., 4.
8
Achmad Zaini, Model Intetpretasi Al-Qur’an Abdullah Saeed..., 31.
9
Saeed, Interpreting the Qur’an:Towards a Contemporary Approach ,(New York: Routledge,
2006), 4-5.
adalah sesuatu yang penting untuk merumuskansebuah penafsiran baru yang
sesuai dengan kondisi dan tantangan masa kini.
1. Wahyu
Pada pendahuluan bukunya interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach Saeed menegaskan posisinya terhadap wahyu
sebelum membangun sebuah model tafsir yang digagasnya. Saeed
sepenuhnya mengakui bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada Muhammad. Selanjutnya, ia juga mengakui bahwa Al-
Qur’an yang ada sekarang ini sebagai otentik.10 Namun demikian, Saeed
melakukan kritik terhadap ilmuan muslim klasik yang menganggap wahyu
sebagai kalam Tuhan, tanpa memberikan perhatian apalagi anggapan bahwa
Nabi dan masyarakat pada waktu itu memiliki peran di dalamnya. Sebaliknya,
Saeed sepakat dengan beberapa pemikir belakangan semisal Fazlur Rahman,
Nasr Abu Hamid Abu Yazyd, Farid Esack, dan Ebrahim Moosa yang
memasukkan religious personality Nabi dan komunitasnya dalam peristiwa
pewahyuan.11
Konsep ini bukan berarti hendak mengatakan bahwa wahyu merupakan
kata-kata atau karya Muhammad. Namun, sebagaimana disampaikan
Rahman, menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara wahyu, Nabi,
dan misi dakwahnya, dengan konteks sosio-historis dimana Al-Qur’an
diwahyukan. Al-Qur’an diturunkan Allah bukan dalam ruang hampa
budaya.12 Al-Qur’an pada masa pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif
dalam sejarah. Saeed sendiri tidak menyepakati pandangan bahwa ada elemen
manusia yang ikut dalam penciptaan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ciptaan
Tuhan. Namun, dalam kapasitas agar ia bisa dipahami manusia, wahyu harus
bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang menjadi subyek
penerimaannya.

10
Ibid., 5.
11
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 31.
12
Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran Muhammad terhadap situasi-situasi sosio-moral
dan historis masyarakat Arab abad ke-7. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, 17.
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-historis
menjadi elemen wahyu yang penting. Saeed kemudian menegaskan,
pemahaman tentang wahyu yang demikian ini menjadi dasar bagi argumen-
argumenya yang dituangkan dalam pemikiran tafsirnya (khususnya yang
tertuang dalam buku Interpreting The Qur’an), bahwa interpretasi harus
berangkat dari realitas di mana wahyu itu diturunkan.13
2. Fleksibilitas Makna: Belajar dari Tradisi
Pada masa Nabi, ada beberapa kasus yang bisa dijadikan sebagai
indikasi-bahkan jika boleh dikatakan sebagai justifikasi, adanya fleksibilitas
dalam mendekati Al-Qur’an. Pada masa Nabi, Al-Qur’an telah berperan
secara aktif, berdialektika dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi saat itu. Terbukti, Al-Qur’an tidak dengan angkuh mempertahankan
kediri-annya dan memaksa penggemarnya untuk mengikutinya tanpa tawar-
menawar apapun. Pertama, sab’at ah}ruf. Berdasarkan sebuah h}adith
terkenal, Al-Qur’an diwahyukan dalam tujuh huruf (sab'at ah}ruf). Para
ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian dari kata itu.
Menurut Saeed, pemaknaan yang paling mungkin terhadap term sab'ah ah}ruf
adalah murujuk kepada tujuh dialek yang ada pada saat Al-Qur’an
diwahyukan.14 Artinya kata tertentu dalam Al-Qur’an bisa dibaca
menggunakan kata lain yang merupakan sinonim dari kata itu berdasarkan
dialek-dialek yang ada. Pemahaman ini didasarkan pada hadis-hadis yang
bercerita mengenai perbedaan cara baca pada masa Nabi. 15 Hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa Nabi mengakui adanya perbedaan dalam cara
baca dan masingmasing bacaan tersebut benar dan sesuai pewahyuan.
Yang menjadi inti menurut Saeed, adalah bagaimana mengambil
pelajaran dari fakta fleksibilitas sebagai upaya Nabi dalam mengakomodir
kebutuhan zaman pada masa itu untuk kemudian ditarik kedalam pengalaman
sekarang. Nabi telah memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan Al-

13
Ibid., The Qur’an, 41.
14
Mengutip al-Qattan, tujuh dialek itu adalah Quraish, Huzail, Saqif, Hawa>zin, Kina>nah,
Tami>m dan al-Yam>an. Saeed, Interpreting the Qur'an, 70.
15
Untuk contoh hadisnya lihat selengkapnya dalam Ibid., 71-72.
Qur’an dengan kebutuhan umat pada masa itu. Karena itu, fleksibilitas juga
dapat hadir demi mengakomodir kebutuhan umat pada masa sekarang.16
Kedua, fenomena naskh. Menurut Saeed, meskipun para ulama seperti
al-Zarkashi, Ibn Hazm dan al-Suyuthi telah membahas naskh, mereka tidak
sampai kepada konklusi logis bahwa ketika masyarakat berubah, telah ada
tuntunan dari Al-Qur’an maupun sunnah untuk mengubah hukum yang
terkait atau paling tidak aspek-aspek yang berkaitan dengan aplikasinya
melalui upaya reinterpretasi. Menurut Saeed, hukum bermanfaat jika ia
memiliki basis rasionalis yang kuat; bahwa ia berfungsi untuk masyarakat.
Jika hukum tidak mencukupi peran ini, ia harus terbuka untuk mengalami
perubahan.17
Sebaliknya, kaum kontekstualis, sebagaimana disepakati olehnya, telah
berupaya membangun metode tafsir dari prinsip-prinsipnya. Seperti
diketahui, salah satu problem kunci dalam mengimplementasikan ayat-ayat
ethico-legal adalah sulitnya membedakan antara bentuk luar teks dengan
pesan yang ada di baliknya.18 Konsep naskh ternyata telah memberikan
pencerahan kepada wilayah ini. Konsep naskh memberikan petunjuk untuk
membedakan antara form (redaksi literal teks) dan moral objectives (tujuan
moral) dari teks Al-Qur’an khususnya yang terkait dengan ayat-ayat ethico-
legal.
Sebuah fakta sejarah bahwa ayat-ayat yang di naskh menampakkan
bahwa Al-Qur’an tidaklah menghapus tujuan (the objective) dari sebuah
hukum. Al-Qur’an malah memperkuat tujuan itu melalui pengembangan
hukum itu sendiri. Salah satu contoh yang bisa dihadirkan di sini adalah
perkembangan hukum minum khamr. Ketika diamati lebih jauh, tidak ada
satupun ayat-ayat khamr yang menunjukkan bahwa tujuan utama
pemberlakuan hukum itu yakni mencegah nilai merusak dari khamr diubah.

16
Ibid., 76.
17
Ibid., 85.
18
Ibid., 86.
Dalam kasus ini dan dalam kasus naskh secara lebih luas, yang diubah
hanyalah‟ sisi operasional dari tujuan hukum tersebut.19
3. Makna sebagai Sebuah “Taksiran”: Refleksi atas Internal Al-Qur’an
Di sini Saeed melakukan penyelidikan terhadap tiga jenis teks dalam
Al-Qur'an yang menurutnya sulit bagi seorang penafsir untuk sampai
kepada makna yang dimaksud teks, lebih-lebih untuk mengatakannya
sebagai makna yang benar dan final. Di sisi lain.Saeed ingin menunjukkan
bahwa penyelidikan tekstual saja terhadap teks tidak akan memberikan
makna yang 'sempurna' atas teks. Ini terjadi karena pada beberapa kasus,
makna teks hanya bisa dipahami sejauh pikiran manusia, dan pada kasus
yang lain, makna teks melampaui pengalaman manusia. Karena itu,
menurut Saeed,penafsiran teks Al-Qur'an pada kenyataannya hanyalah
sebuah taksiran‟(approximation) dan karenanya menjadi naif jika mengklaim
bahwa produk tafsir tertentu adalah yang paling benar.
Pertama, ayat-ayat teologis. Ayat al-Qur'an yang tergolong dalam jenis
ini setidaknya bisa dibagi menjadi dua bagian: 1. Ayat-ayat tentang Tuhan,
tercakup di dalamnya sifat dan perbuatan Tuhan; 2. Selain tentang Tuhan,
misalnya 'arsh, surga, neraka, malaikat, dan allauh}al-mahfu>z}. Singkatnya,
ayat-ayat ini berkaitan dengan sesuatu yang berada di luar jangkauan
pengalaman manusia.20
Meskipun mencakup sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia,
hal ini tidak serta merta bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa ayat-
ayat tersebut tidak memiliki makna dan tidak bisa dipahami. Ia pasti memiliki
implikasi pada awal turunnya (seperti diketahui ayat-ayat ini banyak turun
di Makkah) dan karena itu pasti memiliki maksud. Tapi sebagai catatannya,
ia hanya bisa dipahami sebatas pengalaman dan pengetahuan manusia.
Karena itu, tidak sah kiranya jika penafsir kemudian mengklaim makna yang
direngkuhnya sebagai satu-satunya yang benar (karena tidak ada rujukan
yang bisa dijangkau manusia untuk menyelidiki kebenaran itu).

19
Ibid.,
20 20
Ibid., 91. Lihat juga Saeed, The Qur’an, 75.
Pemahaman penafsir tentang sesuatu yang gaib hanyalah sejauh
pengetahuan penafsir. Pada akhirnya, apapun makna yang dilekatkan tidak
lepas dari konstruksi dan produk dari imajinasinya. Karena itulah, peran
penafsir dalam hal ini bukanlah untuk menggali makna yang ada di baliknya,
tapi untuk mengetahui hubungan antara teks dan komunitas yang dituju serta
untuk menjelaskan apa maksud hubungan itu.
Kedua, ayat-ayat kisah. Adalah ayat-ayat yang merujuk kepada
peristiwa-peristiwa dalam sejarah manusia, dan karena itu bisa diperiksa
melalui sumber-sumber dan tradisitradisi di luar al-Qur'an. Misalnya, ayat-
ayat tentang bangsa-bangsa, manusia, Nabi-Nabi, dan agama-agama masa
lalu, termasuk juga kejadian-kejadian pada masa Nabi. Mufasir berupaya
untuk melakukan rekonstruksi kisah tersebut dengan memanfaatkan data-
data yang telah ada.21 Namun, mufasir pada akhirnya harus menyadari dan
mengakui bahwa jarak dan daya tangkapnya pasti mempengaruhi
pemahamannya terhadap peristiwa tersebut, termasuk bahwa rekonstruksi
yang tepat seperti peristiwa itu terjadi merupakan sesuatu yang mustahil
akibat keterbatasan tersebut.22
Ketiga, ayat-ayat perumpamaan. Al-Qur'an menggunakan frase,
ekspresi dan teks tertentu untuk menggambarkan konsep atau gagasan
tertentu. Di tingkat linguistik, ini berguna untuk memungkinkan teks lebih
jelas dan lebih mudah dipahami oleh pembaca. Ada banyak wilayah di mana
masal digunakan, akan tetapi fungsi utamanya adalah untuk menyampaikan
makna dengan cara yang lebih efektif dan dan mudah. Masal juga digunakan
untuk menyampaikan gagasan yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit.
Masal merupakan contoh yang sempurna di mana pembacaan literal tidak
mampu mendatangkan pemahaman. Sebaliknya, pembacaan metaforis sangat
penting untuk mencapai pemahaman yang tepat untuk golongan ayat-ayat
ini.23

21
Saeed, The Qur’an, 76.
22
Saeed, Interpreting The Qur’an, 94-95
23
Ibid., 100.
E. Kontektualisasi
Secara garis besar, Abdullah Saeed membaginya (pendekatan) ke dalam
tiga pendekatan: tekstualis, semi-tekstualis dan kontekstualis. Pendekatan
tekstualis adalah pendekatan dalam penafsiran al-Qur’an hanya dengan cara
memperhatikan aspek kebahasaan al-Qur’an semata. Konteks historis yang ada
ketika al-Qur’an diturunkan tidak menjadi pertimbangan yang berarti dalam
proses penafsiran al-Qur’an. Demikian pula halnya dengan pendekatan semi-
tekstualis. Hanya saja para ulama yang concerned pada pendekatan semi-
tekstualis ini menggunakan idiom-idiom dan argumen-argumen baru. Berbeda
dengan keduanya, pendekatan kontekstualis diaplikasikan dalam proses penafsiran
dengan memperhatikan aspek-aspek linguistik al-Qur’an dan konteks kekinian.
Pendekatan yang terakhir ini dipandang oleh Abdullah Saeed sebagai alternatif
bagi pendekatan-pendekatan tekstualis dan semi-tekstualis yang terlalu rigid/kaku
dengan linguistikalitas al-Qur’an, sehingga tidak mampu menangkap
substansi/esensi ajaran al-Qur’an dan mengkontekstualisasikannya di masa
kontemporer.24
Tujuan mengkaji konteks makro ini adalah untuk memperoleh pemahaman
logis yang baik atas keseluruhan kondisi di mana teks-teks al-Qur’an tertentu
diturunkan dan untuk memahami bagaimana “makna” teks tersebut berkait
dengan kondisi tersebut. Kita bisa mengistilahkan konteks pewahyuan ini sebagai
“konteks makro 1”. Sama pentingnya juga adalah konteks makro masa kini, yaitu
konteks di mana kegiatan penafsiran al-Qur’an sedang terjadi saat ini. Kita bisa
mengistilahkan ini sebagai “konteks makro 2”. Konteks ini juga memiliki
beragam elemen, yang mencakup: tempat tinggal mufasir, hal-hal fisik di mana
organisasi masyarakat berfungsi, aneka norma budaya dan keagamaan
kontemporer; aneka gagasan politik, lembaga dan gagasan ekonomi; serta aneka
sistem, nilai dan norma yang lain. Konteks ini juga mencakup segala kesempatan

24
Abdullah Saeed. Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-Qur’an, ter.
Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2017), vi.
pendidikan, ekonomi dan politik yang tersedia, dan perlindungan akan berbagai
hak yang disuarakan pada masyarakat modern.25

Bagi penganut kontekstualis, membandingkan dua konteks makro ini


sangatlah penting, dalam rangka “menerjemahkan” makna teks al-Qur’an dari
konteks makro 1 menuju konteks makro 2 tanpa melewati deskripsi hubungan erat
antara teks al-Qur’an pada saat pewahyuan dan konteks pada saat penafsiran,
tanpa memisahkan satu konteks dengan yang lain. Elemen-elemen berkait dengan
hal ini adalah periode-periode historis yang mengantarinya. Ini bisa dipahami
dalam pelbagai aspek gagasan, tradisi akademik, dan penafsiran yang secara
berkelanjutan telah mengadaptasi al-Qur’an dengan konteks-konteks yang
muncul. Saya mengistilahkan ini dengan “konsep penghubung”. Tanpa konteks
penghubung, upaya menghubungkan konteks makro 1 dan konteks makro 2 tidak
akan berhasil. Peran intermediasi dari konteks penghubung ini menunjukkan
bagaimana generasi-generasi Muslim secara berkesinambungan mengaplikasikan
teks al-Qur’an dan normanya ke dalam kehidupan mereka.26

25
Abdullah Saeed. Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2016), 14.
26
Ibid..., 15.
Daftar Pustaka

Faridah, Anik, Tt. Trend Pemikiran islam Progresif: Telaah atas pemikiran
Abdullah Saeed, Jurnal.

Rahmawan, Hatib, Juli-Desember 2013. Hermeneutika Alquran Kontekstual:


Metode Menafsirkan Alquran Abdullah Saeed, dalam jurnal “ilmu-ilmu
keislaman Afkaruna”, Vol. 9 No. 2.

Ridwan, MK. Juni 2016. Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan


dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, Vol. 1, No. 1.

Saeed, Abdullah, 2006. “Contextualizing”, dalam Andrew Rippin (ed), The


Blackwell Companion to The Quran, Oxford: Blackwell publishing.

Saeed, Abdullah, 2006. Interpreting the Qur’an:Towards a Contemporary


Approach, New York: Routledge.

Saeed, Abdullah. 2017. Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis


atas al-Qur’an, ter. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta:
Lembaga Ladang Kata.

Saeed, Abdullah. 2016. Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan.

Saeed, Abdullah, 2008. The Qur’an: An Introduction, New York: Routledge.

Zaini, Achmad, September 2011. Model Intetpretasi Al-Qur’an Abdullah Saeed,


Vol. 6, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai