Anda di halaman 1dari 32

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/361738619

METODOLOGI STUDI ISLAM Oleh : ANDI ULIL ALBAB

Preprint · July 2022

CITATIONS READS

0 1,002

8 authors, including:

Andi Ulil Albab


State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau
32 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

RESUME DR. ARAMUDDIN View project

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM View project

All content following this page was uploaded by Andi Ulil Albab on 04 July 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : ANDI ULIL ALBAB

12110314094@students.uin-suska.ac.id

PUTRA JONATAN ARBI

12110313937@students.uin-suska.ac.id

Dosen Pengampu : Alimuddin, M.Ag.Drs

Penerapan Metode Pemahaman Kontekstual Hadis: Pendekatan Logis dan Historis


(Hadis-hadis Problematik I)

A. PENDAHULUAN

Hadis adalah segala sesuatu yang sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqri>r) dan sifatnya.1 Secara
sturuktural, hadis atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alquran. Dalam fungsinya, hadis juga memperjelas, merinci, bahkan membatasi
pengertian lahir dari ayat-ayat Al-quran yang masih mujma>l, memberikan
taqyi>d ayat-ayat Alquran yang masih mut}laq dan memberikan takhs}i>s} ayat
Alquran yang masih umum.

Sebagai sumber ajaran Islam, hadis seharusnya s}a>lih}un li kulli zama>n wa


maka>n. Hal ini karena Islam merupakan agama universal, yang berlaku bukan
hanya untuk suatu bangsa atau suku tertentu tetapi berlaku di setiap waktu dan
tempat sampai akhir zaman. Mengingat perkembangan kehidupan yang dijalani
dan dihadapi umat Islam di zaman sekarang sangat komplek dan jauh berbeda
dengan kehidupan pada masa ketika hadis muncul, ada beberapa hadis yang
kelihatannya kehilangan relevansi. Hal ini karena hadis adalah produk yang
muncul dalam kisaran waktu dan tempat, juga dalam kondisi sosio-kultural
budaya masa yang melingkupinya.

Puji dan syukur dengan tulus dipanjatkan ke akhirat Allah Swt. Karena berkat
taufik dan hidayat-Nya, makalah Metodologi Studi Islam selesai.Selawat serta
salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar Muhammad
Saw. Beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia Agama yang disampaikan oleh Allah kepada
Rasul-Nya, Muhammad Saw.
Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah
Metodologi Studi Islam dengan bahan kajian yang berjudul “Penerapan Metode

1
Pemahaman Kontekstual Hadis” Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami. Dan kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
selama pembuatan makalan ini berlangsung
Kini telah berusia hampir lima belas abad lamanya, dan kian hari terasa samakin
dibutuhkan oleh umat manusia yang mendambakan kehidupan yang tertib,
aman, dan damai. Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa buku ini masih
jauh dari sempurna baik dari segi isi,metodologi penulisan, maupun analisisnya.
Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnaan buku ini akan
disambut dengan senang hati.

Al-quran dan sunah diberikan untuk pemahaman moral secara bijaksana dan
untuk dilaksanakan tetapi Konsekuensi digunakannya metode hermeneutika
adalah kita tidak boleh hanya menggunakan perangkat keilmuan tradisional
seperti ilmu nah}wu, s}araf, us}u>l fiqh, dan bala>ghah, tetapi diperlukan juga
perangkat ilmu-imu lain seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu dan
sejarah.Beberapa tokoh muslim yang memberikan perhatian besar pada disiplin
ilmu interpretasi ini ialah Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Sayyed Hossein,
Hasan Hanafi, Nasr Hammid Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Dari sekian
tokoh tersebut, Fazlur Rahman merupakan seorang pembaharu Muslim yang
liberal-reformatif. Hal ini terbukti dengan banyaknya tulisan artikel di berbagai
jurnal internasional, ensiklopedi, dan buku-buku suntingan. Tiga karya
utamanya ialah: The Philosophy of Mulla Shadra (1975), Major Themes of The
Qur’an (1980), dan Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual
Tradition (1982).

1. Urgensi Pemahman Konstekstual Hadis


Yang dimaksud pemahaman kontektual hadis ialah pemaknaan dengan melihat
keterkaitan antara zaman dan situasi ketika hadis ini terjadi dengan melihat
keterkaitannya dengan masa sekarang. Setidaknya ada tiga arti kontekstual.
Pertama, kontekstual diartikan sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah
kini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual sama dengan
situasional; kedua, pemaknaan kontekstual disamakan dengan keterkaitan masa
lampau– kini – dan mendatang. Sesuatu akan dilihat makna historik lebih dahulu,
makna fungsional sekarang, dan memprediksikan atau mengantisipasi makna di
kemudian hari; ketiga, pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan
keterkaitan antara yang sentral (al-Qur’an) dan yang perifer (terapan)1.

Islam Nusantara merupakan istilah yang unik karena memiliki karakter khas
yang membedakan Islam di daerah lain. Penyebabnya adalah adanya perbedaan
sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang
dipijaknya. Selain itu, menurut Azyumardi Azra,Islam yang datang ke nusantara
juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri. Kesiapan dimaksud adalah:
Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tidak dilawan tetapi
mencoba diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua,
Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apa pun, sehingga bisa

1
Zul Helmi, ‘Konsep Khalifah Fil Ardhi Dalam Perspektif Filsafat: Kajian Eksistensi Manusai Sebagai
Khalifah’, Intizar, 24.1 (2018), h, 37–54.

2
hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang memilih tradisi yang
sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi dan diterima sebagai
agama2. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga
hadirnya Islamdi nusantara ini memiliki pengaruh besar dan mendalam
terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Dalam diskursus kajian ulum al-hadis, muncul sebuah cabang disiplin


ilmu yang khusus mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan lahirnya suatu
hadis. Disiplin ilmu dimaksud ialah ilmu asbab al-wurud al-hadis.
Disiplin ilmu tersebut diyakini turut membantu mengungkap makna atau
kandungan sebuah hadis. Itulah sebabnya, hadis yang merupakan sesuatu
yang berasal dari Nabi saw. mengandung petunjuk yang pemahamnannya
perlu dikaitkan dengan peran Nabi

saw. tatkala hadis itu diucapkan, yaitu suasana dan kejadian yang
dihadapi oleh dan terjadi pada masa Nabi saw. dan sahabat-sahabatnya.
Suasana pada masa Nabi saw. hidup kemungkinan berbeda dengan
suasana yang dihadapi umat Islam setelah beliau wafat. Demikian juga
kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa Nabi saw3.

Selain itu, dalam pemahaman kontekstual hadis, hal yang penting untuk
dipertimbangkan adalah eksistensi Nabi Muhammad saw. sendiri ketika
menyampaikan suatu hadis. Beliau, selain sebagai Rasulullah, oleh Al-
Quran juga disebut sebagai manusia biasa. Dalam Sirah-nya tampak jelas
bahwa beliau hidup dalam berbagai fungsi, antara lain sebagai pemimpin
masyarakat, panglima perang dan hakim. Dalam pada itu, pemahaman
hadis secara kontekstual dilakukan bila di balik teks hadis itu ada
petunjuk yang kuat mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami
dan diterapkan tidak sebagaimana makna tekstualnya4.

Untuk memahami hadis secara kontekstual, perhatian utama harus


diarahkan kepada:
1. Maksud dan petunjuk Al-Quran yang merupakan pokok ajaran Islam
dan mempunyai otoritas mutlak. Ini didasarkan pada fungsi hadis sebagai
penjelas Al-Quran.Karena itu, terasa aneh dan tidak masuk akal apabila
hadis sebagai penjelas, justru membawa ketentuan lain yang berbeda dan
bahkan bertentangan dengan Al-Quran. Ruh AlQuran harus diletakkan
sebagai tolak ukur untuk mengkaji dan memahami keakuratan maksud
dan tujuan hadis. Dalam kondisi semacam ini, maka sesungguhnya tidak
ada satu hadis sahih pun yang kandungannya secara substansial
bertentangan dengan ayat-ayat AlQuran yang muhkamat. Oleh karena
itu, hadis sering tampak secara zahir bertentangan dengan Al-Quran.
Akan tetapi setelah diteliti dengan seksama dan dalam hubungannya

2
Abdul Halim (editor), Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 104.

3
Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz IX, (Tunisia: Dar al-
Thunisiayah, 2000), h. 165.
4
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam h.14

3
dengan ayat atau hadis lainnya, ternyata hadis tersebut tidak
bertentangan, dan bahkan sejalan dengan ruh syari’at yang memang
demikian seharusnya. 5
2. Pertautan antara satu hadis dengan yang lainnya, khususnya mengenai
hadis yang senada. Dengan cara ini dapat dimengerti maksud hadis
dengan lebih jelas dan tidak ada pertentangan yang substansial di antara
hadis-hadis tersebut.Usaha ini akan memudahkan mengetahui maksud
yang sebenarnya, karena dalam keadaan yang demikian, dapat disusun
kronologi pengungkapan hadis.
3. Sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya sebuah
hadis atau kaitannya dengan satu ‘illat atau alasan tertentu, yang
dinyatakan dalam hadis bersangkutan atau disimpulkan darinya.
Dasarnya adalah indikasi yang mendukung ataupun yang dapat dipahami
dari kejadian yang menyertainya. Ada beberapa hadis yang secara sepintas
tampak umum, tetapi setelah dikaji secara seksama, ternyata ada ‘illat
hukum yang menyertainya. Dengan demikian, illat itulah yang sebenarnya
menentukan. Selama illat itu ada, selama itu pula hukum yang
bersangkutan berlaku. Dan sebaliknya, ketika illat itu hilang, maka
hukum itu pun tidak berlaku lagi.hukum itu mengikuti
6illatnya),demikian kaidah usul mengatakan. Oleh karena itu, harus

diperhatikan kondisi yang melingkupi serta tempat dan untuk tujuan apa
hadis itu dimunculkan. Hal ini dikarenakan sebagai mana yang diyakini
umat, bahwa hadis membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan
berbagai problem, baik yang bersifat lokal, partikular maupun temporal
di samping yang berkenaan dengan hal yang khash dan terinci yang tidak
terdapat dalam Al-Quran.

4. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan serta


sasaran yang tepat.Percampuradukan antara sasaran yang akan dicapai
dengan prasarana temporer atau lokal (yang tentunya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan tersebut) akan dapat memalingkan maksud yang
sesungguhnya dari hadis bersangkutan. Dengan hanya memperhatikan
bahkan memusatkan perhatian terhadap sarana-sarana yang digunakan,
seolah-olah itulah yang menjadi tujuan dan sasaran hadis, akan
menjadikan pemahaman yang sempit dan tentu saja tidak sejalan dengan
cita-cita syari’at itu sendiri. 7

Seiring perkembangan dan applikasi berbagai jenis pendekatan dalam


kajian Islam, maka seyogianya pemahaman terhadap hadis-hadis Nabi
saw harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya di manapun hadis
itu akan diterapkan. Artinya, pendekatan kontekstual hadis adalah usaha
memahami hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan

5
J16MSI, h.159-160

6
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-
Afaq al-Jadidah, t.th), Juz VIII, Hadis no: 6932.
77
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz II, (t.tp.: Dar Thuq al-
Najat, t.th), h. 62.

4
situasi ketika hadis itu diucapkan dan kepada siapa pula hadis itu
ditujukan. Hadis Nabi saw. hendaknya tidak ditangkap makna dan
maksudnya hanya melalui redaksi lahiriahnya tanpa mengaitkannya
dengan aspek-aspek kontekstualnya.

Masyarakat Islam di nusantara adalah masyarakat yang dinamis.


Perobahan itu adalah salah satu fenomena yang dinamis pula. Ini terbit
dari insan yang menyokong setiap kemajuan dan perubahan yang baik
dan diperlukan oleh tuntutan perkembangan insan dan masyarakat
secara kontinyu. Setiap pengkaji naskah al-Quran ataupun hadis, secara
umum akan merasakan betapa Islam menyokong kemajuan yang
membina perubahan sosial budaya yang sehat. ia menyokong kemajuan,
di samping memelihara kebebasan umum termasuk kebebasan berpikir,
mencipta, mengubah dan bersikap lapang dada untuk menerima
pemikiran dan peradaban lain yang waras.Juga betapa elastisnya prinsip
dan metode Islam khususnya dalam bidang mu’amalah dan hubungan
sosial, karena hal itu boleh disesuaikan dengan perkembangan dan
kepentingan manusia yang senantiasa berkembang dan berubah sesuai
tuntutan waktu dan tempat,seperti halnya di Indonesia.8

2. Hadis: Puasa Senin dan Kamis


Dalam analisis geografis dengan istilah deterministik, pengaruh tidak
hanya ditimbulkan dari lingkungan hidup saja, melainkan dari faktor-
faktor lain, salah satunya adalah pekerjaan. Dari kegiatan yang diamati di
lapangan, pelaksanaan kegiatan puasa dan buka puasa tersebut mayoritas
diikuti oleh kaum tua.

Hal ini dikarenakan secara pekerjaan mereka lebih memungkinkan untuk


mengikuti acara tersebut dibandingkan dengan kaum yang lebih muda
Secara historis, pelaksanaan puasa sunnah Senin-Kamis di kampung
Pekaten dimulai dengan inisiatif dari Pak Fauzan yang saat itu bahkan
sampai sekarang memiliki otoritas yang cukup disegani oleh para warga.
Pada dasarnya, penempatan pak Fauzan dalam hal ini adalah konsepsi
yang disebut dengan kesepakatan bersama masyakarakat saat itu
sehingga beliau memiliki andil yang dapat mempengaruhi kehidupan di
kampung Pekaten. Dengan posisi yang beliau miliki inilah, ide tentang
puasa sunnah tersebut lebih mudah masuk dalam pemahaman
masyarakat.9

Dalam hal kontak atau interaksi, secara historis pula kampung pekaten
berideologikan Muhammadiyah yang digagas oleh tokoh reformis Ahmad
Dahlan. Beliau sendiri pernah belajar lama di Makkah sehingga sangat

8
Al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz XI, 280
9
Enoh, Konsep Baik (Kebaikan) Dan Buruk (Keburukan) Dalam Al-Qur’an, Jurnal Unisba, Vol. XXIII No. 1,
(2007), h.29

5
dimungkinkan dan bisa dipastikan bahwa hal-hal yang ia dapatkan di
Mekkah akan diterapkan di Indonesia.

Hal ini sejalan dengan sebuah analisis yang mengatakan bahwa


pelaksanaan buka puasa bersama tersebut sama dengan apa yang ada di
Makkah. Secara alur progresif, baik sejarah Muhammadiyah atau pun
sejarah dari munculnya puasa sunnah secara bersama ini telah
memberikan banyak pengaruh terhadap Pekaten dan kampung
sekitarnya sehingga puasa tersebut dilakukan oleh banyak kampung lain
dan secara langsung menunjukan adanya kontak budaya atau lebih
dikenal dengan komunikasi multikultural.10

Secara sosiologis, puasa tersebut lahir dari dua proses penting, yaitu
interaksi yang mengindikasikan adanya kontak antara individu ataupun
kelompok dan hubungan saling mempengaruhi antara keduanya.
Sehingga dari dua hal tersebut, pengetahuan bisa ditransfer hingga
membentuk pola kehidupan masyarakat atau menjadi fenomenologi yang
berbeda dengan kampung lain pada umumnya.

Proses terakhir adalah proses internalisasi, yaitu proses yang dialami


manusia untuk mengambil alih dirinya. Tahap ini berarti tahap dimana
manusia mensosialisasikan apa yang ia pikirkan ke dalam dunianya, yaitu
dunia sosial hingga terbentuk interaksi sosial. Obyektivikasi dalam
tradisi puasa sunnah Senin-Kamis di Pekaten bisa dilihat saat panitia
mengundang masyarakat sekitar. Proses ini menunjukkan sosialisasi
pertama yang dilakukan oleh panitia kepada masyarakat. Adanya
interaksi sosial sebagai akhir proses pengetahuan yang ditransfer
merupakan ciri bahwa adanya nilai internal dari puasa Senin-Kamis yang
berusaha dipahami di proyeksikan ke dalam lingkup sosial di kampung
Pekaten.Pada hakikatnya, proses internalisasi bukan merupakan akhir
dialogis, namun hanya sebatas akhir dari transfer pengetahuan yang
terbentuk saat eksternalisasi. Proses-proses pengetahuan terus berjalan
dalam tahap siklusnya dan tidak hanya berhenti di situ saja, melainkan
terus berjalan dalam proses sosial, menghasilkan sosialisasi tahap kedua
atau skunder dalam masyarakat Pekaten tersebut.11

Ketiga proses dari eksternalisasi-obyektifikasi-internalisasi tersebut


tidak hanya berhenti di sana saja, melainkan terus berjalan seperti spiral
atau mata rantai, sehingga dari undangan tersebut warga sendiri
berkerumun untuk membahas acara tersebut dalam istilah lain ada
sosialisasi skunder yang merupakai proses lanjut dari sosialisasi primer di
awal. Proses sosialisasi tidak pernah berhenti, manusia terus
mengekspresikan setiap idenya sehingga proses sosial terus berlanjut.
Dari proses sosial yang terus menerus inilah muncul makna dokumenter
yang merupakan makna yang membentuk suatu komunitas atau makna

10
Metode Studi Islam, h.43
11
Endang Syaifuddin, wawasan islam, h.59-61

6
yang membuat semua orang berkumpul untuk melakukan interaksi
sosial.12

Dalam tradisi pelaksanaan puasa sunnah di Pekaten, para warga


mempunyai kebutuhan dan tujuan yang sama, yakni mendorong
solidaritas sosial di masyarakat, saling membantu, beribadah bersama dan
banyak lagi tujuan atau motivasi yang berawal dari makna subyektif di
awal. Kesamaaan yang diperolah dalam makna dokumenter adalah tujuan
yang sama tersebut, yang mana tujuan tersebut atau tujuantujuan makna
ekspresif ini tidak akan bisa dicapai apabila tidak berkumpul dalam
interkasi. Sehingga adanya hal tersebut merupakan wahana bagi
masyarakat Pekaten untuk saling bekerjasama untuk mewujudkan
keinginan atau apresiasinya.Adanya kebutuhan tersebut menimbulkan
suatu motivasi yang mendorong setiap individu untuk membentuk
komunitasnya, sehingga dari adanya tujuan dan kebutuhan yang sama
inilah timbul suatu interaksi untuk merealisasikan ide tadi dalam bentuk
kegiatan yang berbentuk kelompok sosial, yakni buka puasa sunnah
Senin-Kamis secara bersama-sama13

Tradisi puasa Senin-Kamis dan buka bersama ini tentu tidak hanya
dilakukan di situ saja, mungkin masih banyak tempat lain yang juga

Keterpengaruhan atai interkasi masyarakat pekaten dengan


lingkungannya atau budayanya begitupun sebaliknya juga turut
memberikan pengaruh sehinggga jika dilihat dalam bingkai sosiologi,
puasa Senin-Kamis dipekaten adalah bentuk transformasi pengetahuan
yang terus menerus dilakukan dalam interaksi sosial dan pembentukan
makna yang muncul sebagai akibat kedua dari interaksi tersebut serta
keterpengaruhan (hubungan saling mempengaruhi) antara masyarakat
pekaten dengan lingkungannya dan bahkan lingkungan lain di luar
Pekaten itu juga.14

Hadits keutamaan puasa Senin-Kamis lainnya diriwayatkan Abu


Hurairah. ‫ض‬ ُُ ‫ن َي ْو َُم األ َ ْع َما‬
ُُ ‫ل ت ُ ْع َر‬ ُ ِ ‫ن فَأ ُ ِحبُ َو ْالخ َِم‬
ُِ ‫يس ا ِالثْنَ ْي‬ ُْ َ ‫ض أ‬
َُ ‫صا ِئمُ َوأَنَا َع َم ِلى يُ ْع َر‬
َ
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis,
maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang
berpuasa.” (HR. Tirmidzi) Khusus hari Senin disunahkan untuk
melakukan puasa Karena pada hari ini juga merupakan hari dimana nabi
Muhammad dilahirkan. Sebagaimana hadis yang bersumber dari Aisyah
radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i “Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari
Senin dan hari Kamis” (HR. An-Nasai) Paling dahsyat adalah pada hari
Senin dan Kamis merupakan hari dimana Pintu Surga dibuka hal ini

12
Manusia dan Alam Semesta, h.68
13
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta. 1990, h.81
14
Atang Abd, h. 122

7
sebagaimana hadis yang diriwayatkan imam muslim yang bersumber dari
Abu Hurairah

ُُ ‫ْن َي ْو َُم ْال َجنَّ ُِة أَب َْو‬


ُ‫اب ت ُ ْفت َ ُح‬ ُِ ‫يس َو َي ْو َُم ا ِالثْنَي‬ُ ِ ‫ل فَيُ ْغف َُُر ْالخ َِم‬ َُِّ ‫َت َر ُجلًُ ِإالَُّ َش ْيئًا ِب‬
ُِ ‫اَلل يُ ْش ِركُُ الَُ َعبْدُ ِل ُك‬ ُْ ‫بَ ْينَ ُه ُ كَان‬
َُ ‫ل شَحْ نَا ُُء أ َ ِخي ُِه َو َب ْي‬
‫ن‬ ُُ ‫ْن أ َ ْن ِظ ُروا فَيُقَا‬ ُِ ‫ط ِل َحا َحتَّى َهذَي‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ْن أَنْ ِظ ُروا َي‬ ُِ ‫ط ِل َحا َحتَّى َهذَي‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ن أ َ ْن ِظ ُروا َي‬
ُِ ‫َهذَ ْي‬
‫ط ِل َحا َحتَّى‬ َ ‫ص‬ ْ ‫َي‬

“Pintu surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Setia hamba yang tidak
berbuat syirik pada Allah sedikit pun akan diampuni (pada hari tersebut)
kecuali seseorang yang memiliki percekcokan (permusuhan) antara
dirinya dan saudaranya. Nanti akan dikatakan pada mereka, akhirkan
urusan mereka sampai mereka berdua berdamai, akhirkan urusan mereka
sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim)

3. Hadis: Mencukur Kumis, Memelihara Jenggot


Anjuran Memelihara Jenggot Sebelum menganalisis hadits tentang
anjuran memelihara jenggot, terlebih dahulu hendaknya kita mengetahui
tentang pengertian jenggot. Arti lihyah (jenggot) menurut Ibnu Said
dalam kitab Lisan al-Arab jenggot adalah nama untuk rambut yang
tumbuh pada kedua pipi dan juga nama untuk rambut yang tumbuh pada
dagu. Sedangkan Imam Nawawi berkata: “Adapun mengenai bulu
cambang (bulu yang terdapat di kedua pipi) terdapat dua pendapat,
namun yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur
(mayoritas ulama) bahwa ia juga termasuk jenggot.Berjenggot
merupakan tradisi umat Muslim pada zaman Nabi dahulu, karena hampir
setiap Muslim memiliki jenggot baik yang sedikit dan ada juga yang amat
lebat, bahkan menurut riwayat Nabi Muhammad Saw sendiri juga
memiliki jenggot yang cukup lebat. Dalam sejarah kenabian, terutama
ketika hendak berperang melawan orang-orang kafir, Nabi Muhammad
Saw menganjurkan kepada seluruh kaum muslimin untuk memelihara
jenggot mereka dan mencukur habis kumis. Nabi memiliki alasan tertentu
dalam memerintah umatnya untuk melakukan hal tersebut, yaitu
bertujuan agar nampak berbeda antara kaum muslimin dan kaum
musyrik.15

Kita ketahui bahwa perintah Nabi Muhammad Saw tidak selalu murni
urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau budaya
setempat. Jika dibaca dan dipahami secara utuh, hadits-hadits tersebut
berbicara dalam konteks untuk tampil berbeda dengan orang-orang

15
J14MSI, H.55

8
musyrik maupun majusi. Meskipun hadits ini menggunakan kata
perintah, tetapi tidak serta merta hadits tersebut menunjukkan sebuah
kewajiban untuk memelihara atau memanjangkan jenggot serta
kewajiban untuk mencukur kumis16.

Perintah untuk memelihara jenggot ini bukan merupakan perintah yang


tegas atau pasti dari Nabi Muhammad, buktinya yaitu bahwa ibnu Umar
sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi tersebut masih
memotong jenggotnya ketika sudah melebihi genggaman tangannya. Dan
menurut Zakariya AlAnshari, mencukur jenggot itu hukumnya makruh,
terutama mencukur jenggot yang baru pertama kali tumbuh, karena
menurutnya jenggot ini dapat menambah ketampanan dan membuat
seseorang menjadi lebih nampak rupawan 17.

Menurut beberapa ahli, perkara memelihara jenggot ini bukan masalah


jenggotnya, akan tetapi Rasulullah mencela orangorang yang mencukur
jenggotnya sehingga menyerupai orang kafir. Atas pertimbangan ini, para
ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa memelihara jenggot dan mencukur
kumis ini adalah sunnah, tetapi tidak sampai tingkatan wajib. Dan tidak
dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya dan malah memelihara
kumisnya.18

Hal ini merupakan sunah Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar.
Artinya: "Potonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang," (HR
Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: "Berbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan
biarkan jenggotmu panjang,” (HR Muslim).

Menurut Yusuf Qardhawi, perintah Rasul ini mengandung pendidikan


bagi umat Islam yaitu supaya mereka mempunyai kepribadian tersendiri
serta berbeda dengan orang kafir dan majusi secara lahir dan batin, yang
tersembunyi maupun yang nampak.Namun meskipun demikian, bukan
berarti kita sama sekali tidak diperbolehkan untuk mencukur jenggot,
karena kadang-kadang jenggot tersebut apabila dibiarkan bisa panjang
dan lebat sehingga menimbulkan kesan menjijikkan dan dapat
mengganggu pemiliknya. Untuk itu jenggot yang demikian boleh dicukur.

16
Nahdi, Maize Said. Konservasi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Hutan
Tropis Berbasis Masyarakat. Jurnal Kaunia, Vol.4, No.2; hlm 159-172, 2008
17
Asdelima Hasibuan
18
Hafsin, Abu. 2007.Islam dan Humanisme: Akulturasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta : IAIN Walisongo dengan Pustaka Pelajar

9
Menurut seorang ulama bernama Iyadh, mencukur jenggot itu hukumnya
makruh, tetapi apabila mencukurnya karena jenggot itu telah tebal dan
mengganggu pemiliknya maka itu suatu hal yang baik 19.

Hadits menerangkan bahwa memelihara jenggot merupakan fitrah


manusia dan termasuk juga sesuatu yang harus dibersihkan atau
dirapikan. Jadi memelihara jenggot itu bukan semata-mata
membiarkannya lebat begitu saja, akan tetapi kita juga harus
merapikannya dengan tujuan untuk menjaga kebersihan diri. Dari
berbagai hadits tentang jenggot yang bertujuan untuk menyelisihi kaum
non muslim ini dapat dilihat bahwa maksudnya yaitu menyelisihinya
dengan menyelisihi apa yang ada pada mereka yang telah menyimpang
dari kebenaran dan yang telah keluar dari fitrah yang selamat serta akhlak
mulia.20

Dari berbagai analisis diatas dapat diketahui bahwa haditshadits tentang


kumis dan jenggot ini tidak dikategorikan sebagai hadits yang tidak
memiliki implikasi hukum, karena sunnah yang terformalisasi dalam
hadits, salah satunya merupakan sebagai sumber hukum Islam. Semua
hadits-hadits tentang memelihara jenggot ini diyakini sebagai suatu
ajaran saja, dan sabda beliau harus dipenuhi pada saat itu, karena hal itu
menjadi cerminan identitas seorang muslim.21

Kemudian memelihara jenggot ini memiliki dua faedah; pertama,


menyelisihi orang-orang musyrik. Menyelisihi orang-orang musyrik
dalam hal yang menjadi ciri khusus mereka adalah wajib, supaya ada
perbedaan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang musyrik
sebagaimana hal itu menunjukkan pada batinnya. Sebab, menyamai
orang-orang musyrik tersebut menimbulkan perasaan bahwa antara
orang-orang kafir dan orang-orang beriman tidak ada perbedaan. Selain
itu menyamai perilaku dan budaya orang-orang kafir merupakan bukti
eksistensi mereka dan salah satu kebanggaan dan kesombongan mereka
terhadap kaum muslimin, yaitu ketika mereka melihat bahwa kaum
muslimin meniru perilaku mereka dan mengikuti budaya mereka. Kedua,
membiarkan jenggot apa adanya adalah sesuai fitrah. Dari sini dapat

19
Watsiqotul, Sunardi, Leo Agung
20
Murthada Muthahhari, Perspektif Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,1990), cet.V,
h.65.
21
Musa Asy’ari: Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992) cet. I, h.34-35

10
dilihat bahwa illat membiarkan jenggot itu bukan hanya menyelisihi
orang-orang musyrik, tetapi juga kesesuaian terhadap fitrah.

Pada masa sekarang ini banyak para muslimin yang enggan untuk
memelihara jenggot, baik itu orang tua maupun muda. Para muslimin
pada masa kini lebih memilih memelihara kumis sebagai cara untuk
menunjukkan kedewasaannya. Hal ini berbeda dengan zaman Rasulullah,
memelihara jenggot dilakukan dengan alasan yang pertama secara
lahiriyyah, yaitu meneladani Rasulullah pada sesuatu yang kasat mata
misalnya Rasulullah memelihara jenggot maka kitapun dengan bangga
dan sukarela meniru memelihara jenggot, bahkan gaya rambut, cara
berjalan, gaya bicara, cara berpakaian, bahkan sampai cara makan dan
minum Rasul. Kedua secara batiniyyah, yaitu kita meneladani Rasulullah
dalam aspek etika, karakter, kepribadian, sikap dan perilaku.22

Tetapi yang menjadi masalah dalam konteks sekarang yaitu banyaknya


orang-orang Nasrani maupun Yahudi yang memelihara jenggot mereka
dan mencukur habis kumis mereka. Hal ini bisa kita ketahui bahwa pada
zaman yang kekinian ini memanjangkan jenggot adalah sebuah tren atau
gaya semua orang di dunia, tidak hanya orang Islam. Lalu apakah tujuan
utama perintah yang terdapat dalam hadits ini masih sesuai dengan
konteks sekarang? Oleh sebab itu memelihara jenggot atau
memangkasnya adalah suatu pilihan, dan tidak akan berdosa apabila
melakukan salah satunya. Sedangkan dalam konteks budaya ke-
Indonesiaan, memanjangkan jenggot sebenarnya sudah merupakan
tradisi dari orang-orang Islam Indonesia terdahulu. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, dan perkembangan dunia fashion yang semakin
modis, jenggot dalam konteks keIndonesiaan dianggap aneh, dan lebih
dipandang sebagai aliran teroris. Karena itulah pada zaman sekarang
banyak orang-orang Indonesia terutama anak-anak muda yang
mengabaikan perintah untuk memelihara jenggot yang terdapat dalam
Hadits Nabi diatas, tetapi masih ada sebagian orang yang masih
mengamalkannya23.

4. Hadis: Larangan Minum dan Kencing Beridiri


Pada asalnya, buang air kecil hendaknya dilakukan dalam kondisi sambil
duduk. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata,

22
J13MSI
23
J5MSI

11
َُّ َ ‫ل أ‬
ُ‫ن َحدَّث َ ُك ُْم َم ْن‬ َُ ‫سو‬ َُِّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ ُ ‫ل َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه‬
َ ُ‫للا‬ ُ َ َ‫ص ِدقُوهُ؛ ف‬
َُ ‫ل قَا ِئ ًما َبا‬ َ ُ ‫ن َما ت‬ ُ َّ ‫َجا ِل ًسا ِإ‬
ُُ ‫ال َيبُو‬
َُ ‫ل كَا‬

“Siapa saja yang mengabarkan kepada kalian bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri, janganlah
kalian benarkan. Beliau tidaklah buang air kecil kecuali sambil duduk.”
(HR. An-Nasa’i no. 29, At-Tirmidzi no. 12 dan Ibnu Majah no. 307, shahih)

Hal ini karena ketika buang air kecil sambil berdiri kemungkinan besar
akan menyebabkan terperciknya air kencing ke badan atau ke pakaian 24.

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil
berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

‫ص َّلى َوال َّنبِيُ أَنَا َرأ َ ْيت ُ ِني‬ َ ُ‫للا‬ ُ ‫نَت َ َماشَى َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه‬، ‫ط ُةَ َفأَت َى‬ َ ‫سبَا‬ َُ ‫ َحائِطُ خ َْل‬، ‫ام‬
ُ ُ‫ف َق ْوم‬ َُ َ‫يَقُو ُُم َك َما فَق‬
‫أ َ َحد ُ ُك ُْم‬، ‫ل‬
َُ ‫فَ َبا‬، ُُ‫م ْن ُهُ فَا ْنت َ َبذْت‬، َُ ‫ي فَأَش‬
ِ ‫َار‬ َُّ َُ‫فَ ِجئْت ُ ُهُ ِإل‬، ُُ‫فَ َرغَُ َحتَّى َع ِقبِ ُِه ِع ْن ُدَ فَق ُ ْمت‬

“Aku ingat ketika aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi


wasallam, beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah suatu
kaum di balik tembok dan buang air kecil sambil berdiri sebagaimana
kalian berdiri. Aku lalu menjauh dari beliau, namun beliau memberi
isyarat kepadaku agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di
belakang beliau hingga beliau selesai.” (HR. Bukhari no. 225 dan Muslim
no. 273)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah untuk


mendekat karena ingin menjadikan badan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
sebagai penutup (pembatas) beliau yang sedang buang air kecil sehingga
aman dari pandangan orang lain.

Hadits riwayat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu di atas tidaklah


bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ibunda ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Hadits ‘Aisyah menceritakan mayoritas keadaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau buang kecil. Sedangkan hadits
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri dalam sebagian kondisi
(keadaan)25.

Para ulama menjelaskan bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam tersebut menunjukkan bolehnya buang air kecil sambil berdiri.
Atau ketika itu tidak memungkinkan bagi beliau untuk buang air kecil
sambil duduk.

24
M.Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, Bandung, 1985), h. 344.
25
Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), hal. 67

12
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala
menjelaskan bahwa terdapat dua syarat ketika buang air kecil sambil
berdiri, yaitu: (1) aman dari terkena percikan air kencing; dan (2) aman
dari dilihat orang lain. (Syarhul Mumti’, 1: 92)
Sering kita jumpai tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang
disediakan di fasilitas umum, dalam kondisi berjejer di toilet dan
disediakan untuk kaum laki-laki. Fasilitas semacam ini tentu bermasalah,
karena belum memenuhi persyaratan ke dua yang disebutkan oleh Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala di atas.

Di antara adab yang perlu diperhatikan ketika buang air kecil adalah
menjauh dari pandangan orang lain. Yang menjadi kewajiban adalah
menjaga tertutupnya aurat, dan disunnahkan (dianjurkan) untuk
menutupi semua anggota badan dari pandangan orang lain 26.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

‫ل أ َ ْردَفَ ِني‬ ُ ‫صلَّى للاُِ َر‬


ُُ ‫سو‬ َ ُ‫للا‬ َُ َ‫خ َْلفَ ُهُ يَ ْومُ ذ‬. ‫ي فَأ َ َس َُّر‬
ُ ‫ات َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه‬ َُّ َ‫ال َحدِيثًا إِل‬ ُُ ‫اس ِمنَُ أ َ َحدًا بِ ُِه أ ُ َحد‬
ُ َ ‫ِث‬ ُ ِ َّ‫الن‬
َُ ‫ل بِ ُِه ا ْستَت ََُر َما أ َ َحبَُّ كَا‬
‫ن َُو‬ ُُ ‫سو‬ُ ‫للاِ َر‬ ُ ‫صلَّى‬ ُ ‫ ِل َحا َجتِ ُِه َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه‬، ُ‫ش أ َ ُْو َهدَف‬
َ ُ‫للا‬ ُُ ِ‫نَ ْخلُ َحائ‬. ‫ل‬ َُ ‫ن قَا‬ُُ ْ‫أ َ ْس َما َُء اب‬
‫ َحدِيثِ ُِه فِي‬: ‫ط يَ ْعنِي‬ َ
ُ ِ‫نَخلُ َحائ‬ ْ

“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengku di


belakangnya, lalu beliau membisikkan satu hadits yang tidak aku
ceritakan kepada seorang pun. Dan sesuatu yang paling disukai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan sebagai
penghalang ketika buang hajat adalah bukit pasir atau rerimbunan pohon
kurma.” Ibnu Asma’ berkata, “Yaitu (semacam) pagar dari pohon kurma.”
(HR. Muslim no. 342)27

Dalam hadits di atas, yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam adalah beliau menjadikan sesuatu yang cukup tinggi sebagai
penghalang badan beliau, misalnya bukit pasir atau rerimbunan pohon
kurma. Sehingga tidak ada yang bisa melihat beliau ketika sedang buang
air kecil.

Adab semacam ini tidaklah bisa kita laksanakan ketika buang air kecil di
urinoir tersebut, karena tidak ada sekat antara urinoir satu dengan yang
lainnya. Kalaupun ada sekat, sekat tersebut sangat pendek (rendah).
Sehingga kita masih bisa melihat orang lain yang sedang buang air kecil.

Oleh karena itu, kami berharap kepada pihak-pihak yang memiliki


kewenangan dalam penyediaan fasilitas umum seperti ini untuk tetap
memperhatikan bagaimanakah ketentuan atau adab yang diajarkan oleh

26
Pengantar Studi Islam

27
Al-Qur'an

13
Islam ketika buang air kecil, mengingat pengguna fasilitas umum tersebut
tentunya mayoritasnya adalah umat Islam 28.

Salah satu adab dalam buang hajat adalah melakukannya dengan cara
duduk, baik ketika membuang air kecil ataupun air besar. Buang hajat
dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak dibenarkan
oleh syariat. Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:

ُ‫شةَُ َع ْن‬ ُْ َ‫ن قَال‬


َ ِ‫ت َعائ‬ َُّ َ ‫ل أ‬
ُْ ‫ن َحدَّث َ ُك ُْم َم‬ ُ ‫صلَّى للا َر‬
َُ ‫س ْو‬ َ ‫ل َو َسلَّ َُم َعلَ ْي ُِه للا‬ ُ َ َ‫ص ِدقُ ْو ُهُ ف‬
َُ ‫ل قَائِ ًما َبا‬ َ ُ ‫ن َما ت‬ ُُ ‫َيب ُْو‬
َُ ‫ل كَا‬
َّ‫ال‬
ُ ِ‫“ َجا ِل ًسا إ‬Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata,
‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri,
maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali
dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah secara tegas melarang kencing dengan
cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang tercantum dalam hadits
riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:
ُُ ‫سو‬
‫ل نَ َهى‬ ُ ‫ّللا َر‬ ُْ َ ‫ل أ‬
َُِّ -‫وسلم عليه للا صلى‬- ‫ن‬ َّ ‫قَائِ ًما‬
ُُ ‫الر ُج‬
َُ ‫ل َيبُو‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing dengan


berdiri,” (HR Baihaqi)29.

Lantas apakah larangan dalam hadits di atas mengarah pada hukum


haramnya kencing dengan cara berdiri? Atau hanya sebatas
dimakruhkan? Para ulama menghukumi kencing dengan cara berdiri
sebagai perbuatan yang makruh selama tidak ada uzur (kendala).
Sehingga pelakunya tidak sampai terkena dosa, meski perbuatan itu
sebaiknya tetap dihindari. Hukum makruh ini akan hilang tatkala
seseorang memiliki uzur, seperti terdapat penyakit atau luka yang
menyebabkan dirinya terasa berat (masyaqqah) ketika kencing dilakukan
dengan duduk. Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh
Syekh Sulaiman al-Bujairami:
‫ قال أنه عنه للا رضي عمر عن روي لما عذر غير من قائما يبول أن ويكره‬: ‫منذ قائما بلت ما‬
‫ أسلمت‬، ‫}لعذر قائما فبال قوم سباطة أتى وسلم عليه للا صلى النبي{ روى لما للعذر ذلك يكره وال‬
‫ـ‬

“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan
perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing
dengan berdiri sejak aku masuk Islam’30. Namun kencing dengan berdiri
tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi
Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik)
sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,”
(Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2,
hal. 158). Hadits yang menjadi pijakan tidak makruhnya kencing dengan

28
J14MSI, H.51
29
Atang Abd, h. 105-106
30
hmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum,
Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, 1994, hal. 77

14
cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif dengan
hadits ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa
Rasulullah pernah kencing dengan berdiri. Dalam menyikapi hal ini,
tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu
Hajar al-Haitami dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari:
‫منه وقع ما على فيحمل علمها إلى مستند أنه عائشة حديث عن والجواب منسوخ غير أنه والصواب‬
‫عليه هي تطلع فلم البيوت غير في وأما البيوت في‬

“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidaklah
di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadits
‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan
pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW).

Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di
selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu
Hajar al-Haitami, Fath al-Bari, juz 1, hal. 330). Maka dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hukum kencing dengan cara berdiri adalah
perbuatan yang dimakruhkan, selama hal tersebut tidak dilakukan karena
terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan
(masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri31.
Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya sebisa mungkin bagi kita
untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain karena uzur,
meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing yang
menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. 32

Tersedianya urinoir di berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi


mode bagi toilet-toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih
memungkinkan mencari toilet lain untuk kencing dengan cara duduk itu
lebih baik. Bila tidak memungkinkan maka kondisi tersebut masuk
kategori uzur. Betapapun, kita dianjurkan untuk senantiasa menetapi
syariat yang terbaik dan tetap selektif termasuk dalam menyikapi
berbagai tren masa kini. Wallahu a’lam.
Dalam hadis lain bahkan lebih tegas dikatakan bahwa Rasulullah
melarang umatnya untuk kencing sambil berdiri. Berikut redaksi hadis
tersebut:

ُُ ‫سو‬
‫ل نَ َهى‬ ُ ‫ّللا َر‬ ُْ َ ‫ل أ‬
َُِّ -‫وسلم عليه للا صلى‬- ‫ن‬ َّ ‫قَائِ ًما‬
ُُ ‫الر ُج‬
َُ ‫ل َيبُو‬

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing


dengan berdiri,” (HR Baihaqi).

Namun demikian larangan kencing sambil berdiri bukanlah larangan


keharaman yang dapat menjadikan seseorang berdosa karena
melakukannya. Bahkan, boleh saja kencing sambil berdiri dalam kondisi
tertentu.

31
Muhidin, NurwadjahAhmad EQ, Andewi Suhartini
32
Al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz XI, h. 79.

15
Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman
al-Bujairami:

‫ قال أنه عنه للا رضي عمر عن روي لما عذر غير من قائما يبول أن ويكره‬: ‫منذ قائما بلت ما‬
‫ أسلمت‬، ‫}لعذر قائما فبال قوم سباطة أتى وسلم عليه للا صلى النبي{ روى لما للعذر ذلك يكره وال‬

Artinya: “Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini
berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak
pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’33. Namun kencing
dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan
hadits ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran
(milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya
uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib,
juz 2, hal. 158)34.

Kesimpulannya: kencing sambil berdiri merupakan perbuatan makruh,


yang jika tidak ada uzur ada baiknya dihindari oleh seseorang. Namun jika
seseorang memiliki uzur seperti sakit jika sambil duduk atau alasan-
alasan lainnya, maka dibolehkan.

5. Hadis: Celana Nabi Mahammad di atas Tumit


Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-
laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya.
Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :

ُُ‫ َع َّمتِي َس ِم ْعت‬، ‫ِث‬ ُُ ‫ن ت ُ َحد‬ ُْ ‫ع‬


َ ‫ل َع ِم َها‬َُ ‫ قَا‬: ‫ ِبال َم ِد ْينَ ُِة أ َ ْمشِي أَنَا بَ ْينَا‬، ‫ل خ َْل ِفي ِإ ْن َسانُ ِإذَا‬
ُُ ‫ يَقُ ْو‬: « ‫ك ا ِْرفَ ُْع‬
َُ ‫ار‬
َ َ‫ِإز‬
َّ ْ َ َ
، ُ ‫ل ه َُُو فَإِذا »أنقَى فَإِن ُه‬ ُُ ‫س ْو‬ُ ‫للاِ َر‬
ُ ‫صلى‬ َّ َ َّ ْ
ُ ‫ فَقلتُُ َو َسل َُم َعل ْي ُِه‬: ‫ل يَا‬
َ ُ ‫للا‬ ُ َُ ‫س ْو‬
ُ ‫للاِ َر‬
ُ ‫ي إِن َما‬ َّ َُ ‫) َم ْل َحا ُُء ب ُْردَةُ ِه‬
َُ ‫ قَا‬: « ‫ك أ َ َّما‬
‫ل‬ َُ َ‫ي ل‬ ُ
َُّ ِ‫ظ ْرتُُ » ؟ أس َْوةُ ف‬ َ َ‫ار ُهُ فَإِذَا فَن‬
َ َ‫ف ِإلَى ِإز‬ ُِ ‫ص‬ ْ ِ‫َساقَ ْي ُِه ن‬

Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang


berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba
seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan
lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang
kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan
putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau
tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau,
ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat

33
Muhammad Yasir, Makna Toleransi dalam Al-Quran, Jurnal Ushuluddin, Vol. 22,
No. 2, (2014), h. 18.
34
Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz IX, (Tunisia: Dar al-
Thunisiayah, 2000), h. 165.

16
Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al
Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)35

Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض ُُع َهذَا‬
ِ ‫ار َم ْو‬
ُِ َ‫اإلز‬
ِ ‫ن‬ َُ ‫ل أ َ ِبي‬
ُْ ِ ‫ْت فَإ‬ َُ َ‫ن فَأ َ ْسف‬ َُ ‫ق فَلَُ أ َ ِبي‬
ُْ ِ ‫ْت فَإ‬ َُّ ‫ار َح‬ ُِ ‫ْال َك ْع َب ْي‬
ُِ َ‫ن ِفي ِلإلْ ِِز‬

“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah
lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak
dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor
Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa
hadits ini shohih)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh
bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak
sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau
doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah Ta’ala
berfirman,

ُْ‫ل فِي لَ ُك ُْم كَانَُ لَقَد‬


ُِ ‫سو‬ َُِّ ُ‫سنَةُ أُس َْوة‬
ُ ‫ّللا َر‬ َ ‫ن َح‬ ََُّ ‫َر ْاْلَ ِخ َُر َو ْاليَ ْو َُم‬
ُْ ‫ّللا يَ ْر ُجو كَانَُ ِل َم‬ َُ ‫ّللا َوذَك‬
ََُّ ‫يرا‬
ً ِ‫َكث‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al
Ahzab [60] : 21)

Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja


kami bagi menjadi dua bagian36. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari
pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.
Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ ‫ّللاُ يَ ْن‬
َُ‫ظ ُُر ال‬ َُّ ‫ن إِلَى‬
ُْ ‫ُخيَلَ َُء ث َ ْوبَ ُهُ َج َُّر َم‬

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam
keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).

35
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h.. 23-26
36
Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran ( Jakarta : Pustaka Jaya, 1996), h. 96-97

17
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

ُ‫ظ ُُر الَُ ُْال ُخيَلَ ُِء ِمنَُ ثِيَابَ ُهُ يَ ُجرُ الَّذِى إِ َّن‬ َُّ ‫ْال ِقيَا َم ُِة يَ ْو َُم إِلَ ْي ُِه‬
ُ ‫ّللاُ يَ ْن‬

“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah


tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam
Shohih Muslim.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َُّ ‫ظ ُُر َوالَُ ْال ِقيَا َم ُِة يَ ْو َُم‬


ُ‫ّللاُ يُك َِل ُم ُه ُُم الَُ ثَلَثَة‬ ُ ‫أ َ ِليمُ َعذَابُ َولَ ُه ُْم يُزَ ِكي ِه ُْم َوالَُ إِلَ ْي ِه ُْم يَ ْن‬

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat
nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan
yang pedih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini.


Lalu Abu Dzar berkata,

ُْ ‫ل يَا هُ ُْم َم‬


‫ن َو َخس ُِروا خَابُوا‬ َُ ‫سو‬ َُّ
ُ ‫ّللاِ َر‬

“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

ُ‫ن ْال ُم ْس ِب ُل‬


ُُ ‫ق َو ْال َمنَّا‬
ُُ ‫ف ِس ْل َعت َ ُهُ َو ْال ُمن َِف‬
ُِ ‫ب ِب ْال َح ِل‬
ُِ ‫ْالكَا ِذ‬

“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit


pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu.” (HR. Muslim no. 306)37. Orang yang isbal (musbil) adalah orang
yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong


Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ‫الَ ْال ُخيَلَ ُِء ِمنَُ ثِيَابَ ُهُ يَ ُجرُ الَّذِى إِ َّن‬ َُّ ‫ْال ِقيَا َم ُِة يَ ْو َُم إِلَ ْي ُِه‬
ُ ‫ّللاُ يَ ْن‬
ُ ‫ظ ُُر‬

“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah


tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih
Muslim.

37
Departemen Agama RI., op.cit., h. 217

18
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َُّ ‫ظ ُُر َوالَُ ْال ِق َيا َم ُِة َي ْو َُم‬


ُ‫ّللاُ يُك َِل ُم ُه ُُم الَُ ثَلَثَة‬ ُ ‫أ َ ِليمُ َعذَابُ َولَ ُه ُْم يُزَ ِكي ِه ُْم َوالَُ ِإلَ ْي ِه ُْم َي ْن‬

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti,
tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang
pedih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini.


Lalu Abu Dzar berkata38,

ُْ ‫ل يَا هُ ُْم َم‬


‫ن َو َخس ُِروا خَابُوا‬ َُ ‫سو‬ َُّ
ُ ‫ّللاِ َر‬

“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

ُ‫ن ْال ُم ْس ِب ُل‬


ُُ ‫ق َو ْال َمنَّا‬
ُُ ‫ف ِس ْلعَت َ ُهُ َو ْال ُمن َِف‬
ُِ ‫ب بِ ْال َح ِل‬
ُِ ‫ْالكَا ِذ‬

“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit


pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang
yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong


Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ل َما‬ ُِ ‫ن ْال َكعْبَي‬


َُ َ‫ْن ِمنَُ أ َ ْسف‬ َُ ‫ار ِم‬ ُِ َّ‫الن‬
ُِ ‫ار فَ ِفى‬
ُِ َ‫اإلز‬

“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR.
Bukhari no. 5787)39

Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan


masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama
-sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu
menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong.
Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan
berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan
disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini
termasuk dosa besar.

Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa


sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan
neraka.

38
Idris Al Marbawi, Kamus Arab – Melayu, (Mesir:1350H), 96
39
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam

19
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak
bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua
ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum
masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al
Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan
hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut 40.

ُ ‫ف ِإلَى ْال ُم ْس ِل ُِم إِ ْز َر ُة‬ُِ ‫ص‬ ْ ِ‫ق ن‬ ُِ ‫ج َوالَُ السَّا‬ َُ ‫ح الَُ أ َ ُْو – َح َر‬ ُِ ‫ل كَانَُ َما ْال َك ْعبَي‬
َُ ‫ْن َوبَيْنَُ بَ ْينَ ُهُ فِي َما – ُجنَا‬ َُ َ‫ن أ َ ْسف‬
َُ ‫ِم‬
ُِ ‫ار ِفى فَ ُه َُو ْال َك ْع َبي‬
‫ْن‬ ُِ َّ‫ن الن‬
ُْ ‫ار ُهُ َج َُّر َم‬ َ‫ز‬‫إ‬ ‫ا‬‫ر‬ َ
‫ط‬ ‫ب‬ ُ
‫م‬
َ ِ ً َ ْ ِ َ ُ ِ َِ ‫ل‬ ُ
‫ر‬ ُ
‫ظ‬ ‫ن‬ْ ‫ي‬ ُ َّ
‫ّللا‬ ُ
‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫إ‬

“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa


jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian
tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan
apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan
melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash
Shogir, 921)

Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus
pertama dan kedua berbeda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana


tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa
hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu
Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan
menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman
(siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak
dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih
oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga
merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh
Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -
semoga Allah merahmati mereka-.

Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits
yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika
hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan
tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang
menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al
Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik
hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki
maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam
keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat
nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak,
tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab 41.

40
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, (Cet.II; Jakarta: : Rajawali Pers, 1996),
h. 57-58
4141
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 28

20
6. Hadis: Keharusan mandi sebelum shalat Jumat
Umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke
masjid untuk Shalat Jumat. Salah satu amalan sunah yakni mandi atau
membersihkan diri. Mempersiapkan diri sebelum berangkat Shalat Jumat
merupakan salah satu sunah Rasulullah. Sebab Jumat merupakan hari
istimewa bagi seorang Muslim. Allah berfirman dalam Al Quran surah Al
Jumuah ayat 9 yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat


pada hari Jumat, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.

" Namun, sebelum melaksanakan kewajiban itu, seorang Muslim harus


memerhatikan kesucian dan kebersihan dengan mandi terlebih dulu. Para
ulama sepakat bahwa mandi besar di hari jumat itu disyariatkan,
sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

"Jika salah seorang kalian mendatangi shalat jumat hendaklah ia mandi."


(HR. Bukhari). Hukum mandi Jumat Mayoritas ulama menyatakan
bahwa hukum mandi besar di hari jumat adalah sunnah, tidak sampai
pada derajat wajib42. Lalu kapan waktu pelaksanaan mandi Jumat? Para
ulama sepakat bahwa ketika mandi Jumat dikerjakan setelah
mengerjakan shalat Jumat, maka ia tidak mendapatkan keutamaan pada
hari itu. Amalan ini dikerjakan sebelum jemaah berangkat ke masjid. Tata
cara mandinya sama dengan mandi janabah. Hal ini diterangkan oleh
Rasulullah diriwayatkan Aisyah:

"Dahulu, jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hendak mandi


janabah (junub), beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya.
Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya lalu
membasuh kemaluannya. Lantas berwudhu sebagaimana berwudhu
untuk shalat.

"Lalu Nabi mengambil air dan memasukkan jari-jemarinya ke pangkal


rambut. Hingga jika beliau menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke
atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan. Setelah itu beliau guyur
seluruh badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya." (Shahih
Muslim)43.

42
J15MSI, h.91
43
J35MSI, h.32

21
7. Hadis: Larangan Memberi Salam kepada Non-Islam
Banyak pendapat terkait hukum mengucapkan salam kepada Non-
Muslim. Bagaimana Rasulullah memandang hal tersebut?

Sementara ulama khususnya ulama masa lampau menduga tidak


diperkenankan memulai ucapan salam kepada non-Muslim. Mereka
mengacu pada salah satu hadits Rasulullah,
“Janganlah memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan
Nasrani dan bila kamu bertemu salah seorang dari mereka di jalan maka
desaklah ia ke arah yang sempit (HR Muslim)44.

Pakar Tafsir Alquran asal Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan


dalam bukunya Islam yang Saya Pahami, hadits tersebut tidak ditujukan
kepada semua orang Yahudi, Nasrani, atau non-Muslim lain. Ada banyak
riwayat, baik lisan maupun praktik hidup Rasulullah yang menunjukkan
keramahan kepada non-Muslim. Misal, memberi mereka hadiah,
mengunjungi orang sakit, menerima undangan makan, dan lain-lain. Atas
dasar itu, larangan tidak diperbolehkan mengucapkan salam tertuju pada
sejumlah mereka non-Muslim yang memusuhi Islam.

Menurut banyak ulama, mereka adalah orang Yahudi dari Bani Quraizhah
yang memusuhi Nabi dan mengkhianati perjanjian atau telah berulang-
ulang menampakkan kebencian dan penghinaan terhadap Nabi dan umat
Islam. Alquran mengisyaratkan sejumlah orang Yahudi sengaja
mempermainkan lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang sepintas
bermakna baik tapi maksudnya buruk, antara lain as-samû ‘alaykum yang
berarti kecelakaan buat kamu sebagai ganti as-salâmu ‘alaykum 45.

Jadi, larangan memulai mengucapkan salam bukan terhadap semua orang


Yahudi, Nasrani, dan non-Muslim lainnya, melainkan orang-orang
tertentu yang permusuhan mereka telah melampaui batas. Ada di antara
orang-orang Yahudi yang mengucapkan kata as-samû ‘alaykum bukan as-
salâmu ‘alaykum namun Rasulullah tetap memperlakukan mereka
dengan baik46.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa sejumlah orang-


orang Yahudi datang kepada Nabi dan berucap “as-samû ‘alaykum” maka
Aisyah menjawab mereka dengan berkata, “’Alaikum bahkan semoga
Allah mengutuk kalian dan semoga murka Allah menimpa kalian.”

44
Murthada Muthahhari, Perspektif Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,1990), cet.V,
h.45.
45
Ahmad Hanafi, Pengntar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987, hlm. 135
46
Idris Al Marbawi, Kamus Arab – Melayu, (Mesir:1350H), 96

22
Mendengar ucapain Aisyah, Nabi menegurnya dengan bersabda,
“Perlahanlah, wahai Aisyah. Hendaklah engkau berlemah lembut dan
hindarilah kekerasan dan ujaran buruk.”

Aisyah berkata, “Tidakkah engkau, wahai Rasul, mendengar apa yang


mereka ucapkan?” Nabi bersabda, “Tidakkah engkau mengdengar apa
yang telah saya ucapkan? Aku menjawab mereka dan Allah mengabulkan
apa yang kumohon buat mereka dan Allah tidak mengabulkan apa yang
mereka mohonkan (keburukan) atasku.”

Dari hadits tersebut terlihat kendati orang-orang berucap buruk terhadap


Nabi, namun dia tetap menjawab salam mereka. Oleh karena itu, sekian
banyak ulama membolehkan atau menganjurkan seorang Muslim
mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Diantara bentuk pemuliaan kepada orang-orang beriman dan perendahan
kepada orang-orang yang kufur kepada Allah adalah dengan tidak
memberikan salam terlebih dahulu kepada mereka47.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫بالسلم النصارى وال اليهود تبدؤوا ال‬

“Janganlah engkau mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam


mengucapkan salam” (HR. Muslim no. 2167).

Maka tidak boleh ucapkan salam kepada mereka baik tahiyyatul Islam
(assalamu’alaikum), atau “salam sejahtera”, “shalom”, “om swastyastu”,
atau salam lainnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

‫والنصارى اليهود هم الكتاب وأهل‬، ‫لعدم األمر؛ هذا في والنصارى اليهود حكم الكفار بقية وحكم‬
‫نعلم فيما الفرق على الدليل‬. ‫مطلقًا بالسلم الكافر يبدأ فل‬

“Ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun orang kafir yang selain
mereka, hukumnya sama seperti mereka dalam masalah ini. Karena tidak
ada dalil yang menunjukkan perbedaan hukum (dalam masalah ini) dari
yang kami ketahui. Maka tidak boleh memulai salam kepada orang kafir
secara mutlak” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/1409).

Baca Juga: Ringkasan Hal-Hal Yang Boleh Dan Tidak Boleh Terhadap Non
Muslim48

Jika orang non Muslim mengucapkan salam, maka jawab dengan


“Wa’alaikum” saja. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

47
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 83. baik baca pada al-Ghazali, AlMunqiz min al-Dhalal, Kairo: Dar al-
Kutub alHadisah, 1974, hlm23
48
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung, Remaja Rosdakarya,
1990, hlm. 72

23
‫ل علَ ْي ُكم َسلَّ َُم إذا‬ ُِ ‫فَقُولوا ال ِكتا‬: ‫وعلَ ْي ُكم‬
ُُ ‫ب أ ْه‬

“Jika ahlul Kitab mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah:


wa’alaikum” (HR. Bukhari no. 6258, Muslim no.2163).

Boleh juga jawab dengan bahasa Indonesia, seperti: “semoga kamu juga”,
atau “kamu juga demikian”. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ل من أحدُ علي ُكم سلَّ َُم إذا‬


ُِ ‫ب أ َ ْه‬ َُ َ‫قلت ما عل‬
ُِ ‫فقولوا الكتا‬: ‫يك‬ َُ

“Jika seorang ahlul Kitab mengucapkan salam kepada kalian maka


jawablah: semoga kalian mendapat apa yang kalian ucapkan” (HR.
Tirmidzi no.3301, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi) 49.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

‫استمروا بل يعبروا حتى تتفرقوا فل لقوكم فإذا لهم تفسحوا ال بالسلم تبدؤونهم ال كما أنكم فالمعنى‬
‫ المسلم لعزة إظهار فيه بل اإلسلم عن تنفير الحديث في وليس…و عليه أنتم ما على‬، ‫يذل ال وأنه‬
‫وجل عز لربه إال ألحد‬

“Makna hadits ini adalah bahwa sebagaimana kalian tidak memulai salam
kepada mereka, maka hendaknya tidak berlonggar-longgar kepada
mereka. Maka ketika bertemu dengan mereka, tidak perlu membuat
kalian berpencar-pencar karena menganggap serius kedatangan mereka.
Namun hendaknya biasa saja dan teruskan aktifitas kalian … dan hadits
ini bukan berarti membuat orang lari dari Islam, bahkan hadits ini adalah
bentuk menujukkan wibawa kaum Muslimin dan bahwasanya tidak
boleh merendahkan orang lain kecuali karena Allah merendahkan
mereka” (Majmu Fatawa Ibnu Al Utsaimin, 3/38).

Baca Juga: Hukum Ghibah Kepada Non Muslim

Memang benar kita diperbolehkan berbuat baik kepada orang-orang


kafir, namun tidak boleh sampai melanggar syariat dan merendahkan
wibawa kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman tentang bolehnya
berbuat baik kepada orang-orang kafir:

‫ّللاُ يَ ْن َها ُك ُُم ال‬


َُّ ‫ن‬ ُِ ‫ِين فِي يُقَاتِلُو ُك ُْم لَ ُْم الَّذِينَُ َع‬
ُِ ‫ن يُ ْخ ِر ُجو ُك ُْم َولَ ُْم الد‬
ُْ ‫ار ُك ُْم ِم‬ ُْ َ ‫طوا تَبَروهُ ُْم أ‬
ِ َ‫ن ِدي‬ ُ ‫ن ِإلَ ْي ِه ُْم َوت ُ ْق ِس‬
َُّ ‫ِإ‬
َُّ ُ‫ن ي ُِحب‬
َ‫ّللا‬ َُ ‫ِطي‬ ْ
ِ ‫ال ُمقس‬ ْ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8) 50.

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

49
Ahmad Tafsir, Op. Cit. hlm. 74
50
Hery Hamersma dalm Tokoh - Tokoh Filsaft Barat Modern, Jakarta, Gramedia, 1986, hlm. 67-68

24
‫ذلك في القول وجملة‬: ‫نحوهم به قمنا باإلحسان اإلحسان ومقابلة والمعروف البر باب من كان ما أن‬
‫قلوبهم لتأليف‬، ‫العليا هي المسلمين يد ولتكن‬، ‫ورفعة والكرامة بالعزة النفس إشعار باب من كان وما‬
‫لهم تحية بالسلم كبدئهم نعاملهم؛ فل الشأن‬، ‫ليسوا ألنهم لهم؛ تكريما الطريق صدر من وتمكينهم‬
‫لكفرهم لذلك أهل‬

“Kesimpulan dari hal ini, selama dalam koridor perbuatan kebaikan dan
ma’ruf serta membalas kebaikan dengan kebaikan, maka kita sikap
mereka demikian, dalam rangka ta’liful qulub. Dan hendaknya ketika
melakukan hal ini posisi kaum Muslimin itu tinggi. Adapun jika dalam
rangka kemanusiaan dengan mengorbankan wibawa dan kemuliaan
kaum Muslimin, maka kita tidak lakukan itu. Semisal memulai salam
untuk menghormati mereka, atau dengans sengaja menempatkan mereka
di jalan utama untuk memuliakan mereka, maka tidak boleh. Karena
mereka bukan kaum yang berhak dimuliakan dan dihormati, disebabkan
kekufuran mereka” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta‘, no.
5313 pertanyaan ke-6)51

8. Hadis: Larangan Berdiri untuk Menghormati Kepada Siapapun


Islam di Nusantara identik dengan keramahan dan kesantunanya.
Masyarakat Nusantara mampu bergaul dan bersikap ramah kepada
siapapun tanpa melihat perbedaan agama, suku,dan ras. Kemampuan
untuk menerima perbedaan ini dapat dimaklumi karena sejak dulu
masyarakat Nusantara sudah terbiasa hidup berbeda. Bahkan Indonesia
ini pun dibangun di atas perbedaan tersebut. Di antara tradisi yang sudah
melembaga di masyarakat kita ialah berdiri ketika tamu datang. Tamu
yang dimaksud bisa jadi seorang ulama, pejabat, orang tua, teman, atau
pun karib-kerabat. Mereka berdiri bukan bermaksud untuk
mengkultuskan atau ingin menghina-hinakan diri, tapi hanya sebatas
menghormati dan menyambut kedatangan tamu52.

Di antara tradisi yang sudah melembaga di masyarakat kita ialah berdiri


ketika tamu datang. Tamu yang dimaksud bisa jadi seorang ulama,
pejabat, orang tua, teman, atau pun karib-kerabat. Mereka berdiri bukan
bermaksud untuk mengkultuskan atau ingin menghina-hinakan diri, tapi
hanya sebatas menghormati dan menyambut kedatangan tamu.

Pada faktanya tradisi ini ternyata tidak hanya berlaku di Nusantara,


tetapi juga terdapat di daerah lain. Tidak hanya berlaku di masa sekarang,
namun sudah ada sejak masa dulu bahkan masa Nabi Muhammad SAW.
Terkait hukum berdiri untuk menghormati kedatangan tamu, Imam An-

51
Amsal Bakhtiar, Op.Cit. hlm. 84
52
Harsa W. Bachtiar, Percakapan Dengan Sinney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat, Jakarta, Djambatan,
1980, hlm. 129

25
Nawawi dalam Fatawa Al-Imam An-Nawawi mengatakan sebagai
berikut.

‫اإلكرام سبيل على فضيلة الحقوق وذوي الفضل ألهل القيام‬، ‫صحيحة أحاديث به جاءت وقد‬، ‫وقد‬
‫ذلك في العلماء وأقاويل السلف أثار من جمعتها‬، ‫وليس معارضتها يوهم مما جاء عما والجواب‬
‫معارضا‬، ‫معروف جزء في ذلك كل أوضحت وقد‬، ‫من السلف عن واشتهر به ونعمل نختاره فالذي‬
‫وأفعالهم أقوالهم‬، ‫ذكرناه الذي الوجه في واستحبابه القيام جواز‬...

Artinya, “Berdiri karena menghormati tamu agung atau orang yang


sepantasnya dihormati termasuk perbuatan mulia dengan maksud
menghormati mereka. Ada banyak hadits shahih terkait permasalahan ini.
Saya telah mengumpulkan pandangan-pandangan orang-orang saleh dan
perkataan ulama tentangnya. Saya juga menjawab penyelesaian dalil yang
dianggap kontradiksi, padahal sejatinya tidak terdapat kontradiksi dalil
dalam kasus ini. Saya telah menjelaskan semuanya pada bagian yang
cukup populer53.

Pendapat yang kami pilih dan kami amalkan, pendapat ini juga didukung
oleh pernyataan ulama salaf, baik berupa perkataan maupun tindakan,
adalah boleh dan dianjurkan berdiri untuk menghormati kedatangan
seseorang sebagaimana yang telah disebutkan.” Pendapat Imam An-
Nawawi ini diperkuat oleh banyak hadits tentang anjuran berdiri karena
kedatangan tamu terhormat. Misalnya kisah Sa’id Ibn Mu’adz yang
datang kepada Nabi Muhammad SAW setelah memutuskan perkara di
Bani Quraizhah. Pada saat hampir sampai di masjid, Nabi Muhammad
SAW memerintahkan kepada kaum Ansor untuk berdiri, “Qumu li
sayyidikum (berdirilah karena kedatangan tuanmu)”54.

Berdiri untuk menghormati orang yang baru datang bukanlah keharusan,


melainkan praktik kesempurnaan etika. Hal tersebut sering dicontohkan
para ulama dan pengikutnya yang terbiasa dengan berdiri untuk
melakukan pernghormatan terhadap orang-orang yang mulia. Terlebih
dengan Islam di Indonesia yang dikenal dengan keramahannya.
Kesempurnaan etika itu bisa dimulai dengan menjabat tangannya dan
menuntunnya55.

Kebiasaan tersebut tidaklah keluar dari ajaran Islam, melainkan sebuah


peninggalan dari jejak Nabi. Dalam hadis diceritakan dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
‫قالت عنها للا رضي عائشة عن‬: ‫ وسلم عليه للا صلى النبي با أشبه كان الناس من احدا رأيت ما‬:
‫إذا وكانت مكانه في يجلسها حتى بها فجاء بيدها أخد ثم فقبلها إليها قام ثم بها رحب اقبلت رأها إذا‬
‫فقبلته اليه قامت ثم به رحبت وسلم عليه للا صلى النبي اتاها‬

53
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 89-90
54
Amsal Bakhtiar, Op, Cit, hlm. 89. Dan lihat Goddes MacGregor, Introduction to Religious Philosophy,
London: Macmillan & coLTD, 1960, hlm. 36
55
Ibid. dan lihat dalam Ahmad Tafsir, Op. Cit. hlm. 58-61

26
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: aku tidak melihat seorang pun di
antara manusia yang lebih menyerupai nabi dalam hal berdialog,
berbicara, dan cara duduknya selain Fatimah Radhiyallahu ‘Anha ”.
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apabila nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam melihat Fatimah datang beliau menyambutnya serta berdiri
untuknya, lalu menciumnya sambil memegang erat tangan Fatimah itu.
Kemudian Nabi menuntun Fatimah sampai mendudukkannya di tempat
beliau biasa duduk. Sebaliknya, apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam yang datang kepadanya, Fatimah berdiri menyambut Nabi
serta mencium Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (HR. Bukhari,
Turmidzi, Abu Dawud)56.

Dalam kisah lain juga diriwayatkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan para shahabat untuk
berdiri memberikan penghormatan kepada Sa’ad bin Muadz
Radhiyallahu ‘Anhu, ketika beliau mendatangi majelis Nabi dan para
sahabat beliau. Saat itu Nabi Saw. menyambut Sa’ad bin Muadz
Radhiyallahu ‘Anhu dengan ucapan;

‫ لسيدكم قوموا‬. ‫البخري رواه‬

“Berdirilah kamu semua, hormatilah sayid kamu ini”.

Dalam kitab Syarhun Nawawi ‘Ala Shahih Muslim dijelaskan juga bahwa
dengan jelas hadis tersebut membolehkan penghormatan terhadap
seorang yang memiliki keutamaan dengan berdiri, kemudian
menyambutnya saat beliau datang. Bahkan lebih detail lagi Imam Nawawi
berkomentar jika perihal ini hukumnya mustahab, yaitu dianjurkan
untuk mengormati orang saleh. Dikarenakan banyaknya hadis yang
menegaskan akan perihal tersebut dan belum ada satu pun larangan tegas
mengenainya57.

Adapun yang munkar adalah berdiri untuk pengagungan. Berdirinya


orang-orang yang sedang duduk untuk pengagungan, atau sekedar berdiri
saat masuknya orang dimaksud, tanpa maksud menyambutnya atau
menyalaminya, maka hal itu tidak layak dilakukan.

Yang buruk dari itu adalah berdiri untuk menghormat, sementara yang
dihormat itu duduk. Demikian ini bila dilakukan bukan dalam rangka
menjaganya tapi dalam rangka mengagungkannya. Sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi Saw. bahwa hal ini tidak boleh dilakukan. Karena itu
Nabi Saw. menyuruh para sahabatnya untuk duduk ketika beliau shalat

56
Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hlm. 100
57
As-sya’ rawi, M. Mutawalli. Bukti – bukti adanya Allah. Jakarta : Gema Insani Press, 1998.

27
sambil duduk, beliau menyuruh mereka supaya duduk dan shalat bersama
beliau sambil duduk58.

58
Sidi Gazalba, Sistematika Buku Pertama Pengantar Kepada Dunia Filsafat (Cet.V; Jakarta : Bulan
Bintang, 1990), h. 67-68

28
PENUTUP
A. Kesimpulan

Keterangan yang sudah penulis jelaskan di atas mengenai pemahaman hadis Nabi,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pemahaman hadis Nabi memiliki berbagai
macam metode dan pendekatan baik itu pendekatan tekstual maupun pendekatan
kontekstual. Uraian tentang metode yaitu metode tah{lili (analitis), ijmali (global) dan
muqa>rin (perbandingan). Sementara mengenai pendekatan dalam sharh} hadis secara
umum ada 2, yaitu: Pertama, pendekatan tekstual, pendekatan ini menitik-beratkan
pada pemaknaan teks lahiriyah, sehingga kemudian pemahaman hadis model seperti ini
lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum. Sedangkan yang kedua pendekatan
kontekstual lebih menggali makna pemahaman hadis Rasulullah dengan
memperhatikan dan mengkaji kaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, sehingga diperoleh pemahaman
hadis yang sesuai dengan konteks zaman sekarang dan tentunya

Pendekatan dalam pemahaman hadis Nabi sebenarnya banyak dibahas dan ditulis oleh
ulama kontemporer, namun kali ini penulis hanya membahas 3 model pendekatan
dalam memahami hadis Nabi. Pertama, pendekatan historis, dalam pendekatan historis
ini informasi tentang sejarah hadis muncul, menjadi bagian hal yang diutamakan untuk
mengetahui pemahamn hadis yang lebih valid. Kedua, pendekatan ilmiah, pendekatan
ilmiah dalam meneliti tentang pemahaman hadis ini, terutama dalam memahami
matannya lebih

memfokuskan pada pengujian hadis yaitu tentang lalat yang jatuh ke dalam sebuah
minuman dan menimbulkan penyakit saat diminum. Ketiga, pendekatan hermeneutik,
pendekatan ini lebih modern karena teori ini biasanya digunakan dalam memahami dan
menafsirkan ayat ayat al-Qur‘an, namun kali ini dioperasikan untuk memahami sebuah
hadis Nabi yaitu ada 4 langkah yang harus dilakukan. Pertama, memahami dari aspek
bahasa. Kedua, memahami konteks historis. Ketiga, mengkomparasikan secara
tematikkomprehensif dan integral serta keempat, memaknai teks dengan mencari ide
dasarnya, dengan mempertimbangkan data-data sebelumnya (membedakan wilayah
tekstual dan konteks).

29
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 2005, Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 211

Abbas Mutawalli, Hamaddah. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri‟ terj. A.


Abdussalam Bandung: Gema Risalah Press, 1997.

Al-Nawawi, Yahya ibn Syarifuddin. Sharh} Matn al-„Arba‟i>n al-Nawawiyah terj.


Harwin Murtadho dan Salafuddin. Jakarta: Al-Qowam, 2004.

Al-Farmawi, Abd al-Hay. Al-Vida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>‟i>. Matba‟ah alHadarah


al-„Arabiyyah, 1997

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: YPI Al-
Rahmah, 2001.

Ali, Nizar. (Ringkasan Desertasi), Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharh}
H{adi>th. Yogyakarta: tt, 2007.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath} al-Ba>ri Sharh} al-S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Terj.Gazirah


Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

Ash-Shawi, Syahhat bin Mahmud. Mah}abbah Ila>hiyyah terj. Nabhani Idris. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. ―Beberapa Asas Metodologi Ilmiah‖,dalam


Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia,
1997.

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang,
1994.

Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik. Jakarta: Mizan, 2000.

Munawwar, Said Agil Husain dan Mustaqim, Abdul. Asbbul Wurud; Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Yase Sarasih, 1989.

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma‟anil Hadis; Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Idea Press, 2008.

Najwah, Nurun. Ilmu Ma‟anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Fuad Ihsan, 2010. Metodologi Ilmu. (Jakarta: Rineka Cipta),160

30
Tim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. et. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Hammersma, 1986, Tokoh-Tokoh MetodologiModern, (Jakarta : Gramedia).35.

Irawan, E.N. 2015. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi dari Klasik sampai
Modern. Yogyakarta: IRCiSoD

M. Arifin, 1991, Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta:Bina Aksara), 87

S. Smith, 1986, Gagasan-Gagasan Tokoh-tokoh Bidang Pendidikan. (Jakarta: Bina Aksara), 29 3

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah


Penafsir Al-Qur‘an, 1973.

Suryadilaga, Alfatih. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer; Potret
Konstruksi Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: UIN Suka Press, 2012.

Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-


Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta: Teras, 2008.

Zuhri, Muhammad. Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:


LESFI, 2003

31

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai