Anda di halaman 1dari 5

REVIEW BUKU

Penulis : Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D.


Judul Buku : Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:
Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan
Islam
Editor : Agustina Purwantini, M. Adib Abdushomad G.J.A
Desain Sampul : Syamsul Falaq
Penerbit : Gama Media
Cetakan I : September 2002
Jumlah Halaman : xx + 240
Ukuran Buku : 14 x 20 cm
Pereview : Anggit Hadi Prasaja
(Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia)

Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D (lahir di Kudus, 16 April 1960; umur
58 tahun) adalah akademisi muslim asal Kudus, Jawa Tengah. Beliau juga dikenal
sebagai cendikiawan muslim yang saat ini juga menjabat sebagai Kepala Badan Litbang
serta Pendidikan dan Pelatihan Kementerian agama Republik Indonesia.1 Beliau
menyelesaikan studi S3 di Univ. California,USA pada tahun 1997 program studi Islamic
Studies dengan beasiswa fullbright.2

Melalui buku ini, penulis hendak mengungkapkan gagasan-gagasan mengenai


konsep pendidikan Islam humanisme-religius, serta nondikotomis. Gagasan penulis
mengenai konsep pendidikan nondikotomik ini berawal dari kenyataan bahwa
pendidikan Islam yang dialami oleh masyarakat Islam masih statis yang didukung
dengan adanya cara berpikir yang dikotomis seperti Islam-sekuler, Timur-Barat, ilmu
agama-ilmu sekuler, dan lain-lain. Pemikiran ini mencerminkan ketidakpercayaan diri
dari kalangan umat Islam. Patut diakui bahwa pada kenyataannya masyarakat muslim
memang tertinggal dari negara-negara barat dalam hal pendidikan, ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Akan tetapi hal itu tidak seharusnya membuat masyarakat muslim menjadi
tidak percaya diri akan jati diri mereka yang pada akhirnya akan memperburuk keadaan.
Karena itulah konsep pendidikan yang ada selama ini perlu pembenahan. Maka dari itu,
melalui buku ini penulis melakukan sumbangsih akademik dalam mewujudkan
pembenahan-pembenahan tersebut.

Sejarah pemikiran Islam yang berhubungan dengan perkembangan, akar-akar


historis, sebab akibat dikotomi ilmu agama dan non agama, dan akar-akar historis

1
http://simpeg.kemenag.go.id/laporan/pejabat_lihat.aspx?id=150240107 diakses 10 Desember 2018
pukul 19.32 WIB.
2
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam). Hlm 237
terbangunnya humanism religious sebagai paradigm pendidikan Islam akan diulas
secara mendalam di buku ini. Disamping itu, buku ini berusaha menawarkan konsep
baru terhadap kemunduran yang terjadi dalam Pendidikan Islam yaitu humanisme
religius sebagai solusi terhadap ketidakseimbangan paradigm yang berkembang dalam
dunia pendidikan Islam.

Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama menjelaskan
tentang akar-akar permasalahan dalam dunia pendidikan Islam. Bab 2 membahas
tentang landasan ideologis pendidikan Islam. Pembahasan dalam bab ini mencakup
definisi peradaban Islam dan uraiannya yang terkait dengan pengetahuan intelektualitas
Islam, ajaran dasar Islam tentang transmisi pengetahuan, dan ontologi pendidikan Islam
yang tidak mengenal dikotomi. Bab 3 berisi survei historis terkait dengan munculnya
era nondikotomik dan dikotomik dalam pendidikan Islam. Bab 5 menjelaskan tentang
dampak humanisme religius dalam pendidikan Islam dan perlunya perombakan atas
paradigma pendidikan Islam yang selama ini ada. Bab 6 merupakan penutup yang berisi
rangkuman dan kesimpulan.

Penerapan dikotomi antara ilmu dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non
agama dimulai pada saat abad 11 yang diawali oleh Madrasah Nizamiyyah, dimana
didalamnya tidak ada pembelajaran mengenai ilmu non agama, semua kurikulum pada
zaman itu mengajarkan tentang ilmu agama sehingga model itu diikuti oleh madrasah-
madrasah lain di masa berikutnya pada era pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah.
Sebagaimana dikutip penulis, Ismail Raji Al-Faruqi menyebutkan ada empat faktor
yang menyebabkan kejumudan Intelektualime Islam yang yang berhubungan dengan
dikotomi. Hal itu antara lain adalah proses penyempitan makna fiqih dan status faqih
yang jauh berbeda dengan para pendiri mazhab, pertentangan antara wahyu dan akal,
keterpisahan antara kata dan perbuatan, serta sekularisme dalam memandang budaya
dan agama.3 Hal itu tentu menimpulkan ketidaksesuaian dengan prinsip dan nilai-nilai
Islam sendiri yang tidak mendikotomi hal apapun, termasuk ilmu pengetahuan, karena
catatan sejarah membuktikan bahwa generasi Islam abad-abad pertama mempunyai
ghirah yang sangat besar dalam hal keilmuan. Hasilnya kita memiliki warisan ilmu
yang sangat berharga dalam bidang agama maupun sains seperti hadits, tafsir, filsafat,
astronomi, kedokteran, matematika, kimia, dan lain sebagainya yang bila kita lihat
ilmuan-ilmuan tersebut terinspirasi dari ayat Al-Qur’an dan mengembangkan dalam
bidangnya masing-masing. Sebagai agama, Islam benar-benar melahirkan budaya ilmu
dan peradaban manusia yang sangat tinggi. Pendidikan Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬juga memberikan respon solutif tehadap pemasalahan yang berhubungan
dengan fitrah individu dan kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan insan kamil
(manusia seutuhnya) dengan mendahulukan pendidikan tauhid (character building)

3
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam). Hlm 5-6
serta memberikan contoh kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal,
jiwa, dan realitas sosial.4

Memasuki bagian munculnya era nondikotomik dan dikotomik, penulis


menyajikan observasi atas sejarah pendidikan Islam dan peradabannya sejak masa Nabi
Muhammad hingga abad pertengahan. Lima abad pertama sejak turun wahyu kepada
Rasulullah ‫ ﷺ‬, dunia Islam tidak mengenal dikotomi dalam keilmuan, semua dianggap
sama dan sejajar pada masa tersebut, maka dari itu harus dipelajari secara seimbang.
Penulis menegaskan hal tersebut dengan memberi contoh ketika Zaid bin Haritsah
diperintahkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk mempelajari bahasa Ibrani, setelah beberapa
minggu kemudian Zaid bin Haritsah mampu menguasai bahasa kaum Yahudi tersebut
dengan dibuktikan bahawa Zaid bisa lancar berkomunikasi serta baca tulis
menggunakan bahasa tersebut. Hal itu membuat penulis berpendapat bahwa
mempelajari bahasa bukan hanya tentang komunikasi, tetapi tentang bagaimana cara
agar bisa menguasai wilayah tersebut.5 Menurut penulis, pada masa-masa itu ilmu
agama dan nonagama berdiri secara harmonis, dialogis, dan saling melengkapi. Ilmu-
ilmu agama berkembang lebih dahulu daripada ilmu-ilmu lain. Hal ini seolah-olah
mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya harus dilandasi dengan bangunan
keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya.
Para ilmuwan yang hidup pada masa nondikotomik ini antara lain adalah Imam Syafi’i
dan ketiga Imam mazhab lainnya (bidang hukum Islam), Al-Bukhari (bidang hadits),
Ibn Ishaq (bidang sejarah), Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina (bidang filsafat), Al-Razi
(bidang fisika dan kimia), dan lain-lain. Kemajuan peradaban dan keilmuan yang sangat
signifikan ini tidak terlepas dari peran dan komitmen penguasa dalam mengembangkan
keilmuan. Sejarah mencatat bahwa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah berperan sangat
besar dalam pengembangan keilmuan. Salah satunya adalah dengan pendirian Bayt al-
Hikmah pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M.) dari Dinasti Abbasiyyah.
Bayt al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian,
penerjemahan, dan pengembangan-pengembangan keilmuan. Akan tetapi era keemasan
nondikotomik keilmuan tersebut tidak bisa terus berlanjut. Penulis menyebutkan
munculnya era dikotomik—dan dengan demikian hilangnya era nondikotomik—
ditandai dengan polarisasi yang tajam antara Sunni dan Syi’ah, antara faksi-faksi dalam
Sunni sendiri, serta ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi yang
berlebihan. Secara khusus, penulis meneliti dan akhirnya menyimpulkan bahwa era
Madrasah Nizamiyyahlah yang merupakan contoh kasus munculnya penyakit dikotomi
dalam pendidikan.6 Di madrasah ini ilmu-ilmu yang diajarkan hanyalah ilmu agama,
seperti fiqh, tauhid, ushul fiqh, ulum al-Qur’an, hadits, dan lain sebagainya. Bahkan
dapat dikatakan bahwa fiqh merupakan mata kuliah utama di sana, sedangkan semua
cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas dan

4
Ibid. Hlm 62.
5
Ibid. Hlm 75-76
6
Ibid. hlm 100
penjabaran hukum Islam.7 Pendidikan serba-fiqh (fiqh oriented education) adalah ciri
yang menonjol dalam pendidikan Sunni Muslim abad ke 11.

Senada dengan penjelasan penulis, orientasi pendidikan Islam yang selama ini
kesani lebih menekankan pada aspek ukhrawi semata, oleh karena itu, munculnya
dikotomi ilmu umum dan agama haruslah disingkirkan. Kecenderungan semacam itu
merupakan aktualisasi dari orientasi yang tidak didasarkan atas konsep manusia
menurut al-Qur’an. Orientasi pendidikan Islam haruslah didasari oleh pola berfikir
integratif yaitu menyatukan arti dan makna kehidupan dunia dan akhirat sebagai
gambaran utuh dari konsep manusia selaku ‘abdullâh dan khalifatullâh.8

Diakui atau tidak, dikotomi pendidikan yang terjadi pada masyarakat muslim
sejauh ini adalah sebuah kemunduran, harus ada upaya mendasar dan paradigmatik
untuk memperbaikinya. Dalam konteks ini, penulis menjelaskan bahwa humanism
religius bisa menjadi solusi bagi kemunduran ilmu yang kita alami sejauh ini.
Humanisme religius ini didefinisikan sebagai proses pendidikan yang lebih
memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius
serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya.9 Humanisme religius tersebut perlu dibangun dan
dikembangkan dalam proses pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim,
termasuk di Indonesia. Penulis selanjutnya mengidentifikasi beberapa alasan yang
merupakan motif dan paradigma lama yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
sosial. Ini sekaligus mengantarkan pembahasan mengapa paradigma baru perlu
diperkenalkan, dibangun, dan ditegakkan. Alasan-alasan tersebut adalah: pertama,
keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan kesemarakan ritual.
Kedua, kesalehan sosial yang masih jauh dari orientasi masyarakat kita. Ketiga, potensi
peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi
pada pengembangan sumber daya manusia atau belum individual-oriented. Keempat,
kemandirian dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam capaian dunia
pendidikan.10

Berdasarkan atas hal-hal itulah penulis berusaha untuk mengadakan perombakan


dan pembaruan dalam tataran teknis-praktis terhadap elemen-elemen pembelajaran yang
selama ini ada. Pembaruan tersebut meliputi aspek guru, metode, murid, materi, dan
evaluasi. Dalam aspek guru dan metode, hendaknya guru lebih menekankan
pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani dan religiositas siswa, dan
meningkatkan kepekaan sosialnya. Ini dapat dilakukan dengan cara mengenali siswa
secara lebih dekat dan personal. Fokus utama untuk pengembangan metode humanisme
religius adalah sejauhmana guru dapat memahami, mendekati, dan mengembangkan

7
Ibid. Hlm 96-97
8
Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Bani Quraisy. Hlm 118
9
Ibid. Hlm. 135
10
Ibid. Hlm 144-153
siswa sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan potensi-potensi unik
sebagai makhluk Allah yang didesain untuk menjadi ahsan taqwim. Menyangkut
dengan aspek murid, penulis menetapkan enam hal yang harus dipenuhi siswa untuk
mewujudkan humanisme religius ini. Enam hal itu adalah modal, semangat, waktu yang
memadai, petunjuk guru, keuletan atau kesabaran, serta kecerdasan. Enam hal itu
diambil oleh penulis dari kitab Ta’lim Muta’allim tentang prasyarat yang harus dimiliki
oleh pencari ilmu.11 Terkait dengan aspek materi, penulis menekankan pentingnya
materi yang memicu kreativitas dan moralitas para murid yang terintegrasi ke dalam
materi-materi yang diberikan oleh guru. Penulis juga menganjurkan sistem reward and
punishment yang setimpal kepada murid, dan bukan hanya mementingkan punishment.
Dalam konteks pengajaran ideologi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) terhadap siswa
madrasah dan pesantren di Indonesia, penulis mengingatkan akan perlunya pengayaan
literatur atas materi Aswaja, terutama yang terkait dengan dimensi historis dan filosofis.
Selain itu, siswa/ santri hendaknya juga diberi ruang untuk mengenal dan mempelajari
mazhab dan ideologi-ideologi lain sebagai perbandingan. Ini terutama ditujukan untuk
siswa setingkat Madrasah Aliyah.12 Dalam aspek evaluasi, konsep humanisme religius
menempatkan siswa sebagai individu yang memiliki otoritas individual, serta mampu
mengambil keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi dari
sikap ini adalah suatu keharusan bahwa siswa diberi kepercayaan untuk mengevalusi
dalam rangka perbaikan ke depan atas apa yang ia lihat dan hadapi sehari-hari. Selain
itu, siswa hendaknya juga dilibatkan dalam evaluasi terhadap guru. Yang tak kalah
penting dari humanisme religius dalam aspek evaluasi pendidikan ini adalah, evaluasi
hendaknya tidak hanya dilakukan dalam aspek kognitif saja, melainkan juga pada
dimensi afektif dan psikomotorik siswa. Periode evaluasi hendaknya day to day
evaluation, dan bukan hanya pada akhir semester dan midsemester seperti yang ada
selama ini. Dengan evalusi ala konsep humanisme religius ini, baik siswa maupun guru
diharapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab vertikal (kepada Tuhan)
dan horizontal (kepada lingkungan belajar).

DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik


(Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam). Yogyakarta. Gama
Media.

Priatna, Tedi. 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar Mewujudkan


Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia. Bandung. Pustaka Bani
Quraisy.

11
Ibid. Hlm 203
12
Ibid. Hlm 213

Anda mungkin juga menyukai