Anda di halaman 1dari 10

LIVING HADIS

Mata Kuliah:
Kajian Islam
Dosen Pengampu:
Nurlaila, M.Ag

Oleh:
Jumyati Putri
NIM: 220303141
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2023 M/1445 H
Pendahuluan
Dialektika antara al-Qur‘an dengan realitas akan melahirkan beragam
penafsiran. Ragam penafsiran ini pada gilirannya akan menghadirkan wacana
(discourse) dalam ranah pemikiran1, serta tindakan praksis dalam realitas social.1
Dalam ranah publik, al-Qur‘an bisa berfungsi sebagai pengusung perubahan,
pembebas masyarakat tertindas, pencerah masyarakat dari kegelapan dan
kejumudan, pendobrak sistem pemerintahan yang zalim dan amoral, penebar
semangat emansipasi serta penggerak transformasi masyarakat menuju kehidupan
yang lebih baik.
Dalam hal ini, ayat-ayat al-Qur‘an berfungsi sebagai terapi psikis, penawar
dari persoalan hidup yang dialami seseorang. Jiwa yang sebelumnya resah dan
gelisah menjadi tenang dan damai ketika membaca dan meresapi makna ayat-ayat
tersebut, Di sisi lain, ada juga yang menjadikan surat atau ayat tertentu sebagai
shifa‘, atau obat2 dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk mengobati penyakit
fisik. Salah satu ayat yang diyakini dapat menjadi obat untuk me-ruqyah orang yang
sakit adalah surat al-Fatihah. Di samping beberapa fungsi tersebut, al-Qur‘an juga
tidak jarang digunakan masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi,
yaitu sebagai alat untuk memudahkan datangnya rezeki. Lazim kita jumpai dalam
fenomena yang terjadi sehari-hari di masyarakat kita, bahwa ada surat-surat atau
ayat-ayat tertentu di dalam al- Qur‘an yang diyakini dapat memancing hadirnya
rezeki, mendatangkan kemuliaan serta berkah bagi orang yang membacanya.
Keyakinan semacam ini pada gilirannya akan melahirkan tradisi membaca surat
tertentu pada waktu-waktu tertentu, baik dilakukan secara pribadi oleh individu-
individu di dalam masyarakat.
Hadis adalah sumber kedua setelah al-Qur‘an yang dipegangi dan ajarannya
diamalkan oleh umat Islam. Ia menjadi standar utama umat Islam 3 dalam usaha
meneladani dan mempraktikkan petunjuk Rasulullah Saw. Dalam banyak hal, apa

1
Fauzi, Perkembangan Tafsir di Aceh (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2018), hal. 17.
2
Maizuddin, Memahami Karakteristik Hadis Nabi: Sebuah Kerangka Dasar Fiqh al-
Hadis, Edisi Pert (Ushuluddin Publishing, 2013), hal. 7.
3
Muhammad Mahfud, “Living Hadis: Sebuah Kajian Epistemologi,” Jurnal Fikroh, 11.1
(2018), hal. 13.

1
yang dilakukan oleh Muhammad Saw digugu dan ditiru secara literal tekstual,
meski banyak pula umat Islam yang berusaha melakukan kontekstualisasi atas suatu
hadis. Perdebatan kaum literalis versus kontekstualis memang perdebatan yang
tidak akan menemukan ujung hilirnya, ia akan ada di sepanjang sejarah manusia,
dalam masalah apapun, bukan hanya agama. Indonesia adalah negara yang kaya
dengan keragaman. Keragaman budaya, bahasa, suku, agama, menandaskan betapa
kayanya negara ini. Dalam masalah agama yang memiliki peranan dominan dalam
konstruksi masyarakat Indonesia, terdapat banyak keragaman praktik
keberagamaan yang berkembang di masyarakat Praktik ini dalam sebuah institusi
yang bernama tradisi, ritual, dan lain sebagainya 4.
Tak jarang pula, sebuah praktik itu diilhami oleh praktik nabi Muhammad
pada zaman Islam awal. Living Hadis menjadi satu hal yang menarik dalam melihat
fenomena dan praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami fenomena dan
praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis yang ada
pada masa lalu dan menjadi satu praktik pada masa kini. Praktik mewarisi tradisi
nenek moyang dan menerima modernitas adalah dua hal dimana persinggungan
dengan praktik yang berlangsung pada masa Rasulullah terjadi, dan itu dilakukan
melalui pengetahuan tentang hadis-hadisnya
Secara sederhana “living hadis” dapat dimaksudkan sebagai gejala yang
nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari maupun
sebagai respons pemaknaan terhadap hadis Nabi Muhammad saw. Istilah yang
sama dapat juga diatributkan pada al-Qur’an, yaitu “living al-Qur’an”. Di sini
terlihat adanya pemekaran wilayah kajian, dari kajian teks kepada kajian sosial-
budaya yang menjadikan masyarakat agama sebagai objeknya5. Beberapa ragam
living hadis yaitu tulis, lisan dan praktek

4
Maizuddin, hal. 9.
5
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2006), hal. 193.

2
Pengertian Living Hadis
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis mengenai istilah pengertian
sunnah dan hadis, khususnya diantara ulama mutaqaddimin dan ulama
muta’akhirin. Menurut ulama mutaqaddimin, hadis adalah segala perkataan,
perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw pasca
kenabian, sementara sunnah adalah segala sesutu yang diambil dari Nabi Saw
tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhkhirin berpendapat bahwa
hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan,
perbuatan atau ketetapan Nabi.
Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi tetap merupakan sebuah ideal yang
hendak diikuti oleh generasi Muslim sesudahnya, dengan menafsirkan berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi yang baru pula 6. Penafsiran
yang kontinu dan progresif ini, di daerah-daerah yang berbeda misalnya antara
daerah Hijaz, Mesir dan Irak disebut sebagai “Sunnah yang hidup” atau Living
Sunnah.
Sunnah di sini dalam pengertian sebagai sebuah praktek yang disepakati
secara bersama (living Sunnah). Sebenarnya Sunnah relatif identik dengan ijma
kaum Muslimin dan ke dalamnya termasuk pula ijtihad dari para ulama generasi
awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam aktivitasnya. Dengan demikian,
“sunnah yang hidup” adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para
ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi 7

Sedangkan menurut Sahiron Syamsudin8, sunnah yang hidup“Living


Hadis” adalah sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama,
penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi. Jadi, menurut dia
hadis bisa diverbalisasikan sesuai dengan kondisi (keadaan) yang dialami suatu
daerah, yang mana pada saat itu timbul permasalahan baru dan tidak ada suatu
hukum yang mengatur tentang permasalahan tersebut. Hadis boleh ditafsirkan

6
Maizuddin, hal. 44.
7
Suryadilaga, hal. 193.
8
Dikutip dari Fadhilah Iffah, “Living Hadis Dalam Konsep Pemahaman Hadis,” dalam
Thullab: Jurnal Riset dan Publikasi Mahasiswa, 1.1 (2021), 1–15 (hal. 7).

3
dengan syarat tidak menghilangkan makna dasar dari hadis tersebut dengan
mempertimbangkan mana yang lebih besar kemudharatan dan kemashlahatannya
bila tidak segera diputuskan.

Sementara Barbara D. Metcalf menyatakan bahwa living hadis mempunyai


makna ganda yang mencakup pemahaman terhadap hadis dan internalisasi
tertulis/teks yang didengar ke dalam kehidupan nyata, living hadis 9. Menurutnya,
living hadis mempunyai tiga pola kerja. Semua terjemahan, khususnya terjemahan
atau ringkasan dari hadits, mengkonstruk sebuah framework untuk melakukan
kritik budaya yang otoritatif dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Kedua, ketika
ada kontestasi antara teks dengan konteks, maka penyelesaiannya melalui teks lain
baik tertulis maupun lisan. Ketiga, semua teks memberikan kontribusi untuk
masyarakat tentang apa yang ingin diketahuinya10.

Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena didalamnya
terungkap berbagai tradisi yang berkembang masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi
wa Sallam. Tradisi-tradisi yang hidup masa kenabian tersebut mengacu kepada
pribadi Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam sebagai utusan Allah Ta’ala. Di
dalamnya syarat akan berbagai ajaran Islam karenanya keberlanjutannya terus
berjalan dan berkembang sampai sekarang seiring dengan kebutuhan manusia.
Adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa
memahami, merekam dan melaksanakan tuntunan ajaran Islam yang sesuai dengan
apa yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam11.

Bentuk-bentuk Living Hadis


Living hadis mempunyai tiga model yaitu tradisi tulisan, tradisi lisan dan
tradisi praktik. Uraian yang digagas ini mengisyaratkan adanya berbagai bentuk
yang lazim dilakukan di satu ranah dengan ranah lainya terkadang saling terkait

9
Dikutip dari Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks
dan Konteks,” Jurnal Holistic, 1.02 (2015), hal. 229.
10
Nikmatullah, hal. 230.
11
Dikutip dari Iffah, hal. 8.

4
erat. Hal tersebut dikarenakan budaya praktik umat Islam lebih menggejala
dibanding dengan dua tradisi lainya, tradisi lisan dan praktik12.
Ada tiga model variasi living hadis yaitu tradisi tulis, tradisi lisan, dan
tradisi praktek. Tradisi tulis biasanya dalam bentuk tulisan yang terpampang
ditempat-tepat strategis dan diyakini bahwa isi tulisan berasal dari Nabi 13. Tradisi
tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis.
Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering
terpampang dalam tempat-tempat yang strategis seperti bus, masjid, pesantren dan
lain sebagainya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang
bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw yang terpampang dalam berbagai
tempat tersebut14.
Model living hadis selanjutnya adalah tradisi lisan. Tradisi lisan dalam
living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang dijalankan umat Islam.
Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat subuh di hari Jum’at. Di kalangan
pesantren yang kyainya hafiz al-Qur’an, shalat subuh hari Jum’at relatif panjang
karena membaca dua ayat yang panjang yaitu Ha mim al-Sajdah dan al-Insan15.
Model living hadis yang terakhir adalah tradisi praktik ini banyak dilakukan umat
Islam. Salah satu contoh adalah masalah waktu shalat di masyarakat Lombok NTB
tentang wetu telu dan wetu limo. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad saw contoh
yang dilakukan adalah lima waktu. Contoh tersebut merupakan praktik yang
dilakukan oleh masyarakat maka masuk dalam model living hadis praktik16.

Pendekatan dalam Kajian Living Hadis


Living Hadis menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan arah
penelitian. Diantaranya adalah:
1. Fenomenologi
Pada awalnya fenomenologi merupakan salah satu disiplin dalam tradisi
filsafat. Berasal dari bahasa Yunani phenomenon yang bermakna sesuatu yang

12
M. Khoiril Anwar, “Living Hadis,” dalam Jurnal Farabi, 12.1 (2015), hal. 74.
13
Nikmatullah, hal. 230.
14
Anwar, hal. 74.
15
Iffah, hal. 9.
16
Anwar, hal. 74.

5
tampak, seuatu yang terlihat. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan mengenai apa
yang tampak. Studi fenomenologi merupakan studi tentang makna.
Agama sebagai fenomena kehidupan sebagai sistem social budaya, artinya
mengkaji agama secara filosofis dan teologis tetapi agama sebagai fenomena
empiris yang mendasari setiap fakta religious. Dalam penelitian fenomenologi
mengandalkan metode penelitian partisipatif, agar peneliti dapat memahami
tindakan agama dari dalam17.
2. Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika mengkaji tentang cara pembaca memahami teks18
yang dimaksud oleh pengarang karena adanya perbedaan waktu, tempat, dan
konteks latar belakang social budaya yang berbeda antara pengarang dan pembaca
yang memunculkan pluralitas pemahaman terhadap teks 19. Terkait dengan aspek
kebahasaan ini, ada 3 yang perlu dikaji: (1) perbedaan redaksi masing-masing
periwayat hadis; (2) makna leksikal/harfiah terhadap lafad yang dianggap penting;
(3) pemahaman tekstual matan hadis dengan merujuk kepada kamus bahasa Arab
atau kitab syarh hadis. b) Memahami konteks historis20. Konteks historis dengan
mengkaji asbab al-wurud hadis dengan merujuk kepada kitab sejarah atau syarh. c)
Mengkorelasikan secara tematik-komprehensif dan integral. Korelasi ini dapat
dilihat dari teks hadis berkualitas shahih atau hasan, realitas empirik, logika dan
ilmu pengetahuan. d) Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya.
3. Studi Naratif
Research naratif adalah suatu tipe desain kualitatif yang spesifik yang
narasinya dipahami sebagai teks yang dituturkan atau dituliskan dengan
menceritakan tentang peristiwa, aksi atau rangkaian peristiwa yang terhubung
secara kronologis. Dari defenisi ini dapat kita petik bahwa yang dimaksud dengan

17
Dhavamony Mariasusai, Phenomenology of Religion (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal.
27.
18
Faisal Haitomi, “Menimbang Hermeneutika Sebagai Mitra Tafsir,” NUN: Jurnal Studi
Alqur’an dan Tafsir di Nusantara, 5.2 (2019), hal. 46.
19
Fahruddin Faiz, Hermeutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005), hal. 5.
20
Hasanuddin Chaer dan Abdul Rasyad, “Hermeneutika Al-Qur’an Suroh Al-Isro’ Ayat 1
Sebuah Tinjauan Kosmologi,” Palapa, 7.1 (2019), hal. 68
<https://doi.org/10.36088/palapa.v7i1.182>.

6
studi naratif adalah narasi, deskripsi paparan yang diomongkan, dituturkan,
diceritakan atau dituliskan secara berurutan atau kronologis. Narasi ini berisi
tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang saling berhubungan.
Contoh dari penelitian ini adalah dengan melihat tokoh hadis dengan
melihat biografi, baik melihat intelektualnya (memoir), atau life story. Seperti life
story perjalanan hidup Imam al-Bukhari, bagaimana perjalanan Bukhara,
Samarkhan, Baghdad, Damaskus, Bashrah, Kuffah, Makkah, Madinah. Bagaimana
misalnya ia bolak- balik dari Makkah ke Madinah hingga belasan kali dengan
menggunakan unta, bagaimana sang ibu berdoa untuk kesembuhan kebutaan al-
Bukhari disaat masih kecil dan seterusnya.
4. Etnografi
Metode etnografi adalah penelitian mengenai kebudayaan suatu komunitas,
masyarakat. Sebuah etnografi berfokus pada sebuah kelompok yang memiliki
kebudayaan yang sama. Boleh jadi, kelompok kebudayaan ini mungkin kecil, tetapi
biayanya besar, melibatkan banyak orang yang berinteraksi sepanjang waktu.
Maka, etnografi adalah sebuah desain kualitatif di mana peneliti mendeskripsikan
dan menafsirkan pola-pola yang sama dari nilai-nilai, perilaku, keyakinan, dan
bahasa dari sebuah kelompok berkebudayaan sama.

Contoh Living Hadis


Tradisi-tradisi keagamaan yang dikemas dengan budaya lokal banyak
dijumpai di dalam Komunitas santri Nahdliyin, yang tentunya belum ada pada
zaman Rasulullah Saw maupun zaman Khulafa’ ar- Rasyidin seperti tahlil. Istilah
ini berasal dari Bahasa Arab “tahlil” yang berarti membaca la Ilaha Illalah. Tapi
dalam istilah yang berlaku kemudian pengertian Tahlilan merupakan kegiatan
orang atau sekelompok orang untuk membaca serangkaian kalimat yag umumnya
terdiri dari Ayar-ayat Al-Qur’an, Shalawat kepada Nabi, Dzikir, Tasbih dan
Tahmid, Istighfar dan Doa.
Semua bacaan-bacaan tersebut mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dari
ayat-ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Nabi Muhammad Saw yang
memerintahkan atau menganjurkannya. Yang baru hanyalah cara mengemas
bacaan-bacaan tersebut, dan cara melakukannya yang disesuaikan dengan

7
perkembangan masyarakat. Dalam hal ini syariah tidak membakukan cara atau hal–
hal lain yang sifatnya sangat teknis. Berbeda dengan cara shalat atau haji yang
memang sudah dibakukan sampai hal-hal yang teknis dan rinci21. Salah staunya
contohnya pada Ayat-ayat al-Qur’an yaitu Imam Muslim meriwayatkan Hadis yang
disampaikan oleh Abu Umamah ra bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda:

‫عن ابي امامة الباهلي قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يقول اقرءوا القران فانّه‬
‫يأتي يوم القيامة شفيعا الصحابه‬
“Dari Abi Umamah al- Bahili ra, dia berkata, "Saya pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda, 'Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an itu akan
datang pada hari kiamat sebagai penolong bagi para pembacanya...”
Di samping hadis tersebut masih banyak hadis lain yang dimuat dalam
beberapa kitab-kitab hadis terkenal lainnya seperti Sahih Bukhari, Sunan Al-
Turmudzi, Sunan Abu Dawud dan lain- lain yang menjelaskan fadhilah
(keutamaan) membaca ayat-ayat al- Qur’an baik secara umum maupun yang khusus
pada surat atau ayat-ayat tertentu saja22.

Penutup
Penelitian Living hadis merupakan model penelitian baru dalam studi hadis.
Selama ini penelitian hadis hanya focus pada penelitian teks baik dalam penelitian
sanad maupun matan. Penelitian living hadis memungkinkan penelitian hadis tidak
hanya fokus pada penelitian pustaka akan tetapi juga penelitian lapangan. Metode
dan pendekatan yang digunakan dalam living hadis tidak berbeda dengan penelitian
social keagamaan lainnya. Penelitian ini bisa menggunakan metode pengambilan
data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sementara untuk pendekatan
menggunakan berbagai pendekatan ilmu social lain seperti pendekatan
fenomenologi, Hermenetika dan lain sebagainya.

21
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jamaah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU
(Jakarta: Lantabora Press, 2004), hal. 238.
22
Hasan, hal. 238.

8
Daftar Pustaka

Anwar, M. Khoiril, “Living Hadis,” Farabi, 12.1 (2015)


Chaer, Hasanuddin, dan Abdul Rasyad, “Hermeneutika Al-Qur’an Suroh Al-Isro’
Ayat 1 Sebuah Tinjauan Kosmologi,” Palapa, 7.1 (2019)
<https://doi.org/10.36088/palapa.v7i1.182>
Faiz, Fahruddin, Hermeutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005)
Fauzi, Perkembangan Tafsir di Aceh (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2018)
Haitomi, Faisal, “Menimbang Hermeneutika Sebagai Mitra Tafsir,” NUN: Jurnal
Studi Alqur’an dan Tafsir di Nusantara, 5.2 (2019)
Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah wal Jamaah: Dalam Persepsi dan
Tradisi NU (Jakarta: Lantabora Press, 2004)
Iffah, Fadhilah, “Living Hadis Dalam Konsep Pemahaman Hadis,” Thullab: Jurnal
Riset dan Publikasi Mahasiswa, 1.1 (2021), 1–15
Mahfud, Muhammad, “Living Hadis: Sebuah Kajian Epistemologi,” Jurnal Fikroh,
11.1 (2018)
Maizuddin, Memahami Karakteristik Hadis Nabi: Sebuah Kerangka Dasar Fiqh
al-Hadis, Edisi Pert (Ushuluddin Publishing, 2013)
Mariasusai, Dhavamony, Phenomenology of Religion (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan
Konteks,” Jurnal Holistic, 1.02 (2015)
Suryadilaga, M. Alfatih, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006)

Anda mungkin juga menyukai