‘Itrah (Ahl Al-Bayt) dan Sunnah dalam Pandangan Ulama Hadits Sunni1
Oleh:
Mohamad Anton Athoillah2
Pendahuluan
Tulisan ini berasal dari sebuah penelitian hadits yang meneliti adanya empat versi matan
Hadits mengenai apa-apa yang, secara tekstual, ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw, bagi
ummatnya, yaitu: pertama, versi yang menyatakan bahwa beliau hanya meninggalkan Qur’an;
kedua, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan Qur’an dan ‘Itrah-nya atau Ahl al-
Bait-nya; keluarga dan keturunannya; ketiga, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan
Qur’an dan Sunnahnya; dan keempat, versi yang menyatakan bahwa beliau meninggalkan
Qur’an, Sunnah-nya dan ‘Itrah-nya. Dari keempat versi itu, versi ketigalah yang lebih populer,
paling tidak, pada masyarakat sunni Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode takhrij. Sebuah metode baku yang
biasa dipakai untuk meneliti otentisitas, validitas dan, dalam batas-batas tertentu, reliabilitas
hadits. Tulisan ini sekaligus juga memberikan contoh bagaimana metode ini dilaksanakan dengan
sebisa mungkin melihat berbagai aspek yang menyertainya yang dipandang perlu untuk
diungkapkan sebagai kelengkapan aplikasi metode tersebut.
1 Makalah disampaikan pada acara Bedah Buku dengan judul Misteri Wasiat Nabi; Asal Usul Sunnah Sahabat,
Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri, karya K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., yang diselenggarakan oleh PP
IJABI di Aula Muthahhari, Jl. Kampus II Kiaracondong, Bandung, Sabtu, 4 Juli 2015. Makalah ini merupakan
ringkasan dari disertasi penulis yang berjudul Riwayat Hadits Taraktu Fi Kum, Kritik Sanad Hadits serta Telaah
terhadap Perbedaan antara Kata “Ahl Al-Bait” dan “Sunnah”, pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidaya-
tullah Jakarta, tidak dipublikasikan, tahun 1999. Untuk referensi, pembaca dapat merujuk langsung disertasi
tersebut.
2 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
difahami sekarang ini. Para sahabat masih memandangnya sebagai suatu nilai keteladanan yang
harus diingat, ditiru dan ditaati karena hal itu juga diperintahkan oleh Qur’an. Realitas inilah yang
menyebabkan para orientalis memandang Hadits, dalam pengertian sekarang, secara skeptis. Ada
yang menolak secara keseluruhan dan ada pula yang menolak sebagian besar Hadits. Mereka
berpendapat hampir tidak mungkin menyelidiki secara seksama, dengan penuh keyakinan,
materi-materi Hadits yang sangat luas, sebagai bagian yang benar-benar bersambung kepada Nabi
(saw) atau generasi permulaan para sahabat (ra). Bagi mereka, Hadits itu lebih dianggap sebagai
suatu rekaman pandangan dan sifat generasi permulaan kaum muslimin dari pada kehidupan dan
ajaran Nabi saw atau bahkan sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, mereka perkesimpulan bahwa
Nabi tidak meninggalkan Sunnah atau Hadits. Nabi hanyalah meninggalkan Qur’an. Sehingga,
Sunnah sebagai pengamalan masyarakat muslim permulaan sesudah Muhammad (saw), sama
sekali bukan Sunnah Nabawiyah, melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang
disesuaikan (dengan ajaran Nabi) menurut Qur’an, dan pengembangan konsep Sunnah
Nabawiyah baru dilakukan pada generasi berikutnya.
Anggapan tersebut berimplikasi pada pemahaman tentang pengembangan konsep Sunnah
Nabawiyah. Konsep ini dikembangkan, setelah terjadinya pembagian dua aliran Hadits, pada
periode Bani Umayyah, yang melahirkan dua prinsip versi yang berbeda; yang terdiri atas aliran
Irak dan aliran Syiria-Madinah. Sekalipun pada mulanya kedua aliran tersebut tidak merumuskan
kepentingan-kepentingan atau hak-hak politik pada masa lalu, akhirnya, mereka melakukan
interpretasi juga tentang masa lalu itu, sampai akhirnya timbul satu keberpihakan (di antara
mereka) dan polemik (yang mereka ciptakan bersama), yang akhirnya memisahkan kedua aliran
tersebut.
Masuk pada bagian ini pembahasan peristiwa penyabdaan Hadits yang Nabi saw
laksanakan dalam tiga khutbahnya, yaitu: (a) Khutbah Nabi saw di ‘Arafah pada waktu haji wada,
(b) Khutbah Nabi saw di Ghadîr Khumm, sekembalinya Nabi saw menuju Madinah setelah
menunaikan ibadah hajinya itu dan (c) Khutbah (atau perkataan) Nabi saw menjelang wafatnya.
Kedua, pembahasannya berupa analisis sanad dan matan dari seluruh riwayat yang telah
berhasil dilacak dari masing-masing kitab Hadits yang terkumpul pada bagian kedua di atas.
Bagian ini merupakan tempat diaplikasikannya Naqd al-Sanad berupa ilmu Rijâl al-Hadits yang
terdiri dari Ilmu Târikh al-Ruwâh dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dîl. Untuk analisis matan, bagian ini
merupakan tempat diaplikasikannya Naqd al-Matan, dengan terlebih dahulu mengetahui seluruh
sanad yang shahîh.
Ketiga, pembahasannya berupa Fiqh al-Hadîts dan kehujjahan Hadits sebagai implikasi
dari nilai Hadits yang telah diketahui. Pembahasannya merupakan kesimpulan yang diperoleh
dari penelitian ini.
Untuk memudahkan pelacakannya, dalam penelitian ini, jalur-jalur riwayat tersebut dibagi
ke dalam dua kelompok; yaitu: pertama, riwayat-riwayat yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah
(enam buah kitab), karena kitab-kitab Hadits yang enam ini dipandang sebagai sumber-
sumber sunnah yang terpenting dan para penyusunnya dianggap telah mencurahkan segala daya
dan kemampuan mereka secara optimal untuk mencari dan meneliti serta mendapatkan
kebenaran; dan kedua, riwayat-riwayat yang terdapat di luar al-Kutub al-Sittah.
Jalur-jalur riwayat yang terdapat dalam kelompok al-Kutub al-Sittah, ditemukan dalam
Shahîh Muslim, Kitâb al-Manâsik, Bâb Shifat Hajj Rasûlillâh SAW dan Kitâb Fadlâil Al-
Shahâbah, Bâb Fadlâil ‘Alî b. Abî Thâlib; Sunan Al-Tirmidzî, Kitâb Al-Manâqib, Bâb Manâqib
Âli Bait Al-Nabi saw; Sunan Abî Dâud, Kitâb Al-Manâsik, Bâb Shifat Hajj Rasûlillâh saw; dan
Sunan Ibn Mâjah, Kitâb Al-Manâsik, Bab Shifat Hajj Rasûlillâh saw.
Untuk sejumlah riwayat yang terdapat dalam kelompok di luar al-Kutub al-Sittah,
ditemukan dalam Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Kitâb al-Qadr, Bâb al-Nahy ‘an al-Qaul bi al-
Qadr; Musnad Imâm Ahmad, dalam musnad Abû Sa’îd al-Khudrî, Zaid b. Arqam, Zaid b. Tsâbit;
Sunan al-Dârimî, Bâb Fadlâil al-Qur’ân; Mushannaf Ibn Abî Syaibah, Kitâb Fadlâil al-Qur’ân,
Bâb fî al-Washiyyah bi al-Qur’ân wa Qirâatih dan Kitâb al-Fadlâil, Bâb Mâ A’tha al-Lâh
Muhammadan; al-Mu’jam al-Shâghîr; al-Mu’jam al-Kabîr; al-Thabaqât al-Kubrâ, Bâb Dzikr Ma
Qarab li Rasûlillâh SAW min Ajalih; al-Ma’rifah wa al-Tarikh; Shahîh Ibn Khuzaimah, Bâb
Dzikr al-Bayân anna al-Nabi saw innamâ Khathaba bi ‘Arafat Râkiban lâ Nazîlan bi al-Ardl dan
Bâb Dzikr al-Dalîl ‘alâ anna Banî ‘Abd Al-Muthallib Hum min Âli al-Nabi saw; Shahîh Ibn
Hibbân, Bâb Dzikr Itsbât al-Hudâ li Man Ittaba’ al-Qur’ân wa al-Dlalâlah li Man Tarakah; al-
Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, Kitâb al-’Ilm, Bâb Khuthbatuh saw fî Hajjat al-Wadâ’ dan Kitâb
Ma’rifat al-Shahâbat, Bâb Washiyyat al-Nabâ’ fî Kitâbillâh wa ‘Itrat Rasûlih; al-Sunan al-Kubra
li al-Baihaqî, Kitâb al-Shalâh, Bâb Bayân Ahli Baitih dan Kitab Adâb al-Qâdlî, Bab Mâ Yaqdlî
bih al-Qâdlî; Hilyat al-Auliyâ’, Musnad Hudzaifah b. Asîd, al-Jâmi’ li Akhlâq al-Râwî wa Adâb
al-Sâmi’; dan Musnad al-Imâm Zaid b. ‘Alî.
Kesimpulan
Berdasarkan fiqh al-hadîts di atas, penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa semua Hadîts
di atas memiliki makna yang komprehensif, paling tidak untuk konteks-konteks tertentu, dengan
melihat kapan dan di mana Nabi saw meriwayatkan Hadîts tersebut. Dalam hal tersebut, penulis
juga memandang perlu untuk melihat sejumlah riwayat lain yang memiliki kedekatan makna matan.
Artinya, dengan melihat kedekatan makna matan tersebut, akan diketahui bahwa sebetulnya
substansi makna perkataan Nabi saw, yang bervariasi redaksinya itu, memiliki makna yang satu,
utuh dan universal. Adanya riwayat yang menyatakan bahwa hanya Kitâb Allâh saja yang harus
dirujuk itu tidak lantas memunculkan pemahaman bahwa selain Kitâb Allâh itu harus
dikesampingkan atau tidak bisa dijadikan rujukan. Akan tetapi, riwayat itu hendaknya difahami
bahwa pada Kitâb Allâh itu terdapat nilai-nilai dasar sebagai jawaban dari setiap persoalan, nilai-
nilai dasar petunjuk ilahi dan lain sebagainya yang merupakan pokok pangkal atau titik tolak kaum
muslimin, sebagai ummat Nabi Muhammad saw, dalam setiap aspek kehidupannya sehari-hari.
Penyebutan Ahl al-Bait yang menyertai Kitâb Allâh, tentu saja difahami sebagai pelengkap
atau penjelas dari apa yaterdapat dalam Kitâb Allâh tersebut. Dalam konteks penyabdaan di atas,
bisa difahami, secara historis, bahwa Ahl al-Bait Nabi saw itulah yang paling dekat dengan beliau.
Konsekwensi logisnya, mereka itulah yang lebih banyak mengetahui tentang kehidupan sehari-hari
beliau, termasuk di adalamnya apa-apa yang kemudian kita kenal dengan Sunnah Nabi saw itu.
Dalam kerangka itulah nampaknya Nabi saw menyabdakan bahwa selain Qur’ân, beliau juga
meninggalkan Ahl al-Bait-nya sebagai jalur transmisi Sunnah, yang tentu saja berimplikasi sangat
luas, termasuk di dalamnya terdapat fungsi-marja’i sebagai tempat kembali atau bertanya setelah
beliau wafat.
Penyebutan Sunnah yang menyertai Kitâb Allâh, juga harus difahami sebagai pelengkap atau
penjelas terhadap apa-apa yang terdapat dalam Kitâb Allâh tersebut. Dalam konteks ini, tentu saja
beliau tidak hanya membatasi informasi Sunnah itu, kepada Ahl Al-Bait-nya, akan tetapi kepada
siapa saja di kalangan sahabatnya yang sempat mengetahuinya. Dalam konteks ini, juga diketahui,
Nabi saw pernah bersabda mengenai apa-apa yang terdapat dalam diri sahabat, seperti Hadîts yang
menerangkan bahwa para sahabat itu laksana bintang-bintang di langit dan terutama mengenai
sunnah Al-Khulafâ’ Al-Râsyidin. Oleh sebab itu, jelas sekali apa yang Nabi saw sabdakan
menjelang beliau wafat, seperti terlihat pata redaksi matan keempat, yaitu bahwa yang beliau
tinggalkan atau amanatkan bagi ummatnya itu ada tiga: Kitâb Allâh, Sunnah-nya dan Ahl al-Bait-
nya. Ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi untuk dijadikan pedoman,
tempat kembali dan jawaban dari sejumlah persoalan yang akan muncul di kalangan ummat Islam
pada masa setelah wafatnya beliau, dengan jaminan tidak akan sesat selama-lamanya bagia siapa
saja yang berpegang teguh kepada ketiga perkara itu. Hal seperti inilah yang, dalam term teknis
Ilmu Musthalah Hadîts, dinamakan dengan Hadits maqbûl-ma’mûl wa yuhtajju bih.***