net/publication/361738619
CITATIONS READS
0 1,002
8 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Andi Ulil Albab on 04 July 2022.
12110314094@students.uin-suska.ac.id
12110313937@students.uin-suska.ac.id
A. PENDAHULUAN
Hadis adalah segala sesuatu yang sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqri>r) dan sifatnya.1 Secara
sturuktural, hadis atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alquran. Dalam fungsinya, hadis juga memperjelas, merinci, bahkan membatasi
pengertian lahir dari ayat-ayat Al-quran yang masih mujma>l, memberikan
taqyi>d ayat-ayat Alquran yang masih mut}laq dan memberikan takhs}i>s} ayat
Alquran yang masih umum.
Puji dan syukur dengan tulus dipanjatkan ke akhirat Allah Swt. Karena berkat
taufik dan hidayat-Nya, makalah Metodologi Studi Islam selesai.Selawat serta
salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar Muhammad
Saw. Beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia Agama yang disampaikan oleh Allah kepada
Rasul-Nya, Muhammad Saw.
Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah
Metodologi Studi Islam dengan bahan kajian yang berjudul “Penerapan Metode
1
Pemahaman Kontekstual Hadis” Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami. Dan kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
selama pembuatan makalan ini berlangsung
Kini telah berusia hampir lima belas abad lamanya, dan kian hari terasa samakin
dibutuhkan oleh umat manusia yang mendambakan kehidupan yang tertib,
aman, dan damai. Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa buku ini masih
jauh dari sempurna baik dari segi isi,metodologi penulisan, maupun analisisnya.
Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnaan buku ini akan
disambut dengan senang hati.
Al-quran dan sunah diberikan untuk pemahaman moral secara bijaksana dan
untuk dilaksanakan tetapi Konsekuensi digunakannya metode hermeneutika
adalah kita tidak boleh hanya menggunakan perangkat keilmuan tradisional
seperti ilmu nah}wu, s}araf, us}u>l fiqh, dan bala>ghah, tetapi diperlukan juga
perangkat ilmu-imu lain seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu dan
sejarah.Beberapa tokoh muslim yang memberikan perhatian besar pada disiplin
ilmu interpretasi ini ialah Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Sayyed Hossein,
Hasan Hanafi, Nasr Hammid Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Dari sekian
tokoh tersebut, Fazlur Rahman merupakan seorang pembaharu Muslim yang
liberal-reformatif. Hal ini terbukti dengan banyaknya tulisan artikel di berbagai
jurnal internasional, ensiklopedi, dan buku-buku suntingan. Tiga karya
utamanya ialah: The Philosophy of Mulla Shadra (1975), Major Themes of The
Qur’an (1980), dan Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual
Tradition (1982).
Islam Nusantara merupakan istilah yang unik karena memiliki karakter khas
yang membedakan Islam di daerah lain. Penyebabnya adalah adanya perbedaan
sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang
dipijaknya. Selain itu, menurut Azyumardi Azra,Islam yang datang ke nusantara
juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri. Kesiapan dimaksud adalah:
Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tidak dilawan tetapi
mencoba diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua,
Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apa pun, sehingga bisa
1
Zul Helmi, ‘Konsep Khalifah Fil Ardhi Dalam Perspektif Filsafat: Kajian Eksistensi Manusai Sebagai
Khalifah’, Intizar, 24.1 (2018), h, 37–54.
2
hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang memilih tradisi yang
sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai
agama2. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga
hadirnya Islamdi nusantara ini memiliki pengaruh besar dan mendalam
terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
saw. tatkala hadis itu diucapkan, yaitu suasana dan kejadian yang
dihadapi oleh dan terjadi pada masa Nabi saw. dan sahabat-sahabatnya.
Suasana pada masa Nabi saw. hidup kemungkinan berbeda dengan
suasana yang dihadapi umat Islam setelah beliau wafat. Demikian juga
kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa Nabi saw3.
Selain itu, dalam pemahaman kontekstual hadis, hal yang penting untuk
dipertimbangkan adalah eksistensi Nabi Muhammad saw. sendiri ketika
menyampaikan suatu hadis. Beliau, selain sebagai Rasulullah, oleh Al-
Quran juga disebut sebagai manusia biasa. Dalam Sirah-nya tampak jelas
bahwa beliau hidup dalam berbagai fungsi, antara lain sebagai pemimpin
masyarakat, panglima perang dan hakim. Dalam pada itu, pemahaman
hadis secara kontekstual dilakukan bila di balik teks hadis itu ada
petunjuk yang kuat mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami
dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya4.
2
Abdul Halim (editor), Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 104.
3
Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz IX, (Tunisia: Dar al-
Thunisiayah, 2000), h. 165.
4
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam h.14
3
dengan ayat atau hadis lainnya, ternyata hadis tersebut tidak
bertentangan, dan bahkan sejalan dengan ruh syari’at yang memang
demikian seharusnya. 5
2. Pertautan antara satu hadis dengan yang lainnya, khususnya mengenai
hadis yang senada. Dengan cara ini dapat dimengerti maksud hadis
dengan lebih jelas dan tidak ada pertentangan yang substansial di antara
hadis-hadis tersebut.Usaha ini akan memudahkan mengetahui maksud
yang sebenarnya, karena dalam keadaan yang demikian, dapat disusun
kronologi pengungkapan hadis.
3. Sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya sebuah
hadis atau kaitannya dengan satu ‘illat atau alasan tertentu, yang
dinyatakan dalam hadis bersangkutan atau disimpulkan darinya.
Dasarnya adalah indikasi yang mendukung ataupun yang dapat dipahami
dari kejadian yang menyertainya. Ada beberapa hadis yang secara sepintas
tampak umum, tetapi setelah dikaji secara seksama, ternyata ada ‘illat
hukum yang menyertainya. Dengan demikian, illat itulah yang sebenarnya
menentukan. Selama illat itu ada, selama itu pula hukum yang
bersangkutan berlaku. Dan sebaliknya, ketika illat itu hilang, maka
hukum itu pun tidak berlaku lagi.hukum itu mengikuti
6illatnya),demikian kaidah usul mengatakan. Oleh karena itu, harus
diperhatikan kondisi yang melingkupi serta tempat dan untuk tujuan apa
hadis itu dimunculkan. Hal ini dikarenakan sebagai mana yang diyakini
umat, bahwa hadis membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan
berbagai problem, baik yang bersifat lokal, partikular maupun temporal
di samping yang berkenaan dengan hal yang khash dan terinci yang tidak
terdapat dalam Al-Quran.
5
J16MSI, h.159-160
6
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-
Afaq al-Jadidah, t.th), Juz VIII, Hadis no: 6932.
77
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz II, (t.tp.: Dar Thuq al-
Najat, t.th), h. 62.
4
situasi ketika hadis itu diucapkan dan kepada siapa pula hadis itu
ditujukan. Hadis Nabi saw. hendaknya tidak ditangkap makna dan
maksudnya hanya melalui redaksi lahiriahnya tanpa mengaitkannya
dengan aspek-aspek kontekstualnya.
Dalam hal kontak atau interaksi, secara historis pula kampung pekaten
berideologikan Muhammadiyah yang digagas oleh tokoh reformis Ahmad
Dahlan. Beliau sendiri pernah belajar lama di Makkah sehingga sangat
8
Al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz XI, 280
9
Enoh, Konsep Baik (Kebaikan) Dan Buruk (Keburukan) Dalam Al-Qur’an, Jurnal Unisba, Vol. XXIII No. 1,
(2007), h.29
5
dimungkinkan dan bisa dipastikan bahwa hal-hal yang ia dapatkan di
Mekkah akan diterapkan di Indonesia.
Secara sosiologis, puasa tersebut lahir dari dua proses penting, yaitu
interaksi yang mengindikasikan adanya kontak antara individu ataupun
kelompok dan hubungan saling mempengaruhi antara keduanya.
Sehingga dari dua hal tersebut, pengetahuan bisa ditransfer hingga
membentuk pola kehidupan masyarakat atau menjadi fenomenologi yang
berbeda dengan kampung lain pada umumnya.
10
Metode Studi Islam, h.43
11
Endang Syaifuddin, wawasan islam, h.59-61
6
yang membuat semua orang berkumpul untuk melakukan interaksi
sosial.12
Tradisi puasa Senin-Kamis dan buka bersama ini tentu tidak hanya
dilakukan di situ saja, mungkin masih banyak tempat lain yang juga
12
Manusia dan Alam Semesta, h.68
13
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta. 1990, h.81
14
Atang Abd, h. 122
7
sebagaimana hadis yang diriwayatkan imam muslim yang bersumber dari
Abu Hurairah
“Pintu surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Setia hamba yang tidak
berbuat syirik pada Allah sedikit pun akan diampuni (pada hari tersebut)
kecuali seseorang yang memiliki percekcokan (permusuhan) antara
dirinya dan saudaranya. Nanti akan dikatakan pada mereka, akhirkan
urusan mereka sampai mereka berdua berdamai, akhirkan urusan mereka
sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim)
Kita ketahui bahwa perintah Nabi Muhammad Saw tidak selalu murni
urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau budaya
setempat. Jika dibaca dan dipahami secara utuh, hadits-hadits tersebut
berbicara dalam konteks untuk tampil berbeda dengan orang-orang
15
J14MSI, H.55
8
musyrik maupun majusi. Meskipun hadits ini menggunakan kata
perintah, tetapi tidak serta merta hadits tersebut menunjukkan sebuah
kewajiban untuk memelihara atau memanjangkan jenggot serta
kewajiban untuk mencukur kumis16.
Hal ini merupakan sunah Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar.
Artinya: "Potonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang," (HR
Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: "Berbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan
biarkan jenggotmu panjang,” (HR Muslim).
16
Nahdi, Maize Said. Konservasi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Hutan
Tropis Berbasis Masyarakat. Jurnal Kaunia, Vol.4, No.2; hlm 159-172, 2008
17
Asdelima Hasibuan
18
Hafsin, Abu. 2007.Islam dan Humanisme: Akulturasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta : IAIN Walisongo dengan Pustaka Pelajar
9
Menurut seorang ulama bernama Iyadh, mencukur jenggot itu hukumnya
makruh, tetapi apabila mencukurnya karena jenggot itu telah tebal dan
mengganggu pemiliknya maka itu suatu hal yang baik 19.
19
Watsiqotul, Sunardi, Leo Agung
20
Murthada Muthahhari, Perspektif Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,1990), cet.V,
h.65.
21
Musa Asy’ari: Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992) cet. I, h.34-35
10
dilihat bahwa illat membiarkan jenggot itu bukan hanya menyelisihi
orang-orang musyrik, tetapi juga kesesuaian terhadap fitrah.
Pada masa sekarang ini banyak para muslimin yang enggan untuk
memelihara jenggot, baik itu orang tua maupun muda. Para muslimin
pada masa kini lebih memilih memelihara kumis sebagai cara untuk
menunjukkan kedewasaannya. Hal ini berbeda dengan zaman Rasulullah,
memelihara jenggot dilakukan dengan alasan yang pertama secara
lahiriyyah, yaitu meneladani Rasulullah pada sesuatu yang kasat mata
misalnya Rasulullah memelihara jenggot maka kitapun dengan bangga
dan sukarela meniru memelihara jenggot, bahkan gaya rambut, cara
berjalan, gaya bicara, cara berpakaian, bahkan sampai cara makan dan
minum Rasul. Kedua secara batiniyyah, yaitu kita meneladani Rasulullah
dalam aspek etika, karakter, kepribadian, sikap dan perilaku.22
22
J13MSI
23
J5MSI
11
َُّ َ ل أ
ُن َحدَّث َ ُك ُْم َم ْن َُ سو َُِّ صلَّى
ُ ّللا َر ُ ل َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه
َ ُللا ُ َ َص ِدقُوهُ؛ ف
َُ ل قَا ِئ ًما َبا َ ُ ن َما ت ُ َّ َجا ِل ًسا ِإ
ُُ ال َيبُو
َُ ل كَا
Hal ini karena ketika buang air kecil sambil berdiri kemungkinan besar
akan menyebabkan terperciknya air kencing ke badan atau ke pakaian 24.
Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil
berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
ص َّلى َوال َّنبِيُ أَنَا َرأ َ ْيت ُ ِني َ ُللا ُ نَت َ َماشَى َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه، ط ُةَ َفأَت َى َ سبَا َُ َحائِطُ خ َْل، ام
ُ ُف َق ْوم َُ َيَقُو ُُم َك َما فَق
أ َ َحد ُ ُك ُْم، ل
َُ فَ َبا، ُُم ْن ُهُ فَا ْنت َ َبذْت، َُ ي فَأَش
ِ َار َُّ َُفَ ِجئْت ُ ُهُ ِإل، ُُفَ َرغَُ َحتَّى َع ِقبِ ُِه ِع ْن ُدَ فَق ُ ْمت
24
M.Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, Bandung, 1985), h. 344.
25
Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), hal. 67
12
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala
menjelaskan bahwa terdapat dua syarat ketika buang air kecil sambil
berdiri, yaitu: (1) aman dari terkena percikan air kencing; dan (2) aman
dari dilihat orang lain. (Syarhul Mumti’, 1: 92)
Sering kita jumpai tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang
disediakan di fasilitas umum, dalam kondisi berjejer di toilet dan
disediakan untuk kaum laki-laki. Fasilitas semacam ini tentu bermasalah,
karena belum memenuhi persyaratan ke dua yang disebutkan oleh Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala di atas.
Di antara adab yang perlu diperhatikan ketika buang air kecil adalah
menjauh dari pandangan orang lain. Yang menjadi kewajiban adalah
menjaga tertutupnya aurat, dan disunnahkan (dianjurkan) untuk
menutupi semua anggota badan dari pandangan orang lain 26.
Adab semacam ini tidaklah bisa kita laksanakan ketika buang air kecil di
urinoir tersebut, karena tidak ada sekat antara urinoir satu dengan yang
lainnya. Kalaupun ada sekat, sekat tersebut sangat pendek (rendah).
Sehingga kita masih bisa melihat orang lain yang sedang buang air kecil.
26
Pengantar Studi Islam
27
Al-Qur'an
13
Islam ketika buang air kecil, mengingat pengguna fasilitas umum tersebut
tentunya mayoritasnya adalah umat Islam 28.
Salah satu adab dalam buang hajat adalah melakukannya dengan cara
duduk, baik ketika membuang air kecil ataupun air besar. Buang hajat
dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak dibenarkan
oleh syariat. Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:
Dalam hadits yang lain, Rasulullah secara tegas melarang kencing dengan
cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang tercantum dalam hadits
riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:
ُُ سو
ل نَ َهى ُ ّللا َر ُْ َ ل أ
َُِّ -وسلم عليه للا صلى- ن َّ قَائِ ًما
ُُ الر ُج
َُ ل َيبُو
“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan
perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing
dengan berdiri sejak aku masuk Islam’30. Namun kencing dengan berdiri
tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi
Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik)
sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,”
(Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2,
hal. 158). Hadits yang menjadi pijakan tidak makruhnya kencing dengan
28
J14MSI, H.51
29
Atang Abd, h. 105-106
30
hmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum,
Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, 1994, hal. 77
14
cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif dengan
hadits ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa
Rasulullah pernah kencing dengan berdiri. Dalam menyikapi hal ini,
tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu
Hajar al-Haitami dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari:
منه وقع ما على فيحمل علمها إلى مستند أنه عائشة حديث عن والجواب منسوخ غير أنه والصواب
عليه هي تطلع فلم البيوت غير في وأما البيوت في
“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidaklah
di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadits
‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan
pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW).
Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di
selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu
Hajar al-Haitami, Fath al-Bari, juz 1, hal. 330). Maka dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hukum kencing dengan cara berdiri adalah
perbuatan yang dimakruhkan, selama hal tersebut tidak dilakukan karena
terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan
(masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri31.
Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya sebisa mungkin bagi kita
untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain karena uzur,
meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing yang
menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. 32
ُُ سو
ل نَ َهى ُ ّللا َر ُْ َ ل أ
َُِّ -وسلم عليه للا صلى- ن َّ قَائِ ًما
ُُ الر ُج
َُ ل َيبُو
31
Muhidin, NurwadjahAhmad EQ, Andewi Suhartini
32
Al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz XI, h. 79.
15
Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman
al-Bujairami:
قال أنه عنه للا رضي عمر عن روي لما عذر غير من قائما يبول أن ويكره: منذ قائما بلت ما
أسلمت، }لعذر قائما فبال قوم سباطة أتى وسلم عليه للا صلى النبي{ روى لما للعذر ذلك يكره وال
Artinya: “Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini
berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak
pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’33. Namun kencing
dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan
hadits ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran
(milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya
uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib,
juz 2, hal. 158)34.
33
Muhammad Yasir, Makna Toleransi dalam Al-Quran, Jurnal Ushuluddin, Vol. 22,
No. 2, (2014), h. 18.
34
Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz IX, (Tunisia: Dar al-
Thunisiayah, 2000), h. 165.
16
Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al
Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)35
ض ُُع َهذَا
ِ ار َم ْو
ُِ َاإلز
ِ ن َُ ل أ َ ِبي
ُْ ِ ْت فَإ َُ َن فَأ َ ْسف َُ ق فَلَُ أ َ ِبي
ُْ ِ ْت فَإ َُّ ار َح ُِ ْال َك ْع َب ْي
ُِ َن ِفي ِلإلْ ِِز
“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah
lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak
dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor
Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa
hadits ini shohih)
Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh
bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak
sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau
doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah Ta’ala
berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al
Ahzab [60] : 21)
ُ ّللاُ يَ ْن
َُظ ُُر ال َُّ ن إِلَى
ُْ ُخيَلَ َُء ث َ ْوبَ ُهُ َج َُّر َم
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam
keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).
35
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h.. 23-26
36
Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran ( Jakarta : Pustaka Jaya, 1996), h. 96-97
17
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ُظ ُُر الَُ ُْال ُخيَلَ ُِء ِمنَُ ثِيَابَ ُهُ يَ ُجرُ الَّذِى إِ َّن َُّ ْال ِقيَا َم ُِة يَ ْو َُم إِلَ ْي ُِه
ُ ّللاُ يَ ْن
Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam
Shohih Muslim.
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat
nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan
yang pedih.”
ُالَ ْال ُخيَلَ ُِء ِمنَُ ثِيَابَ ُهُ يَ ُجرُ الَّذِى إِ َّن َُّ ْال ِقيَا َم ُِة يَ ْو َُم إِلَ ْي ُِه
ُ ّللاُ يَ ْن
ُ ظ ُُر
Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih
Muslim.
37
Departemen Agama RI., op.cit., h. 217
18
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti,
tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang
pedih.”
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR.
Bukhari no. 5787)39
38
Idris Al Marbawi, Kamus Arab – Melayu, (Mesir:1350H), 96
39
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam
19
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak
bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua
ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum
masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al
Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan
hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut 40.
ُ ف ِإلَى ْال ُم ْس ِل ُِم إِ ْز َر ُةُِ ص ْ ِق ن ُِ ج َوالَُ السَّا َُ ح الَُ أ َ ُْو – َح َر ُِ ل كَانَُ َما ْال َك ْعبَي
َُ ْن َوبَيْنَُ بَ ْينَ ُهُ فِي َما – ُجنَا َُ َن أ َ ْسف
َُ ِم
ُِ ار ِفى فَ ُه َُو ْال َك ْع َبي
ْن ُِ َّن الن
ُْ ار ُهُ َج َُّر َم َزإ ار َ
ط ب ُ
م
َ ِ ً َ ْ ِ َ ُ ِ َِ ل ُ
ر ُ
ظ نْ ي ُ َّ
ّللا ُ
ه ي
ْ َ لإ
Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus
pertama dan kedua berbeda.
Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits
yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika
hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan
tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang
menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al
Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik
hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki
maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam
keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat
nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak,
tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab 41.
40
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, (Cet.II; Jakarta: : Rajawali Pers, 1996),
h. 57-58
4141
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 28
20
6. Hadis: Keharusan mandi sebelum shalat Jumat
Umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke
masjid untuk Shalat Jumat. Salah satu amalan sunah yakni mandi atau
membersihkan diri. Mempersiapkan diri sebelum berangkat Shalat Jumat
merupakan salah satu sunah Rasulullah. Sebab Jumat merupakan hari
istimewa bagi seorang Muslim. Allah berfirman dalam Al Quran surah Al
Jumuah ayat 9 yang artinya:
42
J15MSI, h.91
43
J35MSI, h.32
21
7. Hadis: Larangan Memberi Salam kepada Non-Islam
Banyak pendapat terkait hukum mengucapkan salam kepada Non-
Muslim. Bagaimana Rasulullah memandang hal tersebut?
Menurut banyak ulama, mereka adalah orang Yahudi dari Bani Quraizhah
yang memusuhi Nabi dan mengkhianati perjanjian atau telah berulang-
ulang menampakkan kebencian dan penghinaan terhadap Nabi dan umat
Islam. Alquran mengisyaratkan sejumlah orang Yahudi sengaja
mempermainkan lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang sepintas
bermakna baik tapi maksudnya buruk, antara lain as-samû ‘alaykum yang
berarti kecelakaan buat kamu sebagai ganti as-salâmu ‘alaykum 45.
44
Murthada Muthahhari, Perspektif Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,1990), cet.V,
h.45.
45
Ahmad Hanafi, Pengntar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987, hlm. 135
46
Idris Al Marbawi, Kamus Arab – Melayu, (Mesir:1350H), 96
22
Mendengar ucapain Aisyah, Nabi menegurnya dengan bersabda,
“Perlahanlah, wahai Aisyah. Hendaklah engkau berlemah lembut dan
hindarilah kekerasan dan ujaran buruk.”
Maka tidak boleh ucapkan salam kepada mereka baik tahiyyatul Islam
(assalamu’alaikum), atau “salam sejahtera”, “shalom”, “om swastyastu”,
atau salam lainnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
والنصارى اليهود هم الكتاب وأهل، لعدم األمر؛ هذا في والنصارى اليهود حكم الكفار بقية وحكم
نعلم فيما الفرق على الدليل. مطلقًا بالسلم الكافر يبدأ فل
“Ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun orang kafir yang selain
mereka, hukumnya sama seperti mereka dalam masalah ini. Karena tidak
ada dalil yang menunjukkan perbedaan hukum (dalam masalah ini) dari
yang kami ketahui. Maka tidak boleh memulai salam kepada orang kafir
secara mutlak” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/1409).
Baca Juga: Ringkasan Hal-Hal Yang Boleh Dan Tidak Boleh Terhadap Non
Muslim48
47
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 83. baik baca pada al-Ghazali, AlMunqiz min al-Dhalal, Kairo: Dar al-
Kutub alHadisah, 1974, hlm23
48
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung, Remaja Rosdakarya,
1990, hlm. 72
23
ل علَ ْي ُكم َسلَّ َُم إذا ُِ فَقُولوا ال ِكتا: وعلَ ْي ُكم
ُُ ب أ ْه
Boleh juga jawab dengan bahasa Indonesia, seperti: “semoga kamu juga”,
atau “kamu juga demikian”. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
استمروا بل يعبروا حتى تتفرقوا فل لقوكم فإذا لهم تفسحوا ال بالسلم تبدؤونهم ال كما أنكم فالمعنى
المسلم لعزة إظهار فيه بل اإلسلم عن تنفير الحديث في وليس…و عليه أنتم ما على، يذل ال وأنه
وجل عز لربه إال ألحد
“Makna hadits ini adalah bahwa sebagaimana kalian tidak memulai salam
kepada mereka, maka hendaknya tidak berlonggar-longgar kepada
mereka. Maka ketika bertemu dengan mereka, tidak perlu membuat
kalian berpencar-pencar karena menganggap serius kedatangan mereka.
Namun hendaknya biasa saja dan teruskan aktifitas kalian … dan hadits
ini bukan berarti membuat orang lari dari Islam, bahkan hadits ini adalah
bentuk menujukkan wibawa kaum Muslimin dan bahwasanya tidak
boleh merendahkan orang lain kecuali karena Allah merendahkan
mereka” (Majmu Fatawa Ibnu Al Utsaimin, 3/38).
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8) 50.
49
Ahmad Tafsir, Op. Cit. hlm. 74
50
Hery Hamersma dalm Tokoh - Tokoh Filsaft Barat Modern, Jakarta, Gramedia, 1986, hlm. 67-68
24
ذلك في القول وجملة: نحوهم به قمنا باإلحسان اإلحسان ومقابلة والمعروف البر باب من كان ما أن
قلوبهم لتأليف، العليا هي المسلمين يد ولتكن، ورفعة والكرامة بالعزة النفس إشعار باب من كان وما
لهم تحية بالسلم كبدئهم نعاملهم؛ فل الشأن، ليسوا ألنهم لهم؛ تكريما الطريق صدر من وتمكينهم
لكفرهم لذلك أهل
“Kesimpulan dari hal ini, selama dalam koridor perbuatan kebaikan dan
ma’ruf serta membalas kebaikan dengan kebaikan, maka kita sikap
mereka demikian, dalam rangka ta’liful qulub. Dan hendaknya ketika
melakukan hal ini posisi kaum Muslimin itu tinggi. Adapun jika dalam
rangka kemanusiaan dengan mengorbankan wibawa dan kemuliaan
kaum Muslimin, maka kita tidak lakukan itu. Semisal memulai salam
untuk menghormati mereka, atau dengans sengaja menempatkan mereka
di jalan utama untuk memuliakan mereka, maka tidak boleh. Karena
mereka bukan kaum yang berhak dimuliakan dan dihormati, disebabkan
kekufuran mereka” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta‘, no.
5313 pertanyaan ke-6)51
51
Amsal Bakhtiar, Op.Cit. hlm. 84
52
Harsa W. Bachtiar, Percakapan Dengan Sinney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat, Jakarta, Djambatan,
1980, hlm. 129
25
Nawawi dalam Fatawa Al-Imam An-Nawawi mengatakan sebagai
berikut.
اإلكرام سبيل على فضيلة الحقوق وذوي الفضل ألهل القيام، صحيحة أحاديث به جاءت وقد، وقد
ذلك في العلماء وأقاويل السلف أثار من جمعتها، وليس معارضتها يوهم مما جاء عما والجواب
معارضا، معروف جزء في ذلك كل أوضحت وقد، من السلف عن واشتهر به ونعمل نختاره فالذي
وأفعالهم أقوالهم، ذكرناه الذي الوجه في واستحبابه القيام جواز...
Pendapat yang kami pilih dan kami amalkan, pendapat ini juga didukung
oleh pernyataan ulama salaf, baik berupa perkataan maupun tindakan,
adalah boleh dan dianjurkan berdiri untuk menghormati kedatangan
seseorang sebagaimana yang telah disebutkan.” Pendapat Imam An-
Nawawi ini diperkuat oleh banyak hadits tentang anjuran berdiri karena
kedatangan tamu terhormat. Misalnya kisah Sa’id Ibn Mu’adz yang
datang kepada Nabi Muhammad SAW setelah memutuskan perkara di
Bani Quraizhah. Pada saat hampir sampai di masjid, Nabi Muhammad
SAW memerintahkan kepada kaum Ansor untuk berdiri, “Qumu li
sayyidikum (berdirilah karena kedatangan tuanmu)”54.
53
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 89-90
54
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 89. Dan lihat Goddes MacGregor, Introduction to Religious Philosophy,
London: Macmillan & coLTD, 1960, hlm. 36
55
Ibid. dan lihat dalam Ahmad Tafsir, Op. Cit. hlm. 58-61
26
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: aku tidak melihat seorang pun di
antara manusia yang lebih menyerupai nabi dalam hal berdialog,
berbicara, dan cara duduknya selain Fatimah Radhiyallahu ‘Anha ”.
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apabila nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam melihat Fatimah datang beliau menyambutnya serta berdiri
untuknya, lalu menciumnya sambil memegang erat tangan Fatimah itu.
Kemudian Nabi menuntun Fatimah sampai mendudukkannya di tempat
beliau biasa duduk. Sebaliknya, apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam yang datang kepadanya, Fatimah berdiri menyambut Nabi
serta mencium Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (HR. Bukhari,
Turmidzi, Abu Dawud)56.
Dalam kisah lain juga diriwayatkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan para shahabat untuk
berdiri memberikan penghormatan kepada Sa’ad bin Muadz
Radhiyallahu ‘Anhu, ketika beliau mendatangi majelis Nabi dan para
sahabat beliau. Saat itu Nabi Saw. menyambut Sa’ad bin Muadz
Radhiyallahu ‘Anhu dengan ucapan;
Dalam kitab Syarhun Nawawi ‘Ala Shahih Muslim dijelaskan juga bahwa
dengan jelas hadis tersebut membolehkan penghormatan terhadap
seorang yang memiliki keutamaan dengan berdiri, kemudian
menyambutnya saat beliau datang. Bahkan lebih detail lagi Imam Nawawi
berkomentar jika perihal ini hukumnya mustahab, yaitu dianjurkan
untuk mengormati orang saleh. Dikarenakan banyaknya hadis yang
menegaskan akan perihal tersebut dan belum ada satu pun larangan tegas
mengenainya57.
Yang buruk dari itu adalah berdiri untuk menghormat, sementara yang
dihormat itu duduk. Demikian ini bila dilakukan bukan dalam rangka
menjaganya tapi dalam rangka mengagungkannya. Sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi Saw. bahwa hal ini tidak boleh dilakukan. Karena itu
Nabi Saw. menyuruh para sahabatnya untuk duduk ketika beliau shalat
56
Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hlm. 100
57
As-sya’ rawi, M. Mutawalli. Bukti – bukti adanya Allah. Jakarta : Gema Insani Press, 1998.
27
sambil duduk, beliau menyuruh mereka supaya duduk dan shalat bersama
beliau sambil duduk58.
58
Sidi Gazalba, Sistematika Buku Pertama Pengantar Kepada Dunia Filsafat (Cet.V; Jakarta : Bulan
Bintang, 1990), h. 67-68
28
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterangan yang sudah penulis jelaskan di atas mengenai pemahaman hadis Nabi,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pemahaman hadis Nabi memiliki berbagai
macam metode dan pendekatan baik itu pendekatan tekstual maupun pendekatan
kontekstual. Uraian tentang metode yaitu metode tah{lili (analitis), ijmali (global) dan
muqa>rin (perbandingan). Sementara mengenai pendekatan dalam sharh} hadis secara
umum ada 2, yaitu: Pertama, pendekatan tekstual, pendekatan ini menitik-beratkan
pada pemaknaan teks lahiriyah, sehingga kemudian pemahaman hadis model seperti ini
lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum. Sedangkan yang kedua pendekatan
kontekstual lebih menggali makna pemahaman hadis Rasulullah dengan
memperhatikan dan mengkaji kaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, sehingga diperoleh pemahaman
hadis yang sesuai dengan konteks zaman sekarang dan tentunya
Pendekatan dalam pemahaman hadis Nabi sebenarnya banyak dibahas dan ditulis oleh
ulama kontemporer, namun kali ini penulis hanya membahas 3 model pendekatan
dalam memahami hadis Nabi. Pertama, pendekatan historis, dalam pendekatan historis
ini informasi tentang sejarah hadis muncul, menjadi bagian hal yang diutamakan untuk
mengetahui pemahamn hadis yang lebih valid. Kedua, pendekatan ilmiah, pendekatan
ilmiah dalam meneliti tentang pemahaman hadis ini, terutama dalam memahami
matannya lebih
memfokuskan pada pengujian hadis yaitu tentang lalat yang jatuh ke dalam sebuah
minuman dan menimbulkan penyakit saat diminum. Ketiga, pendekatan hermeneutik,
pendekatan ini lebih modern karena teori ini biasanya digunakan dalam memahami dan
menafsirkan ayat ayat al-Qur‘an, namun kali ini dioperasikan untuk memahami sebuah
hadis Nabi yaitu ada 4 langkah yang harus dilakukan. Pertama, memahami dari aspek
bahasa. Kedua, memahami konteks historis. Ketiga, mengkomparasikan secara
tematikkomprehensif dan integral serta keempat, memaknai teks dengan mencari ide
dasarnya, dengan mempertimbangkan data-data sebelumnya (membedakan wilayah
tekstual dan konteks).
29
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 2005, Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 211
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: YPI Al-
Rahmah, 2001.
Ali, Nizar. (Ringkasan Desertasi), Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharh}
H{adi>th. Yogyakarta: tt, 2007.
Ash-Shawi, Syahhat bin Mahmud. Mah}abbah Ila>hiyyah terj. Nabhani Idris. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
Munawwar, Said Agil Husain dan Mustaqim, Abdul. Asbbul Wurud; Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma‟anil Hadis; Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Idea Press, 2008.
Najwah, Nurun. Ilmu Ma‟anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008.
30
Tim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. et. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Irawan, E.N. 2015. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi dari Klasik sampai
Modern. Yogyakarta: IRCiSoD
Suryadilaga, Alfatih. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer; Potret
Konstruksi Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: UIN Suka Press, 2012.
31