Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM


(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan
dosen pengampu Dr., Hj., Cucu Zenab Subarkah, M.Pd.)

Disusun oleh:
Kelompok 8 (3B)
M. Randi Fadilah (1222080050)
Mia Salastri (1222080054)
Neng Mayila Mardothilah (1222080067)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat hidayah serta keberkah-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik tanpa kendala apapun.

Pada kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.
Hj. Cucu Zenab Subarkah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam.

Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas semester 3
mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang berjudul "Dasar-Dasar Pendidikan
Islam".

Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Kami
memohon maaf bila masih terdapat kekurangan dalam pengusunan makalah ini,
baik secara materi maupun dalam penyampaiannya. Kami juga menerima kritik dan
saran dari pembaca agar dapat membuat makalah dengan lebih baik lagi di
kesempatan berikutnya.

Bandung, 18 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB II ..................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

2.1 Telaah Teoritis dan Praktis ............................................................................ 6

2.2 Analisis Tafsir Tarbawi .............................................................................. 26

2.3 Rekonsiliasi Pendidikan Islam dan Barat .................................................... 29

2.4 Realisasi Maqashid Syariah ......................................................................... 33

BAB III ................................................................................................................. 35

KESIMPULAN ..................................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan


umat Islam. Pendidikan ini tidak hanya terbatas pada pemahaman agama
semata, tetapi juga mencakup aspek moral, etika, sosial, dan budaya yang
melekat dalam ajaran Islam. Dalam memahami Islam sebagai agama, pengajar
atau pendidik Islam perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang dasar-dasar
Islam sebagai landasan dalam menyampaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Islam kepada generasi muda.

Materi dasar-dasar Islam adalah fondasi yang esensial dalam


pendidikan Islam. Hal ini mencakup pemahaman tentang konsep dasar Islam
seperti tauhid, akidah, ibadah, etika, serta nilai-nilai sosial yang terkandung
dalam ajaran Islam. Memahami konsep-konsep dasar ini bukan hanya penting
bagi pendidik Islam, tetapi juga bagi semua individu Muslim yang ingin
menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agamanya.

Dalam makalah ini, kami akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar


Islam dalam konteks pendidikan. Kami akan membahas pentingnya
pemahaman yang mendalam tentang tauhid, akidah, ibadah, etika, serta nilai-
nilai sosial dalam membentuk individu Muslim yang berkualitas. Selain itu,
kami juga akan membahas peran pendidik Islam dalam menyampaikan materi
dasar-dasar Islam kepada generasi muda serta strategi yang efektif dalam
proses pendidikan ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana telaah teoritis dan praktis tentang dasar-dasar pendidikan Islam


dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam?

4
2. Bagaimana analisis tafsir tarbawi (pendidikan nilai) dalam dasar-dasar
pendidikan Islam dapat digunakan sebagai pedoman?
3. Bagaimana mungkin dilakukan rekonsiliasi antara pendidikan Islam
tradisional dan pendidikan Barat yang sesuai dengan nilai-nilai universal
dan ajaran Islam?
4. Bagaimana realisasi maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah) dapat
diintegrasikan dalam pendidikan Islam?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pemahaman mendalam mengenai teoritis dan praktis tentang


dasar-dasar Islam.
2. Mengetahui analisis tafsir tarbawi (pendidikan nilai) mengenai dasar-dasar
pendidikan Islam.
3. Mengetahui rekonsiliasi antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat yang
sesuai dengan nilai-nilai universal dan ajaran Islam.
4. Mengetahui realisasi maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah) dalam dasar-
dasar pendidikan Islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Telaah Teoritis dan Praktis

Menurut pandangan Ramayulis, dasar adalah landasan berdirinya


sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah tujuan yang hendak dicapai
sekaligus sebagai landasan berdirinya sesuatu (Ramayulis, 2002). Setiap
negara memiliki dasar pendidikan yang mencerminkan falsafah hidup negara
tersebut. Misalnya dasar pendidikan Indonesia adalah Pancasila. Akan tetapi,
dasar pendidikan Islam tidak didasarkan pada falsafah hidup suatu negara,
melainkan falsafah hidup umat Muslim. Hal ini disebabkan oleh sistem
pendidikan Islam dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja tanpa dibatasi
oleh ruang dan waktu.

Sa'id Isma'il 'Ali membagi dasar-dasar pendidikan Islam menjadi 6 (enam)


macam: Al-Qur'an, al-Sunnah, Pendapat Sahabat (Aqwal al- Sahabat),
Peradaban Islami (al-Tsaqafah), Maslahat Publik (Mashalihal. Ijtima'iyyah)
dan Pemikiran Islami (al-Fikr al-Islami). Semuanya merupakan sumber atau
dasar yang menjadi pijakan pendidikan Islam.

Klasifikasi lain dikemukakan oleh Majid Zaki al-Jallad yang membagi


dasar pendidikan Islam menjadi dua kategori, yaitu dasar Syar'iyyah dan dasar
'Aqliyyah. Dasar Syar'iyyah memuat Al-Qur'an dan al-Sunnah; sedangkan
dasar 'Aqliyyah merupakan hasil interaksi akal dengan Al-Qur'an dan al-
Sunnah, serta berbagai khazanah historis, sosial, politik hingga pemikiran yang
tercakup dalam peradaban manusia. Dari sini, muncul pemilahan baru bahwa
dasar-dasar Pendidikan Islam terbagi menjadi dua kategori. Pertama, dasar
preskriptif yang bersifat ideal. Kedua, dasar deskriptif yang bersifat
operasional.

6
1. Dasar Preskriptif (Ideal)

Dasar preskritif pendidikan Islam mencakup dasar religius, dasar


yuridis dan dasar filosofis. Dasar religius adalah landasan yang paling
mendasar karena merupakan landasan yang diciptakan oleh Allah Swt.
Wujudnya adalah Al-Qur'an dan al-Sunnah.

Terkait posisi Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai dasar religius;


perlu dipahami bahwa Al-Qur'an dan al-Sunnah tidak "berbicara sendiri".
Keduanya membutuhkan figur manusia yang dapat menafsiri dan
menjelaskan isi Al-Qur'an dan al-Sunnah. Jika Al-Qur'an dan al-Sunnah
berdimensi Ilahiyah, tafsir atau penjelasan isi kandungan Al-Qur'an dan
al-Sunnah berdimensi Insaniyyah karena didasarkan hasil ijtihad. Paparan
di atas dipertegas oleh pandangan Abuddin Nata bahwa sungguh pun Al-
Qur'an berisi petunjuk yang lengkap mengenai kehidupan keduniaan dan
keakhiratan, namun Al-Qur'an "bukanlah kitab yang siap dipakai". Al-
Qur'an membutuhkan keterlibatan penalaran atau ijtihad. Jadi, Al-Qur'an
membutuhkan penjabaran al- Sunnah dan pendapat akal pikiran (ijtihad)
(Abuddin Nata, 2007).

Untuk memahami diskusi ini, lebih dahulu perlu disepakati bahwa


ajaran Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam normatif dan Islam historis.
Islam normatif adalah syariat Islam yang statis dan permanen atau al-
tsawabit dalam bentuk Al-Qur'an dan al- Sunnah. Sedangkan Islam historis
adalah pemahaman terhadap syariat Islam yang didasarkan pada ijtihad,
sehingga sifatnya dinamis dan temporer atau al-mutaghayyirat sesuai
konteks ruang dan waktu.

Adapun rumusan yang mencakup Islam normatif dan Islam


historis, serta selaras dengan tiga jenis dasar preskriptif (religius, yuridis,
filosofis), sehingga relevan untuk dijadikan sebagai dasar ideal pendidikan

7
Islam adalah enam dasar pendidikan Islam yang dikemukakan Sa'id Isma'il
'Ali:

a. Al-Qur'an

Posisi Al-Qur'an sebagai dasar primer pendidikan Islam, selaras


dengan banyak ayat Al-Qur'an dan Hadist. Al-Qur'an berasal dari
Allah Swt. Sebagai Rabb al-'Alamin. Sementara itu, Rabb seakar
dengan kata Tarbiyyah (pendidikan) sehingga relevan untuk
ditafsirkan sebagai "Tuhan Yang Maha Mendidik". Implikasinya,
seluruh isi Al-Qur'an relevan dengan berbagai konteks pendidikan.

Secara historis, Al-Qur'an sudah dijadikan basis (dasar)


keimanan, ibadah, hukum dan perilaku, bahkan batu fondasi bagi
pendidikan Islam sejak zaman Rasulullah Saw. Nabi Muhammad
Saw. Sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam,
juga menjadikan Al-Qur'an sebagai dasar pendidikan Islam di
samping al-Sunnah.

Posisi Al-Qur'an sebagai dasar primer pendidikan Islam,


dipertegas oleh pakar pendidikan Islam, Abdur Rahman Saleh
Abdullah, yang menyatakan bahwa Al-Qur'an mengajarkan kepada
kaum Muslim, suatu pandangan tersendiri tentang kehidupan,
sehingga prinsip- prinsip Al-Qur'an harus menjadi jiwa dan
pembimbing pendidikan Islam. Bahkan kita tidak bisa berbicara
mengenai pendidikan Islam tanpa menjadikan Al-Qur'an sebagai titik
berangkat (Abdur Rahman Saleh, 1991).

Pakar lain, Sa'id Isma'il 'Ali memberi justifikasi yang lebih


komprehensif dalam karya-karyanya, terutama dalam "Al-Qur'an al-
Karim: Ru'yah Tarbawiyyah (Al-Qur'an Perspektif Pendidikan)"
sebagai berikut.

8
Pertama, Al-Qur'an adalah Undang-Undang Pembinaan
Manusia. Al-Qur'an merupakan kitab suci terakhir sehingga memuat
ringkasan pengajaran Ilahiyyah. Al-Qur'an juga memuat syariat yang
berlaku universal bagi seluruh manusia agar meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat, serta menetapkan hukum dan arahan final yang
berlaku lintas ruang dan waktu.

Kedua, Isi Kandungan Al-Qur'an Bersifat Komprehensif. Al-


Qur'an memuat isi kandungan yang luas dan mencakup berbagai
dimensi kehidupan. Secara garis besar, isi kandungan Al-Qur'an ada
lima:

a. Akidah yang wajib diimani;


b. Akhlak terpuji yang mendidik jiwa dan memperbaiki keadaan
individu dan sosial;
c. Arahan untuk mengamati dan men-tadabburi alam semesta agar
mengetahui rahasia ilahi di alam semesta, sehingga memenuhi hati
dengan keimanan atas keagungan allah swt. Berdasarkan
pengamatan dan istidlal, bukan taklid buta:
d. Kisah generasi terdahulu, baik individu, kelompok maupun umat,
sebagai arahan agar mengetahui sunnatullah dalam menghadapi
makhluk-nya yang saleh maupun yang berbuat kerusakan;
e. Hukum praktis yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan,
serta ibadah dan muamalah.

Ketiga, Gaya Bahasa Al-Qur'an Bernuansa Pendidikan. Nuansa


pendidikan dalam uslub (gaya bahasa) Al-Qur'an antara lain:

a. Al- Qur'an tidak hanya mendidik manusia dengan satu metode,


melainkan dengan berbagai metode sesuai situasi dan kondisi;
b. Kefasihan bahasa yang dipakai Al-Qur'an;
c. Gaya bahasa yang bersifat negasi untuk menghapus sikap atau
kepercayaan yang dinilai tidak tepat;

9
d. Gaya bahasa yang keras dan lembut, digunakan sesuai konteks;
e. Gaya bahasa yang ditujukan pada akal dan hati sekaligus sehingga
menghimpun kebenaran sekaligus keindahan;
f. Gaya bahasa yang memadukan ironi sekaligus sarkasme. Jenis
uslub ini ditujukan kepada "musuh-musuh Allah Swt." sebagai
hinaan, semisal menyamakan mereka dengan binatang ternak;
g. Al-Qur'an tidak disusun sistematis dalam artian satu topik tidak
dibahas dalam satu tempat saja. Sistematika Al-Qur'an ibarat
sebuah taman yang tanaman, buah-buahan, dan bunganya tersebar
di berbagai penjuru sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia di
mana pun dia membacanya;
h. Gaya bahasa dapat menggambarkan realitas. Al-Qur'an sering
menggunakan ungkapan yang sesuai dengan realitas bangsa Arab
saat itu sehingga semakin mudah dipahami, semisal istilah-istilah
yang terkait dengan dunia perdagangan, mengingat banyak yang
berprofesi sebagai pedagang.

Keempat, Al-Qur'an adalah Sumber Ilmu Pengetahuan Islam.


Al- Qur'an menyeru manusia agar memberdayakan akal melalui
kategori ayat berikut:

a. Ayat-ayat yang memotivasi nazhar (pengamatan);


b. Ayat-ayat yang mengajak tabashshur (pengamatan rasional), ada 148
ayat;
c. Tadabbur, ada 4 ayat yang semuanya berkaitan dengan tadabbur al-
qur'an;
d. Tafkir, ada 16 ayat yang berkaitan dengan memikirkan segala wujud
yang tampak, baik ayat-ayat kawniyyah (makrokosmos), insaniyyah
(mikrokosmos), maupun dalil atas ketauhidan dan kebenaran risalah
nabi muhammad saw.;
e. I'tibar (mengambil pelajaran atau ibrah dari pengalaman masa lalu),
ada 7 ayat;

10
f. Tafaqquh (pemahaman mendalam), ada 20 ayat;
g. Tadzakkur (mengingat allah swt.), termasuk pemberdayaan akal
tingkat tinggi, setidaknya disebutkan 269 kali.

Jadi, secara normatif, posisi Al-Qur'an sebagai dasar primer


pendidikan Islam selaras dengan kandungan Al-Qur'an dan al-Sunnah.
Secara teoretis, isi kandungan Al-Qur'an sarat dengan nilai-nilai
pendidikan. Secara praktis dan historis, Al-Qur'an sudah diposisikan
sebagai dasar primer pendidikan Islam sejak masa Nabi Saw., saat ini
hingga hari akhir. Secara akademis, para pakar pendidikan Islam
sepakat menempatkan Al-Qur'an sebagai dasar primer pendidikan
Islam.

b. Al-Sunnah

Mengingat Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang


diutus kepada manusia, wajar jika perkataan dan perbuatan beliau
dijadikan arahan bagi pendidikan Islam. Oleh sebab itu, al-Sunnah
merupakan dasar primer pendidikan Islam yang kedua, setelah Al-
Qur'an. Prinsip menjadikan Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai dasar
primer pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran
keimanan, melainkan juga sejalan dengan kebenaran akal dan bukti
sejarah.

Dalam Al-Qur'an, perintah taat kepada Rasulullah Saw. selalu


dikaitkan dengan perintah taat kepada Allah Swt. Akan tetapi, Al-
Qur'an menggunakan dua pola redaksi yang berbeda.

Relasi Al-Qur'an dan al-Sunnah, dipertegas oleh hadis riwayat


Sa'd ibn Hisyam ibn 'Amir ra. yang bercerita:

َ ُ‫فَقُ ْلت‬: ‫ق أَخبريني ْالمؤْ ِمنِينَُ أمُ يَا‬


ُ‫عاشَة أتيت‬ ُِ ‫ل يخل‬
ُِ ‫للاِ َرسو‬ ُْ َ‫قَال‬: َُ‫الخلله كَان‬
ُ ‫ت وسلم عليه للا صلى‬
َُ‫ل ْالق ْرآنَُ ت َ ْق َرأُ أ َ َما الق ْرآن‬
َُ ‫ّللاِ قَ ْو‬
ُ ُ‫عز‬ َ ). ُ‫ق ْلت‬: ‫ن أ ِريدُ فَإِنِي‬
َ ُ‫ع ِظيمُ خلقُ لَعَلَى َو ِإنكَُ( َو َجل‬ ُْ َ ‫ أ‬،َ‫ت أَتَبَثَل‬
ُْ َ‫قَال‬: ‫ل‬
َُ
ُ‫ل فِي لَك ُْم كَانَُ لَقَ ُْد تقرأُ أ َ َما ت َ ْفعَ ْل‬ ُ ‫سنَةُ أَس َْوا‬
ُِ ‫للاِ َرسو‬ َ ‫ج فَقَ ُْد َح‬ ُ ‫ولد َوقَ ُْد وسلم عليه للا صلى‬
َُ ‫ّللاِ َرسولُ ت َزَ و‬
‫أحمد رواه) له‬

11
Saya mendatangi Aisyah ra., lalu berkata: "Wahai Ummul
Mu'minin, mohon ceritakan kepadaku tentang akhlak Rasulullah Saw."
'Aisyah ra. menjawab: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an. Bukankah engkau
membaca firman Allah Azza wa Jalla, 'Sesungguhnya engkau -wahai Nabi
Muhammad Saw- berada di atas akhlak yang agung' (QS Al-Qalam [68]: 4)."
Saya berkata: "Sesungguhnya saya ingin hidup membujang." Aisyah ra.
menjawab: "Jangan berbuat demikian. Bukankah engkau membaca firman
Allah Azza wa Jalla, "Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu ada suri teladan
yang baik bagi kalian' (QS Al-Ahzab [33]: 21), sedangkan Rasulullah Saw.
itu menikah dan memiliki anak". (HR Ahmad).

Hadis ini setidaknya mengandung tiga hikmah. Pertama, Rasulullah


Saw. adalah "Al-Qur'an berjalan" (living Qur'an) karena seluruh isi Al-
Qur'an sudah beliau amalkan. Kedua, Allah Swt. memuji Rasulullah Saw.
secara langsung dalam Al-Qur'an. Ketiga, Rasulullah Saw. sudah dijadikan
sebagai suri teladan oleh para sahabat; bahkan sebelum diangkat menjadi nabi
dan rasul, beliau sudah dikagumi masyarakat, dengan gelar prestisius "al-
Amin" (yang dapat dipercaya).

Dalam karyanya yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ru'yah


Tarbawiyyah (Sunah Nabi Perspektif Pendidikan), Sa'id Isma'il 'Ali
mengidentifikasi sejumlah keteladan pada diri Nabi Muhammad Saw. yang
relevan dengan pendidikan Islam sebagai berikut.

1) Peran geografis: Rasulullah Saw. sedikit sekali dipengaruhi oleh factor


geografis karena langsung dididik oleh Allah Swt. Implikasinya adalah
pendidikan beliau bersifat universal, tidak sekadar sesuai dengan bangsa
Arab semata.

2) Peran biologis: Rasulullah Saw. berasal dari gen unggulan. Gen dari ayah
cenderung aktif, sedangkan gen dari ibu cenderung pasif. Implikasinya
adalah pendidikan Rasulullah Saw. bersifat seimbang. memadukan sikap
aktif seperti etos kerja keras dan sikap pasif seperti sikap pasrah.

12
3) Peran sebagai nabi dan rasul: (a) tabligh (sebagai penyampai). Dalam hal
ini, tugas Nabi Saw. adalah menyampaikan seluruh kandungan Risalah
Ilahi kepada umat manusia, agar pemikiran dan perilaku manusia selaras
dengan Risalah Ilahi; (b) bayan (penjelas). Dalam hal ini, tugas Nabi
Saw. adalah menjelaskan risalah Ilahi yang beliau terima; (c) tasyri'
(sumber syariat). Dalam hal ini, Nabi Saw. membuat syariat "baru" yang
berfungsi sebagai pelengkap. Misalnya, mengharamkan pernikahan
dengan saudara sepersusuan."

4) Peran ujian-cobaan: Rasulullah Saw. mengalami berbagai jenis ujian dan


cobaan (fisik, akal, nafsu, hati), sehingga dapat dijadikan teladan bagi
siapa pun ketika mengalami ujian dan cobaan yang identik.

5) Pendidikan Rabbani: Nabi Saw. dididik langsung oleh Allah Swt.


sehingga beliau menjadi pantulan sejati Al-Qur'an. Ringkasnya, Nabi
Saw. adalah "Al-Qur'an berjalan". Nabi Saw. tidak berkata dan berbuat
yang didasari oleh hawa nafsu, melainkan didasari wahyu ataupun ijtihad
yang benar. Dalam konteks pendidikan Islam, dalil naqli (wahyu) dan
dalil 'aqli (ijtihad) sama-sama digunakan.

6) Berdakwah kepada Allah Swt.: Rasulullah Saw. memenuhi seluruh


kriteria ideal seorang dai. Misalnya, retorika bahasa; kemampuan
melunakkan hati dan meraih simpati; serta memiliki keimanan yang
kokoh. Karakteristik ini dapat dijadikan sebagai teladan, terutama bagi
pendidik.

7) Jihad di jalan Allah Swt.: pada mulanya dakwah Nabi Saw. bersifat
damai; kemudian Allah Swt. mengizinkan perang. Perang dalam Islam
selalu dilandasi etika, terutama kasih sayang. Selain itu, perang pada era
Rasulullah Saw. bersifat Ghazwah, yaitu perang dengan model serangan
kilat dan semaksimal mungkin menghindari korban jiwa. Terbukti,
seluruh perang yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. "hanya"
memakan korban jiwa pada kisaran 1.300-an saja. Oleh sebab itu, segala

13
tindak terorisme, tidak wajar dikait-kaitkan dengan ajaran Nabi Saw.
yang Rahmatan lil 'Alamin.

8) Hikmah keteladanan Nabi: mempelajari Sirah Nabawiyyah dapat


dijadikan sebagai panduan dalam perilaku sehari-hari. Jika orang non-
Muslim saja banyak yang menapaktilasi perilaku Nabi SAW lebih-lebih
umat Muslim. Misalnya, bagaimana tata cara beliau makan, minum,
berpakaian, tidur, salat, berinteraksi sosial, dan sebagainya.

9) Pembinaan generasi penerus: (1) Nabi Saw. menginternalisasikan akidah


dan akhlak (terutama periode Makkah); (2) Nabi Saw.
menginternalisasikan perilaku yang sesuai syariat (terutama periode
Madinah), di samping peningkatan kualitas akidah dan akhlak. Atas
dasar itu, pendidikan Islam bertanggung jawab mendidikkan akidah,
syariat, dan akhlak.

10) Pembinaan umat dan "negara": (1) pendirian masjid sebagai pusat
kegiatan; (2) menjalin ukhuwwah antarelemen umat, misalnya Piagam
Madinah; (3) membangun pasar dan jembatan sebagai sarana dan
prasarana peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi umat; (4) perluasan
area Islam ke seluruh Jazirah Arab. Wujudnya dalam pendidikan Islam
adalah lembaga pendidikan informal, formal, dan nonformal.

Konklusinya, secara normatif, Al-Qur'an memerintahkan umat


Muslim untuk menaati seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.,
termasuk al-Sunnah. Secara teoretis, isi kandungan al-Sunnah sarat dengan
nilai-nilai pendidikan. Secara praktis dan historis, al- Sunnah sudah
difungsikan sebagai dasar primer pendidikan Islam sejak masa Rasulullah
Saw. hingga saat ini dan akan terus berlanjut sepanjang masa. Secara
akademis, para pakar pendidikan Islam sudah sepakat menjadikan al-
Sunnah sebagai dasar primer pendidikan Islam yang kedua, setelah Al-
Qur'an.

c. Aqwal al-Sahabat (Pendapat Para Sahabat)

14
Demikian halnya Al-Qur'an dan al-Sunnah yang merupakan
sumber utama Islam-termasuk pendidikan Islam- tentu membutuhkan
penjelasan dari para sahabat yang pertama kali menerima ajaran Al-
Qur'an dan al-Sunnah, serta mengetahui seluk-beluk yang
mengitarinya. Jika demikian, wajar jika perkataan dan perbuatan para
sahabat dijadikan sebagai dasar acuan dalam memformulasikan
pendidikan Islam. Selain itu, bila Rasulullah Saw. berposisi sebagai
pendidik pertama yang paling agung bagi umat Muslim, sudah pasti
pendidikan beliau membekas ke dalam jiwa raga para sahabat yang
merupakan murid beliau. Dengan demikian, para sahabat dapat
dijadikan sebagai suri teladan dalam konteks pendidikan Islam.

Para sahabat merupakan figur-figur yang menyaksikan secara


langsung turunnya Al-Qur'an dan keadaan yang melingkupinya.
Dengan demikian, mereka lebih memahami nash-nash wahyu
dibandingkan generasi yang lain. Implikasinya, pendapat mereka lebih
patut diikuti. Bahkan kemungkinan besar pendapat mereka termasuk
bagian dari al-Sunnah al-Nabawiyyah karena mereka mengingat
hukum-hukum yang dijelaskan oleh Nabi Saw., namun mereka tidak
menyandarkan hal tersebut kepada Nabi Saw. secara langsung karena
tidak ditanyai tentang hal tersebut. Lebih dari itu, pemikiran sahabat
mengandung sisi Qiyas dan penalaran (ijtihad). Dengan demikian,
pendapat sahabat lebih utama diikuti karena lebih dekat dengan dalil
naqli (wahyu) dan selaras dengan dalil 'aqli (akal).

Para ulama dan cendekiawan Muslim juga sepakat untuk


mengikuti pendapat para sahabat. Di antara mereka adalah Ibnu al-
Qayyim al-Jauzi dan imam empat mazhab. Imam Hanafi ra.
berkomentar: "Jika saya tidak mendapati dalam Kitabullah (Al-Qur'an)
maupun Sunnah Rasulillah (al-Sunnah), maka saya akan mengambil
pendapat salah seorang sahabat yang saya kehendaki dan meninggalkan

15
pendapat sahabat yang saya kehendaki. Saya tidak akan keluar dari
pendapat mereka (dan beralih) pada pendapat selain mereka.

Sa'id Isma'il 'Ali menegaskan kesepakatan para ulama bahwa


pendapat para sahabat tentang suatu hal yang tidak diketahui oleh akal
merupakan hujjah (argumentasi) bagi umat Muslim. Hal ini karena apa
yang mereka katakan itu berasal dari Rasulullah Saw., kendati secara
lahiriah berasal dari perkataan mereka. Kesepakatan (Ijma')- para
sahabat juga menjadi hujjah bagi umat Muslim karena apabila para
sahabat bersepakat atas suatu hal, berarti kesepakatan tersebut pasti
dilandasi dalil qath'i (absolut, pasti).

Konklusinya, secara normatif, Al-Qur'an dan al-Sunnah memberi


keistimewaan para sahabat sebagai generasi terbaik umat Muslim yang
seharusnya dijadikan sebagai suri teladan. Secara teoretis, pendapat
para sahabat dinilai paling dekat dengan kebenaran Al-Qur'an dan al-
Sunnah. Hal ini karena mereka paling memahami konteks situasi dan
kondisi turunnya Al-Qur'an (Asbab al-Nuzul) maupun datangnya al-
Sunnah (Asbab al-Wurud). Secara praktis dan historis, para generasi
setelahnya (Tabi'in; Tabi'it Tabi'in), menjadikan pendapat para sahabat
sebagai pijakan argumentasi. Secara akademis, para pakar pendidikan
Islam sepakat menjadikan pendapat sahabat sebagai salah satu dasar
pendidikan Islam.

d. Mashalih al-Ijtima'iyyah (Kemaslahatan Publik)

Secara normatif, Al-Qur'an menyatakan bahwa risalah yang


dibawa oleh Rasulullah Saw. berfungsi sebagai rahmat bagi semesta
alam atau rahmatan lil'alamin. Hadis juga menegaskan bahwa manusia
yang paling dicintai Allah Swt. adalah manusia yang paling
bermanfaat bagi orang lain

Secara historis, kebijakan yang diambil Rasulullah Saw., para


khulafa’al-rasyidin dan pemimpin umat Muslim yang adil, seluruhnya

16
ditujukan pada kemaslahatan umat Muslim secara khusus, dan umat
manusia secara umum. Hingga muncul suatu kaidah fikih yang
berbunyi:

ْ ‫ِبا ْل َم‬
‫صلَ َح ِِة منوط اإلمام تصرف‬

Artinya: Kebijakan pemimpin itu didasarkan pada kemaslahatan.

Kaidah ini tidak hanya berlaku dalam konteks fikih, melainkan


juga dalam konteks pendidikan Islam. Artinya, kebijakan pendidikan
Islam harus didasarkan kemaslahatan publik. Misalnya, pendidikan itu
harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat; kaya atau
miskin; laki-laki atau wanita; anak-anak atau orang dewasa; dan
seterusnya. Inilah yang diteladankan oleh Rasulullah SAW dan
generasi salafush-shalih.

Sa'id Isma'il 'Ali menyimpulkan beberapa hal terkait Mashalih


al- Ijtima'iyyah. Pertama, maslahat bukan didasarkan hawa nafsu,
syahwat atau tujuan individual. Kedua, menampik mudarat dan
mendatangkan manfaat sudah tercakup dalam kata mashlahah. Ketiga,
seluruh maslahat dalam Islam pasti berkaitan secara eksplisit dan
implisit-dengan pelestarian lima hal pokok: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.29 Lima hal inilah yang kemudian populer
dengan sebutan Magashid Syariah (tujuan-tujuan pokok syariat
Islam).

Selanjutnya, Sa'id Isma'il 'Ali mengajukan sejumlah syarat


terkait Mashalih al-Ijtima'iyyah sebagai dasar pendidikan Islam.
Pertama, maslahat ditetapkan berdasarkan penelitian dan penalaran
bahwa maslahat tersebut adalah riil (faktual), bukan asumtif (dugaan).
Kedua, maslahat selaras dengan tujuan-tujuan syariat Islam secara
umum. Ketiga, maslahat mencakup mayoritas manusia, bukan hanya
segelintir orang,"

17
Agar Mashalih al-Ijtima'iyyah semakin optimal sebagai dasar
pendidikan Islam, perlu diperhatikan beberapa faktor berikut:
Pertama, kebebasan individu harus dibatasi, demi kemaslahatan
publik; dan individu diseru untuk berpartisipasi menciptakan
kemaslahatan publik Kedua, memerhatikan arah perubahan sosial-
masyarakat, seperti jenis profesi, aktivitas ekonomi dan peran sosial.
Ketiga, ada hukuman demi menjaga kemaslahatan."

Konklusinya, secara normatif, Al-Qur'an dan al-Sunnah


menegaskan pentingnya kemaslahatan publik; umat Muslim secara
khusus dan umat manusia secara umum. Secara teoretis, setiap
kebijakan pemimpin, termasuk pemimpin pendidikan Islam, harus
didasarkan pada kemaslahatan publik. Secara praktis dan historis,
kebijakan pendidikan yang didasarkan kemaslahatan publik sudah
diterapkan dan diteladankan oleh Rasulullah Saw., khulafa' al-
rasyidin dan generasi salafush-shalih.

e. Al-Tsaqafah (Peradaban Islami)

Al-Qur'an sering kali menyeru umat Muslim agar belajar dari


sejarah umat masa lalu, seperti kisah para rasul yang sarat dengan
nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan petunjuk bagi umat
Muslim. Rasulullah SAW juga sering menjadikan pengalaman
generasi masa lalu sebagai materi Pendidikan.

Terlebih salah satu tujuan pendidikan adalah transmisi budaya


dari generasi masa lalu kepada generasi masa sekarang. Jadi, sudah
pasti kebudayaan maupun peradaban masa lalu akan selalu dilibatkan
dalam dunia pendidikan. Misalnya, kita mencium tangan orangtua
karena mengikuti kearifan lokal bangsa Indonesia yang sudah
berlangsung sejak zaman dahulu.

Namun demikian, tidak semua budaya pantas dijadikan sebagai


dasar pendidikan Islam. Budaya yang dimaksud hanya terbatas pada

18
budaya terpuji yang populer dengan sebutan "peradaban". Korupsi
adalah contoh budaya, sedangkan literasi (baca-tulis) adalah contoh
peradaban.

Sa'id Isma'il 'Ali mendefinisikan "peradaban" sebagai produk


manusia dari interaksi antaranggota masyarakat dan memenuhi
kriteria tertentu. Hal ini menuntut anggota masyarakat untuk
mengikutinya dalam konteks biologis, sosial, dan ekonomi.
Kemudian, peradaban tersebut diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara terus-menerus. Adapun karakteristik
peradaban diuraikan sebagai berikut:

1) Dapat dipelajari, artinya peradaban merupakan warisan yang


diperoleh manusia dari generasi sebelumnya melalui pendidikan.
Oleh sebab itu, tata arsitektur dan seni Islam yang menghiasi buku-
buku sejarah Islam, serta lembaga-lembaga pendidikan yang
beraneka ragam mulai dari Kuttab, Madrasah, Ribath hingga
perpustakaan merupakan bagian dari peradaban islami yang
dipelajari umat Muslim sepanjang sejarah.

2) Akumulatif, artinya peradaban merupakan akumulasi dari hasil


pemikiran maupun ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi
berikutnya hingga terbentuk peradaban. Misalnya, peradaban
islami pada mulanya hanya terbatas pada pelajaran- pelajaran
agama, lalu meluas dan merambah bidang-bidang keilmuan
lainnya, seperti filsafat, sejarah, geografi, fisika, kimia,
matematika, dan estetika

3) Komplementer, artinya hubungan saling melengkapi antara satu


bagian peradaban dengan bagian lainnya sehingga membentuk
menjadi suatu peradaban yang utuh.

4) Manusiawi, artinya peradaban merupakan hasil produk


kemampuan pemikiran dan perbuatan manusia. Produk manusia ini

19
bersifat dinamis sehingga berbeda dengan produk binatang yang
bersifat statis. Misalnya, bentuk rumah binatang sejak dahulu
hingga sekarang tetap sama, tetapi bentuk rumah manusia selalu
mengalami perubahan dari masa ke masa. 5) Kontinuitas, artinya
peradaban merupakan warisan masyarakat yang diwariskan secara
terus-menerus dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh sebab
itu, suatu peradaban telah melalui waktu yang panjang sehingga
menjelma menjadi adat istiadat atau kepercayaan yang berlaku di
masyarakat.

6) Berubah-ubah, artinya perabadan mengalami perubahan seiring


perubahan masyarakat lintas ruang dan waktu. Artinya, cepat atau
lambatnya perubahan peradaban suatu bangsa tergantung pada
dimensi waktu dan lokasi geografis.

7) Peradaban sebagai model dari realitas, artinya peradaban


merupakan suatu model yang menurut masyarakat wajib diikuti. Di
sisi lain, peradaban tersebut mengaktual dalam bentuk realitas
kehidupan masyarakat sehari-hari.

8) Materiil dan immateriil, artinya hasil peradaban manusia ada yang


berupa materiil-seperti teknologi radio-dan ada yang bersifat
immateriil seperti frekuensi untuk radio.

9) Sosial-masyarakat, artinya peradaban berkaitan dengan kehidupan


sosial-masyarakat, bukan individual. Oleh sebab itu, peradaban
dapat dilihat pada adat istiadat (wrf) dan undang-undang yang
berlaku di suatu masyarakat.

10) Keanekaragaman dalam kesatuan, artinya pada satu sisi peradaban


bersifat universal, namun di sisi lain peradaban bersifat unik. Oleh
sebab itu, sifat peradaban itu beraneka ragam, namun tetap dalam
satu universalitas.

20
11) Penyebaran, artinya peradaban mengalami penyebarluasan dari
satu tempat ke tempat lain sehingga menjadi populer di kalangan
masyarakat yang lain.

Konklusinya, Al-Qur'an dan al-Sunnah menyeru umat Muslim


agar menjadikan pengalaman generasi masa silam sebagai bagian dari
pendidikan. Secara teoretis, pendidikan adalah proses transmisi
kebudayaan dari generasi masa lalu kepada generasi masa kini,
sehingga kebudayaan maupun peradaban selalu dilibatkan dalam
pendidikan. Secara praktis dan historis, peradaban islami yang
mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Umayyah dan
Abbasiyyah merupakan hasil interaksi peradaban islami dengan
peradaban lain, seperti Yunani, Persia, dan India. Atas dasar itu, wajar
jika pendidikan Islam masa kini belajar dari peradaban lain yang lebih
maju.

f. Al-Fikr al-Islami (Pemikiran Islami)

Al-Qur'an berulang-ulang menyeru umat Muslim agar


memberdayakan akal. Uniknya, seluruhnya dalam bentuk kata kerja,
bukan kata benda. Hikmahnya, nilai akal itu tidak terletak pada "otak",
melainkan "fungsionalisasi otak".

Al-Sunnah juga memberi apresiasi kepada orang yang


member- dayakan akal. Misalnya, Rasulullah Saw. bersabda:
"Keutamaan orang alim dibandingkan orang ahli ibadah (yang tidak
alim), bagaikan keutamaank dibandingkan orang yang paling rendah
di antara kalian" (HR al-Tirmidzi).

Pendidikan pun tidak pernah lepas dari pemberdayaan akal.


Guru menyampaikan ilmu sesual kapasitas akalnya, dan murid
memahami ilmu sesuai kapasitas akalnya juga. Di sisi lain, para pakar
tidak pernah berhenti mengajukan pikiran-pikiran yang berguna bagi
peningkatan kualitas pendidikan.

21
Sa'id Isma'il 'Ali mengemukakan bahwa pemikiran islami telah
menyaksikan para filsuf yang memberikan sumbangsih terhadap
pendidikan. Terbukti secara nyata ada filsuf yang meninggalkan
pemikiran pendidikan secara eksplisit maupun implisit. Banyak
pemikiran yang sebaiknya difungsikan sebagai dasar pendidikan
Islam. Mulai dari pemikiran filsuf murni, seperti al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibnu Sina; pakar akidah (matakallimun), seperti Asy'ariyah dan
Mu'tazilah; sufi, seperti Ibnu Arabi, al-Suhrawardi; dan ahli fikih
(fuqaha"), seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.

Selanjutnya, Sa'id Isma'il 'Ali mengajukan empat kategori


pemikiran yang tercakup dalam al-Fikr al-Islami (Pemikiran Islami)
sebagai dasar pendidikan Islam, yaitu filsafat, kalam, tasawuf, dan
fikih

1) Filsafat Islami

Peran filsafat islami sebagai dasar pendidikan Islam tecermin


dari kontribusi pemikiran filsuf Muslim terkait pendidikan Islam,
seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Ikhwanus Shafa. Beberapa
pemikiran Ibnu Rusyd yang relevan dengan pendidikan Islam antara
lain:

a. pentingnya metode empirisme dan logis sebagai sumber ilmu


pengetahuan;
b. syariat (Al-Qur'an-Hadis) membutuhkan penalaran filosofis;
c. kebebasan berkehendak; dan
d. sumbangsih di bidang ilmu kedokteran.

Beberapa pemikiran kependidikan Ibnu Sina antara lain


a. klasifikasi ilmu pengetahuan;

22
b. interelasi antara jasad dan roh sehingga memunculkan konsep
akal praktis ('amali) dan akal teoretis (nazhari), serta
pengetahuan fithriyyah dan muktasabah;
c. konsep pendidikan akhlak;
d. penjenjangan dalam pendidikan; dan
e. kode etik guru.

Beberapa pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa antara lain:

a. metode eksperimen;
b. pentingnya ilmu manhtig (logika);
c. metode kisah dalam skala luas; dan
d. keniscayaan adanya guru.
2) Ilmu Kalam (Akidah)

Kalam adalah ilmu yang membahas tentang hukum i'tiqad


(akidah) yang identik dengan rukun iman. Perdebatan di kalangan
pakar Ilmu kalam ini berujung pada kemunculan beberapa firqah
atau aliran akidah, seperti Mu'tazilah, Asy'ariyyah, dan
Maturidiyyah. Tiap aliran ini memiliki isu yang dapat difungsikan
sebagai dasar pendidikan Islam. Misalnya, aliran Mu'tazilah
menggunakan metode 'aqliyyah (rasional) dalam memahami akidah
Islam, sehingga menomorsatukan sumber akal; di sisi lain aliran
Asy'ariyyah menggunakan metode naqliyyah (wahyu) dalam
memahami akidah Islam, sehingga menomorsatukan sumber wahyu.
Sintesisnya, aliran Maturidiyyah yang menggunakan metode
'agliyyah dan nagliyyah secara proporsional dalam memahami
akidah Islam. Hingga sekarang pun, teori dan praktik pendidikan
Islam selalu memadukan antara metode naqliyyah (wahyu Ilahi)
dengan 'aqliyyah (ijtihad insani).

23
3) Ilmu Tasawuf

Sa'id Isma'il 'Ali mengingatkan bahwa yang dimaksud ilmu


tasawuf sebagai dasar pendidikan Islam, bukan berarti mengambil
seluruh ilmu tasawuf. Sa'id Isma'il 'Ali memiliki keyakinan
mendalam bahwa khazanah keilmuan Islam itu, di samping
memiliki sisi "putih" yang mendatangkan kejayaan, juga memiliki
sisi "hitam" yang menjerumuskan pada keruntuhan. Oleh sebab itu,
yang dimaksud al- Fikr al-Islami sebagai dasar pendidikan Islam
bukanlah mengembalikan seluruh khazanah keilmuan Islam yang
baik maupun yang buruk, melainkan "menghidupkan" khazanah
keilmuan Islam yang bersifat positif." Contoh khazanah ilmu
tasawuf yang berguna bagi pendidikan Islam:

a. Mujahadah al-Nafsiyyah (pembinaan diri);


b. pentingnya etika kepada guru;
c. etika sebagai murid; dan
d. dasar-dasar pendidikan akhlak.
4) Ilmu Fikih

Menurut Sa'id Isma'il 'Ali, kendati ulama fikih tidak secara


langsung membicarakan pendidikan, kontribusi utama yang
diberikan adalah metode penelitian dan pemikiran (ijtihad;
istinbath)." Metode istinbath (penggalian) hukum fikih merupakan
kontribusi nyata ulama fikih dan ushul fikih bagi pendidikan Islam
teoretis maupun praktis. Belum lagi sumber-sumber hukum fikih
dan ushul fikih yang dapat diadopsi sebagai dasar pendidikan
Islam, baik sumber hukum yang disepakati, yaitu al- Quran, al-
Sunnah; maupun yang belum disepakati, seperti Ijma', Qiyas, Qaul
Shahabi, 'Urf, Sadd al-Dzari'ah, Istihsan, Mashlahah al-Mursalah,
Istishhab, Syar'u Man Qablana, 'Amal Ahli Madinah, dan
sebagainya.

24
Konklusinya, Al-Qur'an dan al-Sunnah menyeru umat
Muslim untuk memberdayakan akal yang menghasilkan aneka
jenis pemikiran islami. Secara teoretis, dinamika ruang dan waktu
mengharuskan pakar pendidikan Islam untuk selalu memperbarui
pemikiran kependidikan Islam agar sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupi. Secara praktis dan historis, para filsuf,
ahli kalam, sufi dan ahli fikih, telah memberi kontribusi pemikiran
yang berguna bagi pendidikan Islam pada tataran teoretis maupun
praktis.

2. Dasar Deskriptif (Operasional)

Dasar deskriptif mencakup dasar historis, dasar psikologis, dasar


sosiologis, dasar ekonomis, dan dasar IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi).

Pertama, dasar historis. Landasan sejarah pendidikan yang memuat


beragam informasi tentang kejadian, konsep, teori, praktik, moral, cita-
cita, bentuk, dan sebagainya. Jadi, sebelum menangani pendidikan, ahli
pendidikan terlebih dahulu memeriksa sejarah pendidikan nasional dan
internasional.

Kedua, dasar psikologis. Pendidikan mempertimbangkan aspek


psikologis manusia, yaitu sesuai tingkat pertumbuhan (jasmani) dan
perkembangan (rohani) mereka.

Ketiga, dasar sosiologis. Menyangkut peran sosiologi dalam


membantu realisasi cita-cita pendidikan.

Keempat, dasar ekonomis. Berkenaan dengan peran ekonomi


dalam pendidikan. Misalnya, perkembangan ekonomi makro
berpengaruh pada bidang pendidikan.

Kelima, dasar IPTEK. Di satu sisi, pendidikan berperan penting


dalam pewarisan dan pengembangan IPTEK. Di sisi lain, pada setiap

25
perkembangan IPTEK, perlu diakomodasi oleh pendidikan, semisal ke
dalam bahan ajar." Tampaknya, poin kelima ini perlu ditambah dengan
seni sehingga menjadi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Seni), sebagaimana yang dianjurkan oleh sejumlah pakar. Apalagi zaman
sekarang ini sudah banyak teori dan praktik pendidikan Islam yang
melibatkan seni di dalamnya. Misalnya, seni musik, kaligrafi, arsitektur,
seni lukis, fotografi, teater, dan sebagainya.

Catatan penting terkait dasar deskriptif adalah: Pertama, dasar


deskriptif itu dinamis, sehingga perlu menerapkan prinsip update
(memperbarui) dan upgrade (meningkatkan). Kedua, dasar deskriptif itu
kontekstual sesuai ruang dan waktu, sehingga perlu menerapkan prinsip
memilah (filterisasi) dan memilih (seleksi) yang relevan. Ketiga, dasar
deskriptif itu realistis sesuai keadaan yang sebenarnya (fakta), sehingga
perlu menerapkan prinsip keseimbangan (harmoni) antara idealitas
seperti yang tecermin pada dasar preskriptif dengan realitas seperti yang
tecermin pada dasar deskriptif. Keempat, dasar deskriptif itu alternatif
sesuai pilihan masing-masing orang, sehingga perlu menerapkan prinsip
pragmatisme yang fokus pada kemanfaatan, bukan sekadar kecanggihan.

2.2 Analisis Tafsir Tarbawi


Tafsir Tarbawi QS Al-Ra’d [13] : 17

Seluruh umat Muslim mengamalkan Al-Qur`an secara komprehensif.


Realitanya, umat Muslim bertingkat-tingkat dalam konteks pengamalan Al-
Qur'an. Sebagaimana air hujan yang memenuhi sebuah lembah tergantung
besar kecilnya lembah tersebut. Inilah gambaran Al-Quran tentang respons
manusia terhadap ajaran Al-Quran.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

26
Artinya : Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang
mengambang Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk
membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil.
Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun
yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS Al-Ra'd [13]: 17).

Nilai-Nilai Pendidikan

Pertama, kehidupan manusia mempunyai dua jalur: jalan kebenaran


(haq) dan jalan kesesatan (batil). Membawa kemaslahatan, contoh jalan yang
benar, membawa keburukan, contoh jalan yang salah.Simbolisasi kedua jalur ini
terlihat dalam fenomena sehari-hari, seperti hujan dan pembuatan perhiasan.

Kedua, nilai kebenaran (khususnya Islam, Al-Quran, Hadits) diilustrasikan


seperti air hujan yang jatuh dari langit dan mengalir melalui lembah-lembah
sesuai degan ukurannya masing-masing.

Ketiga, dalam konteks Al-Qur'an, setidaknya ada lima ukuran "lembah":

a) Lembah paling kecil. Orang yang mendengar bacaan Al-Qur'an (QS


Al-A'raf [7]: 204)
b) Lembah ukuran kecil. Orang yang membaca Al-Qur'an secara perlahan
dan fasih melalui tartil (QS Al-Muzzammil [73]: 4) dan qira'ah (QS
Al-Muzzammil [73]: 20)

27
c) Lembah ukuran sedang. Orang yang memahami Al-Qur'an melalui
ingatan (dzikr) berupa tulisan maupun hafalan (QS Al-Hijr [15]: 9),
merenungkan maknanya melalui tadabbur (QS Muhammad [47]: 24).
mempelajari kandungannya melalui tadarus (QS Al-Qalam [68]: 37).
memahaminya sesuai kemampuan melalui tafsir atau ta'wil (QS Ali
'Imran [3]: 7)
d) Lembah ukuran besar. Orang yang mengamalkan Al-Qur'an melalui
pembacaan di hadapan orang lain atau tilawah (QS Al-Naml [27]: 92),
mengajarkan Al-Qur'an kepada orang lain atau ta'lim (QS Al-Baqarah
[2]: 151), dan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup atau
hidayah (QS Al-Isra' [17]:9)
e) Lembah ukuran paling besar. Orang yang membiasakan pengamalan
Al-Qur'an secara utuh (komprehensif), sehingga menjadi akhlak atau
karakter pribadi (living Qur'an). Sebagaimana Nabi Saw. yang
diapresiasi Sayyidah 'Aisyah ra.: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an"
(HR Ahmad).

Keempat, lima golongan itu seperti air hujan yang mengairi tanah
kemudian menanam berbagai tanaman yang dapat diambil manfaatnya,
antara lain Al-Quran sebagai pemberi syafaat (penolong) dan hujjah
(pendebat) di dunia.
Kelima, aliran air hujan pasti disertai buih yang mengapung dan
hanyut bersamanya. Airnya tetap dan bermanfaat, namun buihnya hilang
dan minim manfaat. Sama halnya dengan proses pembuatan perhiasan
melalui pemanasan logam dalam api, lalu terpilah menjadi dua bagian: (a)
logamnya menjadi perhiasan bermanfaat; (b) buihnya menjadi tahi logam
yang minim manfaat.
Keenam, dalam konteks Al-Qur'an, yang tergolong "buih" antara lain:
a) Melalaikan Al-Qur'an (QS Yusuf [12]: 3), seperti mengoleksi
mushaf Al-Qur'an sebagai aksesoris dan tidak dibaca

28
b) Menjauh dari Al-Qur'an (QS Al-Isra' [17]: 41), seperti "risih"
mendengar bacaan Al- Qur'an, bahkan menilainya sebagai "polusi
suara";
c) Mengacuhkan Al-Qur'an (QS Al-Furqan [25]: 30), tidak mau
mendirikan salat, zakat, puasa Ramadan dan haji saat mampu,
meskipun Al-Qur'an memerintahkan semua itu;
d) Membagi-bagi Al-Qur'an sesuai selera pribadi (QS Al-Hijr [15]:
90-91), seperti menerima ajaran Al-Qur'an yang dinilai
menguntungkan (bisnis hijab) dan menolak ajaran Al- Qur'an yang
dinilai merugikan (larangan riba);
e) Membantah Al- Qur'an (QS Al-Kahfi [18]: 54), seperti memprotes
ajaran Al-Qur'an yang dinilai tidak relevan dengan tuntutan
zaman;
f) Mengingkari Al-Qur'an (QS Al-Isra' [17]: 89), seperti orientalis
yang menilai Al- Qur'an adalah bid'ah dari Perjanjian Lama
(Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil);
g) Memprovokasi orang lain agar mengabaikan Al-Qur'an (QS
Fushshilat [41]: 26), seperti mengajak masyarakat berdemo
menolak poligami yang diperbolehkan Al-Qur'an (QS Al-Nisa'
[4]: 3): atau berdemo mendukung legalisasi LGBT dan narkotika
yang diharamkan Al-Qur'an (QS Al-A'raf [7]: 80-81; QS Al-
Ma'idah [5]: 90).

2.3 Rekonsiliasi Pendidikan Islam dan Barat


Sumber ilahi versus sumber insani

Rekonsiliasi antara pendidikan Islam dan Barat. Sumber daya alam


versus sumber daya manusia. Sumber pendidikan Islam terbagi menjadi dua
sumber yaitu sumber jasmani (syari'yyah) dan sumber manusia (agliyyah).
Sumber Ilahi berupa Al-Quran dan Hadits, sedangkan sumber manusia
berupa iftihad. Sumber Ilahi merupakan cerminan dari dimensi normatif
ajaran Islam yang bersifat statis (al-tsawabit), sehingga tidak terkekang oleh

29
perubahan ruang dan waktu. Misalnya saja Al-Quran yang mewajibkan
membaca (QS Al-Alaq [96): Pertama). Ini adalah kewajiban yang berlaku
bagi umat Islam di mana pun dan kapan pun.

Sebaliknya, sumber daya manusia yang mencerminkan dimensi


historis ajaran Islam bersifat dinamis (al-mutaghayvirat), artinya berubah
mengikuti perubahan ruang dan waktu. Misalnya, teknik membaca selalu
mengalami perubahan sepanjang sejarah, sehingga masyarakat dapat
membaca dengan menggunakan teknik skimming (membaca dengan cepat
untuk memahami gagasan umum; misalnya membaca bab dan subbab),
scanning (membaca dengan cepat untuk mendapatkan informasi tertentu;
misalnya melihat ke atas). sebuah terjemahan). suatu kata dalam kamus),
pilih (baca teks bila perlu; misalnya membaca teks dari daftar isi) atau lewati
(baca melewatkan bagian yang tidak penting atau sudah dipahami).

Pentingnya Al-Quran sebagai sumber pertama pendidikan dasar


Islam setidaknya terletak pada tiga peran utama. Pertama, peran “yudisial”
Al-Quran menentukan valid atau tidaknya suatu teori atau praktik
pendidikan, atau baik atau buruk. Artinya jika sesuai dengan Al-Quran maka
hukumnya sah dan dianggap baik sehingga dapat diterima. Sebaliknya jika
bertentangan dengan Al-Our'an maka hukumnya tidak sah dan dianggap
jahat dan harus ditolak.

Kedua, peran “legislatif” Al-Quran memberikan aturan Suatu


“hukum” bersifat universal, yang kemudian dijelaskan dengan aturan-aturan
yang lebih tepat. Misalnya Al-Quran mengatakan bahwa orang tua
bertanggung jawab mendidik keluarganya (OS Al-Tahrim [66]:6). Detil
pelaksanaan tanggung jawab tersebut dapat dilihat pada “aturan” lain seperti
hasil hadis dan itihad para ahli pendidikan Islam. Ketiga, peran “pengatur”
Al-Quran memerlukan nilai-nilai. Nilai-nilai Al-Quran diimplementasikan
dalam pendidikan Islam. Misalnya saja prinsip tauhid, keadilan, toleransi,
kebaikan, kebaikan-kebenaran-keindahan, dan sebagainya.Pada saat yang

30
sama, pentingnya hadis sebagai sumber utama pendidikan Islam yang kedua
juga dapat dilihat melalui tiga peran utamanya:

Yang pertama adalah panduan “teoretis”. Hadits tersebut


memperkaya khazanah teoritis pendidikan Islam melalui jalur Takid, secara
khusus memperkuat kandungan Al. Misalnya, Al-Quran menekankan
pentingnya mencari ilmu; Tabyin, secara khusus menjelaskan isi Al-Quran,
seperti menjelaskan etika akademik; Ta'sis secara khusus membawa
informasi baru yang belum disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an,
seperti pendidikan inklusif.

Kedua, panduan “praktis”. Hadits-hadits tersebut memberikan


nasehat-nasehat praktis yang dapat diterapkan langsung dalam pendidikan
Islam – misalnya metode bercerita, metafora, nasehat, al-targhib wa al-
tarhib hingga contoh yang umum (uswah) yang diberikan Nabi SAW.
seperti ketika mendidik sahabat – atau secara tidak langsung – ada materi
pendidikan tertentu yang diajarkan Nabi SAW, yang harus dijelaskan atau
ditempatkan terlebih dahulu pada konteksnya.

Ketiga, orientasi “metodologis”. Banyaknya kandungan hadis yang


tersebar di banyak kitab hadis besar, khususnya Kutub al-Tis'ah, dapat
memberikan pedoman metodologis bagi umat Islam dalam merumuskan
teori dan praktik pendidikan Islam. Misalnya mengkonstruksi teori
psikologi pendidikan Islam berdasarkan kajian kitab Sahih Bukhari.
Pentingnya jihad sebagai sumber pendidikan menengahIslam dapat diamati
menurut lima fungsi.

Yang pertama adalah fungsi “jelaskan”. Al-Quran butuh mufasir dan


hadis butuh pembicara. Keduanya berperan sebagai “juru bicara” Al-Quran
dan Hadits, melalui mekanisme penerjemahan, penafsiran, dan perluasan
makna.

Kedua, fungsi “dialektis”. Fungsi interpretatif memerlukan fungsi


dialektis yang dapat menjamin dialog antar ayat dalam Al-Quran atau

31
Hadits; antara ayat Al-Qur'an dan Hadits; atau antara ayat-ayat Al-Quran
dan Hadits yang berdimensi transendental dan pendekatan rasional dan
empiris yang berdimensi sekuler, menjadikan teori dan praktik pendidikan
Islam berdimensi ganda.

Ketiga, fungsi “kontekstualisasi”. Teori dan praktek pendidikan


Islam yang berlandaskan Al-Quran dan Hadits selalu bersifat universal atau
umum, oleh karena itu memerlukan proses kontekstualisasi agar relevan
dengan konteks ruang dan waktu yang sebenarnya.

Keempat, fungsi “operasional”. Teori dan praktik pendidikan Islam,


sesuai dengan konteksnya, masih idealis sehingga memerlukan kemauan
profesional untuk benar-benar dioperasionalkan.

Kelima, fungsi “(re)konstruksi”. Evaluasi terhadap efektivitas


penyelenggaraan pendidikan Islam memberikan umpan balik yang dapat
diikuti dengan rekonstruksi di atas “fondasi” yang sama atau dengan
membangun “fondasi” yang berbeda dari sebelumnya.

Pemaparan sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan antara Al-


Qur'an, Hadits, dan Itihad bersifat hierarkis. Jika Al-Quran memberikan
garis-garis besar yang bersifat universal, maka hadis memberikan garis-
garis besar yang bersifat umum. Sedangkan ijihad mengkontekstualisasikan
garis besar Al-Quran dan garis-garis rinci Al-Quran pada tingkat yang
benar-benar lokal. Misalnya, Al-Quran seperti UUD 1945; Hadits itu seperti
undang-undang atau peraturan pemerintah; sedangkan itihad lebih
merupakan implementasi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
pemerintah pada tataran praktis di masyarakat.

Di sisi lain, Al-Quran dan Hadits merupakan sumber pendidikan


Islam yang khas, tertutup dan kebal terhadap hal-hal “asing” di luar Islam.
Sedangkan Ijtihad merupakan pendidikan Islam yang bersifat open source,
sehingga terbuka bagi umat Islam (insider) dan non-Muslim (outsider).
Oleh karena itu, wajar jika teori dan praktik pendidikan Islam menyesuaikan

32
dengan hasil itihad para ahli Islam – seperti ibadah yang menjadi tujuan
utama pendidikan Islam – maupun hasil itihad non Islam – seperti
penggunaan Taksonomi Bloom (kognitif, afektif, psikomotor) dalam
penilaian pendidikan Islam. Oleh karena itu, teori dan praktik pendidikan
Islam itu eksklusif dan inklusif.

2.4 Realisasi Maqashid Syariah


Dasar-dasar pendidikan Islam mencakup seluruh jajaran Magashid
Syariah, bahkan Magashid Svariah sendiri dianggap sebagai landasan
pendidikan Islam, tepatnya berupa al-Mashalih al-Itima' iyyah (objek yang
bermanfaat).

Hifzh al-Din (agama) diwujudkan dengan menempatkan Al-Quran


dan Sunnah sebagai landasan utama pendidikan Islam. Padahal, setiap
lembaga pendidikan Islam harus “beracuan” pada Al-Quran dan Sunnah.
Keutamaan Al-Quran dan As-Sunnah serta prinsip-prinsip dasar pendidikan
Islam lainnya menunjukkan hakikat keagamaan dalam pendidikan Islam.

Hifzh al-Nafs (fisik-psikologis) dilakukan atas dasar psikologis.


Artinya teori dan praktik pendidikan Islam harus memperhatikan
perkembangan fisik dan psikis manusia. Misalnya, pendidikan Islam
membedakan pendidikan anak yang belum matang (dewasa, matang
jasmani dan rohani, matang psikis) dengan pendidikan orang dewasa yang
matang. Anak-anak dididik menurut model pendidikan pedagogi,
sedangkan orang dewasa dididik menurut model pendidikan protes.

Hifzhal-"'Agl (kebijaksanaan) diwujudkan atas dasar al-Fikr al-


Islami dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika al-Fikr al-Islami adalah
norma yang idealis, maka ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat
paradigmatik. Deskripsi kegiatan. Misalnya, al-Fikr al-Islami meminta
metode observasi, sedangkan IPTEKS menyediakan teropong untuk
teleskop untuk memudahkan observasi. Di samping itu,

33
Jtihad memahami Al-Qur'an dan Sunnah juga tergolong Hifzh al-
'Aql. Misalnya Tafsir Tarbawi dan Hadis Tarbawi yang merupakan produk
itihad terhadap Al-Qur'an dan Sunnah dari sudut pandang pendidikan Islam.

Hifzh al-Nasl (masyarakat) dilaksanakan atas dasar al-Mashalih al-


litima' iyyah (kepentingan umum), al-Isagafah al-Islamiyyah (peradaban
Islam), sejarah dan sosiologi. Landasan al-Tsagafah al-Islamiyyah dan
sejarah sama-sama menekankan pada kelangsungan suatu kebudayaan dari
generasi ke generasi; Pada saat yang sama, al-Mashalih al-litima'iyyah dan
prinsip-prinsip sosiologi sama-sama menekankan pentingnya interaksi yang
harmonis antar ulama dan antara ulama dengan pemangku kepentingan,
seperti masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Hifzh al-Mal (ilmu ekonomi) dilaksanakan atas dasar ekonomi


dengan mengambil kondisi perekonomian sebagai acuan kebijakan
pendidikan Islam. Misalnya saja pemberian BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) dan BIDIKMISI (Biaya Pendidikan Siswa Miskin) yang
digalakkan oleh pemerintah. Demikian pula dengan program hibah
penelitian dan beasiswa bagi dosen dan tenaga kependidikan yang
diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Agama, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Hifzh
al-'Irdh (keberhasilan) dicapai dalam melaksanakan fasilitas yang telah
ditentukan dan diuraikan secara istikamah, yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam. Misalnya,
munculnya perguruan tinggi Islam, universitas, dan pesantren mendapat
kepercayaan dari civitas akademika dan pemangku kepentingan, seperti
masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

34
BAB III

KESIMPULAN

Dari materi ini dapat disimpulkan bahwa Dasar-dasar pendidikan islam


memiliki fungsi untuk memberikan arah tujuan yang hendak dicapai sekaligus
sebagai landasan berdirinya sesuatu dasar. Dasar pendidikan Islam tidak
didasarkan pada falsafah hidup suatu negara, melainkan falsafah hidup umat
Muslim. Dasar pendidikan Islam menjadi dua kategori, yaitu dasar Syar'iyyah
(Al-Qur'an dan al-Sunnah ) dan dasar 'Aqliyyah (historis, sosial, politik hingga
pemikiran). Muncul pemilahan baru bahwa dasar-dasar Pendidikan Islam
terbagi menjadi dua kategori dasar preskriptif (ideal) dan dasar deskriptif
(operasional). Tafsir Tarbawi surat Al-Rad ayat 17 Ayat yang mulia ini
mengandung dua buah perumpamaan yang dibuat untuk kebenaran yang akan
tetap kukuh dan langgeng, dan kebathilan yang pasti akan hilang dan musnah.
Adapun Rekonsiliasi antara pendidikan Islam dan Barat. Sumber daya alam
versus sumber daya manusia. Sumber pendidikan Islam terbagi menjadi dua
sumber jasmani (syari'yyah) dan sumber manusia (agliyyah). Sumber Ilahi
berupa Al-Quran dan Hadits, sedangkan sumber manusia berupa iftihad.
Terakhir Realisasi Maqashid Syariah meliputi agama, fisik-psikologis,
kebijaksanaan, masyarakat, dan ilmu ekonomi.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, 2007. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana, hlm. 293.

Abdur Rahman Saleh Abdullah, 1991. Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
Al-Quran. Bandung: CV. Dipenogoro, hlm. 102-105.

Aly Said Ismail, 2007. Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah. Kairo: Dar Assalam.

Majid Zaki al-Jallad, 2004. Tadris al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: al-Asas al-


Nazhariyyah wa al-Asalib al-Amaliyyah. Beirut: Dr al-Masirah.

Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, hlm. 121.

Rosidin, 2019. Ilmu Pendidikan Islam: Berbasis Maqashid Syariah dengan


Pendekatan Tafsir Tarbawi. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.

Sa’id Isma’il Ali, 1992. al-Ushul al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah. Kairo, Dar al-Fikr
al-Arabi.

36

Anda mungkin juga menyukai