Anda di halaman 1dari 20

CRITICAL BOOK REVIEW

Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas:


Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan

Penulis: Dr. H. Komaruddin Sassi

Mata Kuliah:

Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Charles Rangkuti, S.Pd.I., M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Diah Rahmawati 2210110009

Dheria Rahima 2210110130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM & HUMANIORA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI MEDAN
2023
Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas:
Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan (2020)

Penulis buku ini adalah Komaruddin Sassi yang merupakan dosen tetap pada
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Qur’an Al-Ittifaqiah (STITQI) Indralaya Ogan Ilir
Sumatera Selatan. Beliau lahir di Palembang, tanggal 12 Maret 1969. Komaruddin
Sassi memiliki hobi membaca, menulis, meneliti, dan berorganisasi.
Ketika Sekolah Dasar, beliau selesaikan pada dua lembaga, yaitu Madrasah
Ibtidāiyyah Al-Ihsān dan Pondok Pesantren An-Nasr tahun 1983. Lalu dilanjutkan di
SMP Adabiyah Palembang tahun 1985 dan SMA di PGAN Pakjo Palembang di tahun
1987/1988. Pada tahun 1992/1993, beliau memperoleh gelar sarjana lengkap (Drs.)
dari IAIN Raden Fatah Palembang Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI. Lalu pada April
2010 menyelesaikan Strata 2 pada Pascasarjana Program Magister Manajemen
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Universitas Tridinanti Palembang dan gelar
Doktor didapatkannya pada 20 Juni 2017 bidang Filsafat Pendidikan Islam di UIN
Raden Fatah Palembang.
Pengalaman dan karier Komaruddin Sassi dimulai tahun 1990-1999 sebagai
pendidik dan staf di Yayasan Perguruan Islam Adabiyah II Palembang. Pada tahun
2000-2001 terjun ke dunia jurnalistik dan tahun 1998-2006 menjadi tutor di
Universitas Terbuka UPBJJ UT Palembang dan Sekayu. Lalu di tahun 2002-2012
sebagai dosen luar biasa di Universitas PGRI Palembang, dan tahun 2003 diutus
Universitas PGRI Palembang mewakili Dosen PAI pada PTS se-Sumsel untuk
mengikuti Diklat Orientasi Wawasan Pengembangan Dosen PAI Pada PTU se-
Indonesia di Jakarta. Di sela-sela aktivitas sebagai dosen, Komaruddin Sassi juga
dipercaya sebagai Pemred Majalah PROGRESIF pada Yayasan Sosial Pendidikan
Pusri (YSPP). Sekaligus sebagai Koordinator Principle Bidang Pendidikan YSPP.
Awal mula buku ini adalah disertasi Komaruddin Sassi pada Maret 2015 dan
selesai pada 20 Juni 2017 di program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Raden Fatah Palembang.1Sejak awal sudah memiliki keinginan bahwa disertasi ini
dapat diterbitkan menjadi sebuah buku. Berbagai upaya dilakukan penulis, termasuk
1
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib
al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2020), hal. vii.

1
meminta izin kepada tokohnya yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas serta meminta
untuk dapat memberikan kata pengantar di bukunya. Tetapi, karena beliau dan
istrinya ada uzur tidak ingin bertemu dengan siapapun kecuali keluarga dan sahabat
karib. Sehingga persetujuan disertasi ini diterbitkan menjadi buku disetujui oleh
asisten ahli pribadinya yaitu Wan Mohammad Nor Wan Daud.
Ada 3 hal yang mendasari disertasi ini untuk dijadikan sebuah buku:
1. Buku-buku atau literatur-literatur yang mengkaji tentang pendidikan Islam
dirasakan sudah cukup banyak, namun yang mengkaji secara khusus terkait
ontologi pendidikan Islam paradigma tauhid, dan terlebih pada terminologi adab-
ta’dib sebagai konsepsi pendidikan dalam Islam yang dirasakan masih sangat
terbatas, untuk tidak mengatakan cukup langka.
2. Kajian dan pemikiran bidang pendidikan Islam dengan penggunaan term adab-
ta’dib ini juga sangat dianggap tertinggal dibandingkan dengan term-term lainnya
pada pendidikan Islam, seperti ta’lim, tarbiyah, dan sebagainya.
3. Keinginan untuk merevitalisasi term adab-ta’dib sebagai konsepsi pendidikan
Islam yang pernah ada dalam sejarah awal Islam. Paling tidak sebagai pemikiran
kembali untuk meningkatkan kajian dalam bidang pendidikan Islam, sehingga
pada saatnya studi dan kajian dalam bidang ini terus berkembang dari waktu ke
waktu.
Buku ini mengkaji tentang konsep pendidikan dengan terminologi adab-ta’dib
yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemikir kontemporer dan tokoh
Islam Melayu asal Bogor yang cukup terkenal, baik dikalangan dunia Islam maupun
pada dunia Barat. Kajian tentang konsep ini akan difokuskan kepada tiga aspek yang
menjadi masalah pokok, yaitu aspek dasar ontologi dan formulasi konsepsi
pendidikan Islam paradigma tauhid, aspek hakikat ontologi pendidikan Islam
paradigma tauhid, dan analisis kritis ontologi pendidikan Islam paradigma tauhid
Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Pada buku ini terdapat 7 bab pembahasan atau tema-tema di dalam buku ini
diawali dengan pendahuluan tentang latar belakang perlunya rekonstruksi pemikiran
peradaban Islam, konsep paradigma tauhid dalam pendidikan, ontologi pendidikan
islam berparadigma tauhid, terdapat juga kajian terdahulu, pendekatan dan

2
sistematika pada buku ini. Pembahasan selanjutnya mengenai biografi Syed
Muhammad Naquib al-Attas tentang riwayat hidup, ISTAC, karya-karya Intelektual,
dan tipologi pemikiran pendidikan. Pembahasan berikutnya tentang dasar ontologi
pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas. Terdapat juga pembahasan
mengenai formulasi konsepsi pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas,
hakikat ontologi pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas, dan analisis
kritis ontologi pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas. Lalu di tutup
dengan simpulan, implikasi, dan saran-saran.
Pada bab pertama, pembahasan mengenai latar belakang perlunya
rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Komaruddin Sassi bahwa sistem pendidikan Islam yang mengandung konsep-konsep
pokok Islam,2dan pandangan dunia Islam,3yang tentunya memerlukan landasan
filosofis-ontologis yang benar. Dalam pandangan dunia Islam, ilmu pengetahuan dan
pendidikan tidak dapat dipisahkan karena keduanya tidak bebas nilai, sehingga
mereka harus saling terkait atau terhubung. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Komaruddin Sassi mengatakan bahwa acuan yang diyakini sebagai otoritas tertinggi
tentang hakikat ilmu dan pendidikan adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
saw..4
Menurut Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan dan pendidikan yang tidak
mengacu kepada landasan filosofis-ontologis akan memungkinkan terjadinya
kemunduran. Hal ini disebabkan adanya kekeliruan dan kebingungan tentang hakikat
ilmu pengetahuan dan ruang lingkup pendidikan. Syed Muhammad Naquib al-Attas
dalam Komaruddin Sassi mengatakan bahwa sebab lainnya terjadi karena bingung
dan keliru tentang makna agama, konsep-konsep dalam Islam, aspek-aspek Islam,
serta mengenai jiwa dan sains, khususnya institusi peradaban Barat.5

2
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, dari judul asli The Concept of Education in
Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Bandung: Mizan, 1984), cet. I, hal. 8.
3
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, dari judul
asli Islam and the Philosophy of Science, (Bandung: Mizan, 1995), cet. I, hal. 27-28.
4
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition
of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala Lumpur, Malaysia: ISTAC, 1995),
hal. 6.
5
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno,
(Bandung: Pustaka Salman ITB, 1981), cet. I, hal. 237.

3
Kecenderungan umum yang terjadi, diawali dengan filosofis sains modern
Barat yang menganggap perubahan sebagai realitas mutlak. Syed Muhammad Naquib
al-Attas dalam Komaruddin Sassi juga mengungkapkan bahwa hal tersebut
melahirkan sebuah prinsip “segala sesuatu itu berubah, kecuali perubahan itu
sendiri”.6Cara pandang pada dunia Barat dan Islam memang memiliki persamaan
namun hanya pada cover atau luarnya saja. Faktanya, perbedaan yang terjadi lebih
mencolok daripada persamaan itu. Thomas S. Kuhn dalam Komaruddin Sassi
mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi itu mengacu pada “paradigma ilmu” yang
mencakup ontologis, epistemologis, dan aksiologis.7
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu itu hakikatnya mengacu pada realitas
Tuhan yang sebenarnya. Landasan filosofis-ontologis yang dimaksudkan pada hal ini
adalah suatu landasan yang mengacu pada pengetahuan tauhid, yaitu yang merujuk
pada ayat-ayat Al-Qur’an. Jalaluddin dalam Komaruddin Sassi, menurut Naquib al-
Attas bahwa setiap hal yang berkaitan dengan pendidikan, sangat penting untuk
mengacu pada landasan filosofis-ontologis yang berparadigma tauhid, yang berada di
dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan secara menyeluruh.8
Di dalam buku ini juga dibahas tentang konsep paradigma dari tokoh Thomas
S. Kuhn. Menurut dirinya, bahwa paradigma adalah setiap tindakan-tindakan manusia
baik dalam kesehariannya atau dalam penyelidikannya mengenai ilmiah. Dengan
demikian, ontologi pendidikan Islam berparadigma tauhid itu merupakan suatu
kepercayaan bahwa sumber pendidikan Islam itu mengarah pada pandangan tauhid
secara universal dengan mengintegrasikan aspek teosentris dan antroposentris secara
integral.
Jika membahas tentang pendidikan, pendidikan itu merupakan suatu proses
yang berkesinambungan. Secara filosofis terdapat tiga landasan dasar dalam
pendidikan Islam, yaitu ontologis yang mengkaji tentang hakikat sesuatu yang dapat
diketahui, lalu juga ada epistemologis yang membahas tentang cara mendapatkan
ilmu pengetahuan yang benar, dan terakhir ada aksiologis yang mengkaji tentang

6
Ibid, hal. 18 dan 87.
7
Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1989), hal. 92-93.
8
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2011), hal. 121.

4
nilai-nilai ilmu atau manfaat dari ilmu itu mau di arahkan kemana. Ketiga hal ini
harus saling keterkaitan karena jika salah satu tidak dijalankan dengan baik, maka
ilmu itu akan menjadi keliru.
Pada buku juga menerangkan tentang kajian terdahulu yang dilakukan oleh
para tokoh atau pemikir, seperti Hasan Langgulung, Jalaluddin, Kuntowijoyo, Imam
Suprayogo, Abudin Nata, Azyumardi Azra, Muhaimin, Wan Mohd Nor Wan Daud,
Saiful Mujani, Tutut Handayani, Ali Murtopo, dan Ihsan Hamidi. Setelah dianalisis
oleh penulis yaitu Komaruddin Sassi, umumnya yang dibahas pada karya-karya
mereka adalah tentang pendidikan Islam di Indonesia, tapi belum pernah ada yang
menyinggung tentang ontologi pendidikan Islam yang berparadigma tauhid.
Pada bab kedua, membahas tentang biografi Syed Muhammad Naquib al-
Attas yang merupakan tokoh atau pemikir dari buku yang diterbitkan oleh
Komaruddin Sassi. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Komaruddin Sassi bahwa Syed
Muhammad Naquib al-Attas merupakan tokoh pemikir Muslim Kontemporer. Silsilah
dirinya sampai kepada Imam Husein ibn Ali ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad
saw..9Latar belakang pendidikan Naquib al-Attas yang mempengaruhi sebagai
pemikir, teolog, filsuf, dan akademisi, tentunya tidak terlepas dari adab dan ta’dib
dari kedua orangtuanya.
Naquib al-Attas mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization) yang memfokuskan pada pemikiran Islam dan kebudayaan
Islam. Terdapat 26 buku dan monograf serta 27 artikel milik Naquib al-Attas.
Pembahasan pada karya-karya beliau ini tentang tantangan zaman sekarang mengenai
ilmu pengetahuan dan pendidikan yang sudah mulai kehilangan arah yang sebenarnya
karena hakikat yang digunakan sudah mulai salah atau keliru.
Pada bab ketiga, Komaruddin Sassi ada membahas tentang dasar ontologi
pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas. Menjelaskan bahwa itu adalah
analisis filsafat pendidikan yang tidak dipisahkan dengan Allah Swt. sebagai pemilik
ilmu karena pendidikan Islam didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang tidak
terlepas dari pemiliknya yaitu Allah Swt.. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Komaruddin Sassi mengatakan semua ilmu yang didapatkan manusia, pada
9
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
al-Attas, (Bandung: Mizan, 1991), cet. I, hal. 45.

5
hakikatnya atas pemberian Allah Swt., karena di dalam ilmu dan amal baik secara
ontologis, epistemologis, maupun teologis tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang
telah memberikan ilmu itu.10
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi mengungkapkan
bahwa selain terdapat konstruksi dasar ontologi pendidikan Islam paradigma tauhid,
terdapat hal lain yang mengacu kepada “sentralitas yang menjadi orientasi utama dan
tertinggi dalam pelaksanaan pendidikan dan pencapaian ilmu pengetahuan pada
akhirnya ingin menuju kepada penglihatan tentang Tuhan”.11Inilah yang mendorong
tokoh Naquib al-Attas untuk melahirkan konsep adab dan ta’dib sebagai terminologi
yang benar dan sesuai sasaran dalam proses pendidikan. Sehingga menjadikan 3
pokok pembahasan soal ini sebagai berikut:
1. Konsepsi tentang tabi’at Tuhan. Maksud dari hal ini adalah tentang realitas
kebenaran tertinggi dalam Islam, yaitu berasal dari Al-Qur’an. Muhammad Said
al-Qahthani dalam Komaruddin Sassi mengatakan bahwa transendensi dimaknai
sebagai kondisi ontologis semata saja dan tidak dilakukannya dengan perkara
amal, maka Tuhan hanya diakui sebagai Rabb saja, bukan sebagai
Ilāh.12Seharusnya, selain mengaku tentang Tuhan, hendaknya setiap manusia juga
dapat menuangkannya atau membuktikannya dengan mematuhi segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
2. Ke-Esa-an Tuhan bersifat mutlak. Konsepsi tabi’at Tuhan memiliki hubungan
dengan ke-Esa-an Tuhan yang bersifat mutlak. Naquib al-Attas pada buku yang
ditulis Komaruddin Sassi ini, menghubungkannya dengan asal usul lahirnya
agama, terutama Islam. Sebab, hanya agama Islam yang mengakui ke-Esa-an
Tuhan bersifat mutlak. Islam merupakan sebuah agama yang utuh sekaligus
mengandung nilai-nilai dasar filosofis yang tinggi, baik secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis secara totalitas dalam realitas kehidupan yang
diimplementasikan dalam bentuk penyerahan diri.13Untuk menumbuhkan

10
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 1-2.
11
Ibid, hal. 108-110.
12
Muhammad Said al-Qahthani, Membumikan La ilaaha illa-Allah, (Jakarta: GIP, 1994), hal.
1-5.
13
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam, hal. 95.

6
kesadaran tentang ke-Esa-an Tuhan bersifat mutlak inilah yang menjadi begitu
penting dalam konsep pendidikan Islam yang mencerminkan adab.
3. Tuhan sebagai realitas tertinggi. Mengenai hal ini, tokoh Naquib al-Attas
menjadikan pandangan dunia dihubungkan dengan perspektif Islam dan
perspektif Barat sekuler secara integral. Dalam pandangan Islam mengenai
pandangan dunia, tidak didasarkan dengan apa yang dilihat mata dan dari
pengalaman manusia saja, melainkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad saw.. Visi Islam tentang realitas dan kebenaran adalah tentang
sesuatu yang tampak dan tidak tampak. Bukan tentang suatu pandangan yang
mengalami transformasi dialektis dari waktu ke waktu.14Sebenarnya, konsepsi
Tuhan sebagai realitas tertinggi itu merupakan hal yang tidak dipisahkan dengan
ilmu sebagai kebenaran dan kebijaksanaan yang sumbernya dari Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Karena sejatinya, kita terhubung dengan 2 aspek, yaitu aspek
untuk diri sendiri dan Tuhan.15
Pada bab keempat, Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin
Sassi mengatakan bahwa di awal pembahasannya mengenai formulasi esensial
pendidikan Islam Naquib al-Attas yang sama halnya tentang pembahasan sebelumnya
tentang Tuhan sebagai realitas tertinggi dimana suatu realitas itu meliputi esensi
sekaligus eksistensi.16Terdapat tujuh unsur esensial yang fundamental sebagai konsep
kunci, yaitu: konsep agama, manusia, ilmu, kebijakan, keadilan, amal, dan
universitas. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi mengatakan
bahwa terdapat kosakata dasar sistem konseptual, yaitu konsep makna, ilmu,
keadilan, kebijaksanaan, tindakan, kebenaran, nalar, jiwa, hati, pikiran dan intelek,
tatanan hierarkis, kata-kata, tanda-tanda dan simbol-simbol, dan interpretasi.17
Untuk lebih mudah dalam memahami persoalan ini, maka dibagi kedalam 3
hal. Pertama, jalinan integral konsep-konsep kunci pendidikan Islam menurut Naquib
al-Attas. Dia berpendapat makna pendidikan itu meliputi unsur ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang sangat penting dalam perumusan konsep

14
Ibid, hal. 105.
15
Ibid, hal. 115.
16
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 180-181.
17
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 52-53.

7
pendidikan sebagai sebuah sistem. Bagi Naquib al-Attas, muatan yang harus ada
dalam pendidikan terdapat tiga hal pokok, yaitu proses, kandungan (isi), dan
penerima (manusia).18Pada hal ini, Naquib al-Attas lebih berfokus pada kandungan
bukan proses dalam pendidikan. “Proses” mengacu kepada nilai-nilai epistemologis,
sedangkan “kandungan” mengacu kepada landasan ontologis. Menurutnya, manusia
adalah objek dan subjek dalam pendidikan sehingga hal ini harus dihubungkan
dengan hakikat manusia yang tidak hanya pada aspek jasad dan kebinatangan saja,
melainkan juga pada aspek spiritual. Lahirnya rumusan konsep pendidikan tersebut,
merupakan jalinan yang cukup banyak dan luas dari sejumlah konsep-konsep yang
membangun kosakata dasar sistem konseptual dalam pendidikan Islam.
Kedua, Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi
mengatakan bahwa adab sebagai konsep kunci inti pendidikan Islam tidak dapat
dipungkiri keberadaannya sebagai upaya mencapai kebenaran yang tepat secara
ontologis dan teologis.19Adab dipilih Naquib al-Attas sebagai konsep kunci inti
pendidikan Islam yang tetap mengacu kepada penafsiran dan penta’wilan beberapa
ayat Al-Qur’an. Sehingga jika dilihat dari buku yang ditulis Komaruddin Sassi ini,
konsepsi terminologi yang dibuat Naquib al-Attas mengenai pendidikan Islam
sebagai adab menjadikan “kandungan” itu sebagai tujuan mencari ilmu. Terdapat dua
hal penting tentang adab, yaitu dapat menjamin ilmu digunakan dengan baik dan
dapat menghasilkan manusia yang baik pula.
Ketiga, pada hal ini dibagi menjadi dua pembahasan, yaitu tentang tujuan
pendidikan Islam yang dimaksudkan dengan menghasilkan manusia yang baik, dan
bukan manusia yang seperti peradaban Barat dalam menghasilkan warga Negara yang
baik. Baik dalam konsep manusia disini maksudnya adalah bukan hanya pada
kehidupan material saja, namun juga pada spiritual manusia tersebut. Disini juga
dibahas mengenai muatan kurikulum pendidikan Islam yang dibagi menjadi dua
kategori,20yaitu fardhu ‘ain yang memiliki muatan kurikulum kitab suci Al-Qur’an,
Sunnah, syariat, teologi, metafisika Islam, dan ilmu bahasa. Pada fardhu kifayah

18
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam, hal. 119.
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 22.
20
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam, hal. 145-148.

8
terdapat delapan ilmu, yaitu ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu
teknologi, perbandingan agama, kebudayaan Barat, ilmu linguistik, dan sejarah Islam.
Ilmu fardhu ‘ain bersifat dinamis dan berkembang sesuai kemampuan
intelektual dan spiritual seseorang dan keadaan masyarakatnya. Sama halnya dengan
fardhu kifayah yang berkembang sesuai keperluan dan program masyarakat tertentu.
Mempelajari fardhu ‘ain dan fardhu kifayah sebagai bagian yang utuh dari
pendidikan sebagai ta’dib bukan saja bersifat personal dan religius, melainkan juga
bersifat formal dan sosial.
Pada bab kelima, dibahas mengenai hakikat ontologi pendidikan Islam
paradigma tauhid Naquib al-Attas. Pada tema yang dibahas ini merupakan suatu
jalinan yang terkait dengan lahirnya adab dan ta’dib sebagai konsepsi pendidikan
Islam yang digagas oleh Naquib al-Attas. Ta’dib tidak akan lahir tanpa adab, dan
adab sebagai konsep kunci inti lahirnya ta’dib.21Pada hal ini, terdapat tiga hal yang
menopang hakikat ontologi pendidikan Islam berparadigma tauhid. Pertama, ilmu
pengetahuan mendorong melahirkan keadilan. Syed Muhammad Naquib al-Attas
dalam Komaruddin Sassi mengatakan ilmu pengetahuan memiliki kedudukan untuk
manusia yaitu spiritual dan berhubungan dengan jiwa manusia dalam dua dimensi
eksistensi yakni daya jiwa rasional dan daya jiwa hewani.22
Keadilan merupakan salah satu karakter Islami untuk setiap manusia dari
perolehan ilmu yang dipelajari dan dipahami, hal ini agar mendapatkan kebajikan
dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar. Ilmu dan pendidikan yang
tepat dan benar inilah yang akan melahirkan suatu keadilan. Kedua, ilmu pengetahuan
mendorong melahirkan kebijaksanaan. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Komaruddin Sassi mengungkapkan dengan berkembangnya suatu ilmu pengetahuan
dan teknologi pada masa sekarang ini banyak menimbulkan kekacauan.23Jika kita
lihat definisi ilmu itu sendiri adalah suatu hal yang datang dari Allah Swt. dan
diterima oleh jiwa manusia yang menginginkannya. Syed Muhammad Naquib al-
Attas dalam Komaruddin Sassi mengatakan bahwa secara spesifik bahwa konsep
ilmu dapat didefinisikan sebagai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam

21
Ibid, hal. 151.
22
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 145-148.
23
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 18.

9
tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan tempat yang seharusnya untuk Allah
Swt. dalam tatanan being dan eksistensi.24
Sebenarnya, yang dimaksud pada kebijaksanaan itu adalah suatu kebenaran
yang mengetahui batas-batas pada makna yang sudah ditentukan makna tepatnya
bagaimana, dan makna itu tidak dibatasi mau pun dilewati. Sumber ilmu pengetahuan
yang hakiki, akan mendorong lahirnya suatu kebijaksanaan sebagai pengetahuan
tentang tempat yang benar. Hal ini sekaligus yang mendorong lahirnya keadilan
sebagai kondisi sesuatu dalam tempat yang benar. Ketiga, ilmu pengetahuan dan
hikmah sebagai anugerah Allah Swt.. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Komaruddin Sassi mengatakan bahwa ilmu dan kebijaksanaan adalah dua komponen
utama dalam konsepsi adab yang merupakan anugerah Allah Swt..25Upaya untuk
memperoleh ilmu dan kebijaksanaan harus didasari dengan persiapan spiritual yakni
yang diungkapkan Mahrus Ali dalam Komaruddin Sassi mengenai keikhlasan, 26Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi mengenai kejujuran,27dan Wan
Mohd Nor Wan Daud dalam Komaruddin Sassi mengenai kesabaran. 28Etika dasar ini
harus dimiliki oleh setiap penuntut ilmu yang dijalankan dalam kehidupannya sehari-
hari agar menambah kualitas iman dirinya. Pada pandangan Islam, segala sesuatu
yang ada itu merupakan realitas yang berhubungan dengan jiwa dan Tuhannya,
sekaligus memiliki hubungan dengan syarat-syarat keadilan dan kebijaksanaan.
Dapat dilihat bahwa perbedaan pandangan Islam dan Barat merupakan hal
yang cukup mencolok. Pada pandangan Islam tentang pendidikan tidak hanya
mengacu pada hal yang berkaitan dengan duniawi saja tetapi juga hal yang berkaitan
dengan ākhirat. Sedangkan pandangan Barat mengenai pendidikan ini hanya mengacu
kepada hal duniawi saja, dikarenakan mereka tidak meyakini wahyu atau Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah. Di dalam buku karya Komaruddin Sassi pada tema ini juga
ada disinggung dalam pembahasan ta’dib yang merupakan ontologi penjernihan
pendidikan Islam paradigma tauhid Naquib al-Attas. Dijelaskan bahwa ta’dib ini

24
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 19.
25
Ibid, hal. 35-60.
26
Mahrus Ali, Terjemah Ibanatul Ahkam: Syarah Bulughul Maram, (Surabaya: Mutiara Ilmu,
1995), hal. xviii.
27
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 130.
28
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik, hal. 256.

10
mengandung paradigma ilmu yang mencakup pada ontologis, epistemologis, dan
aksiologis yang sebagaimana tergambar pada konsepsi pendidikan Islam yang
berpusat pada tauhid. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi
mengatakan bahwa akibat fatal yang akan terjadi jika tidak menggunakan konsep
adab dan ta’dib sebagai sistem pendidikan Islam, akan terjadi kebingungan dalam
pengetahuan, hilangnya adab pada pengetahuan, dan bangkitnya pemimpin yang tidak
memenuhi syarat kepemimpinan.29Hal inilah yang menjadikan adab dan ta’dib suatu
hal yang penting untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam terutama untuk
Indonesia agar aspek ontologis tidak hilang walaupun perkembangan dunia terus
maju.
Pada bab keenam, mengkritisi beberapa hal pemikiran Naquib al-Attas yang
dipaparkan oleh Komaruddin Sassi terdapat 5 hal. Pertama, mengenai paradigma
ilmu Naquib al-Attas yang kuat pada ontologi tetapi lemah dalam epistemologi. Jika
diperhatikan pada bab 4 dan bab 5, Naquib al-Attas memiliki kelemahan pada
dimensi epistemologi dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada pandangannya
hanya berfokus dengan kuat pada aspek ontologi semata saja. Menurut Amin
Abdullah dalam Komaruddin Sassi bahwasannya, “… dalam agama tidak pernah
menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sumber
pengetahuan itu ada yang berasal dari Tuhan secara ontologis dan pengetahuan
yang berasal dari manusia, sehingga perpaduan antara kedua hal itu disebut
teoantroposentris”.30
Kedua, mengenai adab dan ta’dib konsepsi pendidikan Islam yang self
sufficiency tetapi eskatologis menuju eksistensi. Naquib al-Attas bersikap merasa
benar sendiri (self sufficiency) terhadap gagasannya mengenai adab dan ta’dib yang
dijadikannya sebagai konsepsi pendidikan Islam yang paling tepat dan benar
dibandingkan konsepsi lainnya seperti ta’lim dan tarbiyah. Hal ini ditentang,
bahwasannya ilmu dan teori yang dihasilkan manusia itu tidak mutlak benar, karena
itu hanyalah sebuah hipotesis (dugaan sementara) yang dapat digantikan dengan

29
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 76.
30
M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teontroposentrik-Integralistik)”,
dalam M. Abdullah dkk., Integrasi Sains Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains,
(Yogyakarta: SUKA Press, 2004), hal. 11.

11
hipotesis baru yang lebih baik. Ketiga, Naquib al-Attas kurang memiliki ruang pada
dialektika dengan outsider. Pada dialektika pengembangan filsafat ilmu itu cenderung
sebatas pada intelektual Muslim saja (insider) dan kurang memiliki ruang dialektika
dengan intelektual non-Muslim (outsider).
Alasan Naquib al-Attas lebih memiliki ruang kepada intelektual Muslim
karena tidak hanya berfokus pada indrawi saja melainkan juga berfokus pada
spiritual, itulah yang menjadi salah satu penyebab Naquib al-Attas kurang pada
intelektual non-Muslim yang hanya berfokus pada indrawi dan menolak berfokus
pada hal spiritual. Tetapi, hal ini cukup ditentang dengan alasan yang serupa dengan
kritisan yang pertama. Keempat, terdapat ide islamisasi ilmu pengetahuan Naquib al-
Attas antara harapan dan dilema. Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut merupakan
suatu bagian-bagian yang mengambil dari ilmu Yunani Kuno untuk kepentingan
kaum Muslim yang sebelumnya diawali dengan diislamkan. Menurut Komaruddin
Sassi, islamisasi ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya merupakan upaya melepaskan
aspek-aspek pada mitos-mitos yang terdapat di falsafah Yunani.31Tetapi banyak dari
pemikir Muslim yang tidak tertarik dengan hal ini, sehingga ketika Naquib al-Attas
mengembangkan praktik Islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pro dan kontra dari
intelektual Muslim, sehingga terjadi antara harapan dan dilema.
Kelima, dibahas mengenai sisi ketradisionalan tasawuf Naquib al-Attas yang
tidak ada transcendent unity of religions. Tasawuf merupakan cara pensucian batin
yang tidak hanya dilakukan oleh agama Islam saja, melainkan juga pada agama lain.
Pada hal ini, terjadi perselisihan mengenai transenden agama. Syed Muhammad
Naquib al-Attas dalam Komaruddin Sassi, menolak argumen tersebut dengan
berlandaskan paradigma ontologi tauhid, berkeyakinan bahwa tidak terdapat adanya
transenden agama-agama jika yang dimaksud kesatuan (unity) adalah keutuhan/ke-
Esa-an, karena seluruh agama di dunia ini jelas tidak sama.32Oleh karena itu, pada
tingkat ontologis transenden, Tuhan hanya harus dikenal sebagai Rabb (Tuhan yang
mencipta) oleh semua makhluk, tetapi tidak harus diketahui dan disembah sebagai
Ilāh.

31
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam, hal. 257.
32
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, hal. 7.

12
Pada bab ketujuh, berhubung buku ini adalah hasil disertasi Komaruddin
Sassi dan ini termasuk bab akhir, maka sudah pasti ini merupakan penutup dari
pembahasan buku ini. Terdapat kesimpulan dari penulis Komaruddin Sassi bahwa
sumber acuan pemikiran Naquib al-Attas dilandasi oleh konsepsi tauhid dalam
mengkonstruksi dan memformulasikan konsep pendidikan Islam sebagai adab dan
ta’dib termasuk juga pada hakikat ontologi pendidikan Islam. Dasar ontologi
pendidikan Islam paradigma tauhid dari pemikiran Naquib al-Attas berdasarkan tiga
konstruksi pokok yaitu konsepsi tentang tabi’at Tuhan, ke-Esa-an Tuhan bersifat
mutlak, dan Tuhan sebagai realitas tertinggi.33
Di bab ini juga diuraikan tentang implikasi ontologi pendidikan Islam
paradigma tauhid perspektif Naquib al-Attas yaitu kurang terjadi perubahan
paradigma dari teosentris-antroposentris menuju teoantroposentris. Maksudnya
adalah menggabungkan antara aspek spiritual religius dengan aspek material religius
yang diistilahkan dengan teoantroposentris. Terdapat juga pada implikasinya yang
diasumsikan pemikiran Naquib al-Attas cenderung kepada pensaklaran keagamaan
saja.34Pembahasan lainnya dari bab ini terdapat saran-saran yang diberikan
Komaruddin Sassi kepada pembaca yaitu agar dapat mencermati urgensitas pemikiran
ontologi tauhid dalam pendidikan Islam yang digagas Naquib al-Attas, dapat
menganalisis kembali pemikiran Naquib al-Attas karena tidak semua pemikirannya
terdapat di buku yang ditulis Komaruddin Sassi, dan diskursus terhadap pemikiran
Naquib al-Attas bahwa perlu terus memberikan kritik baik konstruktif maupun
destruktif.35
Buku yang ditulis Komaruddin Sassi ini memiliki kelebihan yaitu, pada
bagian depan halaman buku setelah daftar isi terdapat daftar singkatan pada halaman
xiii dari pembahasan isi buku yang menjadikan kita dapat lebih paham mengenai
kata-kata yang asing bagi pembaca. Setelah daftar singkatan terdapat transliterasi
Arab-latin pada halaman xv yang berdasarkan Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158/1987 dan Nomor 0543
b/u/1987 tertanggal 22 Januari 1988. Kelebihan buku lainnya adalah pada buku ini

33
Komaruddin Sassi, Ontologi Pendidikan Islam, hal. 277.
34
Ibid, hal. 280.
35
Ibid, hal. 281.

13
terdapat sumber pada footnote yang dipaparkan dengan sangat jelas dan terperinci
sehingga pembaca dapat mengetahui dengan pasti sumber dari kalimat yang
dipaparkan penulis serta menjadikan kalimat yang dipakai tersebut terkesan konkret.
Pada buku ini juga terdapat indeks ayat-ayat Al-Qur’an yang dirujuk pada seluruh
pembahasan isi buku yang terdapat di halaman 295 dengan jelas di tulis ayat dan arti
serta diperjelas terdapat pada bab berapa.
Selain terdapat kelebihan pada buku Komaruddin Sassi, terdapat juga
kekurangan pada buku tersebut seperti terdapat pada bab 4 di halaman 119 pada
paragraf kedua urutan dari atas yang membahas mengenai formulasi pemikiran
pendidikan Islam berparadigma tauhid Naquib al-Attas yang disebutkan terdapat tiga
pasal. Pada pasal kesatu dan kedua dengan jelas dituliskan dengan poin yang
berbentuk angka, tetapi pada pasal ketiga berubah menjadi subtema yang lalu
dipaparkan dengan poin lainnya, yang menjadikan pembaca merasa bingung dengan
konsep yang harus dipahami pada pembahasan pasal ketiga tersebut. Kekurangan
lainnya terdapat pada setiap halaman pertama ketika memulai tema baru atau bab
baru yang tidak terdapat nomor halaman, menjadikan pembaca bingung ketika
menyamakan dengan daftar isi. Selain itu, pada kesimpulan bab 7 yang diuraikan
hanya sebatas sampai konstruksi dasar ontologi saja. Serta pada daftar pustaka dalam
pengurutan abjad tidak dilakukan, sehingga terlihat tidak rapi dan berantakan.
Setelah merangkum garis-garis besar pada setiap bab dalam buku
Komaruddin Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed
Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan, terdapat
beberapa hal yang ingin di kritik dari buku tersebut. Walaupun Komaruddin Sassi
pada bab 6 sudah mengkritisi pemikiran Naquib al-Attas, namun disini ingin
menambahkan sedikit kritik. Pada bab 4 halaman 119, Naquib al-Attas berpendapat
bahwa terdapat tiga hal pokok muatan dalam pendidikan yaitu proses, kandungan
(isi), dan penerima (manusia). Pada hal ini, Naquib menjadikan “kandungan” sebagai
yang utama daripada “proses”. Sedangkan, dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
bukan hanya berfokus pada aspek ontologi semata saja, tetapi aspek epistemologi
merupakan hal yang sangat penting. Proses dalam mendapatkan ilmu itu dapat
mempengaruhi nilai ilmu, jika ilmu yang didapatkan dilakukan dengan proses yang

14
salah, maka hasil dari ilmu itu pun juga menjadi kurang baik. Hal ini sejalan dengan
kritis pada bab 6 bagian pertama yang dilakukan oleh Komaruddin Sassi,
bahwasannya paradigma ilmu Naquib al-Attas kuat dalam ontologi namun lemah
pada epistemologi.
Selanjutnya, pada bab 5 terdapat pembahasan mengenai objek yang berada di
luar jiwa bukanlah ilmu, melainkan hanya objek yang di dalam jiwa saja yang disebut
dengan ilmu. Hal ini kurang tepat, karena ilmu tidak sesempit cara pandangnya
seperti itu hanya dengan apa yang bisa dilihat orang indrawi saja. Immanuel Kant
berpendapat serupa, Kant membedakan antara fenomena yang dapat dilihat atau
observasi oleh panca indra dan noumena (realitas yang mendasari fenomena).
Baginya, meskipun kita terbatas dalam mengetahui fenomena, namun terdapat ilmu
yang dapat diperoleh melalui akal budi yang tidak tergantung pada pengalaman
empiris.
Selain kedua hal tersebut, terdapat juga kritik mengenai pemikiran Naquib al-
Attas yang hanya memiliki ruang dialektika insider dan kurang kepada dialektika
outsider. Sebenarnya hal ini sudah dikritisi oleh penulis buku yaitu Komaruddin
Sassi, namun memang benar nyatanya. Kita hidup di zaman sekarang yang dimana
harus mengikuti perkembangan yang terjadi dengan tidak hanya berfokus pada
insider saja, namun juga pada outsider. Itu bukan merupakan hal yang salah. Sudah
dibahas sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan itu sumbernya dari dua hal, yaitu
berasal dari Tuhan dan berasal dari manusia, yang kedua hal ini jika digabungkan
disebut teoantroposentris yang juga sudah disinggung oleh Komaruddin Sassi pada
kritis pertama di bab 6. Itulah yang seharusnya menjadikan kita umat Muslim lebih
bisa membuka diri mengenai hal-hal luar lainnya dengan tidak hanya berfokus pada
satu hal saja, melainkan pada hal lain juga.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan, maka terdapat saran mengenai
buku Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-
Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan yang sudah di review. Sebelumnya
pada bab 7 sudah ada dipaparkan saran oleh penulis Komaruddin Sassi, pada hal ini
ingin menambahkan mengenai buku tersebut yang merupakan hasil disertasi
Komaruddin Sassi pada penelitian pustaka dengan studi tokoh tersebut merupakan hal

15
yang sangat jarang dilakukan pada banyak universitas terutama di Sumatera Utara.
Padahal penelitian pustaka ini lebih luas dalam mendapatkan ilmunya daripada
penelitian lapangan, karena dengan meneliti pemikiran-pemikiran seseorang yang
sudah memiliki banyak pengetahuan atau pengalaman yang lebih luas, menjadikan
kita ikut tenggelam dalam pemikiran-pemikiran mereka.
Data yang diambil dari penelitian pustaka mencakup buku-buku, jurnal,
website, majalah, bukan dari lembaga, seperti sekolah dan madrasah yang dilakukan
pada penelitian lapangan. Hal ini juga dapat menjadikan para mahasiswa untuk
terbiasa dalam membaca, terutama membaca yang mendatangkan ilmu pengetahuan.
UNESCO sendiri menyebutkan bahwa Indonesia merupakan urutan kedua dari bawah
mengenai literasi dunia dengan minat membaca yang sangat rendah yaitu hanya
0,001%. Maka disarankan untuk mahasiswa atau para dosen dapat menerapkan
penelitian pustaka kepada mahasiswa selain penelitian lapangan yang sudah sangat
sering dilakukan.
Pada buku yang ditulis Komaruddin Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan
Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib
dalam Pendidikan, memiliki persamaan isi buku yang ditulis Afifuddin Harisah pada
judul Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan yaitu:
1. Terdapat pada bab 4 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan yang menyatakan bahwa konsepsi
pendidikan dalam Islam tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya
mencerdaskan semata, melainkan berupaya menyelaraskan dengan konsep Islam
tentang manusia dan hakikatnya. Hal ini memiliki kesamaan dengan buku
Komaruddin Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid
Syed Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan
yang berfokus pada ontologi, yaitu memahami hakikat ilmu dan manusia.
2. Terdapat pada bab 6 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan yang menyatakan bahwa sumber
pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam. Keduanya berasal dari
sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini memiliki kesamaan dengan
buku Komaruddin Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam Paradigma

16
Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam
Pendidikan yang menjadikan wahyu (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi Muhammad
saw. sebagai otoritas tertinggi.
3. Terdapat pada bab 7 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan yang menjadikan ontologi sebagai
landasan pendidikan Islam. Hal ini memiliki kesamaan dengan buku Komaruddin
Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed
Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan yang
sudah sangat jelas seperti judul bukunya bahwa landasan pendidikan Islam
mengacu kepada ontologi.
Selain terdapat persamaan pada buku Komaruddin Sassi yang berjudul
Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas:
Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan dan buku yang ditulis Afifuddin Harisah
pada judul Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan memiliki
perbedaan juga pada isi buku, yaitu:
1. Terdapat pada bab 9 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan terdapat strategi dan pendekatan dalam
pendidikan Islam. Sedangkan pada buku Komaruddin Sassi yang berjudul
Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas:
Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan sangat lemah mengenai penjelasan
strategi atau epistemologi dalam pendidikan Islam, karena pada buku tersebut
sangat kuat hanya dalam pembahasan ontologi saja.
2. Terdapat pada bab 10 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan bahwa di buku tersebut mendukung
pandangan filsafat Barat. Sedangkan pada buku Komaruddin Sassi yang berjudul
Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas:
Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan terjadi sebaliknya, yaitu menentang
adanya pandangan filsafat Barat karena hanya berfokus pada materi semata dan
tidak pada aspek spiritual.
3. Terdapat pada bab 12 di buku Afifuddin Harisah pada judul Filsafat Pendidikan
Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan bahwa terdapat empat faktor penyebab

17
kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan inklusivisme. Faktor utamanya
adalah penekanan pada proses transfer ilmu agama, daripada proses transformasi
nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. Sedangkan pada buku
Komaruddin Sassi yang berjudul Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid
Syed Muhammad Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan
menjadikan hal yang utama mengenai nilai-nilai keagamaan dan moral melalui
revitalisasi adab dan ta’dib dalam pendidikan. Bahkan dalam proses transfer ilmu
agama menjadi hal yang lemah di dalam buku tersebut.
Dari pembahasan yang sudah dipaparkan di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan. Walaupun pada bab 7 sudah ada kesimpulan yang diuraikan oleh
Komaruddin Sassi, namun kesimpulan yang diuraikan hanya sebatas sampai pada
konstruksi dasar ontologi saja, maka disini akan menambahkan kesimpulan yang
sudah di buat Komaruddin Sassi. Selain pada konstruksi dasar ontologi yang
mencakup konsepsi tentang tabi’at Tuhan, ke-Esa-an Tuhan bersifat mutlak, dan
Tuhan sebagai realitas tertinggi. Terdapat juga mengenai formulasi konsepsi
pendidikan Islam paradigma tauhid yang mencakup jalinan integral konsep-konsep
kunci pendidikan Islam, adab sebagai konsep kunci inti hakikat pendidikan Islam
perspektif Naquib al-Attas, dan membahas tujuan serta muatan kurikulum pendidikan
Islam. Maksud dari hal itu adalah dapat mengimplementasikan adab sebagai ta’dib
dalam sistem pendidikan Islam.
Pembahasan selanjutnya mengenai hakikat ontologi pendidikan Islam
paradigma tauhid Naquib al-Attas yang membahas suatu jalinan yang terkait dengan
lahirnya adab dan ta’dib sebagai konsepsi pendidikan Islam. Ta’dib tidak akan lahir
tanpa adab, dan adab sebagai konsep kunci inti lahirnya ta’dib. Semua pembahasan
yang dipaparkan merupakan penegasan Naquib al-Attas bahwasannya dalam
pendidikan Islam sangat menekankan pemahaman yang benar dan tepat mengenai
ontologi yang berparadigma tauhid. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan
atau kebodohan dalam memahami sebuah ilmu.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Integrasi Sains Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan


Sains. Yogyakarta: SUKA Press, 2004.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. terj. Haidar Baqir. Bandung:
Mizan, 1984.
_____. Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.
_____. Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka
Salman ITB, 1981.
_____. Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of The Fundamental
Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur, Malaysia: ISTAC, 1995.
Ali, Mahrus. Terjemah Ibanatul Ahkam: Syarah Bulughul Maram. Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1995.
al-Qothani, Muhammad Said. Membumikan La ilaaha illa-Allah. Jakarta: GIP, 1994.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, 1991.
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya. Jakarta:
Kalam Mulia, 2011.
Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1989.
Sassi, Komaruddin. Ontologi Pendidikan Islam Paradigma Tauhid Syed Muhammad
Naquib al-Attas: Revitalisasi Adab-Ta’dib dalam Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 2020.

19

Anda mungkin juga menyukai