Anda di halaman 1dari 21

Perkembangan Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadis di Indonesia

Disusun oleh:

Ummi Adinnia 18211109


Yusriatul Fajariyah 18211119

Dosen Pengampu :
Sofian Effendi, S.Th.I, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
1441 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Perkembangan Kajian
Hadis Masa Modern di Indonesia tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas (dosen/guru) pada bidang studi/mata kuliah Studi
Hadis di Indonesia. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Perkembangan Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Soffian Effendi.S.Th.I, MA, selaku
dosen mata kuliah studi hadis di Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1
B. Rumusan Maslalah..................................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
A. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis.................................................................................2
B. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis......................................................................5
C. Ragam Studi Hadis..................................................................................................................7
D. Kriteria Hadis masa Modern di Indonesia...........................................................................8
E. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia.................10
F. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia...........................................................12
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................17
Simpulan........................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan ilmu hadis, karya tulis ulama hadis dunia sudah sangat
banyak diteliti oleh para peneliti, baik segi metode maupun pemikiran dari ulama
hadis itu sendiri. Berbeda dengan pengkaji hadis di Indonesia yang belum banyak
diteliti dan diketahui karya tulis mereka, kecuali hanya beberapa yang sudah
dikenaloleh masyarakat. Dari beberapa pengkaji hadis di Indonesia ada beberapa yang
mencoba membuat perubahan dalam memahami hadis yang mungkin berbeda dengan
metode yang dipakai oleh ulama lain, dan semakin berkembangnya zaman maka
berkembang pula ilmu pengetahuan maka semakin komlitlah permasalahan yang
dihadapi pada masa modern ini. Seperti hal dalam memahami hadis, metode-metode
lama untuk memahami hadis dianggap kurang relavan dalam menjawab permsalahan
kekinian.
B. Rumusan Maslalah
a. Bagaimana Problematika hadis dan Ulumul hadis ?
b. Apa solusi dai problematika hadis dan Ulumul hadis ?
c. Apa saja ragam studi hadis ?
d. Bagaimana kriteria kajian hadis masa modern di Indonesia ?
e. Bagaimana perkembangan metodologi pemahaman hadis pada Abad XXI di
Indonesia
f. Bagaimana dinamika kajian hadis masa modern di Indonesia ?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui bagaimana dinamika kajian hadis masa modern di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
Sebuah kesimpulan yang melahirkan teori baru bukanlah akhir dari
sebuah pengkajian melainkan sebuah tawaran baru yang memicu lahirnya
kritikan, bantahan bahkan penolakan. Hal tersebut merupakan hal yang
wajar, karena banyaknya sudut pandang orang menilainya. Di antara alasan
kenapa hadis senantiasa dikritisi adalah karena banyaknya celah dalam
sejarah periwayatan hadis.1
Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput dari kritikan
mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai
dengan adanya upaya pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas
hadis.2 Seiring dengan perkembangan zaman, problematika hadis dan ulumul
hadis juga sangat luas. Berikut beberapa pengklasifikasian problematika
hadis dan ulumul hadis:
1. Problem Hadis Perspektif Sarjana Barat (Orientalis)
Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat-riwayat
tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad
ke-19, skeptisisme tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan
sejak saat itu perdebatan tentang isu sejauh mana hadis -hadis atau
riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya
secara historis. Dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok
skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder
berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Menurut perkiraan M. M. Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan
kajian terhadap hadis Nabi saw. adalah Ignaz Goldziher dalam bukunya yang
berjudul “Muhammedanische Studien” dan sejak saat itu sampai sekarang,
buku Goldziher menjadi rujukan utama dikalangan orientalis.

1
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 124.
2
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 125

2
Akan tetapi, tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan
dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. seperti Joseph Van Ess, Harald
Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler. Mereka dapat
digolongkan sebagai kelompok non-skeptis. Perdebatan antara kedua
kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir. Secara umum,
mazhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi
tentang masa awal Islam (abad pertama-kedua hijriah) hanyalah
persepsi komunitas Muslim abad ketiga. Karena masa awal Islampun
dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia
untuk itu.
Aspek kesejarahan merupakan hal yang penting dalam
perbincangan sarjana Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah
untuk melihat sejauh mana literatur abad ke-3 dapat memberikan
informasi akurat tentang abad pertama dan kedua hijriah. Ironisnya,
kesadaran historis di kalangan ulama hadis terhitung rendah.
Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek kesejarahan
hadis secara serius baru dilakukan pada abad 15 H, melalui karya al-
Khawliy. Adapun tema-tema yang sering diperbincangkan dalam
kaitannya dengan aspek kesejarahan hadis adalah penulisan hadis,
pemalsuan hadis dan pemakaian isnad.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis
dan ulumul hadis menuju pembaruan adalah aspek kesejarahan, di
mana aspek tersebut melewati rentang waktu yang cukup panjang,
yang memungkinkan lahirnya berbagai macam masalah di dalamnya
seperti pemalsuan hadis.3
2. Problem Hadis dan Ulumul Hadis dari Aspek Metodologi
Informasi tentang Nabi yang tercantum dalam buku-buku hadis
masih menimbulkan teka-teki yang harus direkonstruksi supaya dapat
memberikan berita-berita akurat tentang Nabi. Meskipun hadis-hadis
tersebut telah diseleksi oleh para pakarnya misalnya al-Bukhari,
Muslim, Tirmizi, dan lain-lain. Namun, kenyataan bahwa para imam
3
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 125-126

3
tersebut hidup pada abad ke-3 H. (dua ratus tahun lebih setelah Nabi
wafat). Dalam hal ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana tingkat
akurasi metodologi para imam ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya?
Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang kita kenal
dengan ulumul hadis?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, tidak pernah
menjelaskan metodologinya secara detail. Kecenderungan sebagian di antara
kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti
historisitasnya. Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab
hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis
tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu dan dapat
pula diriwayatkan secara single. Karenanya penelitian terhadap
historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan, untuk tujuan
pengembangan metodologi.
Hadis yang terangkum dalam kutub al-sitta, al-tis’ah sebagai kitab
standar, bukan berarti bebas dari kritikan. Bahkan dari kitab tersebut dapat
ditemukan hadis-hadis da’if bilamana standarisasi ulumul hadis diterapkan.
Demikian juga ulumul hadis dimana masih menyisakan berbagai problem dan
kritikan untuk diperbaiki.4
3. Problem pada Aspek Otentisitas (keaslian) Hadis
Keaslian literatur hadis menjadi elemen yang paling rawan dari teori
hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan diskusi tentang
masalah hadis, baik di era pertengahan maupun modern. Pembahasan ini
muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang dominan di
kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh antara
wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis
secara resmi dan massal. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada masa
pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99
H, masih bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Dengan demikian
otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, oleh karena itu menjadi tantangan

4
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 126-128

4
hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan guna otentisitas
hadis di era mendatang.5
4. Problem pada Aspek Otoritas (kedudukan) Hadis
M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada
bukti sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah
satu sumber ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M),
muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah
sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal
sebagai orang yang berpaham inkar alsunnah. Lain halnya, M.M. al-A’zamiy
yang melihat bahwa kedudukan hadis sudah mulai dipertanyakan sejak masa
sahabat, meski sifatnya masih personal dan belum terlembagakan, pemikiran
ini kemudian lenyap pada akhir abad ke-3 dan baru muncul kembali pada abad
ke-13 H. Perbedaan pendapat para ulama mengenai kedudukan hadis selain
aspek yang berkaitan dengan kuantitas jalur periwayatan, juga terletak pada
aspek kualitas sanadnya, yaitu khususnya otoritas hadis-hadis yang berkualitas
daif.
Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin dan fuqaha seperti yang
dikemukakan oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn Hajar al-Haytami
berpendapat bahwa hadis ahad dianjurka untuk diamalkan hanya dalam fadail
al–‘amal. Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa hadis daif tidak boleh
diamalkan secara mutlak baik dalam persoalan fadail al-‘amal maupun dalam
persoalan hukum dan akidah. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian
menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung ketat, longgar dan moderat.6
5. Problem pada Aspek Interpretasi (pemahaman) Hadis
Pada dasarnya problem interpretasi hadis secara tekstual dan
kontekstual telah terjadi sejak zaman Nabi. Misalnya, pasca
peperangan Ahzab, dimana Nabi saw menyampaikan kepada sahabat
agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang melaksanakan shalat
ashar kecuali di Bani Qurayzah. Dimana hal itu menimbulkan dua
pemahaman diantara para sahabat yang berbeda. Ketika pandangan

5
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm.128
6
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm.128-129

5
yang berbeda tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau tidak
menyalahkan salah satu dari dua pendapat tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, muhadditsin lebih dominan
menggunakan interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain
para fuqaha lebih cenderung untuk menggunakan interpretasi bersifat
kontekstual. Oleh karena itu, hadis-hadis nabi tidak menutup
kemungkinan untuk tidak dipahami ulang dengan berbagai
pertimbangan.7
B. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
a) Pendekatan Isnad cum matn analysis
Teori ini ditawarkan oleh Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA. yakni menaksir
kualitas hadis berdasarkan matannya, bahkan kualitas sanadpun dapat ditaksir
melalui matannya. Dengan metode ini, maka sarjana abad ini lebih otoritatif untuk
menentukan kualitas hadis. Serta dapat membandingkan antara riwayat satu jalur
dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat.
Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedhabitan setiap perawi dari
generasi ke generasi.
Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang
baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian
hadis. Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah
kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama
tentang perawi tersebut tetapi juga mengenai matn atau teks dari perawi
tersebut.
b) Metode Tematik (Maudu’i)
Metode tematik ini mengandung pengertian pensyarahan atau pengkajian
hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan. Maka pengkajian hadis dengan
metode tematik dapat memanfaatan berbagai teori dan berbagai disiplin ilmu
seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Pada dasarnya, sebuah hadis
bila telah terbukti berasal dari Nabi, maka ia merupakan ajaran tentang kebaikan
dan kebenaran. Karena itu, pengetahuan yang benar dan baik mestilah sejalan
dengan hadis Nabi.
c) Kontekstualisasi Hadis
7
Muhammad Rusli, Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 129-130

6
Istilah pemahaman kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap
kandungan petunjuk suatu hadis Nabi saw berdasarkan atau dengan
mempertimbangkan konteksnya, meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya,
kapasitas nabi tatkala hadis itu terjadi kapan dan apa sebab hadis itu terjadi serta
kepada siapa ditujukan, bahkan dengan mempertinmbangkan dalil-dalil lainnya.
Karena itu, pemahaman secara kontekstual memerlukan kegiatan ijtihad.
Kontekstualisasi dapat dilakukan guna menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian pembaruan di bidang hadis tentunya tidak lepas dari metodologi
pengkajian hadis yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman tanpa
merubah esensi hadis itu sendiri.8
d) Rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai Solusi
Tampak bahwa ilmu hadis merupakan ilmu yang terbuka, yang setiap
saat bisa diuji kembali. Dan untuk perkembangan ilmu ini, maka
rekonstruksi harus dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Rekonstruksi yang dimaksudkan adalah penataan ulang ilmu-ilmu hadis,
mengingat hadis berjalan dinamis sesuai dengan perubahan yang melingkupinya.
e) Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi
Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak
tahuan menjadi mengerti. Bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki tingkat
kesastraan yang tinggi. Bahasa Arab, balagha, mantiq dan ilmu yang berkaitan
dengan kesastraan bahasa arab merupakan salah satu persyaratan untuk sampai
pada taraf pemahaman yang konfrehensif.
Jadi dalam memahami hadis nabi, sangat ditekankan penggunaan gramatika
bahasa. Karena hadis tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling dekat
mengenal hadis adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri.9
C. Ragam Studi Hadis
Studi hadis memiliki ragam antara lain:
a. Ulum al-Hadist (ilmu hadist).
Dalam hal ini, terdapat berbagai ragam keilmuan yang dikaji dan
dikembangkan dalam hadist, yakni sanad, matan dan rawi. Keilmuan seputar

8
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 130-134.
9
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 135.

7
hal tersebut dikaji secara mendalam dalam bingkai ‘ilm jahr wa ta’dil, ‘ilm
gharib al-hadist, ‘ilm mushkil al-hadist dan sebagainya.
b. Metode penelitian hadist.
Dalam ranah kajian ini dikaji antara lain Studi Kitab Hadist, baik
dikalangan ulama mutaqadimiin maupun muta’akhirin serta hasil karya
orientalis. Selain itu juga dikaji penelitian yang berbasis hadist Nabi
Muhammad Saw. Melalui sanad dan matan hadist. Nampak kegiatan ini juga
dimulai dengan takhrij al-hadist dimana takhrij al-hadist ini dijadikan untuk
mencari hadist ke tempat aslinya sehingga akan mempermudah melakukan
penelitian hadist.
c. Sharh hadist
Sharh hadits yaitu kitab hadis yang kemudian disyarah atau
dikembangkan dengan beragam seperti syarah hadist akidah, akhlak, social,
hukum, politik, dan science. Kajian ini juga dimekarkan kearah non teks
dengan living hadist.10
D. Kriteria Hadis masa Modern di Indonesia
Para ahli hadis awal sampai abad ketiga hijriah tidak secara ekspilit
mendefinisikan hadis-hadis yang dianggap shahih. Mereka hanya menetapkan
kriteria-kriteria informasi yang diperoleh, mislanya: (1) periwayatan hadis tidak dapat
diterima, kecuali kalau diriwayatkan oleh orang-orang yang thiqoh (2) riwayat orang-
orang yang sering berdusta, mengikuti hawa nafsu dan tidak memenuhi secara benar
apa yang diriwayatkan adalah tertolak; (3) harus diperhatikan tingkah laku personal
dan ibadah orang-orang yang meriwayatkan hadis. (4) apabila mereka terbiasa
berkelakuan tidak terpuji dan tidak melakukan shalat secara teratur, maka riwayatnya
harus ditolak. (5) Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu
hadis tidak dapat diterima, dan (6) Riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak,
maka riwayatnya pun tidak diterima. Kriteria-kriteria ini berhubungan dengan kualitas
dan kaarter perawi yang menetukan diterima atau ditolaknya riwayat mereka. Kriteria
ini belum mencakup keseluruhan syarat sanad maupun ke shahihian matan. Kriteria
ini hanya berdasar pada penyandaran terhadap isnad. 11

10
Muhammad al-Fatih Suryadilaga, “Ragam studi Hadis di PTKIN Indonesia dan
karakteristiknya” vol. 4, no. 2, hal. 224
11
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 95

8
Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan yang telah meluas
seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah sebagai dasar kritik pun disusun
sedemikian rupa dan cermat. Tiga syarat berkaitan dengan sanad dan dua syarat
berkenaan dengan matan. Yang berkaitan dengan sanad, selain semua rawinya harus
bersambung (ittisal al sanad),rawi-rawi tersebut juga harus memiliki integritas
kepribadian (adil), kapasitas intelektual (dabit), keharusan tidak adanya kejanggalan
(syadz) dan cacat (illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis
shahih.
Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang jelas. Artinya
persyaratan itu didasari atas argument-argumen yang relavan dengn maksud dan
tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini pada dasarnay adalah bersifat
historis disamping juga bersifat normatif. Kritik hadis juga tidak hanya dalam dimensi
keilmuan semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan keyakinan. Pada setiap
persyaratan tersebut dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad
bersambung misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-
masing rawi dan lambing-lambang periwayatan yang menghubung antara satu rawi
dnegan rawi lainnya. Pengujian terhadap para pelopor hadis yang telah dilakukan
sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang disebut dengan Jarh
wa al Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang rawi dalam kaitan diterima atau
tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al Jarh sendiri mengandung pengertian yang
berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang menyebabkan hadisnya ditolak.
Sedangkan al ta’dil berkaitan dengan adalat al-rawi yang karena itu hadisnya dapat
diterima.
Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang menyatakan bahwa
kritik sanad mendapat prioritas dari para ulama-ulama hadis. Mungkin sekali terdapat
banyak hadis yang dari segi sanadnya shahih, tetapi tampaknya bertentangan dengan
Al Qur’an. Tetapi, studi atas matan hadis tidak mudah dilakukan sebab sebagian
kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan, hal-hal ghaib, dan petunjuk-
petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat ta’abbudi. Artinya, ketika sebuah matan
hadis dihadapkan dengan Al Qur’an mislanya, sebagian orang dapat saja bertentangan
dengan logika atau Al Qur’an, tetapi sebagian lain tidak menganggap bertentangan.
Karna penilaian sesorang sangat terkait dengan pemahaman dari konsep teologisnya.
Secara metodologis upaya memahami hadis dilakukan dengan tiga tahap, yaitu
penentuan problem pemahaman hadis yang diselesaikan, penentuan pendekatan yang
9
relavan bagi solusi problem yang bersangkutan beserta teknik aplikasinya, dan
pengambilan kesimpulan dengan mengungkap petunjuk dan pelajaran dari hadis yang
bersangkutan. Pemahaman hadis yang ideal adalah mensyarah hadis dengan berpijak
pada kaidah-kaidah yang dirumuskan dan digunakan para ulama terdahulu dan
memedukannya dengan kaidah-kaidah baru yang mendukung atau yang memperbaiki
fungsinya. Ada banyak peneliti hadis di Iindonesia pada masa sekarang yang mencoba
merekrontruksi metodologi pemahaman hadis agar hadis dapat dipahami dan
diamalkan pada masa sekarang.12
Pada awal perkembangan hadis di Indonesia, penelitian yang dilakukan hanya
sebatas penelitian sanad saja. Sedangkan pada abad XIX sampai dengan abad XX,
penelitian hadis lebih mengacu apada pembahasan ilmu hadis, dan ini terlihat dari
beberapa karya yang terdapat pada masa itu. Dan pada masa XXI pengkajian hadis
lebih mengacu kepada metodologi pemahaman hadis. Pada tataran ajaran Islam inilah
muncul pemikiran modern dalam Islam. Disamping itu, dalam diskursus ilmu hadis
juga dikenal hadis itu ada yang memiliki asababul wurud dan ada yang tidak. Untuk
kategori pertama, yakni hadis-hadis yang memiliki sebab khusus kita dapat
menggunakan asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah
bagaiamana untuk hadis yang tidak ada asbabul wurudnya secara khusus. Disinilah
pemikiran Said Agil tentang relavansi asbabul wurud, yakni adanya kemungkinan
melakukan analisis pemahaman hadis dengan pendekatan historis, sosiologis,
antropologis, bahkan mungkin juga pendekatan psikologis.
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu uapaya
memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat
hadis itu disampaikan Nabi, dengan kata lain pendekatan historis adalah pendekatan
yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam
hadis yang determinasi-determinasi sosial dan situasi historid kultural yang
mengitarinya. Dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis diharapkan
akanmemperoleh suatu pemahaman baru yang relatif lebih apresiasif terhadap
perubahan masyarakat yang implikasi dari adanya perkembangan dan kemajuan sains
teknologi.13
12
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 98-103

13
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 110

10
Untuk memahami maksud suatu hadis secara baik. Terkadang relatif tidak
mudah, khususnya jika kita menjumppai hadis yang tampak saling bertentangan.
Terhadap hal demikian, biasanay para ulama menggunakan metode tarjih atau nasikh
Mansukh atau al jam’u atau tawaquf (mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadis
sampai ditemukana danya keterangan, hadis manakah yang daoat diamalkan.
Dengan demikian, peran seorang ahli hadis sekadar mengungkap makna dan
peyunjuk hadis yang di syarah, membiarkan hadis membimbingnya kepada suatu
petunjuk dan tidak mengganggunya dengan berbagai prakonsepsi, bukan mennetukan
arah makna dan prtunjuknya. Dengan demikian ia akan bisa mensyarah dengan
objektif.
E. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia
Ada banyak pengkaji hadis di Indonesia pada abad XXI, akan tetapi penilitian
yang dilakukan kebanyakan mengenai tema dan studi pemikiran terhadap ahli hadis di
dunia. Hanya bebrapa yang mencoba membuat karya rekrontuksi metodologi
pemahaman hadis Nabi SAW. Di anataranya adalah Muhammad Syuhudi ismail, Said
Agil Al Munawar, Ali Musthafa Ya’qub, dan Kamarudin Amin. Para pengkaji hadis
ini mewakili dari tamatan Timur Tengah, Indonesia dan tamatan Barat.
a. Muhammad Syuhudi Ismail
Muhammad Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual yang cukup
besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan Ulumul hadis. Salah satu
pemikirannya yaitu tentang metode pemahaman terhadap matan hadis dakam bukunya
yang berjudul Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma’ani al hadis
tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal. Menurut beliau, bahwa
matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus
di pahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Pemikiran beliau di dalam bidang
hadis dalam masalah sanad hadis, ia menyatakan bahwa kaedah-kaedah minor ke
shahihan sanad hadis, sanad adalah muttasil atau mawsul yaitu hadis yang
bersambung sanadnya baik marfu; maupun mauquf.
Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail, baik berkaitan
dengan kaidah ke shahihan sanad dan matan hadis maupun berkaitan dengan
metodologi pemahaman hadis memberikan indikasi bahwa wacana hadis Nabi sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri mengalami perkembangan pemikiran. Implikasi
pemikiran yang dikemukakan Syuhudi Ismail sangat erat kaitannya denagn
pembumian hadis Nabi dalam mengantisipasi perkembangan zaman.

11
b. Said Agil Husin al Munawar
Said Agil merupakan ulama unteletual yang banyak memiliki keahlian sehingga
aktivitasnya pun sangat beragam. Beliau banyak menghasikan karya-karya yang
sangat berbobot. Menurut Said Agil, ntuk mengetahui asbabul wurud mutlak
diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud hadis.
Sedangkan untuk hadis-hadis yang tidak memiliki asbabul wurud khusus sebagai
alternatifnya, kita mungkin dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,
antropologis atau pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami
hadis. Dengan melakukan hal semacam itu diharapkan akan mampu memberikan
pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap
perkembangan zaman. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra Al
Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk membantu
menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer
sekarang.
c. Ali Mustafa Ya’qub
Ali Mustafa Ya’qub adalah seorang pakar hadis. Ali Mustafa Ya’qub memiliki
pandangan nahwa pada dasarnya hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila
pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka pemahaman
kontekstual boleh digunakan. Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa
Ya’qub memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah hadis
tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara kontekstual, yaitu
dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar teks itu sendiri, yang meliputi sebab
turunnya hadis, lokal dan temporal, kausalitas kalimat, dan sosio kultural.
d. Kamaruddin Amin
Menurut Kamaruddin Amin, metode analisis isnad cum matn yang
mempelajari secara serius varian-varian isnad dan teks yang berbeda dan juga
hubungan-hubungannya, telah terbukti sebagai alat penelitian efektif untuk
merekrontruksi sejarah yang memungkinkan kita untuk membedakan dalam beberapa
kasus antara riwayat yang sesungguhnya dan yang palsu. Dengan kata lain, dalam
meneliti transmisi ilmu pada masa awal Islam, analisis matan, yang membenadingkan
varian-varian teks, tampaknya sama pentingnya dengan analisis isnad, fokus sarjana
Muslim dan beberapa sarjana Barat.14
14
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 113

12
F. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memilki
nuansa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak
bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses
pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Hasil pemikiran tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh lingkunagn sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik
yang dia dukung, latar belakang bacaan, mazhab dan kecenderungan pemikiran
yang ia anut, serta lingkungan pendidikan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemikiran studi
hadis di Indoneisa, yaitu Hereditas (Menifesti gen), Lingkungan, Politik dan
Mazhab, dan Pendidikan. Dari keempat faktor yang mempengaruhi perkembangan
pemikiran dari pengkaji hadis di Indonesia, yang paling dominan dalam
mempengaruhi perkembangan pemikiran hadis di Indonesia adalah faktor
lingkungan dan pendidikan, mereka cenderung mendapatkan pelajaran hadis di
sekolah-sekolah dan dari guru-guru yang snagat kompeten dalam bidang hadis,
sehingga pemikiran hadis mereka menjadi berkembang.
b. Pemetaan Secara Sinkronis dan Diakronis Perkembangan Studi hadis di
Indonesia.
Untuk melihat hubungan dan pengaruh ulama hadis di Indonesia dengan
ulama hadis lainnya, dapat menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis. Jika
dilihat dari sejarah awal perkembangan hadis memberikan gambaran bahwa hadis
pada masa itu belum berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri. Karena kajian
hadis baru pada dataran praktis, belum tersusun secara teoritis. Dalam kajian hadis
adanya pergeseran dan perkembangan, pada awal abad XVII-XVIII penelitian
hadis lebih condong kepada penelitian sanad, dan pada abad XIX-XX studi hadis
lebih banyak kepada penulisan tentang ilmu hadis dan penghimpunan hadis-hadis.
Sedangkan pada masa sekarang penelitian hadis lebih banyak tentang kajian
metodologi pemahaman hadis.
Diantara penyebab terjadinya pergeseran perkembangan hadis di Indonesia
adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang dan heteromenitas kelompok
masyarakat selalu terjadi, maka penerapan ajaran Islam yang kontekstual
menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan
penegtahuan masyarakat. Jika dilihat dari sinkronisasi dan dakronisasi

13
Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil Husin al Munawar, Ali Mutafa Ya’qub dan
Kamaruddin Amin dengan pengkaji hadis sebelumnya di Indonesia, ini dapat
dilihat siapa guru mereka dalam ilmu hadis dan kepada siapa mereka merujuk
dalam membuat karya tentang hadis.
Dari keempat pengkaji tersebut tidak terdapat sinkronisasi yang signifikan
antara pengkaji tersebut dengan ulama Indonesia sebelumnya, karena mereka
lebih banyak mengutip dan berguru kepada ulama Timur Tengah dan Barat. Maka
dapat dilihat bahwa perbedaan pengkajian antara abad XVII. XVIII, XIX, XX dan
pada abad sekarang sangat jauh berbeda, karena pada abad sebelumnya
pengkajian hadis lebih banyak kepada pengkajian sanad dan ilmu hadis,
sedangkan pada abad sekarang lebih kepada pengakjian metodologi pemahaman
hadis.15
c. Rekrontuksi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia
Para ahli di dalam memahami hadis rasul telah merumuskan beberapa
metode yang mereka gunakan. Diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh
Buchari M. adalah yang dimaksud dengan metode pemahaman hadis tradisionalis
adalah memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan kontekstual-historis. Dari
pengertian ini ada dua pendekatan yaitu tekstual dan kontekstual yaitu memahami
hadis dengan memperhatikan dan mengkaji sesuai konteksnya. Sedangkan metode
pemahaman modernis adalah memahami hadis dengan pendekatan ilmiah dan
filosofis. Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatikal-tekstual saja.
Mereka mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-kontekstual, yakni
untuk memahami ucapan Nabi. Misalnya memahami gaya Bahasa yang digunakan
Nabi, sosial dan psikologis ketika Nabi bersabda serta kepada siapa ucapan
dialamatkan.
Dalam beberapa kasus pemahaman hadis para ulama hadis di Indonesia
mencoba menerapkan metodologi pemahaman hadis, agar hadis dapat dipahami
secara benar oleh masyarakat, contoh:
 Hadis tentang kepemimpinan perempuan. Hadis ini memebrikan isyarat bahwa
perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala negara, pemimpin
masyarakat, termasuk hakim atau berbagai jabatan yang setingkat. Menurut
Said Agil, jika dilihat dari asbabul wurud-nya, ternyata hadis tersebut
15
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 148

14
diucapkan nabi sewaktu beliau mendengar laporan mengenai suksesi
kepemimpinan perempuan di Negeri Persia pada tahun 9 H. Pada waktu itu,
derajat perempuan di mata masyarakat masih dipandang minor. Perempuan
tidak dipercaya untuk mengurus masalah public lebih-lebih masalah
kenegaraan, dikarenakan perempuan pada masa itu masih tertutup sehingga
wawasan dan pengetahuannya juga relatif masih kurang dibanding laki-laki.
Oleh sebab itu, jika kondisi historis sosiologis astripologis masyarakat
berubah, dimana perempuan telah memiliki kemampuan memimpin yang baik,
dan masyarakat pun telah dapat menghargai perempuan dengan baik dan
menerimanya sebagai pemimpin, maka boleh saja perempuan menjadi
pemimpin. Pandangan yang melarang perempuan –hanya karena melihat
aspek keperempuannya- untuk menjadi pemimpin dalam wacana feminism
jelas mencerminkan pandangan yang sangat bias patriarki dan karenanya perlu
direkrontruksi, bahkan di dekonstruksi sama sekali.
Demikian contoh pemahaman yang sesuai dengan kondisi di Indonesia
pada masa sekarang, pemahaman terhadap permasalahan di Indonesia harus sesuai
dengan konteks kemodernan dan globalisasi.
Dalam permasalahan hadis (khususnya di Indonesia), hadis yang secara
sanad bernilai shahih, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan sains dan logika nalar
manusia, ternyata para ulama berbeda pendapat yang kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memandang bahwa
hadis tersebut tetap berkualitas shahihn, hanya saja manusia yang belum
menemukan rahasianya , serta akal manusia belum dapat menjangkaunya. Sedang
kelompok kedua memandang bahwa hadis-hadis tersebut tidak shahih, sebab ada
illat yang mencacatkannya dan ada pula kejanggalan.16
Manakala menghadapi pertentangan antara bunyi hadis secara literal
dengan sains atau berlawanan dengan akal, maka langkah yang terbaik adalah:
Pertama, Mendiagnosa hadis Nabi dari aspek sanad dan matan dengan
menggunakan kaedah ke shahihan hadis melalui kritik eksternal dan kritik
internal. Kedua, setelah hasil diagnosadiketahui bahwa hadis tersebut otentik dan
valid berasal dari Nabi serta berkualitas shahih, maka selanjutnya melakukan
analisis dengan melihat teks dan konteks di luar teks. Ketiga, membedah substansi
16
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 167

15
materi hadis muskhil yang bertentangan dengan sains atau akal tersebut apakah
disampaikan Nabi untuk memberi informasi ilmu pengetahuan, ataukah hanya
menjelaskan kenyataan yang berkembang sesuai dengan suasana pada saat itu.
Keempat, memilah dimensi makna kebahasaan yang digunakan dalam hadis Nabi.
Kelima, memprtimbangkan kedudukan Nabi saat menyabdakan hadis apakah
dibimbing wahyu atau hanya memberikan informasi keadaan yang sesuai dengan
suasana masyarakat pada saat itu. Keenam, mengelompokan hadis nabi ke dalam
beberapa kategori: 1) hadis yang berisi ajaran pokok agama, 2) hadis yang berisi
ajaran bersifat ijtihad nabi sebagai pemimpin, 3) hadis yang bersifat tindakan
keseharian sebagai uswah hasanah. Ketujuh, menggunakan landasan ayat-ayat al
Qur’an dan hadis lain yang relavan serta pendapat ulama yang relavan untuk
memperkuat bahan analisisn dalam pemahaman yang akan dilakukan.
Demikian metodologi pemahaman hadis yang seharusnya dilakukan agar
mendapat pemahaman yang benar dan sesai dengan apa yang dikehendaki oleh
Nabi. Secara garis besar dalam memahami hadis Nabi sesuai dan selaras dengan
tujuan Nabi menyampaikan suatu hadis tersebut.17

17
Hasep Saputra, perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
(Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hlm. 176

16
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Problematika hadis dan Ulumul Hadis yaitu Problem Hadis Perspektif Sarjana
Barat (Orientalis), Problem Hadis dan Ulumul Hadis dari Aspek Metodologi,
Problem pada Aspek Otentisitas (keaslian) Hadis, Problem pada Aspek Otoritas
(kedudukan) Hadis, Problem pada Aspek Interpretasi (pemahaman) Hadis.
Solusi dari problematika ini dengan Pendekatan Isnad cum matn analysis, metode
tematik, kontekstualisasi hadis, rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai solusi, dan hermeunetika
sebagi alternatif solusi. Ragam studi hadis diantaranya adalah Ulumul hadis, metode
penelitian hadis, san syarh hadis.
Kajian hadis yang berawal dari kajian sanad hadis, ulum al hadis, hingga
metodologi pemahaman hadis menunjukkan adanya pergeseran kajian hadis serta
perkembangan pemahaman hadis dengan pendekatan ilmiah, logika-deduktif, dan
korelasi konteks sosio-historis-psikologis di Indonesia. Hasil ijtihad para pengkaji di
Indonesiatidak dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosiokultural tempat mereka
tinggal, faktor politik yang mereka dukung, latar belakang bacaan, mazhab dan
kecenderungan pemikiran yang mereka anut, serta lingkungan pendidikan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Muhammad. Problematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013.
Saputra, Hasep. Perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan Dan Analisis Geneologi,
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai