Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HADIS MASA SEKARANG


Dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ulumul Hadis
Dosen pengampu: Makmur, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh
Kelompok VII:
Fira Asni Yati Hasri 2202010010
Rasman Rasuli 2202010012

KELAS PAI 1A
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. dengan segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa umat manusia dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang
benderang.
Pada makalah ini penulis membahas tentang “hadis masa sekarang” yang
dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Ulumul Hadis dengan
dosen pengampu Makmur S.Pd., M.Pd. Penulis berharap makalah ini dapat
memberi informasi, pelajaran dan ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu diharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era modern hadis mendapatkan berbagai problem dan juga pergulatan
dari berbagai kalangan, mulai banyak timbul pemikaran modernis tentang
eksistensi sunnah/hadis Nabi. Faktanya hadis itu muncul dari Nabi Muhammad
yang secara pada kenyataannya merupakan pemyambung wahyu yang diturunkan
oleh Allah SWT. untuk disampaikan kepada umatnya. Persoalan di era modern
adalah tentang otoritas Nabi dan otoritas hadis, hasilnya bahwa dalam literatur
klasik kedudukan Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan itu tidak bisa dipisah-
pisahkan dari perannya sebagai seorang Nabi sekaligus perannya ditengah-tengah
kehidupan sosial yang lainnya. Maka dalam berbagai perannya ulama klasik
memahaminya sebagai suatu kesatuan, tidak ada pembagian dan pembedaan. Hal
ini berbeda dengan cara pandang pada modernis yang lebih bersifat kritis dalam
melihat kedudukan Nabi Muhammad. Sehingga apa yang datang dari Nabi
Muhammad tidak selalu dimaknai sebagai doktrin yang harus atau wajib
dilaksanakan sebagai bagian dari ajaran agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja problematika hadis masa sekarang?
2. Apa saja isu-isu tentang hadis dimasa sekarang?
C. Tujuan
A. Mengetahui problematika-problematika terhadap hadis di era sekarang.
B. Mengetahui isu-isu apa saja yang muncul pada hadis masa sekarang.
BAB II PEMBAHASAN
A. Problematika Hadis Masa Sekarang
Pengkajian hadis merupakan hal yang menarik, kesimpulan yang
melahirkan teori baru bukanlah akhir dari sebuah pengkajian melainkan sebuah
tawaran baru yang memicu lahirnya kritikan, bantahan dan penolakan. Hal tersebut
adalah sebuah kewajaran, karena banyaknya sudut pandang orang menilainya.
Diantara alasan kenapa hadis senantiasa dikritisi adalah banyaknya celah dalam
sejarah periwayatan hadis. M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa waktu penulisan
hadis secara resmi dengan wafatnya Nabi adalah 90 tahun.1
Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput dari kritikan mengingat
ia lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannya ditandai dengan adanya upaya
pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadis.2 Seiring dengan
perkembangan zaman, problematika hadis dan ulumul hadis juga luas. Oleh karena
itu, penulis mengklarifikasi beberapa problem sebagai berikut:
1. Problem Hadis Perspektif Sarjana Barat
Ketika Sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana
hadis-hadis atau riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya
secara historis? Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat-riwayat tentang nabi
dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad ke-19, skeptisisme tentang
otentitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu
tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi
sarjana seperti Ignaz Goldziher, Josep Schacht, Wansbrough, Patricia Crone,
Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya-
karya sarjana Barat.

1
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, {Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h.4
2
Waryono Abdul Ghafur, “Epistemologi ILmu Hadis”, dalam jurnal Wacana
studi hadis guddah, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2002), hal.11
Akan tetapi, tidak semua semua Sarjana Barat dapat digolongkan dalam
aliran atau mazhab skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos
Muranyi, M.J. Kister, Feuck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis,
kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan
sebagai kelompok non-skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam
selama dua dekade terakhir. kesejarahan merupakan hal yang penting dalam
perbincangan sarjana Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat
sejauh mana literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad
pertama dan kedua hijriah. Ironisnya, kesadaran historis di kalangan ulama hadis
terhitung rendah. Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek
kesejarahan hadis secara serius baru dilakukan pada abad XV H, melalui karya al-
Khawliy. Kajian lainnya dalam bidang ini diantaranya adalah yang dilakukan oleh
Subhiy al- Salih, M.M al-A’zamiy, Mustafa al-Sibaiy dan Muhammad Abu Zahwi.
Adapun tema-tema yang sering diperbincangkan dalam kaitannya dengan aspek
kesejarahan hadis adalah penulisan hadis, pemalsuan hadis dan pemakaian isnad.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada masa Rasul, hadis tidak
dibukukan sebagaimana halnya al-Qur’an, melainkan hanya terpelihara dalam
hapalan para sahabat yang kemudian meriwayatkanya secara lisan kepada generasi
berikutnya. Demikianlah masa sahabat kemudian berakhir dan hadis tidak
dibukukan kecuali dalam ukuran yang sangat terbatas.8 Sedangkan usaha
pemalsuan hadis ditengarai muncul pertama kali sekitar tahun 40 H yang
merupakan ekses dari persoalan politik yang terjadi pada akhir pemerintahan
Usman Ibn Affan (w. 35 H). Kegiatan ini kemudian semakin meluas dengan motif
yang beragam dan corak pemalsuan yang berbeda-beda pula.9 Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul hadis menuju pembaruan
adalah aspek kesejarahan, di mana aspek tersebut melewati rentang waktu yang
cukup panjang, yang memungkinkan lahirnya berbagai macam masalah di
dalamnya seperti pemalsuan hadis.3

3
Muhammad Rusli, “Prolematika dan Solusi Masa Depan hadis dan Ulumul
Hadis”, dalam Jurnal Al-Fikr (Vol.17, No.1, Tahun 2013) Hal,126
Skeptisisme adalah sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu
karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti. Para
penganutnya menyakini adanya pengetahuan yang diduga sebagai keyakinan atau
dogma belaka. Jadi Aliran Skeptis Sarjana Barat adalah mereka yang
mempertanyakan otentitas sumber hadis.
2. Problem Pada Aspek Otentitas Hadis
Aspek otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis menjadi elemen yang
paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan
diskusi tentang masalah hadis, baik di era pertengahan maupun modern.4
Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang
dominan di kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh
antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis
secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak
langsung adalah adanya pemalsuan hadis.
Bila dibayangkan bahwa perjalanan hadis hingga sampai kepada kita,
tentunya telah melewati fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari
rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut,
sampai pada masa pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz
pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini
menyebabkan jumlah materi yang dianggap hadis menjadi menggelembung seperti
“gendang”, dari awal sedikit, menjadi banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-
setelah seleksi- menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798
M), al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua
(disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja
tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.5

4
Muhammad Rusli, “Prolematika dan Solusi Masa Depan hadis dan Ulumul
Hadis”, dalam Jurnal Al-Fikr (Vol.17, No.1, Tahun 2013) Hal,128
5
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), hal.82-83
Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu
menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan
guna otentisitas hadis di era mendatang.
3. Problem Pada Aspek Otoritas Hadis
M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti
sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas
sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang berpaham
inkar al-sunnah.6
Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa otoritas hadis sudah
mulai dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya masih personal dan belum
terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada akhir abad ke III dan baru
muncul kembali pada abad ke XIII H.7
Perbedaan pendapat para ulama mengenai otoritas hadis selain aspek yang
berkaitan dengan kuantitas jalur periwayatan, juga terletak pada aspek kualitas
sanadnya, yaitu khususnya otoritas hadis-hadis yang berkualitas daif. Menurut
Imam Ahmad dan Abu Dawud hadis daif secara mutlak diamalkan kandungannya
dengan syarat tidak ada hadis lain yang ditemukan. Mayoritas ulama dari kalangan
muhaddisin dan fuqaha seperti yang dikemukakan oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari
dan Ibn Hajar al-Haytami berpendapat bahwa hadis ahad dianjurkan untuk
diamalkan hanya dalam fadail al-‘amal. Sementara sebagian ulama mengatakan
bahwa hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam persoalan fadail
al-‘amal maupun dalam persoalan hukum dan akidah.8 Perbedaan pendapat inilah
yang kemudian menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung ketat, longgar dan

6
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya
(Cet.I;Jakarta: Gema Insani Press, 1415 H/1995 M), hal. 14
7
M.M. Azami, Dirasah fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih Juz.I
(Beirut:al-Maktab al-Islami, 1992 M/1413H), hal. 21
8
Nur al-Din Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Cet.III;Beirut:Dar al-Fikr,
1997 M), hal. 291-293
moderat. Belum lagi satu istilah yang sama digunakan secara berbeda untuk periode
yang berbeda (berjauhan masanya).9
Demikian problem yang terjadi pada otoritas hadis, dimana munculnya
istilah-istilah sebagai upaya mengukur kualitas hadis justru menjadi problem baru
bagi otoritas hadis. pengertian term atau istilah-istilah tersebut berbeda antara satu
tokoh dengan tokoh lainnya, karena perbedaan tersebut maka akan berpengaruh
pada otoritas hadis, selanjutnya berimplikasi apakah hadis tersebut dapat dijadikan
hujjah atau tidak.
4. Problem Pada Aspek Interpretasi Hadis
Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak
zaman Nabi. Hal tersebut dibuktikan pasca peperangan Ahzab, dimana Nabi saw
menyampaikan kepada sahabat agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang
melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Pada saat waktu ashar tiba
sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat yang lain tetap
melanjutkan perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali setelah mereka
sampai di tempat yang disebutkan oleh Nabi meskipun konsekuensinya mereka
tidak melaksanakan shalat pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain
melaksanakan shalat dalam perjalanan, karena berpendapat bahwa yang diinginkan
oleh Nabi sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanan sehingga bisa
sampai di Bani Qurayzah dan melaksanakan shalat ashar di tempat tersebut, tetapi
karena ternyata waktu ashar sudah tiba sementara mereka belum sampai di tempat
tersebut, mereka akhirnya tetap melaksanakan shalat karena melaksanakan shalat
di awal waktu adalah salah satu amal yang utama. Ketika hal tersebut disampaikan
kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat tersebut.10
Pada perkembangan selanjutnya, muhadditsin lebih dominan menggunakan
interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain para fuqaha lebih
cenderung untuk menggunakan interpretasi bersifat kontekstual. Olehnya itu, hadis-

9
J.Robson, The Encyclopaedia of Islam (t.tp. E.J. Brill, 1986), hal. 23
10
Muhammad Rusli, “Prolematika dan Solusi Masa Depan hadis dan Ulumul Hadis”,
dalam Jurnal Al-Fikr (Vol.17, No.1, Tahun 2013) Hal,129
hadis nabi tidak menutup kemungkinan untuk diinterpretasi ulang dengan berbagai
pertimbangan.
B. Isu-isu Hadis dimasa Sekarang
Dari pemaparan materi diatas dapat dipetakan mengenai isu-isu tentang
problematika hadis yang bergulir di era modern diantaranya sebagai:
1. Isu tentang Otentisitas Hadis
Salah satu tantangan modernitas yang sering dilontarkan untuk meragukan
bahkan menolak keberadaan hadis Nabi SAW. adalah persoalan metode klasik
kritisisme hadis yakni sistem isnad. Teori sistem isnad seringkali dituduh sebagai
bikinan para ulama’ hadis dan tidak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau bahkan
sahabat. Dengan kata lain, sistem isnad pada dasarnya bersifat a-historis.11 Selain
itu keraguan akan kemampuan metode klasik kritisisme hadis muncul karena
banyak ditemukan hadis-hadis yang absurd, tidak dapat dibenarkan secara teologis,
atau tak layak secara moral dalam koleksi shahih, shahih Bukhari maupun
Muslim.12
Kemudian menurut Brown, Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
jikalau Imam Bukhari dan Imam Muslim yang selama ini dianggap sebagai
pengumpul hadis yang paling teliti, tidak dapat mengenali pemalsuan hadis, maka
pasti ada sesuatu yang salah atau keliru dengan pendekatan yang mereka gunakan.
Yang menjadi masalah bukan kesungguhan ulama besar hadis, melainkan
efektifitas metode yang digunakan. Sebesar apapun dedikasi para muhaddisun,
masa hidup mereka terlalu jauh dari masa hidup Nabi, dan pemalsuan telah
merajalela (hadis asli dan palsu bercampur baur) sehingga keaslian hadis sangat
sulit didapat, kritikus terbaik pun kesulitan mengenali hadis asli.13 Walaupun
sebenarnya telah ada sistem Isnad yang dibangun oleh para ulama’ ahli hadis klasik,
namun hal itu banyak diragukan oleh para ulama’ modern yang melakukan auto
kritik terhadap sistem isnad yang dibangun oleh para pendahulunya.

11
Juynboll, The Authenticity Of The Tradition Literature, 1969, hal. 2

12
D.W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung:mizan, 2000)
13
D.W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung:mizan, 2000)
Kegagalan lain muhaddisun dengan metode klasik kritisisme, meskipun apa
yang telah mereka lakukan cukup mengagumkan, namun sebagian besar mereka
mengabaikan sarana-sarana yang memungkinkan untuk menyelamatkan hadis
autentik karena terlalu terpaku pada kritik sanad, mereka mengabaikan kritik
terhadap isi hadis (matn). Pada dasarnya tugas muhaddisun ada dua: pertama, kritik
isnad, yakni menguji apakah periwayat hadis dapat dipercaya dan meniliti
ketersambungan sanad.
Kedua, kritik atas isi hadis (matn). Karena kesulitan tugas pertama, maka
mereka melupakan dan tidak pernah sampai pada tugas kedua. Kritik lain yang
dilontarkan oleh kritikus modern adalah bahwa asumsi dibelakang ‘ilm ar-rijal
secara esensial cacat. Argument ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya
adalah cukup sulit menilai karakter orang yang masih hidup, apalagi orang yang
sudah lama meninggal, hal ini diperparah dengan informasi yang sedikit, banyak
riwayat yang saling bertentangan. Di samping itu kejujuran dan ketidakjujuran
adalah kualitas internal yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh pengamat.
Akibatnya, ‘ilm ar- rijal hanyalah sebuah pendekatan, dan siapapun tidak bisa
sepenuhnya yakin bahwa penilaian seseorang tentang periwayat adalah benar.
Lagipula, apa yang membuat keterangan sejarah tentang periwayat dapat
dipercaya? Apakah pihak yang mencatat informasi tentang periwayat bekerja secara
akurat, atau apakah informasi itu direkayasa? Tantangan paling serius terhadap
sistem klasik kritik hadis, barangkali adalah pernyataan bahwa isnad direkayasa
dalam skala yang sama besar dengan isi hadis. Bagaimana kita menilai keandalan
hadis atas dasar rantai periwayatan kalau rekayasa terhadap isnad juga marak
terjadi.14
2. Isu Tentang Otoritas Kenabian
Tantangan lain terhadap sunnah adalah kritik atas kewenangan Rasul yakni
yang berkaitan dengan doktrin ishmah. Doktrin ismah (kemaksuman) Rasul bagi
ahli teologi sunni sangat dibutuhkan, karena doktrin ismah merupakan jaminan
penting integrasi al-Qur’an itu sendiri, jika para Rasul berbuat salah atau dosa,

14
D.W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung:mizan, 2000)
mana mungkin kita mengetahui pasti bahwa mereka menyampaikan wahyu yang
mereka terima dari Allah dengan benar. Para rasul harus dianggap maksum dalam
masalah yang berkaitan dengan risalah Allah. Yang lebih penting lagi, kemaksuman
rasul memberikan pondasi esensial bagi kewenangan sunnah rasul. Pertanyaan
mendasar kaitannya dengan doktrin ishmah adalah di manakah sisi kemanusiaan
dari seorang rasul? Apakah rasul sama sekali tidak pernah berbuat salah dan keliru
dalam sejarah perjalanan hidupnya atau selama masa kenabian? Kalau memang
rasul memiliki dua sisi sekaligus, yakni sisi maksum dan manusiawi, maka
bagaimana membedakan mana yang maksum dan mana yang tidak?15
Persoalan kemaksuman ini memunculkan ketidak fleksibelan tertentu dalam
gagasan ini. Ini adalah masalah yang akut pada abad ke 19 dan 20, ketika para
teolog bukan cuma muslim, tetapi juga Kristen protestan dan Katolik berusaha
mencari jalan mengadaptasi situasi doktrin-doktrin dalam menghadapi situasi yang
tengah berubah. Bagi Muslim pertanyaannya adalah apakah mungkin
mempertanyakan kemaksuman Rasul tanpa merongrong kewenangan sunnah? Apa
jadinya Islam tanpa sunnah? Mengenai hal ini kaum modernis kemudian membagi
sunnah menjadi empat kategori: 1) yang berkaitan dengan agama (din), 2) yang
merupakan produk situasi khusus Nabi dan adatistiadat di zamannya, 3) pilihan dan
kebiasaan pribadi, 4) preseden yang berkaitan dengan urusan politik dan dan sipil.
Hanya sunnah autentik kategori pertama yang berhubungan dengan agama yang
dapat dipegang.16
Tantangan modern terhadap kemaksuman rasul adalah mencoba
memanusiakan Nabi Muhammad SAW. Membawa Nabi ke bumi, menjadikan
beliau sebagai manusia biasa yang juga melakukan kesalahan, memberikan kepada
penafsir modern pleksibelitas mengenai warisan beliau. Fakta-fakta yang ada di
dalam al-Qur’an juga menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan Allah
menegur Nabinya yang mulia karena melakukan hal yang keliru. Misalnya, ketika

15
Muhammad Rusli, “Prolematika dan Solusi Masa Depan hadis dan Ulumul
Hadis”, dalam Jurnal Al-Fikr (Vol.17, No.1, Tahun 2013) Hal.180
16
D.W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern,
(Bandung:mizan, 2000)
Rasulullah berpaling dari Ibn Maktum yang buta karena sedang menghadapi para
pembesar Quraisy. Allah berfirman: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali
ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (Q.S. ‘Abasa (80):1-3). Dalam
kesempatan lain Allah berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa
yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Tahrim (66):1)
Berdasarkan perspektif ini, kita bisa memahami bahwa istilah sunnah Nabi
pada dasarnya adalah kehidupan Nabi SAW sebagai Nabi dan sosok manusia yang
hidup pada masa tertentu. Terlepas dari beliau menerima wahyu yang dengannya
Allah menjadikannya mulia, namun kita perlu memahami sosok kemanusiaan
beliau, bahwa Muhammad adalah sosok yang hidup pada abad ke 7 masehi di
semenanjung Arab beserta segala kondisi geografis, sejarah, kebudayaan, politik
yang melingkupinya.17
3. Isu Tentang Kewahyuan Hadis
Pandangan klasik tentang pandangan bahwa sunnah adalah wahyu mulai
mendapat kritikan dan mulai dipertanyakan kembali kebenarannya. Muncullah
sederet pertanyaan, diantaranya: apa yang membedakan suara Tuhan dengan suara
manusia yang menyampaikan atau yang menafsirkannya?
Pada bagian mana sifat manusiawi utusan Allah berperan dalam proses
wahyu? Pada dasarnya tidak hanya Islam yang mengalami dilema dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun semua tradisi keagamaan Nabi juga
merasakan hal yang sama, karena akibat paradoks fundamental kenabian; dalam
risalah Nabi yang transenden menjadi imanen, yang universal menjadi particular,
kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Sehingga
perdebatan mengenai wahyu ini terfokus secara tajam dalam pertanyaan mengenai
bagaimana ilham Rasulullah Saw. dan hubungan perkataan dan tindakan Nabi
Muhammad Saw –kemanusiaannya– dengan misi ketuhanannya sebagai Nabi.
Mengenai persoalan tersebut, Kalangan yang skeptis menyatakan bahwa, perkataan

17
M. Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, (Yogyakarta: el SAQ Press,2004),
hal.163
dan perbuatan Nabi di luar al-Qur’an bukan wahyu. Itu tidak lebih dari produk
upaya manusia, maka secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa preseden
semacam itu dapat direvisi dan tidak pernah dimaksudkan untuk mengikat seluruh
Muslim sepanjang waktu.18
Syahrur menyebutkan bahwa pandangan yang menyebutkan bahwa sunnah
adalah wahyu, patut untuk dipertanyakan. Ia menganalisa (wa ma’ yantiqu an al-
hawa In huwa illa wahyu yuhay), (Q.S. 53: 3-4) yang dijadikan sebagai dasar
pijakan oleh kalangan tradisional untuk menyimpulkan bahwa sunnah adalah
wahyu. Menurut pembacaanya, mendasarkan pendapat mereka dengan ayat ini
sama sekali tidak tepat. Karena kata ganti huwa dalam ayat tersebut tidak merujuk
kepada Nabi, namun secara jelas merujuk kepada kitab yang diturunkan kepada
Nabi. Kata ganti huwa tidak terkait dengan kata ganti dalam kata kerja yantiqu. Jadi
meski peran kenabian yang diembannya mengantarkan beliau pada derajat yang
tinggi, namun bagaimanapun kita tidak dapat menyatakan bahwa seluruh perkataan
dan perbuatan beliau termasuk bagian dari wahyu.
Kalau dilihat dari latar belakang historis, ayat tersebut diturunkan di
Makkah dalam situasi ketika orang-orang Arab meragukan kebenaran wahyu. Yang
menjadi pusat permasalahan bagi mayoritas orang Arab saat itu bukanlah perkataan
dan perbuatan Nabi, melainkan al-Qur’an. Penolakan terhadap pandangan sunnah
sebagai wahyu juga disebabkan oleh karena jika sunnah dibandingkan dengan al-
Qur’an dengan menggunakan ukuran standar wahyu, maka sunnah tidak memenuhi
kualifikasi sebagai wahyu. Wahyu yang dimaksudkan oleh Allah adalah bersifat
universal dan abadi dan memiliki tiga cirri khas: pertama, wahyu disampaikan kata
demi kata, setiap kata pasti berasal dari Allah. Kedua, proses turunnya wahyu
pastilah eksternal, yang sepenuhnya terlepas dari pengaruh rasul. Ketiga, wahyu
harus dicatat dan dipelihara dalam bentuk tulisan dan disampaikan secara benar
tanpa kemungkinan menyimpang dan keliru. Sunnah tidak memenuhi kualifikasi
ini, sehingga sulit untuk menyatakan bahwa sunnah juga wahyu. Kegagalan

18
D.W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung:mizan, 2000)
memelihara sunnah dalam bentuk tulisan menyebabkan sunnah tidak boleh
dianggap sebagai bagian esensial agama.19

19
M. Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, (Yogyakarta: el SAQ Press,2004),
hal.163

Anda mungkin juga menyukai