Ulumul Hadis (Aspek Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis)
Ulumul Hadis (Aspek Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis)
DAN AKSIOLOGIS)
MAKALAH
OLEH:
ARSIL T., S.I.P
NIM: 80100221144
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala karunia dan nikmatnya,
sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah
yang berjudul “Ulumul Hadis (Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)”
disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadis yang
Diampu Oleh Bapak Dr. M. Rusdi, M.Ag.
Makalah ini berisi tentang pengertian Ulumul Hadis baik secara bahasa
maupun istilah, kemudian ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya. Dalam penyusunannya melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam
kampus maupun luar kampus. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih atas segala kontribusinya dalam membantu penyusuanan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) merupakan salah satu bidang ilmu yang penting
di dalam Islam, yang sangat diperlukan dalam mengenal dan memahami Hadis-
Hadis Nabi SAW. Hadis ialah sumber ajaran dan hukum Islam kedua, setelah dan
berdampingan dengan Al-Qur’an. Penerimaan Hadis sebagai sumber ajaran dan
hukum Islam adalah merupakan realisasi dan iman kepada Rasulullah SAW. dan
dua kalimat syahadat yang diikrarkan oleh setiap Muslim, selain karena fungsi dari
hadis itu sendiri, yaitu sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
yang bersifat umum; penjabaran dan petunjuk pelaksanaan dari ayat-ayat Al-
Qur’an, terutama yang menyangkut tata cara pelaksanaan berbagai ibadah yang
disyari’atkan di dalam Islam; dan sebagai sumber hukum dalam menetapkan dan
perumusan hukum, khususnya terhadap masalah-masalah yang dibicarakan secara
global oleh Al-Qur’an, atau permasalahan yang tidak dibicarakan sama sekali
hukumnya oleh Al-Qur’an.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan tiga rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam perspektif
Ontologis; pengertian dan perbedaan pandangan Ulama Hadis?
2. Bagaimana penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam perspektif
Epistemologis; cabang-cabang Ilmu Hadis dan sejarah perkembangannya?
3. Bagaimana penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam perspektif
Aksiologis; manfaat dari cabang-cabang Ilmu Hadis?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka penulis
merumuskan tiga tujuan penyusunan makalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam
perspektif Ontologis; pengertian dan perbedaan pandangan Ulama Hadis.
2. Untuk mengetahui penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam
perspektif Epistemologis; cabang-cabang Ilmu Hadis dan sejarah
perkembangannya.
3. Untuk mengetahui penjelasan Ulumul Hadis (Ilmu Hadis) dalam
perspektif Aksiologis; manfaat dari cabang-cabang Ilmu Hadis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan
Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para
perawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu
mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai
satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan
dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis,
sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul
Hadis, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad
atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz
tersebut dari maknanya yang pertama-beberapa (beberapa ilmu yang terpisah)
menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah
Mushthalah al-Hadis. Para ulama yang menggunakan nama Ulum Al-Hadis di
antaranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi, Ibnu al-Shalah dan Ulama
kontemporer seperti Zhafar Ahmad bin Lathif al-Utsmani al-Tahanawi dan
Shubhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa Ulama yang datang setelah Ibnu al-
Shalah, seperti Al-Iraqi dan Al-Suyuthi menggunakan lafaz mufrad yaitu Ilmu
al-Hadis di dalam berbagai karya mereka. (Nawir Yuslem, 2001: 3).
4
Ulama Mutaakhirin sepakat berpendapat bahwa pokok bahasan dalam Ulumul
Hadis adalah seputar permasalahan tentang matan dan sanad Hadis. Adapun
perbedaannya tidak lain disebabkan karena dikalangan Ulama Mutaakhirin
kemudian memunculkan suatu ilmu baru yang beridir sendiri dan
mengonsentrasikan pembahasannya terhadap suatu masalah tertentu yakni
bagaimana cara menerima, menyampaikan, memindahkan suatu Hadis kepada
orang lain. Ilmu Hadis ini kemudian dikenal dengan nama Ilmu Hadis Riwayah.
(Ranuwijaya, 2001: 74).
5
Hadis Nabi SAW dan 2). Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk
penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW. masih
hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan Hadis itu
sendiri. Para Sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi
terhadap Hadis Nabi SAW. Mereka berupaya untuk memperoleh
Hadis-Hadis Nabi SAW dengan cara mendatangi majelis-majelis Rasul
SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang
disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga
kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk secara
bergantian menghadiri majelis Nabi SAW tersebut, manakala diantara
mereka ada yang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh
Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta seorang tetanggaku dari
kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah bin Zaid, secara bergantian
menghadiri majelis Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila
giliran dia hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama”. (Nawir
Yuslem, 2001: 6).
6
mengatakan: “Manakala kami berada di majelis Nabi SAW kami
mendengarkan Hadis dari beliau; dan apabila kami berkumpul sesama
kami, kami saling mengingatkan (saling melengkapi) Hadis-Hadis yang
kami miliki sehingga kami menghafalnya”. (Nawir Yuslem, 2001: 7).
Apa yang telah dimiliki dan dihafal oleh para Sahabat dari
Hadis-Hadis Nabi SAW, selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat
hati-hati kepada Sahabat lain yang kebetulan belum mengetahuinya,
atau kepada para Tabi’in. Para Tabi’in pun melakukan hal yang sama,
yaitu memahami, memelihara dan menyampaikan Hadis-Hadis Nabi
SAW kepada Tabi’in lain. Hal ini selain dalam rangka memelihara
kelestarian Hadis Nabi SAW, juga dalam rangka menunaikan pesan
yang terkandung di dalam Hadis Nabi SAW:
صلى هللا عليه وسلم- سمعت رسول هللا: قال-رضي هللا عنه- عن ابن مسعود-
ٍ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أوْعَى مِن سَامِع،ُ فَبَلَّغَهُ كما سَمِعَه،نَضَّرَ هللاُ امْرَأً سَمِع مِنَّا شيئا: «يقول
7
Hadis-Hadis Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku
mereka pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para Ulama
yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah
tidak banyak berkembang lagi. Berbeda halnya dengan Ilmu Hadis
Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan
dengan perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam Ilmu Hadis.
Dengan semikian, pada masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan
dan pengkajian tentang Ilmu Hadis, maka yang dimaksud adalah Ilmu
Hadis Dirayah, yang oleh para Ulama Hadis disebut juga dengan Ilmu
Mushthalah al-Hadis atau Ilmu Ushul al-Hadis.
Dan Ilmu Hadis yang khusus tentang dirayah adalah: “ilmu yang
bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-
macam dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat
mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala yang berhubungan
dengannya”.
(Abu Zahrah, 1989: 9)
Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh Imam
al-Suyuthi dalam Yuslem (2001: 12) yaitu:
8
Syarat-syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap
apa yang diriwayatkan dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam
penerimaan Riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’
(perawi mendengar langsung Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid
membacakan catatan Hadis dan gurunya di hadapan guru tersebut),
ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu
Hadis dari seorang Ulama tanpa dibacakan sebelumnya), munawalah
(menyerahkan suatu Hadis yang tertulis kepada seseorang untuk
diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), i’lam
(memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah
koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi Hadis
yang dimilikinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang
Hadis dari seorang guru).
9
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk
mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat
diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang
ditolak).
10
Dalam catatan sejarah perkembangan Ulumul Hadis diketahui,
bahwa Ulama yang pertama kali menyusun Ilmu Hadis dalam sutau disiplin
ilmu secara lengkap adalah seorang Ulama Sunni Bernama Al-Qodhi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Andurrahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi.
Kitabnya diberi nama al-Muhaddis al-Fasil al-Wa’i. Kitab ini belum
mencakup seluruh Ilmu Hadis, namun meskipun demikian kitab ini pada
masanya merupakan kitab terlengkap yang kemudian dikembangkan oleh
para Ulama berikutnya. (Ranuwijaya, 2001:88).
11
Dari penjelasan tersebut dapat difahami bahwa sejarah Ulumul
Hadis sudah dimulai sejak zaman para sahabat, setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia, walaupun pada masa tersebut Ilmu Hadis belumlah
disusun dalam bentuk buku. Selanjutnya mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan zaman, sebagai bentuk penyempurnaan sekaligus
jawaban atau sanggahan dari fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang yang
memusuhi Islam dan ajarannya.
12
8. Kita dapat terhindar dari kebongan riwayat-riwayat yang bukan
datangnya dari Nabi ataupun para Sahabat.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pokok permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa Ulumul Hadis ditinjau dari aspek antologisnya adalah merupakan
kumpulan dari beberapa ilmu-ilmu Hadis yang pernah berdiri sendiri pada
masa Ulama Mutakaddimin, lalu kemudian dijadikan sebagai suatu
disiplin ilmu pengetahuan yang disebut Ulumul Hadis.
2. Bahwa Ulama Mutaakhirin secara umum membagi Ulumul Hadis kepada
dua bagian yaitu Ilmu Dirayah Hadis (Ilmu Hadis Dirayah) dan Ilmu
Riwayah Hadis (Ilmu Hadis Riwayah).
3. Manfaat mempelajari ilmu-ilmu Hadis sangatlah banyak, diantaranya
adalah menghindari adanya penuklikan Hadis yang salah dari sumber
pertamanya yaitu Nabi SAW serta bagaimana mempertahankan Hadis-
Hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum kedua bagi Umat Islam, dari
serangan orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi SAW beserta
ajaran-ajarannya.
B. Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya
diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca
dalam memahami tentang Ulumul Hadis dari segi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis. Terkhusus nagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang
sedang mengkaji tentang Ulumul Hadis. Dan lebih khusus lagi bagi para
pendidik yang mengajarkan Ulumul Hadis, sehingga bisa mengenalkan Hadis
secara menyeluruh lewat Ilmu Hadis.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr Al-Arabi, 1989.
Bandung, 2000.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi. Ed. Sidqi
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Cet. IV; Gaya Media Pratama: Jakarta 2001.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Edisi 1-4, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. PT. Mutiara Sumber Widya: Jakarta, 2001.
15