PENDAHULUAN
Perkembangan zaman secara empiris menyebabkan terjadinya perdebatan di kalangan
ulama klasik akan konsep sunnah dan hadis. Para pakar hadis modern tidak ketinggalan juga
dalam memperdebatkan antara konsep living hadis, sehingga living hadis dipahami sebagai
suatu kesepakatan kaum muslimin tentang praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok.
Fazlur Rahman dipandang sebagai penggagas living hadis di era modern dengan
memaknainya sebagaai aktualisasi tradisi yang hidup dalam masyarakat yang bersumber dari
Nabi Muhammad saw. Kemudian dimodifikasi dan dielaborisasi oleh generasi setelahnya
sampai pada masa prakodifikasi dengan beragai perangkat interpretasi untuk dipraktikkan
komunitas tertentu1
Living hadis secara lebih spesifik hanya dilakukan oleh kelompok yang meyakini
kehujatan hadis. Bagi kelompok inkar sunnah atau ingkar hadis, living haadis adalah hal yang
mustahil. Artinya, Ketika terdapat sebuah praktik yang mirip dengan pesan tekstual hadis
nabi, terjadi di dalam komunitas pengingkar sunah atau pengingkar hadis. Ia hanya dapat
disebut sebagai praktik yang kebetulan mirip dengan pesan tekstual hadis, bukan diinspirasi
dari hadis. Itulah yang dimaksud dengan umgkapan bahwa living hadis tidak mungkin terjadi
dalam komunitas pengingkar hadis.
Agar diperoleh pemahaman secara komprehensif tentang sejarah ilmu living hadis,
pentingnya kiranya dilakukan kategorisasi sejarah living hadis, yaitu kategori living hadis
sebagai fenomena sosial. Dalam penyajiannya, sejarah living hadis akan dilihat secara
periodic, yaitu pengungkapan sejarah berdasarkan periode sejarah.
1
Fazlur Rahman, membuka pintu ijtihad (terj) Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 19950, hal. 80.
Makna Living Hadis
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis mengenai istilah sunnah dan hadis,
khususnya di antara ulama mutaqaddim dan ulama muta’akhirin. Menurut ulama
mutaqaddim, hadis adalah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw pasca kenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang
diambil dari Nabi Muhammad saw tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhirin
berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan,
perbuatan atau ketetapan Nabi Muhammad saw. 2
Istilah living hadis dalam kajian islam sering diartikan dengan “hadis atau sunnah
yang hidup”. Kata “living” sendiri diambil dari Bahasa Ingris yang dapat memiliki arti ganda.
Arti pertama yaitu “yang hidup” dan arti kedua adalah “menghidupkan”, atau dalam Bahasa
Arab biasanya disebut dengan istilah “al-hayy dan ihya’. Dalam living hadis atau living
sunnah berarti apat di terjemahkan menjadi menjadi al-sunnah al-hayyah dan dapat juga di
artikan menjadi ihya’ al-sunnah. Dengan demikian, dalam istilah tersebut dapat ditarik dua
makna yaitu “hadis yang hidup dan menghidupkan hadis.3
Secara terminologis , ilmu living hadis dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang
mengkaji tentang praktik hadis. Dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang hadis dari
sebuah realita, bukan dari idea yang muncul dari penafsiran teks hadis. Kajian living hadis
bersifat dari praktik ke teks, bukan sebaliknya dari teks ke praktik. Pada saat yang sama, ilmu
ini juga dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu hadis yang mengkaji gejala-gejala hadis di
masyarakat. Objek yang dikaji, dengan demikian adalah gejala hadis, bukan teks hadis. Ia
tetap mengkaji hadis, namun dari sisi gejalanya, bukan teksnya. Gejala tersebut dapat berupa
benda, prilaku, nilai, budaya, tradisi, dan rasa. Dengan demikian, kajian living hadis dapat
diartikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan
meyakinkan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup
di masyarakat yang diinspirasi dari sebuah hadis nabi.4 Secara sederhana, ilmu ini juga
dapat didefenisikan sebagai ilmu untuk mengilmiahkan fenomena-fenomena atau gejala-
gejala hadis yang ada di tengah kehisupan manusia. Karna itu, ia bertugas menggali ilmu-
ilmu pengetahuan hadis yang ada dibalik gejala dan fenomena-fenomena sosial.
2
Subhi Salih, Ulum al-Hadis wa-mustalahuhu (Beirut: Dar al-Al Ilm Lil-Malayin, 1988), hal. 3-5
3
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 20
4
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 22
Living Hadis Sebagai Fenomena Sosial Keagamaan
Judul di atas sengaja dipilih karena untuk menegaskan bahwa living hadis memang
bukan sekedar sebuah kajian, teori, persepsi, atau asumsi, melainkan juga sebuah realitas
ilmu yang nyata adanya memiliki pondasi dan bangunan yang kokoh. Secara filosofis, bagian
ini akan mengurai sisi ontologis keilmuan living hadis yang merupakan cabang ilmu sosial-
humainora dan sekaligus ilmu hadis. Melalui kajian terhadap sejarah living hadis, dapat
ditegaskan sebuah pernyatan ontologis bahwa ilmu living hadis memang benar-benar ada.
Kesimpulan
Ilmu living hadis yaitu sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik hadis.
Dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang hadis dari sebuah realita, bukan dari idea yang
muncul dari penafsiran teks hadis. Kajian living hadis bersifat dari praktik ke teks, bukan
sebaliknya dari teks ke praktik. Pada saat yang sama, ilmu ini juga dapat didefinisikan
sebagai cabang ilmu hadis yang mengkaji gejala-gejala hadis di masyarakat. Objek yang
dikaji, dengan demikian adalah gejala hadis, bukan teks hadis. Ia tetap mengkaji hadis,
namun dari sisi gejalanya, bukan teksnya. Gejala tersebut dapat berupa benda, prilaku, nilai,
budaya, tradisi, dan rasa.
Dapat disimpulkan bahwa living hadis memiliki perubahan bentuk living, dari yang
pada masa awalnya living lebih cenderung berebentuk lisan yaitu dengan menghafal hadis-
hadis dengan menggunakan memori otak sebagai alat tercanggihnya sampai masa sekarang
22
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 106-108
yang hanya dengan menggunakan teknologi digital umat islam sudah bisa melalukan living
hadis.
Daftar Pustaka
Hasbillah, Ahmad ‘Ubaydi , “living quran-hadis”, Banten: Yayasan wakaf darussunnah,
periwatan khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, iii, 1074.
Al-Tarmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi.
Rahman, Fazlur, membuka pintu ijtihad (terj) Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 19950.
Fajariah, Lailatul, the recent practice of bay’ sallam hadith: study on E-Commerce System,
Jakarta: Darus-Sunnah International For Hadith Science, 2018
Shalih, Subhi, Ulum al-Hadis wa-mustalahuhu, Beirut: Dar al-Al Ilm Lil-Malayin, 1988.
Pancaningrum, Novita, “mazhab: keterkungkungan intelektual atau kerangka metodologis”,
Desember 2015.
Muslim, Sahih Muslim, vii, 186.
Syahputra, Rifki, kepemimpinan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’
tabi’in, dalam jurnal cakrawala ilmiah, Januari 2022.