Anda di halaman 1dari 10

LIVING HADIS SEBAGAI FENOMENA SOSIAL KEAGAMAAN

Dery Andika Dirmi


deryrebon@gmail.com
Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PENDAHULUAN
Perkembangan zaman secara empiris menyebabkan terjadinya perdebatan di kalangan
ulama klasik akan konsep sunnah dan hadis. Para pakar hadis modern tidak ketinggalan juga
dalam memperdebatkan antara konsep living hadis, sehingga living hadis dipahami sebagai
suatu kesepakatan kaum muslimin tentang praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok.
Fazlur Rahman dipandang sebagai penggagas living hadis di era modern dengan
memaknainya sebagaai aktualisasi tradisi yang hidup dalam masyarakat yang bersumber dari
Nabi Muhammad saw. Kemudian dimodifikasi dan dielaborisasi oleh generasi setelahnya
sampai pada masa prakodifikasi dengan beragai perangkat interpretasi untuk dipraktikkan
komunitas tertentu1
Living hadis secara lebih spesifik hanya dilakukan oleh kelompok yang meyakini
kehujatan hadis. Bagi kelompok inkar sunnah atau ingkar hadis, living haadis adalah hal yang
mustahil. Artinya, Ketika terdapat sebuah praktik yang mirip dengan pesan tekstual hadis
nabi, terjadi di dalam komunitas pengingkar sunah atau pengingkar hadis. Ia hanya dapat
disebut sebagai praktik yang kebetulan mirip dengan pesan tekstual hadis, bukan diinspirasi
dari hadis. Itulah yang dimaksud dengan umgkapan bahwa living hadis tidak mungkin terjadi
dalam komunitas pengingkar hadis.
Agar diperoleh pemahaman secara komprehensif tentang sejarah ilmu living hadis,
pentingnya kiranya dilakukan kategorisasi sejarah living hadis, yaitu kategori living hadis
sebagai fenomena sosial. Dalam penyajiannya, sejarah living hadis akan dilihat secara
periodic, yaitu pengungkapan sejarah berdasarkan periode sejarah.

1
Fazlur Rahman, membuka pintu ijtihad (terj) Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 19950, hal. 80.
Makna Living Hadis
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis mengenai istilah sunnah dan hadis,
khususnya di antara ulama mutaqaddim dan ulama muta’akhirin. Menurut ulama
mutaqaddim, hadis adalah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw pasca kenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang
diambil dari Nabi Muhammad saw tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama muta’akhirin
berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan,
perbuatan atau ketetapan Nabi Muhammad saw. 2
Istilah living hadis dalam kajian islam sering diartikan dengan “hadis atau sunnah
yang hidup”. Kata “living” sendiri diambil dari Bahasa Ingris yang dapat memiliki arti ganda.
Arti pertama yaitu “yang hidup” dan arti kedua adalah “menghidupkan”, atau dalam Bahasa
Arab biasanya disebut dengan istilah “al-hayy dan ihya’. Dalam living hadis atau living
sunnah berarti apat di terjemahkan menjadi menjadi al-sunnah al-hayyah dan dapat juga di
artikan menjadi ihya’ al-sunnah. Dengan demikian, dalam istilah tersebut dapat ditarik dua
makna yaitu “hadis yang hidup dan menghidupkan hadis.3
Secara terminologis , ilmu living hadis dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang
mengkaji tentang praktik hadis. Dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang hadis dari
sebuah realita, bukan dari idea yang muncul dari penafsiran teks hadis. Kajian living hadis
bersifat dari praktik ke teks, bukan sebaliknya dari teks ke praktik. Pada saat yang sama, ilmu
ini juga dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu hadis yang mengkaji gejala-gejala hadis di
masyarakat. Objek yang dikaji, dengan demikian adalah gejala hadis, bukan teks hadis. Ia
tetap mengkaji hadis, namun dari sisi gejalanya, bukan teksnya. Gejala tersebut dapat berupa
benda, prilaku, nilai, budaya, tradisi, dan rasa. Dengan demikian, kajian living hadis dapat
diartikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan
meyakinkan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup
di masyarakat yang diinspirasi dari sebuah hadis nabi.4 Secara sederhana, ilmu ini juga
dapat didefenisikan sebagai ilmu untuk mengilmiahkan fenomena-fenomena atau gejala-
gejala hadis yang ada di tengah kehisupan manusia. Karna itu, ia bertugas menggali ilmu-
ilmu pengetahuan hadis yang ada dibalik gejala dan fenomena-fenomena sosial.

2
Subhi Salih, Ulum al-Hadis wa-mustalahuhu (Beirut: Dar al-Al Ilm Lil-Malayin, 1988), hal. 3-5
3
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 20
4
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 22
Living Hadis Sebagai Fenomena Sosial Keagamaan
Judul di atas sengaja dipilih karena untuk menegaskan bahwa living hadis memang
bukan sekedar sebuah kajian, teori, persepsi, atau asumsi, melainkan juga sebuah realitas
ilmu yang nyata adanya memiliki pondasi dan bangunan yang kokoh. Secara filosofis, bagian
ini akan mengurai sisi ontologis keilmuan living hadis yang merupakan cabang ilmu sosial-
humainora dan sekaligus ilmu hadis. Melalui kajian terhadap sejarah living hadis, dapat
ditegaskan sebuah pernyatan ontologis bahwa ilmu living hadis memang benar-benar ada.

1. Al-Sunnah al-Hayyah Pada Masa Nabi


Pada masa Nabi, segala yang terjadi pada diri Nabi, hal yang terjadi atas
persetujuan atau intruksi Nabi, maupun praktik yang terjadi di sekitar Nabi dapat disebut
sebagai sunnah. Tak jarang pada masa setelah Nabi, para sahabat menyebutkan bahwa suatu
perbuatan aau tradisi pernah terjadi pada masa Nabi.
Istilah yang tepat untuk menyebutk tradisi atau budaya pelaksanaan sunnah
Nabi adalah al-sunnah al-hayyah, bukan ihya’ al-sunnah. Karena, semua sunnah telah hidup
pada masa Nabi. Nabi sendiri yang menghidupkannya. Sehingga, semua yang terjadi pada
diri Nabi dapat dengan segera ditiru dan dihidupkan oleh sahabat-sahabatnya.5
Bahkan, Ketika menyangkut hal yang paling remehsekalipun, para sahabat
dengan semangat menghidupkannya. Ketika mereka melihat Nabi mengenakan cincin, tanpa
keinginan mengetahui filosofi cincin yang dikenakan Nabi, mereka pun beramai-
ramaimengenakannya. Ketika Nabi melepas dan membuangnya, tanpa bertanya-tanya,
mereka pun segera melepas dan membuang cincin masing-masing. 6 Ketika Nabi shalat
mengenakan sendal, mereka pun mengikutinya meskipun tanpa perintah oleh Nabi. Ketika
melihat Nabi melepaskannya, mereka pun tanpa bertanya, juga lansung melepas sendal
mereka.7
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa fenomena al-sunnah al-hayyah yang
dilakukan oleh para sahabat pada masa Nabi adalah membentuk sejenis sikap puritan dalam
hal beragama. Mereka berusaha menyesuaikan diri agar dapat menjadi semirip mungkin
dengan apa yang dilakukan, disabdakan, atau ditetapkan oleh Nabi. Meski demikian,
puritanisme yang lahir saat itu adalah puritanisme positif, yaitu puritanisme yang terbuka
5
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 66
6
Sahih Muslim, no. 5605
7
Hadis ini sangat popular, diantaranya adalah Riwayat al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tarmidzi, al-Nasai,
dan Ibnu Majah
terhadap aspirasi dan inisiatif-inisiatif baru dari orang-orang muslim. Dengan demikian,
fenomena al-sunnah al-hayyah pada masa Nabi adalah fenomena puritanisme yang arif dan
terbuka terhadap perbedaan dan keberagaman. Bukan puritanisme tertutup, yang anti
terhadap perbedaan, keragaman, kebaruan, dan inisiatif-inovasi, puritanisasi yang mereka
lakukan itu tidaklah bersifat material, melainkan substansi.

2. Ihya’ al-Sunnah Pada Masa Sahabat


Sepeninggalan Nabi, para sahabat yang telah berhasil menghidupkan sunnah
Nabi pada masa Nabi, mereka tidak diam saja di Madinah, untuk melestarikan tradisi
kenabian yang telah terbangun dengan bagus. Mereka justru keluar dari Madinah untuk lebih
menghidupkan lagi sunnah Nabi.
Pada masa Abu Bakar, ihya’ al-sunnah adalah utnuk puritanisasi dan
menghidupkan kembali ajaran yang telah berlansung pada masa Nabi. Ada beberapa
kebijakan Abu Bakar yang menarik untuk dikaji sebagai sejarah dan pola living hadis pada
sepeninggalan Nabi. Diantaranya adalah kebijakan berperang melawan orang-orang yang
menolak membayar zakat dan orang-orang yang murtad, serta kebijakan mengumpulkan al-
quran.8
Terkait dengan masalah kebijakan berperang menghadapi orang-orang yang
menolak membayar zakat dan orang-orang yang murtad, Abu Hurairah melaporkan kisah
sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah yang mengisahkan, “ketika Rasulullah saw wafat,
kemudian Abu Bakar ra. menggantikannya sebagai pemimpin umat, serta banya orang Arab
yang kufur (menolak) [terutama terhadap kewajiban zakat yang dihidupkan oleh Abu Bakar],
Umar pun memberikan klarifikasi kepada Abu Bakar, ‘bagaimana engkau memerangi orang-
orang [Islam yang tak lain adalah rakyatmu sendiri], sedangkan Rasulullah pernah bersabda
‘Aku diperintahkan untuk memerangi orang sampai ia mengucapkan la ilaha illallah. Siapa
yang mengucapkannya, makai a telah melindungi harta dan darahnya sendiri dariku, kecuali
ada sebab yang menghalalkannya untuk diperangi. Adapun urusan perhitungan mereka adalah
urusan Allah”. Abu Bakar pun menimpalinya, ‘Demi Allah, aku akan tetap memerangi orang
yang membedakan shalat dan zakat, karna zakat adalah hak harta dan shalat adalah hak jiwa.
Demi allah, seandainya mereka tetap menolak untuk membayar zakat onta yang dulu mereka
bayarkan kepada Rasulullah saw, pasti aku akan memerangi mereka atas penolakannya itu.’
Mendengar jawaban itu, Umar pun berseloroh lega, ‘Demi Allah, menurutku Allah benar-
8
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 75
benar melapangkan hati Abu Bakar untuk menetapkan kebijakan perang itu. Aku pun
memahaminya, bahwa kebijakan itulah yang benar!” (HR. al-Bukhari dan Muslim).9
Demikianlah peran sahabat Nabi dalam ihya’ al-sunnah dan perkembangannya
menjadi sunnah al-hayyah yang beeragam di berbagai daerah. Nyaris tak ada Islam yang
tidak memiliki dasar yang mengakar kuat dari sahabat Nabi. Karena, untuk mencapai
oritinalitas dan otentisitasnya, hanya sahabat yang dapat diandalkan untuk menjadi saluran
utama menuju sumbernya yang satu, yaitu al-quran dan sunnah.10

3. Ihya’ al-Sunnah Pada Masa Tabi’in


Tabi’in adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam
keadaan beriman, dan meninggal dalam keadaan berian juga.11
Pada masa khalifahan Umayyah, ihya’ al-sunnah lebih rumit lagi, baik motif
maupun bentuknya. Ada motif politik dan ada motif budaya, serta motif-morif lainnya. Ihya’
al-sunnah juga lebih terorganisir dan terlembaga dari sebelumnya. Termasuk juga ihya’ al-
sunnah berupa periwayatan hadis secara formal dengan sanad lengkap yang sistematis dan
terbukukan yang dikepalai oleh Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124. H). semuanya dikoordinir oleh
pemerintah, meskipun sedikit juga yang dibina lansung oleh para ulama akademisi diluar
istana.
Ihya’ al-sunnah secara tulisan yang menghasilkan produk beruba kitab-kitab
ensiklopodik itu memiliki dampak sosiologi yang besar dalam keberagaman umat Islam. Saat
itu pulalah mulai muncul formulasi sunnah yang baku. Kegiatan ihya’ al-sunnah pun tidak
melulu didasarkan kepada sumber lisan dan praktik, melainkan juga kepada sumber tulisan.
Disinilah, awal mula tekstualisme berkembang dari yang semula berbasis ujaran, kini
berbasis tulisan. Bahkan, ia juga menjadi awal pendokumentasian sunnah sahabat oleh para
tabi’in.12
Secara lisan, sunnah al-hayyah dalam bentuk periwatan jelas berlansung
dengan baik. Buktinya adalah bnyaknya periwayat hadis dari generaasi ini yang menjadi
common link (madar al-riwayah). Mereka menjadi pusat edar sanad-sanad hadis. Artiya,
pembacaan hadis sangat hidup pada masa ini, apalagi diiringi dengan pembukuan hadis,
sehingga pembacaan semakin massif lagi, karena tidak lagi serta merta berbasis hafalan.
9
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), hadis no. 6855; Muslim, Sahih Muslim
(Beirut: Dar al-Jil, t.th), I,38, hadis no. 133.
10
Ahmad ‘Ubaidy Hasbillah, periwatan khawarij dalam Literatur Hadis Sunni (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah,
2013), hal. 174.
11
Ibid, hal. 47.
12
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 91
Pembacaan hadis tetap dipeerlukan dalam ihya’ al-sunnah, meskipun bnyak hadis yang
terbukukan, karena untuk menjaga eksistensinya.
Ihya’ al-sunnah terhadap hadis man kadzaba ‘alayya muta’ammidan” adalah
termasuk hal yang massif, sehinggga menimbulkan gerakan penulisan hadis dan kritik hadis.
Isnad adalah produknya. Ibn Sirin, dengan statemen popularnya menegaskan,
“Dahulu, meereka tidak pernah menanyakan isnad, setelah terjadinya fitnah kubra,
mereka selalu berkata ‘sebutkan kepada kami guru yang mengajari kalian.’ Lalu di timbang-
timbang. Jika mereka termasuk ahlussunnah, maka ariwayat mereka dapat diterima. Namun,
jika mereka termasuk ahli bid’ah, maka ditolak periwayatannya.”13
Pengindasan, atau penyebutan sanad, dalam hal ini dapat dikategorikan dalam
bentuk ihya’ al-sunnah dari hadis yang hidup. Ia adalah al-sunnah al-hayyah tentang
klarifikasi berita. Hasilnya luar biasa, bukan hanya isnad yang tersistematisir hingga menjadi
identitas utama ahli hadis, melainkan berupa metodologi kritik hadis. Semua itu adalah
bagian dari fenomena ihya’ al-sunnah yang sangat penting untuk dikaji. Tujuannya masih
sama, yaitu purifikasi ajaran islam atau sunnah Nabi.

4. Ihya’ al-Sunnah Pada Masa Tabi’ al-Tabi’in


Tabi’ al-tabi’in adalah generasi ke-3 muslim setelah tabi’in dan generasa
sahabat Rasulullah saw. Diantara mereka ada yang merupakan anak dari tabi’in atau cucu dari
Rasulullah saw. Menurut defenisi sunni, tabi’in adalah ulama yang pernah berjumpa dengan
minimal seorang tabi’in.14
Living hadis dalam bentuk tulisan juga tampak dalam bentuk praktik
bersalawat. Pada periode ini, praktik bersalawat tidak hanya dilakukan secara lisan,
melainkan juga secara tulisan. Pada masa Nabi, sunnah al-hayyah bersalawat hanya berlaku
pada saat tasyahud dalam shalat, pada saat mengawali dan menghakhiri do’a, serta pada
momen-momen tertentu. Namun, pada periode ini, tepatnya pada abad ke-4 H, praktik
bersalawat hidup lagi. Salawat dihidupkan dalam bentuk tulisan, dan disertakan dalam bentuk
setiap penulisa nama Nabi Muhammad. Setiap kali ditulis nama Nabi, selalu disertai dengan
penulisan salawat setelahnya. Salawat ditulis diawal kitab dan pembuka surat-menyurat.
Padahal, jika melihat surat Nabi kepada raja pada masanya, tidak ada keterangan adanya
penulisan salawat setelah penyebutan namanya.15
13
Muslim, Sahih Muslim, I, 11, hadis no. 27.
14
Rifki Syahputra dkk, kepemimpinan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ tabi’in, dalam
jurnal cakrawala ilmiah, Vol.1, No. 5, (Januari 2022), hlm. 1154
15
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 98
Abu Sufyan berkisah, bahwa raja Romawi itu minta diberikan surat
Rasulullah saw, yang isinya adalah, bismillahirrahmanirrahim Dari Muhammad (tabpa
disertai salawat setelah nama tersebut) Kepada Heraklius, raja Romawi.16
Barulah pada masa-masa pentradisian penulisan salawat setelah nama Nabi
pada masa Harun al-Rasyid, para ulama hadis selalu menambahkan salawat setelah nama
Nabi ataupun inisialnya. Penulisan seperti ini belum pernah teerjadi pada masa sahabat,
bahkan, tidak ada kabar kebiasaan para sahabat membaca salawat saat mendengar nama Nabi.
Memang, ada perintah dari Nabi yang berisikan anjuran membaca salawat setiap kali
mendengar nama Nabi disebutkan. Hanya saja, kabar tentang bagaimana para sahabat
melalukannya belum dijumpai dalam literatur kitab hadis maupun literatur lainnya.
Dari Husein bin Ali bin Abu Thali bra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
“orang pelit adalah Ketika mendengar namaku disebut, enggan bersalawat kepadaku.” (HR.
al-Tarmidzi, hadis hasan sahih).17
Dalam perkembangannya, tradisi ihya’ al-sunnah ini juga mengalami dinamika
yang kompleks. Bahkan, tak jarang terjadi kerancuan sehingga muncul kekeliuran dalam
menangkap riwayat hadis. Tak hanya itu, kompleksitas dinamikanya juga sampai kepada
pemalsuan hadis. Popularitas hadis yang dihisupkan itu membuat para pengamal hadis dan
simpatisannya banyak berkisah dan mengekspresikan kesan-kesannya. Mereka kemudian
membuat pernyataan impresif yang tak jarang dikira hadis. Muncullah hadis palsu. Dan,
praktis hadis-hadis lemah dan palsu itu pun juga turut mewarnai dinamika ihya’ al-sunnah.
5. Ihya’ al-Sunnah Pada Masa Pascamazhab
Mazhab beerasal dari sighot mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan ( kata
yang menunjukkan tempat) yang di ambil dari fiil madhi “zahaba”, yazhabu, zahaban,
zahuban, mazhaban, yang berarti pergi. Sementara menurut istilah terdapat dua hal : (1) yaitu
jalan pikiran atau metode yang di tempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menentukan
hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Quran dan Hadis, (2) yaitu fatwa atau pendapat
seorang imam mujtahid dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-
Quran dan Hadis.18
Keberadaan mazhab dalam bidang tertentu itu sendiri pada dasarnya juga
merupakan wujud “living sunnah”. Ia merupakan wujud nyata dalam lembaga pemikiran
yang mengakodimir dan mensistematisir tradisi (al-sunnah al_hayyah) dari tiga generasi
16
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, iii, 1074, hadis no. 2782, 4278, 5905
17
Al-Tarmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th), v, 551, hadis no. 3546.
18
Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum, “mazhab: keterkungkungan intelektual atau kerangka metodologis”,
dalam jurnal YUDISIAH Vol. 6, no.2 (Desember 2015), hal. 396.
terbaik umat islam. Ketiga generasi itu dipilih sebagai role model pengamalan hadis karena
dinilai paling dekat dan paling bnyak mengetahui praktik kenabian. Ini juga didasari hadis
Nabi, “generasi terbaik adalah generasiku, generasi selanjutnya, dan generasi selanjutnya
lagi.” (HR. Muslim).19
Dengan adanya hadis tersebut, para ulama kemudian memahaminya secara
literal bahwa generasi terbaik adalah sahabat. Nabi dianggap baik Sebagian besar ulama
Islam. Selanjutnya, mereka juga merasa perlu untuk merujuk pendapat para ulama generasi
tabi’in yang juga disebut generasi terbaik kedua. Lalu, merujuk kepada ulama selanjutnya,
yaitu tabi’ al-tabi’in yang merupakan generasi terbaik ketiga. Sedangkan mayoritas ulama
yang dijadikan sebagai referensi utama atau “pendiri mazhab” adalah ulama generasi ketiga.
Sebagian besar amaliah living mereka sebenarnya merupakan ramuan para
ulama sebelumnya. Ini karena pada dasarnya dalam beragama itu “tidak ada yang benar-benar
baru”. Bahkan Ketika dapat suatu kasus atau fenomena keagamaan yang benar-benar baru
seperti “transaksi online syar’i” misalnya, ternyata dapat dicarikan akarnya padanannya
dalam tradisi muslim awal, baik itu Nabi, masa sahabat, atau minimal masa-masa setelahnya,
melalui kegiatan kias, ilhaq, atau sejenisnya.20
Pada masa inilah living hadis sangat praktis. Seorang muslim ketika hendak
menghidupkan sunnah, cukup mengikuti apa yang dikatakan guru mazhab, atau mengikuti
ulama otoritatif pada di mazhabnya. Negatifnya, praktik living sunnah begini para
pengamalnya tidak akan mengetahui dasar tradisi yang mereka lakukan teersebut dari hadis.
Sedangkan kelebihannya, mereka tidak perlu untuk berfikir sendiri tentang sebuah hadis dan
cara pengamalannya, karena tugas pemahaman dan pengamalan yang tepat bukanlah
pekerjaan ssetiap muslim. Hanya muslim yang telah memiliki kompetensi khusus saja yang
otoritatif untuk merumuskannya.21

6. Living Hadis di Era Kontemporer


Di era ini, teknologi merupakan hal yang niscaya, sebagai anak dari
modernisasi industrialisasi yang merupakan imbaas dari revolusi prancis yang berpengaruh
19
Muslim, Sahih Muslim, vii, 186, hadis no. 6634-6640.
20
Lihat skripsi mahasiswa, Lailatul Fajariah, the recent practice of bay’ sallam hadith: study on E-Commerce
System, (Jakarta: Darus-Sunnah International For Hadith Science, 2018)
21
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 105.
terhadap peradaban dunia, teknologi pun tak dapat dipisahkan dari kajian agama dan
keberagamaan. Betapa bnyak saat ini, muslim banyak teerbantu oleh kemajuan dan
kecanggihan teknologi dalam berliving hadis. Akibatnya, living hadis pun tidak berbasis
lisan, tulisan, dan perbuatan semata, melainkan juga merambah ke basis teknologi digital dan
multimedia.
Jika pada masa awal, tepatnya pada masa tradisi lisan, menghidupkan sunnah
merupakan menghafal hadis adalah mengandalkan otak sebagai teknologi tecanggihnya, kini
umat islam juga menggunakan memori eksterna, yaitu memori handphone yang dinilai lebih
praktis dan lebih canggih. Hadis ada dimana-mana, siapapun dapat mengaksesnya dengan
mudah dan lebih mudah untuk dibaca dan di pelajari. Digitalisasi hadis adalah bagian dari
ihya’ al-sunnah terkini di era milenial yang serba digital. Sedangkan produk-produknya yang
berupa multimedia, meme, facebook, youtube dll, meerupakan al-sunnah al-hayyah. Itulah
sunnah kebendaan yang hidup pada masa kini.
Sementara itu, fenomena aktivitas masyarakat dalam berinteraksi dengan hadis
dalam dunia maya atau berbagai media sosial adalah wujud nyata dari adanya sunnah yang
hidup. Itulah sunnah kemasyarakatan yang hidup di era digital ini. Adanya group one day one
WhatsApp hadis misalnya adalah bukti nyata adanya living sunnah dalam bentuk digital.22

Kesimpulan

Ilmu living hadis yaitu sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik hadis.
Dengan kata lain, ilmu ini mengkaji tentang hadis dari sebuah realita, bukan dari idea yang
muncul dari penafsiran teks hadis. Kajian living hadis bersifat dari praktik ke teks, bukan
sebaliknya dari teks ke praktik. Pada saat yang sama, ilmu ini juga dapat didefinisikan
sebagai cabang ilmu hadis yang mengkaji gejala-gejala hadis di masyarakat. Objek yang
dikaji, dengan demikian adalah gejala hadis, bukan teks hadis. Ia tetap mengkaji hadis,
namun dari sisi gejalanya, bukan teksnya. Gejala tersebut dapat berupa benda, prilaku, nilai,
budaya, tradisi, dan rasa.
Dapat disimpulkan bahwa living hadis memiliki perubahan bentuk living, dari yang
pada masa awalnya living lebih cenderung berebentuk lisan yaitu dengan menghafal hadis-
hadis dengan menggunakan memori otak sebagai alat tercanggihnya sampai masa sekarang

22
Ahmad ‘ubaydi hasbillah, “living quran-hadis”, (Banten: Yayasan wakaf darussunnah, 2019), hal. 106-108
yang hanya dengan menggunakan teknologi digital umat islam sudah bisa melalukan living
hadis.

Daftar Pustaka
Hasbillah, Ahmad ‘Ubaydi , “living quran-hadis”, Banten: Yayasan wakaf darussunnah,
periwatan khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, iii, 1074.
Al-Tarmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi.
Rahman, Fazlur, membuka pintu ijtihad (terj) Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 19950.
Fajariah, Lailatul, the recent practice of bay’ sallam hadith: study on E-Commerce System,
Jakarta: Darus-Sunnah International For Hadith Science, 2018
Shalih, Subhi, Ulum al-Hadis wa-mustalahuhu, Beirut: Dar al-Al Ilm Lil-Malayin, 1988.
Pancaningrum, Novita, “mazhab: keterkungkungan intelektual atau kerangka metodologis”,
Desember 2015.
Muslim, Sahih Muslim, vii, 186.
Syahputra, Rifki, kepemimpinan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’
tabi’in, dalam jurnal cakrawala ilmiah, Januari 2022.

Anda mungkin juga menyukai