Anda di halaman 1dari 18

Sejarah Hadis dalam Perspektif Juynboll

Oleh: Zunly Nadia, M. Hum

A. Pengantar
Semua orang muslim sepakat bahwa hadis memiliki otoritas dan menjadi sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an. Sehingga tidak dapat diragukan lagi bahwa hadis
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran
kedua setelah al-Qur'an, hadis menjadi juga rujukan dari berbagai problem sosial
keagamaan yang dihadapi oleh umat muslim karena hadis tidak hanya sebagai bayan
dan tafsir dari al-Qur'an tetapi juga mencakup semua kegiatan hidup Nabi Saw yang
umum dan luas meliputi semua informasi, bahkan pesan, kesan dan sifat yang
semuanya bersumber dari Nabi.
Kajian-kajian terhadap hadis tidak hanya dilakukan oleh umat muslim, tetapi juga
menarik perhatian para orientalis. Berdasarkan tuturan sejarah, studi hadis secara ilmiah
di kalangan orientalis dimulai oleh Alois Sprenger (w. 1893), seorang sarjana Jerman
yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Studi tentang hadis
ini kemudian diikuti oleh banyak orientalis dan studi tentang hadis ini mencapai
puncaknya ketika Ignaz Goldziher orientalis Yahudi kelahiran Honggaria ini (hidup
antara tahun 1850-1921 M) pada tahun 1890 menerbitkan hasil penelitiannya tentang
hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studies. Sejak itu kajian
terhadap hadis di kalangan orientalis semakin marak dilakukan.1
Salah satu orientalis yang juga cukup berpengaruh dalam kajian hadis adalah G.
H. A. Juynboll. Karya-karya Juynboll dalam bidang hadis telah banyak menginspirasi
para pengkaji hadis tidak hanya dikalangan orientalis tetapi juga di kalangan intelektual
muslim. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk memaparkan salah satu fokus kajian
Juynboll tentang kesejarahan hadis, dimana persoalan kesejarahan terutama terkait
dengan otentisitas hadis ini menjadi fokus kajian yang serius terutama di kalangan
orientalis.

B. Problem Otentisitas Hadis di Kalangan muslim dan Orientalis


Harus diakui bahwa hadis mempunyai problem yang cukup rumit terkait dengan
proses kodifikasinya yang memakan waktu cukup panjang, yakni setelah hampir seratus

1
Ignaz Goldziher, Muslim Studies (Muhammedanische Studien), terj. C.R Barber dan
S.M. Stern (London: George Allen dan Unwin LTD, 1971), hlm 20

1
tahun tinggal dalam hafalan para sahabat dan tabi'in yang banyak berpindah-pindah dari
hafalan seorang guru kepada hafalan muridnya. Sehingga setelah penulisan dan
pembukuan hadis itu berkembang dengan pesat muncul berbagai persoalan apakah
hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang berasal dari Nabi,
atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk maksud tertentu?
Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu redaksinya persis seperti yang
diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya saja? kalau itu riwayah bil makna,
apakah benar maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi?dan masih banyak
pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dan memerlukan berbagai penelitian lebih
lanjut untuk melihat otentisitas hadis sehingga memunculkan ilmu hadis dengan
berbagai cabangnya2.
Dalam sejarahnya hadis memang terlambat untuk dibukukan. Para ahli sejarah
mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran
di masyarakat Islam dan umumnya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja.
Setidaknya dalam proses historiografinya, hadis mengalami beberapa periode, dari
periode keterpeliharaan dalam hafalan hingga periode dibukukannya hadis tersebut
(pentadwinan). Pertama adalah periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan yang
berlangsung pada abad I hijriyah. Kedua, periode pentadwinan hadis, yang masih
bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi'in yang berlangsung pada abad
ke 2 hijriyah. Ketiga, periode pentadwinan dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat
dan tabi'in, berlangsung sejak abad ke 3 hijriyah. Keempat periode seleksi keshahihan
hadis dan kelima periode pentadwinan hadis tahdzib dengan sistematika penggabungan
dan penyarahan yang berlangsung semenjak abad ke 4 hijriyah3.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab sebenarnya sudah terpikir untuk
membukukan hadis, tetapi setelah sebulan beristikharah iapun membatalkan niatnya
dengan alasan kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur'an dengan hadis4. Kemudian
pada masa tabi'in banyak muncul hadis-hadis palsu dimana awal kemunculannya
dikaitkan dengan peristiwa politik yang sering disebut sebagai fitnatul kubro yang diawali
dengan terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, sehingga berimplikasi pada perpecahan
umat Islam menjadi beberapa golongan, seperti khawarij, syi'ah, murji'ah dan lain

2
Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas'udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap
Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
3
Drs. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Bandung: ROSDA, 2004), hlm 44
4
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh (Beirut: Darul Fikr, 1979), hlm 154

2
sebagainya. Dalan situasi yang cukup "rumit" ini, setiap golongan menggunakan dalil-
dalil yang dinisbatkan kepada Nabi Saw untuk mendukung kelompoknya. Kondisi inilah
yang menyebabkan kebutuhan akan kodifikasi dan menyeleksi hadis semakin
dirasakan, karena jika tidak segera diambil tindakan kodifikasi hadis akan semakin
banyak hadis palsu bercampur dengan hadis asli.5
Berbeda dengan kodifikasi al-Qur'an, dimana para sahabat tidak menemukan
banyak kendala dalam pengerjaannya, karena tugas "panitia" kodifikasi hanya
mengumpulkan naskah-naskah al-Qur'an yang sudah ada di tangan para sahabat untuk
disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawathir mereka
terima dari Nabi Saw dan secara ilmiyah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur'an.
Sementara dalam kodifikasi hadis banyak menemui berbagai macam kendala dan
kerumitan terkait dengan hadis yang lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada
dalam catatan. Apalagi hadis dalam ingatan para sahabat ini telah tersebar secara luas
ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat nabi. Rentang waktu yang
cukup lama serta munculnya perbedaan misi politik serta madzhab pada masa itu juga
menambah sulitnya "proyek" kodifikasi ini karena untuk menghimpun hadis-hadis yang
cukup banyak tersebut tentunya dibutuhkan ketelitian yang cukup tinggi baik dalam
kerangka ontologis6, epistemologis7 maupun aksiologis8, sehingga hadis benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah9.
Kodifikasi hadis secara resmi pertama kali digagas oleh khalifah Umar ibn Abd
Aziz memalui surat edarannya kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama

5
Sebagaimana pernyataan al-Zuhri: Sekiranya tidak ada hadis yang datang dari arah
timur yang asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis dan tidak pula mengizinkan orang
menulis. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997), hlm 52-53
6
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan
dan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology tersebut, hadis dalam wilayah
ontologis disini adalah kandungan hadis, seperti aqidah, syariah, muamalah akhlak, sejarah dan
lain – lain.
7
Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan
disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Dalam kerangka ini secara epistemologis, dalam
keilmuan hadis dititikberatkan kepada cara-cara menentukan derajat hadis yang berkaitan
dengan kandungannya.
8
Aksiologis merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan, dalam kerangka ini
hadis disini berkaitan dengan tujuan ulama yang mengumpulkan hadis.
9
Pertanggungjawaban secara ilmiyah karena memang setiap pengetahuan harus
mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga batang tubuh pengetahuan yang
disusunnya, yakni dari segi epistemologis, ontologis serta aksiologis. Ketiga istilah ini dikutip dari
filsafat ilmu. Penjelasan istilah ini dapat dilihat dalam Yuyun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet ke-5 hlm 10. Lihat juga Dr.
Pardodo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)

3
ditempat masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis, dan salah satu gubernur yang
cukup tanggap dengan perintah khalifah adalah gubernur Madinah Abu Bakar
Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang pelaksanaanya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri.
Pada abad ini juga para ulama mulai menyusun kitab hadis dan meletakkan pula
landasan epistemologisnya. Sejak dikeluarnya perintah tersebut, kegiatan kodifikasi ini
terus berlanjut sampai abad ke 4 dan ke 5 Hijriyah dan mencapai puncaknya pada abad
ke 3 H, karena pada abad ini banyak muncul para pengumpul hadis seperti imam
Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, An-Nasa'I, Ibn Majah, al-
Damiri, dan lain sebagainya.
Pada abad-abad tersebut perkembangan ilmu hadis cukup dinamis, disamping
munculnya karya monumental di abad ke-3 H yang berupa kitab hadis yang dikenal
dengan al-Kutub al-Sittah juga banyak bermunculan kitab-kitab yang menghimpun
hadis-hadis dengan sistematika dan metode pemilahan hadis yang berbeda-beda10.
Selain itu juga ada juga ulama yang melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang
dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik matan maupun kritik sanad, seperti kritik
matan yang dilakukan oleh ulama mu'tazilah seperti al-Nazhzham dan kritik sanad yang
dilakukan oleh al-Daruquthni terhadap Shahihayn11. Kemudian muncul lagi kalangan
ulama kemudian yang merupakan anti tesis terhadap kritik-kritik tersebut, sehingga
membuat keilmuan hadis semakin berkembang.
Dalam menyusun kitab hadis, para ulama tidak hanya mendasarkan pada aspek-
aspek ontologi12 tetapi juga meliputi aspek epitemologi yang berupa kritik sanad dan
matan serta aspek aksiologi yang berupa tujuan penyusunannya baik secara praktis
maupun teoritis. Penyusunan kitab-kitab hadis berdasarkan aspek-aspek tersebut
disebut ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu riwayah menekankan pada ketepatan
menghimpun segala yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, sedangkan ilmu dirayah lebih

10
Ada kitab-kitab yang disusun dengan menggunakan sistematika yang digunakan
ulama pada abad sebelumnya, ada juga yang ulama yang menyusun kitab al-Mustakhraj seperti
kitab al-Mustakhraj terhadap shalih Bukhari yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin ibrahim al-
Isma'ili dan Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Burqani, kitab al-Mustakhraj terhadap shahih
Muslim yang disusun oleh Abu Ja'far Ahmad al-Naysaburi, dan Abu Bakr Muhammad bin
Muhammad bin Raja' al-Naysaburi, ada juga ulama yang menambahkan yang belum terhimpun
dalam shahihayn dengan menyusun kitab al-Mustadrak.
11
Abu Hasan 'Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daruquthni, selanjutnya disebut al-
Daruquthni. Ia mengarang kitab al-Istidrakat wa al-Tatabbu' sebagai kritikan terhadap 218 sanad
hadis yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim. Kritikan tersebut selanjutnya dijawab oleh al-
Asqalani dalam Hadyu al-Sariy: Muqaddimah Fath al-Bari, Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran
Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, (Jakarta: Paramadina, 2000),
hlm 6-7
12
Seperti munculnya kitab-kitab musnad dan mushannaf

4
menekankan pada faktor diterima dan tidaknya sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi
tersebut.13Kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam menentukan
status hadis. Tetapi dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan
rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis
riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang
senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu,
pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang
mereka susun adalah ilmu hadis dirayah14.
Dalam perspektif keilmuan hadis, ada tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian, yaitu, sanad hadis, matan hadis dan kemunculan kritik hadis, dimana
ketiganya berkembang menjadi cabang-cabang dalam ilmu hadis yang disusun para
ulama masa itu dalam kitab-kitabnya diantaranya adalah: pertama ilmu yang berkaitan
dengan sanad yakni ilmu rijalil hadis15, ilmu jarh wa ta'dil16, kedua ilmu yang berkaitan
dengan matan hadis yakni ilmu mukhtalaf al-Hadis17, ilmu ilalul hadis18, ilmu gharibul
hadis19, ilmu nasikh dan mansukh20 dan lain sebagainya.
Demikian dinamisnya para ulama hadis masa itu sehingga karya-karya dalam
bidang hadis terus berkembang dan menjadi rujukan ulama pada masa kini dalam
mengkaji dan mempelajari hadis-hadis Nabi Saw. Sehingga saat ini, umat muslim bisa
mendapati hadis dari kitab-kitab hadis yang telah terkodifikasi. Kitab-kitab hadis yang
tertulis pada abad kedua dan ketiga hijriyah tersebut menjadi sumber rujukan utama
bagi umat muslim untuk mengetahui hadis yang diyakini berasal dari Nabi. Kitab-kitab

13
Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm
101
14
Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah.
Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm
usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
15
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para perawi itu layak diterima menjadi perawi
hadis, diantara ulama yang menyusun kitab tentang tokoh-tokoh hadis ini adalah al-Bukhari , Ibn
Sa'ad dalam kitabnya Thabaqat, Ibn Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.Ibid., 104
16
Ilmu Jarh wa ta'dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi yang membuat
mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Ibid., hlm 102
17
Ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang secara lahiriyah bertentangan namun ada
kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ibid.,
18
Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak
keabsahan suatu hadis seperti memarfu'kan hadis mauquf, dan lain sebagainya sehingga
dengan ilmu ini dapat menentukan apakah suatu hadis termasuk hadis dhaif atau dapat
melemahkan suatu hadis yang secara lahiriyah luput dari segala illat. Ibid.,
19
Ilmu yang membahas dan menjelaskan hadis Rosulullah Saw yang sukar diketahui
dan dipahami orang banyak karena telah bercampur dengan bahasa lisan atau bahasa arab
pasar. Ibid., hlm 105
20
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan
tengah. Hukum hadis yang satu menasikh hokum hadis yang lain mansukh. Ibid.,

5
hadis menjadi jembatan bagi umat muslim untuk mengetahui peristiwa-peristiwa historis
yang terjadi pada masa Nabi.
Dari sini kemudian, persoalan otentisitas hadis di kalangan para muhaddisin
“diselesaikan” dengan cara takhrij (kritik sanad dan matan hadis) seiring dengan
perkembangan ulumul hadis terutama pada abad ke 3 hijriyah yang merupakan masa
keemasan bagi studi hadis.
Sementara itu, dikalangan orientalis, kajian tentang otentisitas (asal-usul) juga
menjadi fokus utama dalam kajian hadis. Banyaknya kajian terhadap otentisitas hadis
membuat Herbert Berg tertarik untuk mengklasifikasikan berbagai pandangan peneliti
hadis kedalam tiga kategori yang diistilahkannya dengan skeptis, sanguine (non skeptis)
dan middle ground21. Kelompok skeptis menurut Berg adalah mereka yang menganggap
bahwa hadis dan isnad diterima secara historis tidak dipercaya. Sedangkan kelompok
sanguine adalah sebaliknya, yakni menganggap bahwa hadis dan isnad secara historis
dapat dipercaya. Pandangan skeptis ini dimotori oleh Ignaz Goldziher yang
dikembangkan oleh Joseph Shacht, yang kemudian juga diikuti oleh para orientalis yang
lain seperti Eckart Stetter, Michael Cook dan Norman Calder. Penelitian yang dilakukan
Ignaz Goldziher dan pandangannya yang skeptis terhadap otentisitas hadis ini
dipandang oleh Bert sebagai awal menjamurnya diskursus dalam studi hadis di barat.
Kelompok ini tentu saja tidak mempercayai hadis sebagai teks yang berasal dari Nabi
Saw22.
Apa yang dilakukan oleh kelompok yang skeptis ini kemudian mendapat reaksi
dari kelompok non skeptis atau sanguine. Diantara tokoh yang berada dalam posisi ini
adalah Nabia Abbott, Fuat Sezgin, Muhammad Mustafa Azami. Mereka yang berada di
dalam kelompok ini tentu saja sangat yakin akan keaslian sumber materi hadis, mereka
juga menyandarkan pendapat mereka menurut pada materi biografi yang bersimbiotik
dengan isnad.
Menurut Berg, kedua kelompok yang berseberangan (kelompok skeptis dan
sanguine) memiliki argumen dan paradigma yang berbeda, sehingga kesimpulan yang
dihasilkan dari kedua kelompok berbeda ini adalah hasil dari asumsi yang
mendahuluinya. Ketika suatu asumsi menghasilkan konklusi yang berbalik untuk

21
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam : The Authentiety of Muslim
Literature from The Formative Period, (Great Britain, Curzon Press: 2000), hlm 9
22
Fahmi Riadly, “Asal-usul Hadis Menurut Herbert Berg”, Tesis, program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2007), hlm. 20.

6
membenarkan asumsi tersebut, maka hal ini dinamakan dengan cara berfikir sirkular23.
Dari sini Berg melihat bahwa subyektifitas yang tinggi dalam penelitian (dalam hal ini
adalah paradigma dan niat seseorang) sangat berpengaruh terhadap hasil dari sebuah
penelitian. Dalam kaitan dengan persoalan otentisitas hadis bisa dilihat bahwa kelompok
yang pada awalnya memang skeptis terhadap otentisitas hadis, akan menghasilkan
penelitian yang skeptis pula, begitu juga sebaliknya24.
Dari kedua perdebatan yang terjadi antara kelompok yang skeptis dan kelompok
yang sanguine ini, kemudian muncullah kelompok ketiga yang disebut oleh Berg
sebagai middle ground. Diantara mereka yang berada dalam kelompok ini menurut Bert
adalah Gautier H.A Juynboll, Fazlur Rahman, Gregor Schoeler dan Harald Motzki.
Dalam melakukan pendekatan terhadap teks-teks Islam awal, mereka sangat
dipengaruhi oleh kelompok skeptis seperti Goldziher dan Schacht, tetapi kesimpulan
akhirnya sebagian besar serupa dengan kelompok sanguine, seperti Sezgin dan Abbot25.
Namun demikian meskipun Berg mengkategorikan kelompok middle ground sebagai
kelompok “tengah”, tetapi Berg juga berpendapat bahwa pada hakikatnya hanya ada
dua posisi, yakni skeptis dan non skeptis (sanguine).
Berbeda dengan para muhaddisin, untuk menilai historisitas sebuah hadis para
orientalis tidak menggunakan metode kritik hadis, tetapi mereka menggunakan metode
“penanggalan” (dating) yang mereka kembangkan sendiri. Setidaknya terdapat empat
metode penanggalan yang telah digunakan oleh sarjana non muslim, pertama adalah
penganggalan atas dasar analisis matan, yang digunakan oleh misalnya Ignaz Goldziher
dan Marston Speight. Kedua, penanggalan atas dasar analisis sanad, yang secara
khusus dikembangkan oleh Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll. Ketiga, penanggalan
atas dasar kitab-kitab koleksi hadis yang dipraktekkan oleh Schacht dan Juynboll dan

23
Ibid., hlm 50
24
Nurkhalis Setiawan dan Sahiron (ed.), Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
Nawesea, 2007), hlm 210
25
Sebagai contoh adalah penelitian Motzki yang mana dia melakukan penelitian hadis
dalam rangka menguji kembali pandangan Schacht dan Juyboll tentang kitab hadis al-Mushannaf
karya ‘Abd ar-Razzaq ash-Shan’ani. Hasil dari penelitiannya menyebutkan bahwa ash-Shan’ani
tidak mungkin melakukan pemalsuan hadis. Analisis statistik terhadap informan-informan ash-
Shan’ani menunjukkan bahwa terdapat pola yang bervariasi dalam hal sanad, matan hadis dan
dalam hal proporsi hadis dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.Variasi-variasi ini menunjukkan
bahwa ash-Shan’ani tidak mungkin membuat hadis. Keotentikan hadis ini terjadi menurutnya,
pada abad pertama Hijriyah. Ibid., hlm 49-50

7
keempat adalah penanggalan atas dasar analisis sanad dan matan (isnad cum matan
analysis), yang ditawarkan oleh Harald Motzki dan G. Schoeler.26
Lebih lanjut penulis mencoba akan memaparkan asal usul hadis dalam kacamata
G. H. A Juynboll yang menurut Herbert berg masuk dalam kelompok middle ground.

C. Biografi dan Karya-karya G. H. A Juynboll


Gautier H. A. Juynboll lahir di Leiden Belanda pada tahun 1935 adalah seorang
pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia
serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan
klasik hingga kontemporer. Kepakaran Juynboll dalam kajian sejarah hadis ini telah
mendapat pengakuan internasional.
Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung dengan sekelompok kecil
orang untuk mengedit karya yang kemudian menghasilkan separo akhir dari kamus
hadis., Corcondance et indice de la tradition musulmane. Kemudian pada tahu 1965-
1966 Juynboll tinggal di Mesir untuk melakukan penelitian disertasi pandangan teolog
Mesir terhadap literatur hadis. Disertasi ini telah diterbitkan dan sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dalam Kontroversi Hadis di Mesir (1890 – 1960).27 Pada tahun
1974, Juynboll menulis makalah “On The Origins of Arab Prose” dan dimuat dalam buku
Studies in the First Century of Islam Society. Sejak saat itu, ia memusatkan
perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya. Dalam beberapa
kesempatan Juynboll sering mengatakan “Seluruhnya akan kupersembahkan untuk
hadis Nabi”. Sebagai seorang ilmuwan swasta (private scholar), ia tidak terikat dengan
universitas manapun dan sebagai akibatnya ia tidak memiliki jabatan akademis
sebagaimana para ilmuwan besar lainnya. Oleh karena itu, kegiatan sehari-harinta
adalah daily visitor di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, untuk melakukan
penelitian hadis, khususnya di ruang baca koleksi perpustakaan Timur Tengah klasik
(Oriental Reading Room), di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde.
Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti dalam bidang studi hadis, Juynboll telah
menghasilkan sejumlah karya, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Diantara karya
bukunya adalah : The Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in Modern

26
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah,
2009), hlm 85
27
G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890 – 1960), (Bandung : Mizan, 1999).

8
Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship in Early
Hadis dan Studies on the Origin and Uses of Islamic Hadis.28

D. Sejarah Hadis dalam Perspektif G. H. A. Juynboll


Dalam pengantar bukunya, Muslim Tradition, Juynboll menyatakan bahwa dia
tidak memihak pada salah satu dari dua pandangan yang berseberangan baik dari
kalangan muhaddisin maupun kalangan orientalis. Dia menyatakan bahwa dia tidak
hanya dipengaruhi oleh pandangan orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Josep
Schacht, tetapi juga dipengaruhi oleh para intelektual muslim, seperi Muhammad Abduh
dan Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Dalam penelitiannya, Juynboll berusaha untuk
mengembalikan kepada sumber-sumber awal Islam. Dia juga menyatakan bahwa buku
muslim tradition merupakan buku pertama orientalis yang ditulis bagi kaum muslim,
dalam arti bahwa meski sebagai seorang orientalis, dia menyatakan dirinya berada pada
posisi senetral mungkin, terutama ketika membicarakan tentang nilai-nilai fundamental
dari kepercayaan orang muslim.29
Sehingga meskipun berangkat dari teori yang sama dengan pendahulunya,
tetapi bukan berarti harus mengekspresikan dalam suara yang sama.
“…………….I sought to write my own account, in doing so covering more or less
the same ground and using my own source material. Moreover, I did not want to confine
myself to mainly legal traditions. Although Schacht also made use of and quoted from
many of some sources, he did it in a manner which I feel to be delidedly different from
my own. Some of my aims in writing this book are fulfilled if the style in which I mould my
ideas does not recall the style of my predecessors. Much as we may be indebted to our
predecessors-some- thing which we should gratefully acknowledge – we need not
necessarily express ourselves in the same tone of voice”.30
Dalam melihat asal usul hadis, Juynboll sebagaimana para orientalis yang lain
tidak cenderung menyandarkan sebuah hadis kepada Nabi hanya karena hadis tersebut
terdapat dalam kumpulan resmi (kutub as-sittah). Dalam memberi penanggalan sebuah
hadis, ia selalu mengajukan tiga pertanyaan, yakni, dimana, kapan dan oleh siapa hadis
tersebut disebarkan. Dalam pandangannya, jawaban atas tiga pertanyaan tersebut pada

28
Ali Masrur, Teori Common Link G. H. A Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis
Nabi, (Yogyakarta : LKiS, 2007), hlm 15-18
29
G. H. A Juynboll, Muslim Tradition; Studies in Chronology, Provenance, and
Authorship of Early Hadis, (Newyork: Cambridge University Press, 1983), hlm 1 dan 8
30
G. H. A Juynboll, Muslim Tradition…..hlm 4

9
saat yang sama menjawab pertanyaan tentang asal-muasal (provenance), kronologi dan
kepengarangan (authorship) hadis tersebut.31

1. Perkembangan Hadis paling awal dari pusat-pusat hadis


Juynboll menyoroti perkembangan awal hadis dengan melihat bagaimana
perkembangan awal dari periwayatan hadis dan pengumpulannya yang diambil dari
berbagai pusat peredaran hadis. Dia memaparkan sejak akhir dari dua atau tiga dekade
dari abad I Hijriyah. Hadis secara perlahan berkembang seiring dengan dipisahkannya
pusat administratif kekuasaan Islam.
Pusat-pusat hadis tersebut menunjukan keterpisahan. Salah satu karakteristik
dari evolusi hadis pada tahap yang paling awal yang penting ditekankan sebelum yang
pada yang lainnya. Pada awalnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
kontak antara pusat-pusat hadis terutama pada pusat-pusat yang jauh. Dengan kata lain,
setiap pusat hadis mempunyai peredaran hadis yang berbeda. Pada awalnya, sangat
jarang para pengumpul hadis dari satu pusat hadis melakukan perjalanan/pergi ke pusat
hadis yang lain untuk mencari dan belajar kepada guru baru, setidaknya pada abad I
hijriyah (7 M). Dalam investigasi terhadap perkembangan awal ini, Juynboll mengakui
bahwa mayoritas rangkaian sanad, sepanjang menyangkut tiga dari periwayat paling
awal, bisa diduga sebagai keterangan dari satu pusat hadis. Agaknya, perkembangan
berikutnya, menyatakan, sejak beberapa dekade pertama dari abad kedua, kontak
terlihat/terjadi antar pusat-pusat hadis dan kita bisa menyaksikan kemunculan sanad-
sanad yang dilabelkan menjadi keterangan yang lebih dari satu pusat hadis.
Dalam mengklasifikasikan isnad, Juynboll secara eksklusif menfokuskan pada
para periwayat paling awal, yang dimasukkan dalam beberapa kategori: Hijaz, Mesir,
Syiria, dan Irak. Dari kategori tersebut, sejarah paling awal dari hadis bisa digambarkan
melalui karakteristik isnad di tiap pusat hadis.32

1. Isnad Hijaz
a. Makkah
Dalam isnad Hijad ini jika merujuk pada jumlah sahabat yang aktif di dua kota
utama Hijaz, yaitu Makkah dan Madinah, menurut Juynboll hal bisa menyimpulkan
bahwa semakin banyak orang yang menempatkan diri mereka dengan hadis dikemudian

31
G. H. A. Juynboll, Muslim tradition…….hlm 7
32
Juynboll, Muslim Tradition….Ibid., hlm 39

10
hari. Para periwayat yang ditemukan sebagian besar hadisnya kembali pada Nabi
adalah , Yang empat Abadila (yaitu, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Amr, dan Ibn Zubayr),
Aisya dan Jabir bin Abdullah. Di Makkah juga terdapat beberapa jumlah sahabat yang
dinyatakan menempati posisi kunci dalam periwayatan hadis. Yang dimaksud disini
adalah qass (pencerita) pertama, yaitu Ubyd bin Umayr (w. 68 H), Mawla Miqsam bin
Bujra (w. 110 H), Mawla Mujahid bin Jabr (w. 125 H), Ibn Abi Mulayka (w. 117), mawla
Amr bin Dinar (w.125 H), mawla Abu Zubayr (w. 126 H) dan yang terakhir Mawla Abu
Sufyan Talha bin Nafi’ (W. 120 H) dimana kemudian tinggal di Wasit dimana hadis nya
menjadi dikenal dengan periwayat Irak. Menurut dugaan, salah satu sahabat yang
pertama mengenalkan materi hadis Irak ke Makkah adalah Abu Umayya Abd Karim ((W.
127 H).
Sementara itu, sepanjang pengetahuan tentang materi fikih, Ata bin Abi Rabah
merupakan ahli fikih yang mempunyai fatwa-fatwa, dimana fatwa-fatwa tersebut
dilaporkan untuk secara luas dicari dan dia juga ahli dalam manasik seperti
upacara/ritual haji, yang menurut banyak orang tidak ada yang menandingi. Dia juga
merupakan salah satu ahli fikih yang mempunyai keputusan-keputusan legal baik. Bukti
dari dugaan ini bisa dikumpulkan sedikit demi sedikit dari fakta bahwa metode
sama’/mendengar dari sebagian besar teman-teman adalah palsu dan dia disebut
dengan sejumlah mursalat yang tidak suka penerimaan yang general/umum.33

b. Madinah
Karena sebagian besar sahabat yang meriwayatkan hadis di Madinah cukup
banyak yang berasal dari jalur periwayatan (companions) yang berbeda, hal ini
membuat kesulitan untuk memberikan figure yang akurat.
Sepanjang jalur periwayatan yang ada, tidak ada satu figur penting yang
eksklusif di Madinah, sebagaimana jalur-jalur periwayatan lain yang terlihat dalam
sanad-sanad dari satu pusat. Di Madinah, jalur periwayatan Abu Hurairah, ‘Aisha dan
Zayd bin Tsabit adalah utama. Tetapi mereka juga muncul di isnad yang berpusat pada
sahabat dari pusat hadis yang lain. Selain itu Anas bin Malik juga merupakan satu
contoh yang sangat jelas dimana dia merupakan jalur periwayatan yang diklaim oleh
dua pusat, Basrah dan Madinah.
Salah satu dari sahabat Madinah yang paling penting adalah Ibn Shihab az-Zuhri
(w. 124 H). Apapun kriteria seseorang yang memakai nilai historis isnad, tidak ada list

33
Ibid., hlm 39-40

11
dari otoritas awal yang lengkap tanpa Zuhri di dalamnya. Zuhri pada saat yang sama
juga merupakan figur yang aktif di dua center Madinah dan Damaskus. Isnad yang
menyebut Zuhri kemudian di Madinah atau Syiria tergantung asal usul periwayat yang
berguru kepadanya dan juga berasal dari beberapa gurunya seperti Abu Idris al-
Khawlani (w. 80 H), yang hanya aktif di Syiria.
Selain itu, beragam materi dari pusat tradisi di Irak juga mengklaim Zuhri sebagai
informan. Banyak periwayat yang dipanggil sebagai murid Zuhri di Irak, yang terdata
bahwa mereka telah mendengar hadis dari dia, dimana pada prakteknya semua
dijelaskan dalam rijal sebagai klaim yang palsu untuk mempunyai murid-murid zuhri.
Sangat mungkin bagi seseorang dijelaskan dengan nisbah Zuhri. Isnad-isnad Irak
disinyalir banyak disebut dengan nisbah tersebut. Hal ini semata-mata untuk
memperlihatkan kewibawaan, yang kemudian dikenal dengan tadlis. Zuhri merupakan
orang pertama yang membuat koleksi sistematik hadis.
Periwayat hadis utama diantara para sahabat lainnya di Madinah adalah: Ubyd
Allah bin Abdullah bin Utba, Urwah bin Zubyr, Abu Bakar bin Abd Rahman bin Harit, Abu
Salamah, Kharija bin Zayd, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abd Allah. Mereka
semua ini merupakan representasi periwayat utama yang kemudian disebut dengan
Madhhab. Mereka dikenal dengan beberapa karakter sebagaimana yang dinyatakan
oleh Said bin Musayyab (w antara 93-100 H) : Mereka semua adalah orang Arab,
mereka sangat ahli dalam bidang fiqh, tercatat dengan sebagian besar jumlah hadis
yang diriwayatkan. Mereka juga dikenal irsal, beberapa kasus sama’ dari jalur
periwayatan mereka di ragukan dalam kasus salah satu dari ini.
Dari kalangan Maula yang terkenal, dicatat dengan kualitas yang sama adalah:
Sulaiman bin Yasar, Nafi’ ibn Umar, Muhammadi bin Ajlan. Sahabat terkenal yang
lainnya dari Madinah, tidak secara umum mengakui keahlian mereka dalam bidang fikih,
tetapi dinyatakan merupakan periwayat utama hadis, yang semuanya mawla adalah
yakni Dhakwan Abu Salih, Ata bin Yasar yang dikenal dengan qass pencerita, Said bin
Abi Said al-Maqburi, Shirahbil bin Sa’d, Salih bin Nabhan, yang terindikasi telah
menyebarkan hadis palsu. Abdullah bin Dinar, Abdullah bin Dzakwan yang lebih dikenal
dengan Abu Zinad.
Ini hanya sebuah contoh, tetapi mungkin sebuah sepresentasi. Setiap orang dari
mereka di laporkan dalam kerja rijal yang mempunyai satu atau lebih dari kasus
sama’/pertemuan yang ditanyakan. Melalui aktifitas para sahabat di Madinah, pusat
hadis yang lain kemudian muncul, seperti Yaman, dimana mawla Yawus bin Kaysan.

12
Dia juga terindikasi irsal. Juga pusat hadis yang berhubungan dengan sahabat Madinah,
yakni Mesir.34

2. Isnad-isnad Mesir
Menurut Juynboll, Jalur periwayat yang mengepalai beberapa isnad Mesir,
diantara yang lain dan harus disebutkan adalah Uqbah bin Amir, dimana dia ditunjuk
sebagai gubernur Mesir oleh Mu’awiyah pada tahun 44 H/664 M. Diantara para sahabar
dari tipikal isnad Mesir tidak ada satupun yang menonjol secara khusus. Di wilayah
Mesir tradisi periwayatan datang relatif terlambat. Abdullah bin Lahi’a dan muridnya
Abdullah bin Wahab, dipertimbangkan sebagai orang yang pertama dalam sirkulasi
hadis di propinsi, tetapi dengan sebagian besar materi hadis bersamaan dengan variasi
pusat hadis Irak dan bukan dari Mesir sendiri.
Terkait dengan karakter regional dari tradisi Mesir ini mungkin tidak ada yang
mengilutrasikan secara lebih baik selain dari kata-kata Ibn ‘Abd Hakam: “…now follows
an enumeration of those companion from whom the egyptians transmitted
(tradition)….and those companion from whom also people outside Egypt transmitted”.
Dalam menyebutkan hadis-hadis Mesir dia sangat sering menyebutkan figur kunci dari
hadis Mesir seperti Ibn Lahi’a dan Layth bin Saad pada awal isnad. Kemudian dia
menghasilkan dengan menyebutkan rijal yang lebih tua sampai kepada Nabi juga matan,
dimana setelah dia menyebutkan satu atau dua periwayat yang lebih muda untuk
menjembatani periode antara dirinya dan Ibn Lahi’a, layth dan figure kunci lainnya. Ini
memperlihatkan bahwa dia diam-diam mengindikasikan bahwa hadis-hadis Mesir mulai
kira-kira pada waktu figur-figur kunci ini dan nama-nama periwayat yang lebih dalam
isnad ditambahkan demi jalur periwayatan. Penelitian yang lebih dalam dari para
periwayat ini membuat semakin jelas bahwa mayoritas tidak diketahui, jika bukan
khayalan, orang-orang yang meneliti rijal, hanya menyediakan kurang dari sebagian
besar informasi yang kontradiktif. Semua isnad-insnad ini dipertimbangkan,
kemungkinan tidak lebih awal dari 1 setengah dari abad kedua.35

3. Isnad Syiria
Sebelumnya telah disebutkan bahwa peran Ibn Shihab az-Zuhri dalam
meriwayatkan hadis yang didengar oleh informan baik dari Madinah maupun Syiria.

34
Ibid., 40-43
35
Ibid., hlm 44

13
Umar bin Abdul Aziz, yang memerintahkan untuk meneliti dan mengumpulkan hadis
diduga sebagai orang yang membuat jaringan (link) antara Madinah dan Damaskus dan
materi hadis masing. Sahabat lain yang sudah dikenal dengan baik, yang bisa
diidentifikasi hanya dengan hadis syiria sebagaimana yang didapatkan dari jalur
periwayatan seperti Mu’adh bin Jabar, Ubada bin Samit, keduanya dikenal keahliannya
dalam bidang fikih dan Abu Darda’, Abu Idris ‘Aidh Allah nom Abd Allaj al-Khawlani,
Pencerita dan hakim dari Damaskus, Mawla Shahr bin Hawshab dan Makhul, ketiganya
jg dikenal dalam bidang fiqh.. Kata-kata (ucapan) dibuat untuk membuat koneksi dengan
fuqoha Madinah juga diaplikasikan disini. Lebih jauh lagi beberapa kasus irsal juga
dikaitkan dengan mereka. Menurut Juynboll, hadis syiria yang relatif terlambat
memperoleh pengakuan direfleksikan dalam pernyataan ahli Irak Amr bin Ali al-Fallas
yang secara literal menyatakan bahwa diantara periwayat-periwayat syiria yang pertama
yang tidak dhaif adalah diantaranya Sa’id bin Abdul Aziz dan Awza’i. Meskipun
pendapat tentang Awza’I ini beragam, syiah dilaporkan telah menyatakan bahwa dia
tidak pernah memperlihatkan matannya kepada yang lain, dia mempunyai fikih
sebanyak dia mempunyai hadis, sementara itu Ibnu Hanbal menyatakan bahwa Awza’I
itu lemah.
Isnad-isnad Damaskus ini pada akhirnya tidak hanya isnad-isnad yang khusus
syiria, jumlah yang terbatas dari isnad juga ditemukan berisi/memuat dari deretan/tingkat
yang mengikuti level sahabat hanya orang-orang yang menerima dari Hims. Dan satu
nama lagi sebagai contoh, Massisa yang mengembangan kegiatan hadis sendiri.

4. Isnad-isnad Irak
Merujuk pada periwayat pada tingkat sahabat, isnad-isnad Irak bisa dibagi
menjadi dua Basrah dan Kufah, namun demikian kita juga menemukan isnad-isnad
dengan otoritas awal dari satu kota dan murid-muridnya dari kota lain yang kita sebut
Basran/Kufan.
Meski kebanyakan kasus para sahabat dari pusat hadis yang lain sejauh ini
sama, tapi ini mengherankan sebagian besar para sahabat Irak hidup sampai usia yang
sangat tua. Dari sini kemudian Juynboll mengembangkan teori.36 Bahwa pembohongan
tentang tahun kelahiran seseorang merupakan praktek umum. Kondisi kehidupan pada
abad 7 dan 8 di Irak tidak bisa mudah tidak mengakui anggapan bahwa mayoritas para

36
Teori ini telah dipresentasikan pada seminar tentang sejarah awal Islam di Oxford pada July 1975, Origin
of Arabic Prose….

14
periwayat hadis meninggal di usia yang sangat maju daripada rata-rata usia yang
dijangkau oleh seseorang yang hidup di abad 20, misalnya di Barat. Pembohongan ini
kemudia oleh Juynboll disebut dengan “trik usia” (age trick). Ini wajar, karena menurut
Juynboll , penyimpangan yang pendek, karena para sahabat Irak sebagai periwayat
yang belakangan juga berasal dari pusat yang lain, mengambil jalan ini.37
Fenomena ini juga memunculkan beragam hadis terkait dengan usia ideal
seseorang dalam meriwayatkan hadis dan aktifitas yang lain. Sebuah hadis Basran
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: rata-rata usia (kematian) komunitasku antara
lima puluh dan enam puluh tahun, hanya beberapa yang mencapai usia tujuh puluh
tahun. Ramahurmuzi menyatakan bahwa seorang muhaddisin diharapkan mengejar
aktifitasnya yang terbaik pada usia empat puluh, atau hampir lima puluh.Seorang
muhadis seharusnya tidak mulau untuk mencari hadis sebelum mencapai usia duapuluh.
Ramahurmuzi mengaku heran dengan para periwayat yang masih beraktifitas di usianya
ke delapan puluh tahun, usia yang sudah uzur. Disisi lain, kita juga menemukan hadis
yang mengkounter hadis diatas. Husyaim bin Bashir,seorang periwayat yang sangat
diragukan tetapi sangat produktif menyatakan bahwa para ahli hadis Madinah seperti
Safwan bin Sulayman Az-Zuhri dan lainnya mengklaim bahwa Nabi pernah sekali
mengatakan bahwa Tuhan mencintai orang yang berusia delapan puluh tahun (hadis
mursal).
Menurut Juynboll ada “trik usia” dalam beberapa cukup detail dan hal ini menjadi
ciri utama para muhaddisin awal dan pencantumannya dalam rangkaian isnad-isnad Irak
dari keyakinan bahwa penipuan ini telah dipraktekkan di Iran dalam skala yang lebih
banyak daripada pusat hadis yang lain.
Pusat hadis di Irak juga mempunyai karakteristik dengan crri-ciri yang tidak
ditemukan pada pusat hadis yang lain. Sebagai contoh adalah Adanya diskusi tentang
predestination (qadar) di Basrah. Mayoritas hadis menyangkal isu ini, karena disupport
oleh para periwayat isnad-isnad dari kota ini. Sementara itu di sisi lain Kufah merupakan
pendukung paling kuat Ali bin Abi Thalib. Mayoritas tarajim dari para periwayat Kufah,
terutama dari tabaqat sahabat dan orang-orang mengikuti keyakinan tentang tashayyu
dari yang biasa saja hingga yang fanatik.38

a. Basrah

37
Ibid., hlm 46.
38
Ibid., hlm 46-49

15
Di Basrah terdapat dua orang yang sangat menonjol, yakni Hasan Basri dan
Muhammad bin Sirin (keduanya meninggal selang beberapa bulan antara satu dan
lainnya pada tahun 110 H). Dalam teori dikemukakan bahwa Hasan Basri adalah
seorang muslim yang shaleh, berwibawa karena wawasannya pada semua bidang,
selalu memberikan nasehat terhadap problem-problem dalam bidang fikih dan akidah,
karenanya dia menjadi terkenal sebagai orang ahli dalam berbagai bidang. Tetapi
aktifitasnya dalam periwayatan hadis, dibandingkan dengan semuanya, merupakan
yang minimal terbaik. Bukti kuat yang mendukung teori ini ditemukan dalam
argumentum a silentio.39 Penamaan bahwa risalat awal yang diatributkan kepada Hasan
tidak berisi beberapa hadis, bahkan dalam konteks dimana secara mengagumkan
sesuai. Oleh karena itu tidak terlalu salah untuk mengambil kesimpulan dari hal ini
bahkan jika hadis yang teat telah dibawa dalam sirkulasi pada saat Hasan menulis
surat-surat, dia tidak mengetahui tentang mereka atau dia meninggalkan mereka
dengan sengaja tidak menyebutkan. Dia tidak bisa kemungkinan diidentifikasi dengan
periwayatan hadsi dalam beberapa skala beberapa tindakan.Tetapi karena
kemasyhurannya yang menyebar, secara perlahan jumlah pemalsu yang mengklaim
semakin bertambah. Terutama setelah kematiannya, bahwa dia mendengar hadis
darinya. Hal ini bisa dibuktikan dengan bukti-bukti di bawah ini.
Selama beberapa waktu, Juynboll telah mengumpulkan nama-nama 380 orang yang
menyatakan mendengar hadis dengan Hasan, memisahkannya dari sejumlah sumber
yang berbeda. Mayoritas luas periwayat tidak berpengalaman memperlihatkan tidak
terdeteksi menggolongkan mayoritas isnad Hasan Basri. Pernyataan murud-murid
Hasan menginspirasi banyaknya kemungkinan figur-figur samaran seperti para pandai
besi, propagandis doktrin qadar dan juga para periwayat yang tidak dipercaya.
Selain Hasan Basri, Ibnu Sirrin adalah sahabat yang mempunyai peran dalam
periwayatan beberapa materi yang sama. Minimal merupakan variasi sanad Ibnu Sirrin
juga dilaporkan lebih dari sekali mengekspresikan dirinya dalam cara mengkritik
pernyataan hasan terkait dengan hadis. Yang menyebabkan mudah tertipu. Dan dalam
penjelasan mimpi yang kemungkinan kebenarannya sangat diragukan dia mengenal
baik bahwa Hasan membubuhi hadis dengan logikanya. Perbedaan prinsipil/basic

39
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadis tidak ada
pada masa tertentu adalah dengan cara menunjukkan bahwa hadis itu tidak dipergunakan dalam argument
hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika hadis itu memang ada. Artinya
sebuah hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak dipakai dalam argument hukum. Schacht,
The origin…hlm 140.

16
antara Ibnu Sirrin dan Hasan adalah terkait dengan ar-riwayah bil lafdzi dan ar-riwayah
bil ma’na. Dimana Ibnu Sirrin dikenal dengan ketat dalam menggunakan ar-riwayah bil-
lafdzi dan akhirnya Ibnu Sirrin berpendapat bahwa: “jangan kaitkan denganku hadis dari
Hasan dan Abu ‘Aliya Rufay bin Mihran karena mereka tidak memperhatihan dari mana
mereka mendapatkan hadis.40
Ibnu Sirrin adalah periwayat yang dikenal dengan perhatiannya pada pentingnya
isnad. Hal ini diperlihatkan dari pernyataan penting Ibn Sirrin akan pentingnya isnad
sebagai konsekuensi atas adanya fitnah, dia juga menyatakan: “hadhal ilmu dinun
fa’nzuru ‘amman ta’khudhuna dinakum”. Setelah Hasan dan Ibn Sirin, beberapa sahabat
yang dikenal mempromosikan hadis di Basra adalah Ikrima, Ibn Abbas mawla. Kemudia
Qatadah bin Di’ama.
Secara umum menurut Juynboll, karakter para sahabat Basrah selain Ibnu Sirrin
merupakan figur yang kontroversial selama mereka meriwayatkan hadis.

F. Kesimpulan
G. Penutup

DAFTAR PUSTAKA

40
Ibid., hlm 50-52

17
Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan
status hadis, Jakarta: Paramadina, 2000.

Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah,
2009.

Berg, Herbert, The Development of Exegesis in Early Islam : The Authentiety of Muslim
Literature from The Formative Period, Great Britain, Curzon Press: 2000.

Goldziher, Ignaz, Muslim Studies (Muhammedanische Studien), terj. C.R Barber dan
S.M. Stern, London: George Allen dan Unwin LTD, 1971.

Hadi, Pardodo, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Ilyas, Yunahar dan Drs M Mas'udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,
Yogyakarta: LPPI UMY, 1996.

Juynboll, G. H. A, Kontroversi Hadis di Mesir (1890 – 1960), Bandung : Mizan, 1999.

-----------------------, Muslim Tradition; Studies in Chronology, Provenance, and Authorship


of Early Hadis, Newyork: Cambridge University Press, 1983.

Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer,
Bandung: ROSDA, 2004.

al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh, Beirut: Darul Fikr, 1979.

Masrur, Ali, Teori Common Link G. H. A Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi,
Yogyakarta : LKiS, 2007.

Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, pada bagian muqaddimahnya, Indonesia:


Maktabah Dahlan, t.t.

Riadly, Fahmi, “Asal-usul Hadis Menurut Herbert Berg”, Tesis, program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.

as-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Setiawan, Nurkhalis dan Sahiron (ed.), Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta:
Nawesea, 2007.

Suriasumantri, Yuyun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar


Harapan, 1988.

Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997.

18

Anda mungkin juga menyukai