Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D (lahir di Kudus, 16 April 1960; umur
58 tahun) adalah akademisi muslim asal Kudus, Jawa Tengah. Beliau juga dikenal
sebagai cendikiawan muslim yang saat ini juga menjabat sebagai Kepala Badan Litbang
serta Pendidikan dan Pelatihan Kementerian agama Republik Indonesia.1 Beliau
menyelesaikan studi S3 di Univ. California,USA pada tahun 1997 program studi Islamic
Studies dengan beasiswa fullbright.2
1
http://simpeg.kemenag.go.id/laporan/pejabat_lihat.aspx?id=150240107 diakses 10 Desember 2018
pukul 19.32 WIB.
2
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam). Hlm 237
terbangunnya humanism religious sebagai paradigm pendidikan Islam akan diulas
secara mendalam di buku ini. Disamping itu, buku ini berusaha menawarkan konsep
baru terhadap kemunduran yang terjadi dalam Pendidikan Islam yaitu humanisme
religius sebagai solusi terhadap ketidakseimbangan paradigm yang berkembang dalam
dunia pendidikan Islam.
Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama menjelaskan
tentang akar-akar permasalahan dalam dunia pendidikan Islam. Bab 2 membahas
tentang landasan ideologis pendidikan Islam. Pembahasan dalam bab ini mencakup
definisi peradaban Islam dan uraiannya yang terkait dengan pengetahuan intelektualitas
Islam, ajaran dasar Islam tentang transmisi pengetahuan, dan ontologi pendidikan Islam
yang tidak mengenal dikotomi. Bab 3 berisi survei historis terkait dengan munculnya
era nondikotomik dan dikotomik dalam pendidikan Islam. Bab 5 menjelaskan tentang
dampak humanisme religius dalam pendidikan Islam dan perlunya perombakan atas
paradigma pendidikan Islam yang selama ini ada. Bab 6 merupakan penutup yang berisi
rangkuman dan kesimpulan.
Penerapan dikotomi antara ilmu dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non
agama dimulai pada saat abad 11 yang diawali oleh Madrasah Nizamiyyah, dimana
didalamnya tidak ada pembelajaran mengenai ilmu non agama, semua kurikulum pada
zaman itu mengajarkan tentang ilmu agama sehingga model itu diikuti oleh madrasah-
madrasah lain di masa berikutnya pada era pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah.
Sebagaimana dikutip penulis, Ismail Raji Al-Faruqi menyebutkan ada empat faktor
yang menyebabkan kejumudan Intelektualime Islam yang yang berhubungan dengan
dikotomi. Hal itu antara lain adalah proses penyempitan makna fiqih dan status faqih
yang jauh berbeda dengan para pendiri mazhab, pertentangan antara wahyu dan akal,
keterpisahan antara kata dan perbuatan, serta sekularisme dalam memandang budaya
dan agama.3 Hal itu tentu menimpulkan ketidaksesuaian dengan prinsip dan nilai-nilai
Islam sendiri yang tidak mendikotomi hal apapun, termasuk ilmu pengetahuan, karena
catatan sejarah membuktikan bahwa generasi Islam abad-abad pertama mempunyai
ghirah yang sangat besar dalam hal keilmuan. Hasilnya kita memiliki warisan ilmu
yang sangat berharga dalam bidang agama maupun sains seperti hadits, tafsir, filsafat,
astronomi, kedokteran, matematika, kimia, dan lain sebagainya yang bila kita lihat
ilmuan-ilmuan tersebut terinspirasi dari ayat Al-Qur’an dan mengembangkan dalam
bidangnya masing-masing. Sebagai agama, Islam benar-benar melahirkan budaya ilmu
dan peradaban manusia yang sangat tinggi. Pendidikan Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad ﷺjuga memberikan respon solutif tehadap pemasalahan yang berhubungan
dengan fitrah individu dan kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan insan kamil
(manusia seutuhnya) dengan mendahulukan pendidikan tauhid (character building)
3
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam). Hlm 5-6
serta memberikan contoh kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal,
jiwa, dan realitas sosial.4
4
Ibid. Hlm 62.
5
Ibid. Hlm 75-76
6
Ibid. hlm 100
penjabaran hukum Islam.7 Pendidikan serba-fiqh (fiqh oriented education) adalah ciri
yang menonjol dalam pendidikan Sunni Muslim abad ke 11.
Senada dengan penjelasan penulis, orientasi pendidikan Islam yang selama ini
kesani lebih menekankan pada aspek ukhrawi semata, oleh karena itu, munculnya
dikotomi ilmu umum dan agama haruslah disingkirkan. Kecenderungan semacam itu
merupakan aktualisasi dari orientasi yang tidak didasarkan atas konsep manusia
menurut al-Qur’an. Orientasi pendidikan Islam haruslah didasari oleh pola berfikir
integratif yaitu menyatukan arti dan makna kehidupan dunia dan akhirat sebagai
gambaran utuh dari konsep manusia selaku ‘abdullâh dan khalifatullâh.8
Diakui atau tidak, dikotomi pendidikan yang terjadi pada masyarakat muslim
sejauh ini adalah sebuah kemunduran, harus ada upaya mendasar dan paradigmatik
untuk memperbaikinya. Dalam konteks ini, penulis menjelaskan bahwa humanism
religius bisa menjadi solusi bagi kemunduran ilmu yang kita alami sejauh ini.
Humanisme religius ini didefinisikan sebagai proses pendidikan yang lebih
memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius
serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya.9 Humanisme religius tersebut perlu dibangun dan
dikembangkan dalam proses pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim,
termasuk di Indonesia. Penulis selanjutnya mengidentifikasi beberapa alasan yang
merupakan motif dan paradigma lama yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
sosial. Ini sekaligus mengantarkan pembahasan mengapa paradigma baru perlu
diperkenalkan, dibangun, dan ditegakkan. Alasan-alasan tersebut adalah: pertama,
keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan kesemarakan ritual.
Kedua, kesalehan sosial yang masih jauh dari orientasi masyarakat kita. Ketiga, potensi
peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi
pada pengembangan sumber daya manusia atau belum individual-oriented. Keempat,
kemandirian dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam capaian dunia
pendidikan.10
7
Ibid. Hlm 96-97
8
Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Bani Quraisy. Hlm 118
9
Ibid. Hlm. 135
10
Ibid. Hlm 144-153
siswa sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan potensi-potensi unik
sebagai makhluk Allah yang didesain untuk menjadi ahsan taqwim. Menyangkut
dengan aspek murid, penulis menetapkan enam hal yang harus dipenuhi siswa untuk
mewujudkan humanisme religius ini. Enam hal itu adalah modal, semangat, waktu yang
memadai, petunjuk guru, keuletan atau kesabaran, serta kecerdasan. Enam hal itu
diambil oleh penulis dari kitab Ta’lim Muta’allim tentang prasyarat yang harus dimiliki
oleh pencari ilmu.11 Terkait dengan aspek materi, penulis menekankan pentingnya
materi yang memicu kreativitas dan moralitas para murid yang terintegrasi ke dalam
materi-materi yang diberikan oleh guru. Penulis juga menganjurkan sistem reward and
punishment yang setimpal kepada murid, dan bukan hanya mementingkan punishment.
Dalam konteks pengajaran ideologi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) terhadap siswa
madrasah dan pesantren di Indonesia, penulis mengingatkan akan perlunya pengayaan
literatur atas materi Aswaja, terutama yang terkait dengan dimensi historis dan filosofis.
Selain itu, siswa/ santri hendaknya juga diberi ruang untuk mengenal dan mempelajari
mazhab dan ideologi-ideologi lain sebagai perbandingan. Ini terutama ditujukan untuk
siswa setingkat Madrasah Aliyah.12 Dalam aspek evaluasi, konsep humanisme religius
menempatkan siswa sebagai individu yang memiliki otoritas individual, serta mampu
mengambil keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi dari
sikap ini adalah suatu keharusan bahwa siswa diberi kepercayaan untuk mengevalusi
dalam rangka perbaikan ke depan atas apa yang ia lihat dan hadapi sehari-hari. Selain
itu, siswa hendaknya juga dilibatkan dalam evaluasi terhadap guru. Yang tak kalah
penting dari humanisme religius dalam aspek evaluasi pendidikan ini adalah, evaluasi
hendaknya tidak hanya dilakukan dalam aspek kognitif saja, melainkan juga pada
dimensi afektif dan psikomotorik siswa. Periode evaluasi hendaknya day to day
evaluation, dan bukan hanya pada akhir semester dan midsemester seperti yang ada
selama ini. Dengan evalusi ala konsep humanisme religius ini, baik siswa maupun guru
diharapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab vertikal (kepada Tuhan)
dan horizontal (kepada lingkungan belajar).
DAFTAR PUSTAKA
11
Ibid. Hlm 203
12
Ibid. Hlm 213