Anda di halaman 1dari 16

TSAQALAYN:

‘Itrah (Ahl Al-Bayt) dan Sunnah dalam Pandangan Ulama Hadits Sunni1

Oleh:
Mohamad Anton Athoillah2

Pendahuluan
Tulisan ini berasal dari sebuah penelitian hadits yang meneliti adanya empat versi matan
Hadits mengenai apa-apa yang, secara tekstual, ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw, bagi
ummatnya, yaitu: pertama, versi yang menyatakan bahwa beliau hanya meninggalkan Qur’an;
kedua, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan Qur’an dan ‘Itrah-nya atau Ahl al-
Bait-nya; keluarga dan keturunannya; ketiga, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan
Qur’an dan Sunnahnya; dan keempat, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan
Qur’an, Sunnah-nya dan ‘Itrah-nya. Dari keempat versi itu, versi ketigalah yang lebih populer,
paling tidak, pada masyarakat sunni Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode takhrij. Sebuah metode baku yang
biasa dipakai untuk meneliti otentisitas, validitas dan, dalam batas-batas tertentu, reliabilitas
hadits. Tulisan ini sekaligus juga memberikan contoh bagaimana metode ini dilaksanakan dengan
sebisa mungkin melihat berbagai aspek yang menyertainya yang dipandang perlu untuk
diungkapkan sebagai kelengkapan aplikasi metode tersebut.

Hadits: Definisi Sudut Pandang


Secara umum, Hadits difahami sebagai rekaman dari potret kehidupan Nabi di hadapan
para sahabatnya. Bisa juga Hadits difahami sebagai respon Nabi atas apa yang terjadi di
hadapannya, baik dari kalangan para sahabatnya, ataupun lebih dari itu. Untuk kasus-kasus
tertentu, Hadits muncul bisa berupa kebijakan Nabi yang terjadi hanya sesekali. Bisa juga
merupakan tradisi Nabi, dalam arti bahwa beliau melafalkan dan mengerjakannya dalam
rangkaian kontinuitas perilaku sehari-hari. Intinya, Hadits merupakan informasi kehidupan Nabi
di hadapan para sahabatnya, yang dengan cara tertentu, informasi itu sampai kepada masyarakat
muslim yang hidup pada generasi berikutnya.
Ketika masih hidup, bimbingan keagamaan dan kehidupan bermasyarakat lainnya, Nabi
berikan kepada kaum muslimin, berdasarkan wahyu yang terdapat dalam Qur’an dan dengan
ucapan-ucapan serta tingkah laku beliau di luar (teks) Qur’an. Ketika beliau wafat, (nilai-nilai)
Qur’an terus diberlakukan. Namun, bimbingan keagamaan yang bersifat pribadi dan otoritatif
(dengan sendirinya) menjadi terputus. Keempat khalifah, yang dihadapkan pada situasi baru,
selalu menerapkan kebijakan-kebijakan mereka berdasarkan semangat Qur’an dan apa yang telah
diajarkan oleh Nabi saw kepada mereka, berdasarkan pemahaman mereka.
Pada saat itu, apa yang telah diajarkan Nabi saw, juga apa yang telah didengar dan dilihat
oleh para sahabat mengenai beliau, belum difahami sebagai Hadits seperti layaknya Hadits

1 Makalah disampaikan pada acara Bedah Buku dengan judul Misteri Wasiat Nabi; Asal Usul Sunnah Sahabat,
Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri, karya K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., yang diselenggarakan oleh PP
IJABI di Aula Muthahhari, Jl. Kampus II Kiaracondong, Bandung, Sabtu, 4 Juli 2015. Makalah ini merupakan
ringkasan dari disertasi penulis yang berjudul Riwayat Hadits Taraktu Fi Kum, Kritik Sanad Hadits serta Telaah
terhadap Perbedaan antara Kata “Ahl Al-Bait” dan “Sunnah”, pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidaya-
tullah Jakarta, tidak dipublikasikan, tahun 1999. Untuk referensi, pembaca dapat merujuk langsung disertasi
tersebut.
2 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
difahami sekarang ini. Para sahabat masih memandangnya sebagai suatu nilai keteladanan yang
harus diingat, ditiru dan ditaati karena hal itu juga diperintahkan oleh Qur’an. Realitas inilah yang
menyebabkan para orientalis memandang Hadits, dalam pengertian sekarang, secara skeptis. Ada
yang menolak secara keseluruhan dan ada pula yang menolak sebagian besar Hadits. Mereka
berpendapat hampir tidak mungkin menyelidiki secara seksama, dengan penuh keyakinan,
materi-materi Hadits yang sangat luas, sebagai bagian yang benar-benar bersambung kepada Nabi
(saw) atau generasi permulaan para sahabat (ra). Bagi mereka, Hadits itu lebih dianggap sebagai
suatu rekaman pandangan dan sifat generasi permulaan kaum muslimin dari pada kehidupan dan
ajaran Nabi saw atau bahkan sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, mereka perkesimpulan bahwa
Nabi tidak meninggalkan Sunnah atau Hadits. Nabi hanyalah meninggalkan Qur’an. Sehingga,
Sunnah sebagai pengamalan masyarakat muslim permulaan sesudah Muhammad (saw), sama
sekali bukan Sunnah Nabawiyah, melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang
disesuaikan (dengan ajaran Nabi) menurut Qur’an, dan pengembangan konsep Sunnah
Nabawiyah baru dilakukan pada generasi berikutnya.
Anggapan tersebut berimplikasi pada pemahaman tentang pengembangan konsep Sunnah
Nabawiyah. Konsep ini dikembangkan, setelah terjadinya pembagian dua aliran Hadits, pada
periode Bani Umayyah, yang melahirkan dua prinsip versi yang berbeda; yang terdiri atas aliran
Irak dan aliran Syiria-Madinah. Sekalipun pada mulanya kedua aliran tersebut tidak merumuskan
kepentingan-kepentingan atau hak-hak politik pada masa lalu, akhirnya, mereka melakukan
interpretasi juga tentang masa lalu itu, sampai akhirnya timbul satu keberpihakan (di antara
mereka) dan polemik (yang mereka ciptakan bersama), yang akhirnya memisahkan kedua aliran
tersebut.

Peninggalan Nabi: Persoalan Otentisitas Transmisi dan Kontradiksi


Penelitian ini menemukan data yang menggugurkan pendapat para orientalis di atas tentang
Hadits dan aspek-aspek lain dari kesejarahan bangsa Arab (masyarakat Islam) pada waktu itu.
Perbedaan itu terletak, paling tidak dalam empat hal berikut ini. Pertama, kedaan masyarakat
Arab yang terkenal kuat di bidang hafalannya. Sebelum Hadits dihimpun dalam kitab-kitab
Hadits secara resmi dan masal, pada umumnya, Hadits diajarkan dan diriwayatkan secara lisan
dan hafalan; kedua, pencatatan Hadits pada waktu itu sebetulnya sudah ada. Hanya saja kegiatan
pencatatannya, selain masih dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para pencatatnya, belum
bersifat (resmi dan) massal, ketiga, ketika semakin banyak sahabat yang wafat, sejalan dengan
kian banyaknya masalah yang muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang, kaum
muslimin merasakan perlunya mengumpulkan informasi tentang Nabi saw. Sehingga, usaha
mengumpulkan dan menyusun Hadits secara tertulis terus menemukan momentumnya, dan
keempat, dalam praktek kehidupan sehari-hari, pada masa Nabi saw, sahabat dan generasi
berikutnya, perincian dari sejumlah prinsip dasar dan garis-garis besar masalah yang tidak
terdapat dalam Qur’an, bisa ditemukan dalam Hadits, sehingga Hadits tetap eksis dalam
kehidupan kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa bagian
terbesar dari konsep (kehidupan) Islam ditemukan dalam Hadits yang kemudian dikenal dengan
nilai-nilai Sunnah Nabawiyah tersebut.
Hadits yang bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi saw itu (dengan
diketahui oleh para sahabat), menyebar secara simultan seiring dengan penyebaran Islam ke
berbagai wilayah. Pasukan militer kaum muslimin yang menaklukkan Irak, Persia, Palestina dan
Mesir telah, dengan secara otomatis melalui para sahabat, menyebarkan Hadits ke wilayah-
wilayah tersebut. Bahwa Hadits, dalam batas-batas pengertian di atas, telah ada sejak masa awal
Islam adalah fakta yang tidak perlu diragukan. Bahkan, sepanjang kehidupan Nabi saw cukup
alamiah bagi kaum muslimin (dengan konsekwensi adanya keharusan menerima fakta tersebut)
untuk berbicara tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi saw. Dengan demikian,
penolakan atas fenomena alami ini (menolak akan keberadaan Hadits), sama artinya dengan
irrasionalitas yang berlebihan dan itu merupakan sebuah dosa terhadap sejarah. Meski Hadits
yang pada waktu itu masih berada pada periode turunnya wahyu sudah berfungsi bayân terhadap
Qur’an, melalui diri Nabi sendiri, Hadits lahir dalam rangka menegakkan syari'at Islam dan
membentuk masyarakat muslim. Pada saat itu, Muhammad saw sebagai Nabi, dengan
keteladanannya menjadi panutan para sahabat. Oleh karena itu, para sahabat, dengan ke-hâfizh-
an, ke-dazakîrah-an mereka, dapat menghafal ajaran-ajaran Nabi saw yang mereka terima baik
secara langsung ataupun tidak. Di samping itu, semua apa yang ada pada Nabi saw merupakan
majlis ilmiah. Perilaku, penuturan, isyarat, dan diamnya, menjadi pedoman bagi kehidupan
mereka.
Adanya kontradiksi lahiriah riwayat antara larangan dan perintah penulisan Hadits,
kemudian diketahui bahwa semuanya dilatar belakangi konteks tertentu. Initinya, kontradisi
tersebut hanyalah pada teks larangan dan perintah itu, bukan pada substansi. Tujuannya adalah
agar jangan sampai adanya percampuran antara Hadits dengan ayat Qur’an. Di luar itu, riwayat
perintah penulisan Hadits (secara terpisah dari ayat Qur’an) ditemukan dengan konteksnya
masing-masing.
Dengan demikian, realitas Hadits sebagai pedoman kedua setelah Qur’an, di samping juga
sebagai tambang informasi historiografi awal Islam bagi kaum muslimin, memiliki dasar historis
yang kuat. Karena Hadits, baik sebagai bentuk informasi dari apa yang terdapat pada dan dengan
diri Nabi saw, maupun fungsi serta kedudukannya, sudah dapat dibuktikan keberadaannya yang
kemudian dihimpun dalam al-Mashadir al-Ashliyyah yang dinilai sebagai kitab induk karena
pada kitab-kitab itu Hadits ditulis lengkap dengan sanad-nya.
Namun demikian, penelitian ini menemukan masalah ketika diketahui, seperti
dikemukakan di atas, bahwa ternyata dalam sejumlah al-Mashadir al-Ashliyyah, terdapat
sejumlah riwayat yang, meskipun tidak bisa dikatakan bertentangan, berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Persoalan ini dianggap menarik karena menyangkut apa yang telah dikemukakan
di atas. Ungkapan bahwa Hadits diterima sebagai sumber kedua otoritatif ajaran Islam setelah
Qur’an, memerlukan penjelasan lebih lanjut. Ketika diketahui, melalui sejumlah riwayat tersebut,
bahwa Nabi saw juga meninggalkan satu hal lagi, selain Qur’an, yang juga harus dipegang oleh
para sahabat (kaum muslimin), yaitu ‘Itrah-nya atau Ahl al-Bait-nya, yang jika disusun secara
skematis (struktural) kedudukannya sama dengan Sunnah-nya.

‘Itrah dan Sunnah: Dari Teks menuju Syarah


Selama ini, sering diperoleh kesan apabila term ‘Itrah atau Ahl al-Bait muncul, konotasinya
menjadi mode of existence dari Islam madzhab Syi’ah. Hal seperti itu ditimbulkan karena antara
Ahl al-Bait dan kaum Syi’ah, dalam perjalanan sejarah politik Islam, seolah-olah sudah menjadi
kata-sinonim. Namun demikian, penelitian ini menemukan bahwa para imam Ahl al-Bait
sendiri, yang “secara kebetulan” berposisi sebagai râwî dalam sejumlah sanad Hadits-Hadits
tersebut, berada pada al-sunnah al-mustaqîmah. Sehingga, tidak sedikit ulama, seperti disebutkan
di atas, yang meriwayatkan serta menulis ulang riwayat-riwayat tentang ‘Itrah atau Ahl al-Bait
tersebut. Hanya saja, persoalan politiklah yang menyebabkan mereka -para imam tersebut-
dinilai berfaham Syi’ah. Pernyataan bahwa para imam Ahl al-Bait itu berfaham sunnah ini sesuai
dengan pernyataan Ibn Katsîr (w. 774 H). Beliau mengatakan bahwa para ulama dari kalangan
Ahl al-Bait itu termasuk ulama terbaik (pada zamannya), karena mereka itu telah terbukti berada
dalam sunnah yang lurus atau al-sunnat al-mustaqîmah.
Di antara ulama yang mengemukakan tentang kedudukan Ahl al-Bait tersebut adalah:
pertama, Ibn Taimiyah (661-728 H), menulis buku Huqûq Ali al-Bait, diedit oleh ‘Abd Al-Qadîr
Ahmad ‘Atha’, diterbitkan oleh Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah Beirut, tahun 1987; kedua, Jalâl al-Dîn
al-Suyûthî, seorang ulama yang sudah jelas ke-sunnî-annya, menulis buku Ihyâ’ al-Mayyit bi
Fadlâ'il Ahl al-Bait, diedit oleh Mushthafa ‘Abd Al-Qadîr ‘Atha’, diterbitkan oleh Dâr al-Jail
Beirut, tahun 1980. Di dalamnya terdapat 60 (Enam puluh) Hadits keutamaan Ahl al-Bait,
termasuk Hadits yang dikemukakan tsaqalain; ketiga, Yûsuf b. Ismâ’îl al-Nabhânî, Al-Syarf al-
Muabbad li Ali Muhammad, diterbitkan oleh Mushthafa al-Bâb al-Halabî Mesir, tahun 1973;
keempat, Muhammad ‘Abduh Yamanî menulis 'Allimû Awlâdakum Mahabbata Ali Bait al-Nabî
saw,; kelima, Al-Syaikh Mu’min b. Hasan Mu’min Al-Syabalanjî menulis Nûr al-Abshâr fî
Manâqib Ali al-Nabî al-Mukhtâr, diterbitkan oleh Dâr al-Fikr Beirut, tanpa tahun; dan keenam,
al-Syaikh Muhammad b. ‘Alî al-Shabbân menulis Is’âf al-Râghibîn fî Sîrat al-Mushthafa, dicetak
sebagai hâmisy pada kitab Nûr al-Abshâr di atas.
Dengan demikian, dipandang perlu melakukan pengkajian ulang, secara metodologis,
terhadap apa yang selama ini disepakati bahwa apakah yang ditinggalkan Nabi saw selain Qur’an
itu hanya Sunnah-nya, atau ada yang lainnya. Mungkin juga yang dimaksud Sunnah di sini,
dengan pendekatan kompromistif, bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar, dengan
pengecualian masalah politik, antara Sunnah dengan ‘Itrah atau Ahl Al-Bait, seperti ketika Ibn al-
Atsîr al-Jazîrî menyatukan periwayatan matan Hadits “Sunnah” dengan “‘Itrah” dalam satu bab;
al-Istimsâk bi al-Kitâb wa Al-Sunnah, Dalam Jâmi' al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, , ‘Abd Al-
Rahmân b. 'Alî al-Syaibânî dalam Taisîr al-Wushûl ilâ Jâmi' al-Ushûl min Hadits al-Rasûl, dan
Syaikh Manshûr 'Alî Nâshif melakukan hal yang sama dengan Ibn al-Atsîr dalam al-Tâj al-
Jâmi' li al-Ushûl fî AHâdîsh al-Rasûl, dan membuat fashal , secara khusus, dalam Kitâb al-
Fadla'il-nya, atau dengan pendekatan metode takhshish bahwa Sunnah-nya adalah (apa-apa yang
juga terdapat pada) ‘Itrah-nya (Ahl Al-Bait-nya) seperti dikatakan Ayatullâh Burujardi. Ulama
Syî’ah ini mengatakan bahwa Nabi (saw) dalam beberapa kesempatan, telah berkata bahwa beliau
meninggalkan dua hal yang berharga: Kitâb Allâh dan Sunnah-nya. Ada suatu ketetapan antara
keturunan Nabi saw dan Sunnah-nya. Kita tidak dapat mengembalikan persoalan kita kepada
keturunan beliau dan Sunnah beliau secara terpisah. Keturunannyalah yang menguraikan dan
memelihara sunnah beliau. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersamaan dengan Kitâb Allâh
beliau bermaksud bahwa sunnah beliau diperoleh dari keturunan beliau. Jadi keturunan beliau
itulah Sunnah-nya atau sebaliknya bahwa yang dimaksud dengan Ahl Al-Bait itu adalah
sejumlah keluarga Nabi saw yang memiliki kompetensi dalam Sunnah. Bahkan mungkin saja,
secara tekstual Nabi saw itu hanya meninggalkan Qur’an, meskipun akan bertentangan dengan
kandungan makna sejumlah ayat yang terdapat Qur’an itu sendiri.

Antara Otentisitas dan Validitas: Awal Persoalan


Penelitian tentang otentisitas, validitas dan reliabilitas Hadits nampaknya memang melekat
dengan perjalanan transmisi Hadits itu sendiri. Seperti ungkapan Ibn Sirin (w. 110 H) dalam
Muqaddimah Shahîh Muslim, yaitu, "pada mulanya para sahabat tidak pernah mempersoalkan
sanad. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka menuntut nama-nama râwî-nya untuk diteliti.
Hadits yang diriwayatkan ahli sunnah mereka terima, sedang yang diriwayatkan ahli bid'ah
mereka tolak". Pernyataan Al-Dzahabî (w. 748 H) berkenaan dengan sejumlah râwî dari orang
bid’ah yang berkualitas shadûq (masuk dalam kelompok ta’dîl) yaitu: “Hendaklah kita
mengambil ke-Shadûq-annya dan biarkanlah mereka bertanggung jawab tentang kebid’ahan-
nya”. Ungkapan Al-Dahlawî (1176 H) dalam Hujjat Allâh Al-Bâligah yaitu, "Tidak ada jalan
lain untuk mengetahui syari'at-syari'at dan hukum-hukum kecuali dari khabar Nabi saw. Kita
juga tidak punya jalan lain untuk mengetahui khabar-khabar itu, kecuali melalui periwayatan
yang sampai pada Nabi saw secara muttashil dan periwayatan tersebut juga tidak akan sampai
kepada kita kecuali dengan menelusuri kitab-kitab ilmu Hadits yang terkodifikasikan. Sebab
sekarang ini, tidak ada riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan selain yang ada dalam
kitab-kitab tersebut". Penegasan Ibn Katsîr (w. 774 H) yang dikutip Ahmad Muhammad Syakir,
dalam al-Ba'its al-Hatsits, yaitu, "Orang yang diterima (periwayatannya) itu adalah orang Tsiqat
dan Dlâbith mengenai apa yang diriwayatkannya; yaitu orang muslim, berakal, bâligh, selamat
dari sebab-sebab kefasikan, dan (selamat dari hilangnya) murû'ah. Di samping itu, orang
tersebut harus senantiasa terjaga, tidak pelupa, hafal ketika akan menyampaikan Hadits, dan
memahami arti Hadits ketika akan menyampaikannya. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka periwayatannya ditolak".
Dari uraian di atas dapatlah dinyatakan bahwa Hadits itu dipastikan ke-shahih-annya
apabila diriwayatkan oleh orang yang 'âdil, dlâbith, sanad-nya bersambung, tidak terdapat 'illat
dan tidak syâdz. Selanjutnya, para ulama telah sepakat bahwa al-Hadîts al-Shahîh itu
berkedudukan sebagai hujjah dan wajib diamalkan, dan demikian juga dengan al-hadits al-hasan,
menurut fuqaha dan jumhur muhadditsin. Karena kejujuran râwî-nya dan ketersambungan sanad-
nya telah diketahui. Rendahnya tingkat ke-dlâbith-an tidak mengeluarkan râwî yang
bersangkutan dari jajaran râwî yang mampu menyampaikan Hadits sebagai mana keadaan Hadits
itu ketika didengar.

Transmisi dan Kodifikasi: Tambang Informasi berwujud Al-Mashadir Al-Ashliyyah


Penelitian ini menemukan bahwa ketentuan penilaian Hadits tersebut begitu ketat, karena
memang dalam sejarahnya telah terjadi pemalsuan Hadits baik yang dilakukan oleh orang-orang
Syi’ah maupun Sunni sendiri, serta kemunculan berbagai madzhab, persoalan politik, dan
masalah duniawi lainnya. Penjelasan mengenai proses perjalanan transmisi Hadits mulai dari
Nabi sampai kepada para mudawwin yang hidup, paling tidak, pada sepuluh thabaqah berikutnya
itu dapat digambarkan menjadi semacam kerangka tentatif penelitian Hadits ini. Penelitian secara
spesifik riwâyat al-Hadits yang dijadikan obyek penelitian ini, secara informatif, belum ada.
Namun kitab atau buku-buku yang yang mencantumkan riwayat tersebut, tanpa melakukan
penelitian integratif antara ilmu Hadits dan historiografi Islam, sudah ada. Semuanya tercantum
dalam sejumlah kitab Hadits yang sudah dicantumkan di muka beserta syarh-nya. Dalam kitab-
kitab tersebut, riwâyat al-Hadits itu, tidak dibahas secara mendetail. Akan tetapi, sebagai mana
biasa, kitab syarh hanya menjelaskannya, yang dianggap penting oleh syarih-nya, seperti juga
menjelaskan seluruh Hadits lain yang terdapat dalam kitab tersebut.
Sumber penelitian ini, pada dasarnya, terdiri dari sumber utama dan sumber pembantu.
Sumber utama merupakan kitab-kitab induk Hadits, kitab-kitab ‘Ulûm al-Hadits, kitab-kitab Rijâl
al-Hadits, kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta'dîl dan kitab-kitab sejarah dengan obyek penelitiannya
terdapat dalam sejumlah kitab Hadits induk tertentu. Kemudian sumber pembantu adalah
sejumlah kitab dan buku yang, pokok pembahasannya, bukan teori tashîh. Akan tetapi masih ada
kaitannya, baik langsung atau tidak, dengan obyek penelitian. Sumber pembantu ini terdiri dari
kitab-kitab Tafsîr, Fiqh, Ushûl Fiqh, Syarh Hadits, dan Sejarah.
Takhrij Al-Hadits: Khushushiyyat Ummat Nabi Terakhir
Seperti disebutkan di muka, penelitian ini mempergunakan metode takhrîj, yaitu metode
spesifik dan baku yang dipakai untuk meneliti derajat kualitas Hadits. Takhrîj berarti penyebutan
Hadits dengan masing-masing sanad-nya pada kitab sumber Hadits atau penambahan (pencarian)
sanad-nya (jika perlu, dengan menambah) penjelasan Hadits yang lebih dahulu disebutkan, yang
karenanya, kekuatan hukum sanad dan matan pada Hadits yang lebih dulu disebutkan itu,
menjadi bertambah. Dengan demikian, takhrij adalah suatu metode penunjukan Hadits kepada
sumber-sumber aslinya berikut sanad-nya dan, jika diperlukan, dengan menjelaskan (melakukan
telaah kritis terhadap sanad, dan matan) derajat kualitas Hadits tersebut. Jjika dilihat esensinya,
metode takhrîj merupakan bagian dari metode historiografi (Islam), yang secara umum ada dalam
metode kesejarahan. Namun karena para ulama Hadits telah membuat sistematikanya sedemikian
lengkap dan khusus, maka metode takhrîj itu dipisahkan, secara teknis, dari metode studi
kesejarahan.
Dengan berpegang kepada tawaran Mahmud Thahhan dan ‘Abd al-Muhdi, secara teoritik,
penelitian ini mempergunakan lima metode takhrij, yaitu: (1). Dengan cara mengetahui sahabat
yang meriwayatkan Hadits tersebut. (2). Dengan cara mengetahui lafal pertama dari matan
Hadits tersebut. (3). Dengan cara mengetahui lafal matan Hadits yang sedikit berlakunya. (4).
Dengan cara mengetahui pokok bahasan Hadits yang dimaksud atau sebagaian saja, jika
mengandung beberapa pokok bahasan. (5). Dengan meneliti keadaan Hadits tersebut secara
terpadu, baik dalam segi Sanad maupun dalam segi Matan.
Berdasarkan metode pertama (menggunakan Musnad Ahmad), ditemukan matan taraktu fi
kum beserta derivasi katanya, di antaranya, pada.: Musnad Abu Sa’id al-Khudri, Musnad Zaid b.
Arqam, Musnad Abu Sa’id al-Khudri, dan Musnad Zaid bin Tsabit. Dengan Mu’jam
(menggunakan Mu’jam al-Thabarani) riwayat-riwayat taraktu fi kum di temukan, di antaranya,
pada tempat-tempat: Mu’jam Abu Sa’id al-Khudri, Mu’jam Zaid bin Tsabit , Mu’jam Zaid bin
Arqam.
Berdasarkan metode kedua (dengan mempergunakan kitab Mawsu’at Athraf al-Hadits al-
Nabawi al-Syarif, karya Abu Hajar Muhammad al-Sa’id bin Basuni Zaghul), riwayat hadits
taraktu fi kum beserta derivasi katanya, ditemukan, di antaranya, pada Juz III, halaman 643 dan
Juz IV, halaman 361. Dalam kitab ini diinformasikan bahwa riwayat hadits taraktu fi kum
beserta derivasi katanya itu terdapat dalam sejumlah kitab hadits, baik dalam al-mashadir al-
ashliyyah ataupun bukan. Kitab ini mempergunakan awal kata dari matan Hadits. Oleh
karenanya menjadi relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan kitab-kitab pembantu
sebelumnya.
Berdasarkan metode ketiga (dengan mempergunakan Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfazh al-
Hadits), dan dari tujuh jilid yang ada, ditemukan:
1. Dengan mempergunakan kata taraka, data diperoleh pada jilid I halaman 270. Dengan
merujuk referensi yang dipakai dalam penelitian ini, diketahui bahwa riwayat Hadits
tersebut berada pada : (1) Sunan Abi Dawud; kitab Manasik; nomor urut bab 56; (2).
Sunan Ibn Majah; kitab Manasik no urut bab 84; (3). Muwaththa’ Malik; Kitab al-Qadar;
nomor urut Bab 3; dan (4). Musnad Ahmab bin Hanbal, jilid. III, halaman 26. Masih pada
jilid yang sama, halaman 271, dengan menggunakan kata tarikum, diketahui hadits
terdapat pada Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid III, halaman 14 dan 17.
2. Dengan mempergunakan kata tsaqala, informasi data diperoleh pada jilid I, halaman 294.
Diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut berada pada : (1) Shahih Muslim; Kitab Fadlail
al-Shahabah; nomor urut Bab 36-37; (2) Sunan al-Darimi; Kitab Fadlail al-Qur’an;
nomor urut Bab 1; dan (3) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid III, halaman 14, 17, 26, dan
59; jilid IV, halaman 367 dan 371.
3. Dengan mempergunakan kata habala, informasi data diperoleh pada Jld. I, halaman 414.
Diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada : (1) Sunan al-Tirmidzi; Kitab al-
Manaqib; nomor urut 31; (2) Shahih Muslim; kitab Fadlalil al-Shahabah; nomor urut
Bab 36-37; (2) Sunan al-Darimi; Kitab Fadlail al-Qur’an; nomor urut Bab 1; dan (3)
Musnad Ahmad b. Hanbal, Jld. III, halaman 14, 17, 26, dan 59; Jld. V, halaman 182.
4. Dengan mempergunakan kata khalafa, informasi data diperoleh pada Jld. II, halaman 70.
diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Musnad Ahmad b. Hanbal, Jld V,
halaman 182 dan 189.
5. Dengan mempergunakan kata dzkara, informasi data diperoleh pada Jld. II, halaman 180.
diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Sunan al-Darimi; Kitab Fadlail
al-qur’an; no urut Bab 1; dan Musnad Ahmad b. Hanbal, Jld. III, halaman 114 dan Jld.
IV, halaman 367.
6. Dengan mempergunakan kata sanna, informasi data diperoleh pada Jld. II, halaman 556.
Diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Muwaththa’ Malik; Kitab al-
Qadar; no urut Bab 3.
7. Dengan mempergunakan kata ‘ashama, informasi data diperoleh pada Jld. IV, halaman
250. Diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Sunan Abi Dawud, kitab al-
Manasik; no urut Bab 56; dan Sunan Ibn Majah; Kitab al-Manasik; no urut Bab 84.
8. Dengan mempergunakan kata kataba, informasi data diperoleh pada Jld. V. halaman 529.
diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Sunan al-Darimi; Kitab Fadlail al-
Qur’an no urut Bab 1; dan Musnad Ahmad b. hanbal, Jld. IV, halaman 367.
9. Dengan kata yang sama (kataba), informasi data diperoleh pada Jld. V, halaman 530.
diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Sunan al-Darimi; Kitab Fadlail al-
Qur’an no urut Bab 1.
10. Dengan kata yang sama (kataba), informasi data diperoleh pada Jld. V, halaman 534.
diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada : (1) Shahih Muslim; Kitab al-Hajj;
no urut Bab 147; (2) Sunan Abi Dawud; Kitab Al-Manasik; no urut Bab 56; dan (3)
Muwaththa’ Malik; Kitab Al-Qadar; no urut Bab 3.
11. Dengan kata yang sama (kataba), informasi data diperoleh pada Jld. V, halaman 534.
diketahui bahwa riwayat hadits tersebut terletak pada Musnad Ahmad b. Hanbal, Jld. III,
halaman 17 dan Jld. V, halaman 182 dan 189.
12. Dengan mempergunakan kata masaka, informasi data diperoleh pada Jld. VI, halaman
222. diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Sunan al-Tirmidzi ; Kitab Al-
manaqib; no urut bab 31.
Dengan demikian diketahuilah bahwa, dari informasi data yang diperoleh dengan
mempergunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfzh al-Hadits al-Nabawi, riwayat-riwayat
Hadits tersebut terletak pada Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn
Majah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmab b. Hanbal dan Sunan al-Darimi.
Dengan mempergunakan metode keempat (mempergunakan kitab Miftah Kunuzis al-
Sunnah), ditemukan petunjuk Hadits dengan redaksi matan ketiga (Kitab Allah dan Sunnah
Nabi). Akan tetapi pada perintah selanjutnya mengharuskan peneliti melihat Tema Muhammad
pada halaman 448. Setalah sampai kepada tema Muhamammad, ditemukan tentang Hadits
dengan redaksi matan kedua (Kitab Allah dan ‘Itrah/Ahl al-Bait). Diketahui bahwa riwayat
Hadits tersebut terletak pada : (1) Thabaqat ibn Sa’ad; Juz II, halaman 2; (2) Musnad Ahmab b.
Hanbal, Jld. III, halaman 14, 17, 26 dan 59; Jld. IV, halaman 366 dan 371; Jld. V, halaman 181
dan 189.
Petunjuk berikutnya adalah ditemukan Hadits dengan redaksi matan keempat (Kitab Allah,
sunnah, dan ‘Itrah/Ahl al-Bait). Diketahui bahwa riwayat Hadits tersebut terletak pada Musnad
Imam Zaid b. “Ali, halaman 969.
Sementara itu, penelitian ini tidak mempergunakan metode kelima. Karena dengan empat
metode terdahulu, semua data yang tercantum dalam al-mashadir al-ashliyyah yang tergolong
al-kutub al-tis’ah sudah berhasil ditemukan.
Penelitian riwayat Hadits taraktu fî kum ini terdiri atas: Pertama, pembahasan sumber atau
studi pustaka, berupa pelacakan riwayat-riwayat Hadits taraktu fî kum. Pada bagian ini, setelah
pelacakan dengan mempergunakan empat metode takhrij di atas, pembahasannya dimulai dengan
mengklasifikasikan kitab-kitab Hadits, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang masuk ke dalam al-Kutub al-Sittah; terdiri dari kitab-kitab:
a. Shahih Muslim;
b. Sunan Abî Dâwud;
c. Sunan al-Tirmidzî; dan
d. Sunan Ibn Mâjah; dan
2. Kelompok di luar al-Kutub al-Sittah; terdiri dari kitab-kitab:
a. Muwaththa’ Mâlik;
b. Musnad Imâm Ahmad;
c. Sunan al-Dârimî;
d. Mushshannaf Ibn Abî Syaibah;
e. Al-Mu’jam al-Shaghîr;
f. Al-Mu’jam al-Kabîr;
g. Thabaqât Ibn Sa’ad;
h. Shahîh Ibn Hibbân;
i. Shahîh Ibn Khuzaimah
j. al-’Ma’rifah wa al-Târikh;
k. Hilyât al-Auliyâ’;
l. Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain;
m. Al-Sunan al-Kubra;
n. Al-Jâmi’ li Akhlâq al-Râwî wa Adâb al-Sâmi’; dan
o. Musnad al-Imâm Zaid b. ‘Alî.

Masuk pada bagian ini pembahasan peristiwa penyabdaan Hadits yang Nabi saw
laksanakan dalam tiga khutbahnya, yaitu: (a) Khutbah Nabi saw di ‘Arafah pada waktu haji wada,
(b) Khutbah Nabi saw di Ghadîr Khumm, sekembalinya Nabi saw menuju Madinah setelah
menunaikan ibadah hajinya itu dan (c) Khutbah (atau perkataan) Nabi saw menjelang wafatnya.
Kedua, pembahasannya berupa analisis sanad dan matan dari seluruh riwayat yang telah
berhasil dilacak dari masing-masing kitab Hadits yang terkumpul pada bagian kedua di atas.
Bagian ini merupakan tempat diaplikasikannya Naqd al-Sanad berupa ilmu Rijâl al-Hadits yang
terdiri dari Ilmu Târikh al-Ruwâh dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dîl. Untuk analisis matan, bagian ini
merupakan tempat diaplikasikannya Naqd al-Matan, dengan terlebih dahulu mengetahui seluruh
sanad yang shahîh.
Ketiga, pembahasannya berupa Fiqh al-Hadîts dan kehujjahan Hadits sebagai implikasi
dari nilai Hadits yang telah diketahui. Pembahasannya merupakan kesimpulan yang diperoleh
dari penelitian ini.
Untuk memudahkan pelacakannya, dalam penelitian ini, jalur-jalur riwayat tersebut dibagi
ke dalam dua kelompok; yaitu: pertama, riwayat-riwayat yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah
(enam buah kitab), karena kitab-kitab Hadits yang enam ini dipandang sebagai sumber-
sumber sunnah yang terpenting dan para penyusunnya dianggap telah mencurahkan segala daya
dan kemampuan mereka secara optimal untuk mencari dan meneliti serta mendapatkan
kebenaran; dan kedua, riwayat-riwayat yang terdapat di luar al-Kutub al-Sittah.
Jalur-jalur riwayat yang terdapat dalam kelompok al-Kutub al-Sittah, ditemukan dalam
Shahîh Muslim, Kitâb al-Manâsik, Bâb Shifat Hajj Rasûlillâh SAW dan Kitâb Fadlâil Al-
Shahâbah, Bâb Fadlâil ‘Alî b. Abî Thâlib; Sunan Al-Tirmidzî, Kitâb Al-Manâqib, Bâb Manâqib
Âli Bait Al-Nabi saw; Sunan Abî Dâud, Kitâb Al-Manâsik, Bâb Shifat Hajj Rasûlillâh saw; dan
Sunan Ibn Mâjah, Kitâb Al-Manâsik, Bab Shifat Hajj Rasûlillâh saw.
Untuk sejumlah riwayat yang terdapat dalam kelompok di luar al-Kutub al-Sittah,
ditemukan dalam Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Kitâb al-Qadr, Bâb al-Nahy ‘an al-Qaul bi al-
Qadr; Musnad Imâm Ahmad, dalam musnad Abû Sa’îd al-Khudrî, Zaid b. Arqam, Zaid b. Tsâbit;
Sunan al-Dârimî, Bâb Fadlâil al-Qur’ân; Mushannaf Ibn Abî Syaibah, Kitâb Fadlâil al-Qur’ân,
Bâb fî al-Washiyyah bi al-Qur’ân wa Qirâatih dan Kitâb al-Fadlâil, Bâb Mâ A’tha al-Lâh
Muhammadan; al-Mu’jam al-Shâghîr; al-Mu’jam al-Kabîr; al-Thabaqât al-Kubrâ, Bâb Dzikr Ma
Qarab li Rasûlillâh SAW min Ajalih; al-Ma’rifah wa al-Tarikh; Shahîh Ibn Khuzaimah, Bâb
Dzikr al-Bayân anna al-Nabi saw innamâ Khathaba bi ‘Arafat Râkiban lâ Nazîlan bi al-Ardl dan
Bâb Dzikr al-Dalîl ‘alâ anna Banî ‘Abd Al-Muthallib Hum min Âli al-Nabi saw; Shahîh Ibn
Hibbân, Bâb Dzikr Itsbât al-Hudâ li Man Ittaba’ al-Qur’ân wa al-Dlalâlah li Man Tarakah; al-
Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, Kitâb al-’Ilm, Bâb Khuthbatuh saw fî Hajjat al-Wadâ’ dan Kitâb
Ma’rifat al-Shahâbat, Bâb Washiyyat al-Nabâ’ fî Kitâbillâh wa ‘Itrat Rasûlih; al-Sunan al-Kubra
li al-Baihaqî, Kitâb al-Shalâh, Bâb Bayân Ahli Baitih dan Kitab Adâb al-Qâdlî, Bab Mâ Yaqdlî
bih al-Qâdlî; Hilyat al-Auliyâ’, Musnad Hudzaifah b. Asîd, al-Jâmi’ li Akhlâq al-Râwî wa Adâb
al-Sâmi’; dan Musnad al-Imâm Zaid b. ‘Alî.

Varian Transmisi: Asanid dan Mutun


Berkenaan dengan variasi redaksional matan, penelitian ini menentukan pemilahan dan
pemilihan terhadap matan yang dianggap paling mewakili dari sejumlah redaksi yang terdapat
dalam kitab-kitab Hadits tersebut. Ditentukannya pemilihan ini untuk menghindari terjadinya
pengulangan penulisan sejumlah matan yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi.
Untuk kelompok redaksi matan I, dipilih hanya satu matan. Karena, dari sejumlah kitab
Hadits tersebut, memang hanya ditemukan satu redaksi, yaitu:
‫وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب هللا‬
Untuk kelompok redaksi matan II, dipilih empat matan. Meskipun dalam pembahasan
komparatifnya, akhirnya ditentukan hanya satu matan yang dijadikan matan standar, berdasarkan
al-Sanad al-Ashah. Keempat matan tersebut adalah:
‫ أنا تارك فيكم ثقلين أولهما كتاب هللا فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب هللا واستمسكوا به فحث على كتاب هللا ورغب فيه ثم‬-1
‫قال وأهل بيتي أذكركم هللا في أهل بيتي أذكركم هللا في أهل بيتي أذكركم هللا في أهل بيتي‬
‫ إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعدي أحدهما أعظم من اآلخر كتاب هللا حبل ممدود من السماء إلى األرض‬-2
‫وعترتي أهل بيتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض فانظروا كيف تخلفوني فيهما‬
‫ إني تارك فيكم خليفتين كتاب هللا حبل ممدود ما بين السماء واألرض أو ما بين السماء إلى األرض وعترتي أهل بيتي‬-3
‫وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض‬
: ‫ [قال على بن ربيعة لزيد بن أرقم] أسمعت رسول هللا صلى هللا عليه [وآله] وسلم يقول إني تارك فيكم الثقلين ؟ قال‬-4
‫نعم‬
Untuk kelompok redaksi matan III, dipilih hanya satu matan. Meskipun, untuk kelompok
ini, sebetulnya ada dua redaksi. Pemilihan redaksi ini didasarkan pada al-Sanad al-Ashah, seperti
akan terlihat nanti. Matan untuk klompok redaksi ini adalah:
‫إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب هللا وسنة نبيه‬
Untuk kelompok redaksi matan IV hanya ada satu, yaitu matan yang terdapat dalam
Musnad Imâm Zaid b. ‘Alî. Redaksi matan ini adalah:
‫إني خلفت فيكم كتاب هللا وسنتي وعترتي أهل بيتي‬
Variasi redaksional matan ini menjadi penting, karena dengannya akan terlihat bagaimana
makna integral seluruh matan tersebut diperoleh dengan proses pembandingan antar-matan
(muqaranatl al-mutun). Implikasi pembandingan ini akan memunculkan pengembangan makna
matan yang akan menentukan pembahasan kritik matan.
Itulah seluruh riwayat yang telah berhasil ditemukan dalam sejumlah kitab Hadits induk,
melalui proses pen-takhrîj-an, dengan memakan waktu yang relatif cepat, untuk tujuh kitab
Hadits induk pertama (Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Ibn Mâjah,
Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Musnad al-Imâm Ahmad dan Sunan al-Dârimî).
Untuk melakukan penelusuran pada kitab Hadits induk selebihnya, waktu yang dipakai
relatif lebih lama. Hal ini karena kitab-kitab penunjang untuk kelompok kitab yang disebut
terakhir ini, tidak begitu banyak tersedia, terkecuali untuk sejumlah kitab yang telah diedit dan
diberi indeks pada bagian akhirnya.
Dengan melihat peristiwa penyabdaannya, sejumlah riwayat Hadits di atas diketahui, bahwa
Nabi saw telah menyampaikannya, dalam satu khutbah, di hadapan banyak manusia. Ini berarti
bahwa isi Hadits ini berlaku dan mengikat bagi siapa saja, di kalangan ummatnya. Bagi yang
mendengar secara langsung, kewajiban itu muncul pada saat dia mendengarnya dan bagi yang
tidak mendengarnya secara langsung, maka kewajibannya itu muncul pada saat dia mendapatkan
informasi bahwa Nabi saw pernah menyabdakan hal tersebut. Hal ini pun pernah Nabi saw
sampaikan dalam salah satu sabdanya.
Untuk kelompok redaksi matan pertama, hadits ini disabdakan Nabi Muhammad saw pada
saat beliau berkhutbah di Arafah. Matan Hadits ini merupakan potongan dari satu matan yang
sangat panjang dan, oleh karena itu, Abû Dâwud (w. 275 H) menyatakan bahwa, boleh jadi, di
sana sini terdapat kekurangakuratan penyampaiannya (dari râwî yang satu kepada râwî yang
lainnya)
Hampir semua ulama Hadits mencantumkan khutbah Nabi ini. Akan tetapi, para ulama itu
tidak semuanya memiliki jalur periwayatan yang sanad-nya sama. Demikian halnya untuk
redaksi matan Hadits ini. Ada ulama yang mencantumkan khutbah Nabi saw ini secara panjang
lebar, ada juga yang hanya sedikit, bahkan ada yang tidak lebih dari “dua” atau “tiga baris” saja
dalam kitabnya. Hal ini memunculkan asumsi bahwa tidak semua sahabat, yang mendengar
khutbah beliau ini, sanggup mengingatnya secara keseluruhan. Ada yang mengingat “hampir”
seluruhnya, ada juga yang mengingatnya hanya pada bagian-bagian tertentu. Akan tetapi, semua
riwayat yang ditemukan dalam penelitian ini hanya diriwayatkan melalui satu orang sahabat,
yaitu Jâbir b. Abdillâh ra (w. 78 H). Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi kuantitas perawi,
Hadits ini gharib pada awal rawi-nya atau pada akhir sanad-nya.
Imam Muslim (w. 261 H), Abû Dâwud (w. 275 H), Ibn Mâjah (w. 273/83 H), dan Ibn
Khuzaimah (w. 311 H) adalah ulama-ulama yang mencantumkan khutbah ini secara panjang
lebar dan memiliki jalur sanad dengan sejumlah râwÎ yang sama. Sementara itu, redaksi yang
dimiliki ulama lain, seperti Ibn Abî Syaibah (w. 235 H), tidak sepanjang redaksi empat ulama di
atas, sekalipun ada sebagian jalur periwayatannya memiliki sanad yang sama.
Para penulis sejarah juga mencantumkan peristiwa ini dalam sejumlah bukunya.
Muhammad b. ‘Abd Al-Wahhâb, (w. 1787 M) dan Ibn Katsîr (w. 774 H), telah telah
mencantumkannya berdasarkan riwayat Muslim dan Muhammad al-Khudlarî Bik berdasarkan
riwayat Ibn Mâjah. Muhammad Sa’îd Ramadlân, yang dikenal dengan nama al-Bûthî, juga
mencantumkan riwayat ini dalam bukunya, yang menurutnya, juga berdasarkan riwayat Muslim.
Namun ternyata penulis ini mencantumkan kata-kata ‫ وسنة رسول‬dalam bukunya itu. Padahal,
dalam riwayat Muslim ini, tidak ditemukan kata-kata tersebut. Sementara itu, Muhammad al-
Ghadzalî mencantumkannya berdasarkan riwayat Ibn Hisyâm (w. 218 H) dari Ibn Ishâk (w. 150
H) tanpa sanad. Penulis ini identik dengan dengan Al-Bûthî. Ia mencantumkan kata-kata ‫وسنة نبيه‬
dalam kitabnya. Nampaknya, ia hanya menyandarkan pengutipannya kepada Ibn Hisyâm (w. 218
H), karena kata-kata tersebut memang terdapat dalam kitab Ibn Hisyâm (218 H) berikut tafsirnya,
atau, bisa jadi, ia mengutipnya dari Al-Thabarî (w. 310 H). Muhammad Ridla dan Muhammad
Husain Haikal (w. 1956 M) nampaknya juga melakukan hal yang sama (Ridla, 1975:348 dan
Haikal, t.th:490). Artinya, kata-kata ‫ وسنة نبيه‬, memang tidak terdapat dalam riwayat asalnya, yaitu
riwayat Jâbir b. ‘Abdillâh (w. 78 H). Akan tetapi setelah dikutip dalam buku-buku sejarah
tersebut, kata-kata itu muncul sebagai bentuk idraj.
Bentuk idraj ini juga diterima oleh Ja’far Subhânî. Uama Syî’ah ini menerima adanya
tambahan kata-kata ‫ وسنة نبيه‬dalam redaksi khutbah tersebut. Tetapi ia berbeda dengan sejumlah
ulama Syî’ah lainnya seperti Abû Muhammad Al-Hasan Al-Harrânî. Ulama Syî’ah yang disebut
terakhir ini, tidak menambahkan kata-kata ‫ وسنة نبيه‬. Akan tetapi dia mencantumkan kata-kata
‫ وعترتي أهل بيتي‬dalam redaksi khutbah Nabi tersebut. Teks ini sama dengan riwayat yang terdapat
dalam Sunan al-Tirmidzi.
Redaksi untuk kelopok matan II, disabdakan Rasulullah saw saat beliau berkhutbah di
Ghadîr Khum. Sama halnya dengan redaksi matan pertama, matan ini cukup bervariasi, namun
tidak sepanjang redaksi matan pertama. Terdapat, paling tidak, lima orang sahabat yang
meriwayatkan Hadits dengan redaksi matan kedua ini. Zaid b. Arqam (w. 78 H), Abû Sa’îd al-
Khudrî (w. 74 H), Zaid b. Tsâbit (w. 45 H), Abû Dzarr Al-Ghiffârî, dan Hudzaifah b. Asîd adalah
mereka yang telah meriwayatkan Hadits tersebut. Dari sejumlah riwayat ini, ada yang secara jelas
menyebutkan bahwa Nabi telah menyabdakannya pada satu khutbah di Ghadîr Khumm, ada juga
yang tidak. Namun, ketika dilihat antara yang satu dengan yang lainnya, semuanya bisa saling
melengkapi, sehingga bisa di simpulkan bahwa Nabi memang menyabdakannya pada waktu
tersabut. Hanya saja ditemukan sejumlah riwayat dengan matan lain yang, sejumlah redaksi
matannya, terlepas dari matan ini. Sehingga, kalau saja matan-matan yang terlepas ini juga
dihitung, maka bisa saja jumlah sahabat yang meriwayatkan Hadits ini menjadi banyak. Oleh
karena itu, Dengan melihat jumlah sahabat yang meriwayatkannya, Hadits ini bisa
diklasifikasikan kepada Hadits mutawâtir dengan jumlah minimal, atau, paling tidak sampai
kepada klasifikasi masyhûr. Selanjutnya, jika thabaqah dari masing-masing rawî pada sanad
berikutnya dilihat, nampak sejumlah orang banyak telah meriwayatkannya. Sehingga, Hadits ini
kembali masuk ke dalam klasifikasi mutawâtir.
Para imam Hadits seperti Muslim (w. 261 H), al-Tirmidzî (w. 275/9 H), Ahmad b. Hanbal
(w. 241 H), al-Dârimî (w. 255 H), al-Thabaranî (w. 360 H), Abû Yûsuf al-Fasawî (277), Ibn
Khuzaimah (w. 311 H), al-Baihaqî (458 H), Ibn Abî Syaibah (w. 235 H), al-Hâkim (w. 405 H)
dan Abû Nu’aim (w.430 H) adalah mudawwin yang mencantumkan Hadits ini pada kitab-kitab
mereka. Terdapat sedikit banyak perbedaan redaksi matan, untuk kelompok redaksi matan kedua
ini. Namun kandungan maknanya sama, yaitu, Nabi tinggalkan dua perkara (yang berharga [Al-
Shaqalain]), yaitu Kitabullah dan ‘Itrah-nya (Ahl Al-Bait-nya).
Para sejarawan banyak yang mencantunkan peristiwa ini. Ibn Katsîr (w. 774 H) adalah
salah seorang sejarawan yang mencantumkan peristiwa ini dalam kitabnya secara panjang.
Penulis ini mencantumkan Hadits di atas berdasarkan riwayat Ibn ‘Asâkir (w. 557 H).
Nampaknya, Ibn Katsir (w. 774 H) juga memotong matan Hadits ini, karena panjangnya. Yang
banyak terdapat, dalam kitabnya itu, justru riwayat Hadits mawlâ dan hadits manzilah, serta
sejumlah Hadits fadlail ‘Alî lainnya.
Moojan Momen, telah menjadikan peristiwa di atas, sebagaimana klaim Syî’ah, sebagai
waktu penetapan bahwa ‘Alî adalah pengganti Nabi saw. Dalam menjelaskan peristiwa tersebut,
meskipun sebagai seorang Syî’ah, penulis ini merujuk kepada semua kitab Hadits Ahl al-Sunnah,
yaitu sejumlah Hadits pada kelompok matan kedua di atas. Ibn Taimiyah (w. 758 H) juga
mengakui eksistensi peristiwa ini. Dalam konteks yang berbeda, dia telah menuliskan Hadits ini
dalam sejumlah bukunya. Dengan mengutip Hadits dengan kelompok matan kedua (Kitabullah
dan Ahl Al-Bait), ulama ini memiliki pendapat yang, tentu saja, berbeda dengan Moojan Momen.
Pendapat ini tipikal sunni, Hadits dalam peristiwa di atas, maknanya bukan penunjukan ‘Alî
sebagai khalifah.
Ada analisis bahasa yang dipakai dalam memaknai matan Hadits ini. Seperti dalam mawlâ
yang dianggap musytarak. Kata ini bisa berarti penolong, kekasih dan yang lainnya. Di antara
perkataan Ibn Taimiyah yang terpenting adalah bahwa akidah Ahl al-Sunnah itu membersihkan
diri dari cara kelompok Rafidlî yang membenci sahabat dan mencercanya dan membersihkan diri
dari kelompok Nawâshib yang menyakiti Ahl al-Bait dengan perkataan dan perbuatan. Namun
demikian, Ibn Taimiyah tetap tidak menjadikan para Ahl Al-Bait itu imam-imam sebagai tempat
kembalinya (marja’) kaum muslimin. Hal tersebut, boleh jadi, dikarenakan ketinggian tingkat
‘adalah dan dhabt para imam tersebut hanya sampai pada Muhammad al-Baqir (w. 122 H).
Untuk Ja’far al-Shadiq, tingkat ta’dil yang disandangnya hanya sampai pada shaduq, faqih, dan
imam.
Berbeda halnya dengan informasi yang terdapat dalam Thabaqât Ibn Sa’ad. Pada kitab ini,
Ibn Sa’ad (w. 230 H) memasukkan Hadits ini, yang diriwayatkan melalui Abû Sa’îd al-Khudrî
(w. 74 H), dalam kelompok “Apa-apa Yang Terjadi Menjelang Wafat Nabi saw” (Sa’ad, t.th: 194
). Perlu juga dijelaskan bahwa hanya pada Thabaqât Ibn Sa’ad inilah adanya penjelasan secara
tegas dalam sebuah bab mengenai apa-apa yang terjadi menjelang wafatnya Nabi SAW.
Sementara itu, literatur lainnya, ada yang menyebutkan bahwa Hadits ini disampaikan pada
Khutbah Nabi SAW di ‘Arafah, seperti riwayat pertama dalam Sunan al-Tirmidzî, dan yang lebih
banyak justru tidak menyebutkan pada peristiwa apa beliau menyabdakan Hadits ini, seperti
dalam Musnad Ahmad, Mujam al-Thabarânî dan yang lainnya.
Redaksi matan III Hadits ini disabdakan Nabi Muhammad SAW, berdasarkan informasi
Al-Hâkim (w. 405 H), pada saat beliau berkhutbah di ‘Arafah. Seperti kelompok matan pertama,
matan Hadits ini merupakan potongan dari satu matan Hadits yang sangat panjang. Banyak
sejarawan yang mencantumkan khutbah beliau ini dalam buku mereka. Akan tetapi, para
sejarawan itu kecuali Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310 H) tentu saja tidak mencantumkan sanad dalam
buku-buku mereka. Al-Albânî juga tidak berhasil menemukan sanad-nya ketika dia merujuk
kepada kitab Ibn Hisyâm. Muhammad Al-Ghazalî mengatakan, setalah melihat sejumlah kitab
lain yang mencantumkan riwayat khutbah Nabi saw ini, di antara sanad-nya terdapat sanad
Muslim yang bersumber dari Jâbir ra.
Berbeda dengan redaksi kelompok matan pertama, riwayat ini bersumber dari Abu
Hurairah (w. 57//8/9 H) dan Ibn ‘Abbâs (w. 68 H). Sementara itu, orang-orang yang berada pada
thabaqah berikutnya juga tidak sebanyak riwayat dengan matan kedua. Namun demikian, riwayat
ini menjadi masyhûr, di kalangan sejarawan, sebagai mana terlihat dalam penjelasan untuk
redaksi kelompok matan pertama.
Untuk redaksi matan IV, berdasarkan riwayat Imâm Zaid b. ‘Alî (w. 120/2 H), matan ini
disabdakan Nabi SAW menjelang wafatnya. Ketika itu, kondisi kesehatan beliau sedang berada
pada kondisi tersulit dan banyak pula orang, yang larut oleh keadaan, berada di rumah beliau.
Pada saat itu Nabi saw menyuruh ‘Alî b. Abî Thâlib ra (w. 40 H) untuk memanggil al-Hasan (w.
49 H) dan al-Husain (w. 61 H). Setelah kedua cucunya itu berada di dekatnya, maka Nabi saw
pun bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian Kitabullah, Sunnahku
dan ‘Itrah-ku”. Redaksi ini hanya terdapat pada Musnad al-Imâm Zaid. Penelitian ini tidak
berhasil menemukan matan ini pada kitab-kitab lainnya. Namun demikian, nilai substansi matan
ini sangat diperlukan untuk pengkompromian dari ketiga kelompok redaksi matan sebelumnya.

Fiqh Al-Hadits: Varian Khazanah Pasca Tashhih Al-Hadits


Setelah seluruh riwayat bersama matan-nya ditemukan, penelitian ini kemudian melakukan
naqd al-sanad dan naqd al-matn, dalam standar prioritas tradiri ilmu Hadits. Usnsur-unsur
‘adalah, dhabt, ittishal al-sanad, ‘illat dan syudzudz menjadi focus pembahasannya. Dengan
dibantu sejumlah kitab Rijal al-Hadits, ditambah dengan kitab-kitab teoritik al-Jarh wa al-Tadil,
dan dilengkapi dengan kitab-kitab Naqd al-Mutun, penelitian ini sampai pada proses al-hukm ‘ala
al-hadits. Secara parsial, riwayat-riwayat tersebut ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Namun
secara substantif, dapat diklasifikasikan kedalam kelompok yuhtajju biha.
Hal tersebut nampak lebih jelas dalam pembahasan Fiqh al-Hadits. Para ulama Hadits, baik
klasik maupun kontemporer, telah memberikan komentar yang relatif proporsional kepada matan
hadits ini. Pokok-pokok pemahaman yang dikemukakan mereka terlihat dalam ungkapan yang
menyatakan bahwa matan hadits ini adalah wasiat Nabi, yang berisi penegasan yang pasti
menuntut adanya kewajiban menghormati, memuliakan, dan mengagungkan keluarga Nabi,
dengan suatu nilai kewajiban yang sangat tinggi dan pasti. Sehingga tidak ada alasan bagi seorang
pun untuk berpaling dari kewajiban itu.
Kewajiban tersebut termasuk kepada apa yang telah diketahui dari khusûsiyat keluarga
Nabi dengan Nabi saw, yaitu, seperti dikatakan Qurthubi bahwa mereka adalah bagian dari
beliau. Mereka adalah berasal dan tersebar dari Nabi saw, sebagaimana sabdanya, “Fathimah
adalah bagian dari diriku”. Namun demikian, keagungan hak-hak keluarga Nabi ini telah diterima
dengan sebaliknya oleh (mayoritas) Bani Umayyah. Rezim ini telah menyakiti anggota keluarga
Nabi, membantainya, menawan para wanitanya, melenyapkan anak-anaknya, memerangi daerah
kediamannya, mendustakan kemuliayan dan keutamaannya, membolehkan mencaci maki dan
melaknat mereka, sehingga rezim ini telah menyalahi wasiat Nabi saw. Mereka telah menarima
wasiat beliau ini dengan cara sebaliknya yaitu melakukan pemberotakan dan menghilangkan
ketundukan terdapnya. Oleh karena, itu, salah satu “rekomendasi lisan” penelitian ini adalah
diadakannya penelitian lanjutan tentang pengaruh kekuasaan atau politik terhadap keberadaan
riwayat-riwayat hadits shahih.
Selanjutnya, penelitian ini menemukan corak pemahaman sustantif seperti terlihat dalam
pernyataan al-Mubarakfuri. Syarih Sunan al-al-Tirmidzi ini menyatakan, “Namun demikian,
sejumlah produk penafsiran di atas tidak secara tegas menyebutkan siapa saja di kalangan Ahl al-
Bait itu yang dimaksudkan Hadîts di atas. Hanya saja, ukuran yang membatasi makna Ahl al-Bait
itu disebutkan dengan adanya kesejalanan perilaku kehidupan mereka dengan nilai-nilai syari’at
baik yang datang secara langsung dari Qur’ân atau dari Sunnah.
Ukuran tersebut dapat dibuktikan dengan sejumlah nas yang tersurat atau yang tersirat, baik
melalui Qur’ân atau Hadits Nabi itu sendiri. Nabi saw sendiri pernah besabda, “Jika Fathîmah bt.
Muhammad mencuri, niscaya Aku potong tangannya”. Padahal siapa yang lebih dicintai Nabi
saw dari pada Fathîmah. Oleh karena itu, semua manusia di hadapan syari’at Islam memiliki
kedudukan yang sama. Hanyalah ketakwaan yang dapat membedakan antara satu dengan lainnya.
Sehingga, adanya kewajiban kaum muslimin yang berkenaan dengan hak-hak Ahl al-Bait itu
tidak hanya didasari karena memuliakan Nabi saw dan mentaati Firman Allah, “Katakanlah, Aku
tidak meminta upah kepadamu, kecuali mencintai keluarga(ku)”( Al-Syûrâ:23), namun lebih dari
itu, Ahl al-Bait hanyalah terikat dengan Nabi saw oleh landasan iman dan takwa. Allah telah
menetapkan jika nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam diri seseorang telah hilang maka
dengan sendirinya tali kekeluargaan pun menjadi hilang (Hud;46).
Ukuran keimanan dan ketakwaan itu ternyata dapat dibuktikan dalam sejarah. Apa yang
telah diucapkan oleh Nabi saw tersebut terbukti dengan jelas. Seluruh keluarganya telah
memberikan contoh yang luar biasa, baik dari aspek-aspek kepribadian mereka sebagai orang
yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tiada bandingnya, atau dari aspek-aspek keilmuan
yang ada pada diri mereka. Meskipun dalam aspek yang disebut terakhir ini, tentu saja ada
gradasi tertentu, sesuai dengan kapasitas intelektual masing-masing individu di antara mereka.
Karena ukuran yang membatasi keterkaitan mereka dengan Nabi saw itu ternyata bukan
hanya berdasarkan silsilah nasab atau keturunan, maka faktor pertalian darah diketahui kemudian
bisa menjadi tidak signifikan. Yang menentukan kepribadian mereka, sehingga layak dinilai
sebagai Ahl Al-Bait yang mutamassak adalah keimanan dan ketakwaannya; dan yang
menentukan tingginya nilai intelektual mereka adalah etos ilmiah yang senantiasa berada dalam
diri mereka. Terpenuhinya dua persyaratan substansial sebagai Ahl Al-Bait yang mutamassak,
yaitu (1) kepribadian mulia (iman dan takwa); dan (2) keilmuan (etos ilmiah) yang didasari oleh
keimanan dan ketakwaan tersebut, telah menjadikan mereka pantas disebut al-Tsaqal al-Asghar
(dan Qur’ân kemudian disebut dengan Al-Tsaqal al-Akbar), yang dapat menyampaikan kaum
muslimin secara umum kepada nilai-nilai risalah yang terdapat dalam Qur’ân dan Sunnah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kajian ini lebih ditekankan pada kriteria bilakah Ahl al-
Bait itu mutamassak, bukan pada individu (person). Namun demikian eksistensi Ahl al-Bait
secara individu tetap diakui sebagai wujud perjalanan historis yang takterbantahkan adanya dan
yang menjadi penentu hal ini adalah adanya kepastian pertalian nasab sampai kepada Rasûlullah
saw. Kewajiban menghormati dan memuliakan mereka adalah bagian perintah agama. Namun
demikian, untuk menjadikan mereka sebagai salah satu marja’ bagi kaum muslimin, hendaklah
diketahui terlebih dahulu bahwa, di samping memiliki kepribadian mulia, mereka harus memiliki
etos ilmiah yang didasari oleh keimanan dan ketakwaannya itu. Oleh karena itu, jika diperinci,
persyaratan Ahl al-Bait yang mutamassak itu adalah : (1) adanya pertalian darah dengan
Rasûlullah saw; (2) adanya kepribadian mulia (imam dan takwa) pada diri mereka; dan (3)
adanya etos ilmiah yang tercermin dalam sejumlah pendapat mereka dan atau karya-karya mereka
yang secara historis terbukti telah ikut menghiasi khazanah intelektual Islam.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, ada pemahaman lain yang secara substansial memiliki
perbedaan tentang makna tsaqalain itu. Pemahaman ini dikemukakan oleh sejumlah ulama Syî’ah
yang secara tegas mengklaim bahwa teks Hadîts tersebut merupakan dalil yang pasti tentang
dijadikannya para imam yang berasal dari kalangan Ahl al-Bait (terbatas hanya dari ‘Alî dan
keturunannya), sebagai marja’ mereka, seperti dikemukakan al-Askari. Dengan juga berdasarkan
hubungan antar teks Hadîts yang diklaim sebagai dalil penunjukkan ‘Alî sebagai Khalifah, mereka
katakan bahwa tidak ada alasan bagi kaum muslimin untuk berpaling dari ‘Alî dan keturunannya,
berkenaan tentang informasi Qur’an dan Sunnah itu. Selanjutnya, dalam buku Ma’âlim al-
Madrasatain, Al-’Askarî, demikian juga Asad Haidar, nampaknya menilai shahîh jalur Hadîts
melalui sanad Zaid b. al-Hasan al-Anmâthî, dengan mengatakan bahwa Nabi mengatakannya pada
dua tempat, yaitu ketika berkhutbah di ‘Arafah dan di Ghadîr Khumm. Ada indikasi kesamaan
penilaian Hadîts antara Asad Haidar dengan Al-’Askari. Lebih jauh bahkan Asad Haidar
mengatakan telah terjadi tahrîf, sehingga Hadîts tsaqalain itu berubah menjadi Kitâb Allâb dan
Sunnah Nabi.
Namun demikian, berdasarkan data tambahan yang ada, penelitian ini tidak bisa mematok
bahwa untuk mengetahui informasi tentang Qur’ân dan Sunnah tersebut hanyalah memalui para
imam Ahl al-Bait, seperti dilakukan oleh sebagian orang Syî’ah, yang dalam hal ini adalah Syî’ah
Rafidlah (dengan kekeculian sejumlah riwayat yang sesuai dengan pandangan madzhab mereka atau
riwayat tersebut mereka tafsirkan berdasarkan pendapat madzhabnya itu). Memang bisa diterima
ungkapan yang menyatakan bahwa para Ahl al-Bait itu paling mengetahui Nabi saw kerana mereka
sehari-hari hidup bersama beliau. Namun ternyata tidak semua informasi tentang Nabi saw itu
datang dari mereka. Karena, untuk kasus-kasus tertentu beliau berbicara atau bertindak tidak di
hadapan para keluarganya, tetapi di hadapan para sahabat yang lain. Oleh karena itu, menutup
saluran informasi tentang diri Nabi saw selain dari para keluarganya adalah sesuatu yang absurd,
karena beliau itu juga hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak lain adalah para sahabatnya
sendiri.

Kesimpulan
Berdasarkan fiqh al-hadîts di atas, penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa semua Hadîts
di atas memiliki makna yang komprehensif, paling tidak untuk konteks-konteks tertentu, dengan
melihat kapan dan di mana Nabi saw meriwayatkan Hadîts tersebut. Dalam hal tersebut, penulis
juga memandang perlu untuk melihat sejumlah riwayat lain yang memiliki kedekatan makna matan.
Artinya, dengan melihat kedekatan makna matan tersebut, akan diketahui bahwa sebetulnya
substansi makna perkataan Nabi saw, yang bervariasi redaksinya itu, memiliki makna yang satu,
utuh dan universal. Adanya riwayat yang menyatakan bahwa hanya Kitâb Allâh saja yang harus
dirujuk itu tidak lantas memunculkan pemahaman bahwa selain Kitâb Allâh itu harus
dikesampingkan atau tidak bisa dijadikan rujukan. Akan tetapi, riwayat itu hendaknya difahami
bahwa pada Kitâb Allâh itu terdapat nilai-nilai dasar sebagai jawaban dari setiap persoalan, nilai-
nilai dasar petunjuk ilahi dan lain sebagainya yang merupakan pokok pangkal atau titik tolak kaum
muslimin, sebagai ummat Nabi Muhammad saw, dalam setiap aspek kehidupannya sehari-hari.
Penyebutan Ahl al-Bait yang menyertai Kitâb Allâh, tentu saja difahami sebagai pelengkap
atau penjelas dari apa yaterdapat dalam Kitâb Allâh tersebut. Dalam konteks penyabdaan di atas,
bisa difahami, secara historis, bahwa Ahl al-Bait Nabi saw itulah yang paling dekat dengan beliau.
Konsekwensi logisnya, mereka itulah yang lebih banyak mengetahui tentang kehidupan sehari-hari
beliau, termasuk di adalamnya apa-apa yang kemudian kita kenal dengan Sunnah Nabi saw itu.
Dalam kerangka itulah nampaknya Nabi saw menyabdakan bahwa selain Qur’ân, beliau juga
meninggalkan Ahl al-Bait-nya sebagai jalur transmisi Sunnah, yang tentu saja berimplikasi sangat
luas, termasuk di dalamnya terdapat fungsi-marja’i sebagai tempat kembali atau bertanya setelah
beliau wafat.
Penyebutan Sunnah yang menyertai Kitâb Allâh, juga harus difahami sebagai pelengkap atau
penjelas terhadap apa-apa yang terdapat dalam Kitâb Allâh tersebut. Dalam konteks ini, tentu saja
beliau tidak hanya membatasi informasi Sunnah itu, kepada Ahl Al-Bait-nya, akan tetapi kepada
siapa saja di kalangan sahabatnya yang sempat mengetahuinya. Dalam konteks ini, juga diketahui,
Nabi saw pernah bersabda mengenai apa-apa yang terdapat dalam diri sahabat, seperti Hadîts yang
menerangkan bahwa para sahabat itu laksana bintang-bintang di langit dan terutama mengenai
sunnah Al-Khulafâ’ Al-Râsyidin. Oleh sebab itu, jelas sekali apa yang Nabi saw sabdakan
menjelang beliau wafat, seperti terlihat pata redaksi matan keempat, yaitu bahwa yang beliau
tinggalkan atau amanatkan bagi ummatnya itu ada tiga: Kitâb Allâh, Sunnah-nya dan Ahl al-Bait-
nya. Ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi untuk dijadikan pedoman,
tempat kembali dan jawaban dari sejumlah persoalan yang akan muncul di kalangan ummat Islam
pada masa setelah wafatnya beliau, dengan jaminan tidak akan sesat selama-lamanya bagia siapa
saja yang berpegang teguh kepada ketiga perkara itu. Hal seperti inilah yang, dalam term teknis
Ilmu Musthalah Hadîts, dinamakan dengan Hadits maqbûl-ma’mûl wa yuhtajju bih.***

Anda mungkin juga menyukai