Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN HADIS DI ERA MODERN

Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis di Indonesia

Disusun Oleh:

Alfi Hidayati 18210914


Annisa Permata Dewi 18210926
Bela Novita 18210938
Diana Fithriyah 18210949

Dosen Pengampu:
Sofyan Effendi, S.Th.I, MA.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2020 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyusun makalah ini dalam bentuk yang sangat sederhana. Sholawat dan salam
senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Perkembangan Hadis di Era Modern”.
Kami sebagai penyusun makalah menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami berharap kepada dosen mata kuliah ini khususnya, dan
kepada pembaca pada umumnya untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah kedepannya. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca.

Ciputat, April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis......................................................................2

B. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis...........................................................7

C. Ragam Studi Hadis.......................................................................................................8

D. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia..................................................10

E. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia.....11

F. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia...............................................13

BAB III PENUTUP...............................................................................................................15

A. Kesimpulan..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis menempati posisi sentral mengikuti pelajaran, sebab tidak ada dalam
agama Islam. Karena posisinya karya fikih yang tidak didukung oleh yang penting
tersebut, kajian hadis mendapat perhatian yang besar dalam dunia Islam. Tidak
kurang dari 500.000 orang terlibat dalam periwayatan hadis. Ratusan buku telah
ditulis ulama dalam bidang hadis ini. Bahkan pada abad ke-15, ilmu hadis telah
terbagi dalam 74 cabang ilmu.

B. Rumusan Masalah
1. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
2. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
3. Ragam Studi Hadis
4. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia
5. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia
6. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis


Di antara alasan kenapa hadis senantiasa dikritisi adalah banyaknya celah
dalam sejarah periwayatan hadis. Menurut Waryono Abdul Ghafur, kritikan terhadap
hadis muncul dari faktor kesejarahannya yang jauh berbeda dengan kesejarahan al-
Qur’an, misalnya :

1) Faktor pendokumentasian dan pencatatan, dimana hadis didokumentasikan setelah


melewati fase dua generasi lebih, sehingga sumber pertama setelah nabi yakni
sahabat, hampir tidak ditemukan lagi, ditambah lagi penulisan hadis hanya
menjadi pekerjaaan sebagian sahabat saja, sedangkan al-Qur’an telah
didokumentasikan sejak zaman Nabi dan penulisan al-Qur’an adalah pekerjaan
publik.
2) Periwayatan al-Qur’an dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber pertama
dan sumber berikutnya sedangkan hadis tidak demikian, bahkan bila dikalkulasi,
jumlah hadis yang mutawatirn lebih sedikit dibandingkan keseluruhan hadis yang
kebanyakan lebih bersifat ahad.1

Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput dari kritikan mengingat ia
lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai dengan adanya upaya
pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadis. Seiring dengan perkembangan
zaman, problematika hadis dan ulumul hadis juga sangat luas. Diantaranya:

a. Problem Hadis Perspektif Sarjana Barat(Orientalis)


Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana
hadis -hadis atau riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya
secara historis? Menurut perkiraan M. M. Azami, sarjana Barat yang pertama kali
melakukan kajian terhadap hadis Nabi saw. adalah Ignaz Goldziher (m1921) dalam
bukunya yang berjudul “Muhammedanische Studien” dan sejak saat itu sampai
sekarang, buku Goldziher menjadi rujukan utama dikalangan orientalis. Goldziher
1
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 124.

2
menjelaskan bahwa kata sunnah pada awalnya adalah istilah masyarakat jahiliyah
yang kemudian dipakai oleh orang Islam
Aspek kesejarahan merupakan hal yang penting dalam perbincangan sarjana
Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana literatur
abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama dan kedua
hijriah. Ironisnya, kesadaran historis di kalangan ulama hadis terhitung rendah.
Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek kesejarahan hadis secara
serius baru dilakukan pada abad XV H, melalui karya al-Khawliy dalam bukunya
Miftah al-Sunnah aw Tarikh Funun al-Hadis. Dalam buku tersebut Abd Al-Aziz al-
Khawliy mendefinsikan sejarah hadis (tarikh al-sunnah) sebagai fase-fase yang telah
dilalui oleh hadis mulai dari awal kemunculannya pada masa Rasulullah saw sampai
sekarang.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada masa Rasul, hadis tidak dibukukan
sebagaimana halnya al-Qur’an, melainkan hanya terpelihara dalam hapalan para
sahabat yang kemudian meriwayatkanya secara lisan kepada generasi berikutnya.
Demikianlah masa sahabat kemudian berakhir dan hadis tidak dibukukan kecuali
dalam ukuran yang sangat terbatas. Sedangkan usaha pemalsuan hadis ditengarai
muncul pertama kali sekitar tahun 40 H yang merupakan ekses dari persoalan politik
yang terjadi pada akhir pemerintahan Usman Ibn Affan (w. 35 H). Kegiatan ini
kemudian semakin meluas dengan motif yang beragam dan corak pemalsuan yang
berbeda-beda pula.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul
hadis menuju pembaruan adalah aspek kesejarahan, di mana aspek tersebut melewati
rentang waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan lahirnya berbagai macam
masalah di dalamnya seperti pemalsuan hadis.2

b. Problem Hadis dan Ulumul Hadis dari Aspek Metodologi

Informasi tentang Nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana


pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-
berita akurat tentang Nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para
kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll).
Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke III H. (dua ratus tahun
2
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 125-126.

3
lebih setelah nabi wafat). Pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat
akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya?

Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah
menjelaskan metodologinya secara detail. Kecenderungan sebagian di antara kita
adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila
sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau
keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan juga dalam al-kutub al-
sitta atau al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana
Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap
seperti itu?

Hadis yang terangkum dalam kutub al-sitta, al-tis’ah sebagai kitab standar
bukan berarti bebas dari kritikan. Bahkan dari kitab tersebut dapat ditemukan hadis-
hadis da’if bilamana standarisasi ulumul hadis diterapkan. Demikian juga ulumul
hadis dimana masih menyisakan berbagai problem dan kritikan untuk diperbaiki.3

c. Problem pada Aspek Otentisitas (keaslian) Hadis


Aspek Otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis menjadi elemen yang
paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan
diskusi tentang masalah hadis, baik di era pertengahan maupun modern. Pembahasan
ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang dominan di
kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh antara wafatnya
Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis secara resmi dan
massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak langsung adalah adanya
pemalsuan hadis.
Bila dibayangkan bahwa perjalanan hadis hingga sampai kepada kita, tentunya
telah melewati fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian
sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada
masa pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99
H, masih bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan
jumlah materi yang dianggap hadis menjadi menggelembung seperti “gendang”, dari
awal sedikit, menjadi banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi-
menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’
3
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 126-128.

4
yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada
pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.16
Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu
menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan guna
otentisitas hadis di era mendatang.4
d. Problem pada Aspek Otoritas (kedudukan) Hadis

M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti
sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas
sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran
Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang berpaham inkar al-
sunnah.

Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa otoritas hadis sudah mulai
dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya masih personal dan belum
terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada akhir abad ke III dan baru
muncul kembali pada abad ke XIII H. Perbedaan pendapat para ulama mengenai
otoritas hadis selain aspek yang berkaitan dengan kuantitas jalur periwayatan, juga
terletak pada aspek kualitas sanadnya, yaitu khususnya otoritas hadis-hadis yang
berkualitas daif. Menurut Imam Ahmad dan Abu Dawud hadis daif secara mutlak
diamalkan kandungannya dengan syarat tidak ada hadis lain yang ditemukan.
Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin dan fuqaha seperti yang dikemukakan
oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn Hajar al-Haytami berpendapat bahwa hadis
ahad dianjurkan untuk diamalkan hanya dalam fadail al–‘amal. Sementara sebagian
ulama mengatakan bahwa hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam
persoalan fadail al-‘amal maupun dalam persoalan hukum dan akidah.19 Perbedaan
pendapat inilah yang kemudian menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung
ketat, longgar dan moderat. Belum lagi satu istilah yang sama digunakan secara
berbeda untuk periode yang berbeda (berjauhan masanya).

Demikian problem yang terjadi pada otoritas hadis, dimana munculnya istilah-
istilah sebagai upaya mengukur kualitas hadis justru menjadi problem baru bagi
4
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 128.

5
otoritas hadis. pengertian term atau istilah-istilah tersebut berbeda antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya, karena perbedaan tersebut maka akan berpengaruh pada
otoritas hadis, selanjutnya berimplikasi apakah hadis tersebut dapat dijadikan hujjah
atau tidak.5

e. Problem pada Aspek Interpretasi (pemahaman) Hadis.

Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak
zaman Nabi. Hal tersebut dibuktikan pasca peperangan Ahzab, dimana Nabi saw
menyampaikan kepada sahabat agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang
melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Pada saat waktu ashar tiba
sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat yang lain tetap
melanjutkan perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali setelah mereka sampai
di tempat yang disebutkan oleh Nabi meskipun konsekuensinya mereka tidak
melaksanakan shalat pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain melaksanakan
shalat dalam perjalanan, karena berpendapat bahwa yang diinginkan oleh Nabi
sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanan sehingga bisa sampai di Bani
Qurayzah dan melaksanakan shalat ashar di tempat tersebut, tetapi karena ternyata
waktu ashar sudah tiba sementara mereka belum sampai di tempat tersebut, mereka
akhirnya tetap melaksanakan shalat karena melaksanakan shalat di awal waktu adalah
salah satu amal yang utama. Ketika hal tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau
tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, muhadditsin lebih dominan menggunakan


interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain para fuqaha lebih cenderung
untuk menggunakan interpretasi bersifat kontekstual. Olehnya itu, hadis-hadis nabi
tidak menutup kemungkinan untuk diinterpretasi ulang dengan berbagai
pertimbangan.6

B. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis


a) Pendekatan Isnad cum matn analysis
Teori ini ditawarkan oleh Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA. Metode isnad
cum matn analysis yakni menaksir kualitas hadis berdasarkan matannya, bahkan
5
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 129.
6
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm 129-130.

6
kualitas sanadpun dapat ditaksir melalui matannya. Dengan metode ini, maka
sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis. Kitapun dapat
membandingkan antara riwayat satu jalur dengan riwayat dari jalur yang lain
untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat
melihat tingkat kedhabitan setiap perawi dari generasi ke generasi;
b) Metode Tematik (Maudu’i) sebagai Solusi
Istilah metode tematik dalam kajian hadis merupakan terjemahan dari al-
Manhaj al Maudui'i fi Syarh al Hadits. Metode tematik itu mengandung
pengertian pensyarahan, atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang
dipermasalahkan. Maka pengkajian hadis dengan metode tematik itu
memanfaatan berbagai teori dan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, dan sejarah. Pada dasarnya, sebuah hadis bila telah terbukti
berasal dari Nabi, maka ia merupakan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran.
Karena itu, pengetahuan yang benar dan baik mestilah sejalan dengan hadis Nabi.
Bahkan memperkuat kebenaran hadis Nabi.
c) Kontekstualisasi Hadis
Seiring dengan tantangan zaman yang semakin tinggi, berbagai persoalan pun
muncul untuk dicarikan solusinya, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Salah satu
metode yang dapat ditempuh adalah kontekstualisasi hadis. Istilah pemahaman
kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu
hadis Nabi saw berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya,
meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas nabi tatkala hadis itu terjadi
kapan dan apa sebab hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan, bahkan dengan
mempertinmbangkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, pemahaman secara
kontekstual memerlukan kegiatan ijtihad.
Dengan demikian pembaruan di bidang hadis tentunya tidak lepas dari
metodologi pengkajian hadis yang harus disesuaikan dengan perkembangan
zaman tanpa merobah esensi hadis itu sendiri.
d) Rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai Solusi
Rekonstruksi yang dimaksudkan adalah penataan ulang ilmu-ilmu hadis,
mengingat hadis berjalan dinamis sesuai dengan perubahan yang melingkupinya.
e) Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuien
yang berarti menafsirkan. Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses
7
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Bahasa Arab
merupakan bahasa yang memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi. Bahasa Arab –
Balagha dan Mantiq- merupakan salah satu persyaratan untuk sampai pada taraf
pemahaman yang konfrehensif.
Jadi dalam memahami hadis nabi, sangat ditekankan penggunaan gramatika
bahasa. Karena hadis tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling dekat
mengenal hadis adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri.7

C. Ragam Studi Hadis


Bentuk hadis di dunia global tidak hanya didominasikan oleh kitab-kitab hadis
yang ditulis ulama mutaqaddimin tapi juga ditemukan hadis-hadis yang dikeluarkan
oleh ulama muta’akhkhirin. Seperti
1. Kitab hadis karya Imam Malik yang berjudul Muwatta’ Malik

Kitab-kitab Muwatta’ Imam Malik diatas sangat beragam mulai dari buku-buku
maupun teks pdf dan software tertentu.
2. Kitab hadis Musnad Ahmad bin Hanbal

7
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 130-135.

8
3. Kitab Shahih al-Bukhari

Berikut dalam kitab Muta’akhkhirin, sebagai mana dalam kitab Bulugh al-Maram :

Dan juga ditemukan hal lain, seperti kitab-kitab hadis, seperti :

Syarah hadis juga dapat ditemukan, seperti kitab-kitab yang sederhana dan
bisa dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat yaitu kitab Arba’in Nawawi kitab
yang berisi 40 hadis, yaitu:

9
Bahkan terdapat rumusan keilmuan hadis untuk mempermudah mengkaji hadis
shahih dan lain-lain, kajian hadis juga dapat ditemukan didalam jurnal seperti Jurnal
al-Bayan dan sebagainya.8

D. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia


Adapun klarifikasi karakteristik kajian hadis pada masa kini, terdapat beberapa
pengklasifikasian tema kajian hadis, dimana tema tersebut merupakan latar belakang
dari artikel kajian hadis diantaranya:
1. Kajian sejarah, terdapat 32 artikel, seperti artikel yang berjudul Sirah Nabawiyah
dan Demitologisasi Kehidupan Nabi Karya Ahmad ‘Ubaydi Hasbilah,
2. Kajian hukum, terdapat 40 artikel, seperti artikel yang berjudul Elastisitas Hukum
Nikah dalam Perspektif Hadis karya Ridwan Hasbi,
3. Kajian gender, terdapat 22 artikel, seperti artikel yang berjudul Memahami
Misoginis Perspektif Maqasid al-Syari’ah: Studi Hadis yang Menyamakan antara
Keledai, Anjing, dan Perempuan karya Muhammad Rofiq,
4. Kajian sosial budaya, terdapat 25 artikel, seperti artikel yang berjudul Barzanji
Bugis dalam Peringatan Maulid Nabi: Studi Living Hadis di Masyarakat Bugis,
Soppeng, Sul-Sel, karya Ahmad Muttaqin,
5. Kajian pendidikan, terdapat 12 artikel, seperti artikel yang berjudul Pendidikan
dalam Perspektif Hadis (syarh al-Hadis al-Mawdu’i) karya Abdul Kahar,
6. Kajian kesehatan, terdapat 6 artikel, seperti artikel yang berjudul, Syariat Makan
dan Minum dalam Islam: Kajian Terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta
Pernikahan, karya Aprilia Mardiastuti,

8
Muhammad Alfatih Suryadilaga http://digilib.uin-suka.ac.id/19454/1/MUHAMMAD%20ALFATIH
%20SURYADILAGA%20-%20KAJIAN%2OHADIS%20DI%20ERA%20GLOBAL.pdf diakses pada tanggal
15 April pukul 21.00.

10
7. Kajian politik, terdapat 4 artikel, seperti artikel yang berjudul Hadis dan Analisis
Aliran Politik Rijal: Studi Geo-Politik terhadap Alirah Syi’ah dan Nasab karya
Aceng Abdul Kodir,
8. Kajian lingkungan, terdapat 3 artikel, seperti artikel yang berjudul, Dari Sutet
Menuju Teologi berbasis Ekologi (Tinjauan Hadis-hadis Pelestasian Lingkungan,
Kesehatan, dan Layanan Publik) karya Munawir.
Adapun tema kajian hadis pada saat ini dapat dikatakan tidak memiliki
karakteristik yang spesifik. Karena banyaknya tema-tema kajian hadis yang
menjadi diskusi para sarjana hadis saat ini. Namun kajian hadis pada saat ini lebih
memiliki banyak variasi.9

E. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia


Pada tahun 2001, Nizar Ali dari Yogyakarta mewacanakan dalam bukunya,
Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) metode-metode memahami hadis
yang tampaknya mengadopsi metode tafsir yang untuk Indonesia sampai waktu itu
diajarkan oleh H.M. Quraish Shihab. Metode-metode yang ditawarkan Nizar Ali
adalah metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin.10 Ia tidak melengkapinya
dengan metode maudhu`i (tematis). Kemudian, pada tahun 2002, Daniel Djuned dari
Aceh di bagian akhir dari bukunya yang berjudul Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis
Rekonstruksi Fiqh Al Hadis , menawarkan metode maudhu`i dengan rumusan, “Hadis
dalam Pendekatan Tafsir Maudhu`i.”11 Kedua penulis ini dapat dipandang sebagai
orang yang mencoba berpikir untuk menerapkan metode-metode tafsir kepada
pemahaman Hadis. Mereka ini tidak mempunyai rujukan yang khusus membahas
kaitan metode-metode ini dengan Hadis. Nizar Ali sendiri mengakui bahwa ia
mengadopsinya dari metode penafsiran Alquran. Sementara Daniel Djuned secara
eksplisit mengatakan perlunya metode tafsir maudhu`i didalami dan dikembangkan,
terutama bagi orang yang berkecenderungan modern kembali kepada Alquran dan
Sunnah. Pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dikembangkan sepanjang mempunyai
relevansi dan kesamaan antara bidang yang dikembangkan dan bidang yang diadopsi.

9
Lili Siwidyaningsih http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36877/2/LILI
%20SIWIDYANINGSIH-FU.pdf diakses pada 15 April pukul 21.11.
10
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), YPI Ar Rahmah: Yogyakarta, 2001,
hlm. 29-52.
11
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, Citra Karya: Banda
Aceh, 2002, hlm. 167-177.

11
Adapun tentang menerapkan metode maudhu`i terhadap pemahaman hadis
jelas diterapkan di sejumlah pascasarjana, khususnya untuk program S3. Di antara
hasil penerapan hadis tematis terdapat lebih kurang dalam buku, Hadis-Hadis
Pendidikan, terbit pada tahun 2008 yang berupa kumpulan tulisan dan diedit oleh
Hasan Asari serta diberi kata pengantar oleh Nawir Yuslim.12
Nizar Ali juga membahas tentang pendekatan-pendekatan yang dilakukan
dalam memahami Hadis. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan
bahasa, pendekatan historis, pendekatan sosiologis, pendekatan sosio-historis,
pendekatan antropologis, dan pendekatan psikologis.13 Pendekatan-pendekatan ini
merupakan bagian dari mata kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) yang sejak akhir
tahun 1990-an sampai sekarang diajarkan di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Pada bulan Maret 2010, Musahadi HAM dalam bukunya, Evolusi Konsep
Sunnah mengaitkan pemahaman kontekstual H.M. Syuhudi Ismail dengan pendekatan
hermeneutika hadis. Ia juga membahas tentang hermeneutika hadis Yusuf al-Qardawi,
Muhammad Iqbal, dan Fazlur Rahman.14 Pada bulan Mei 2010, Muhammadiyah
Amin menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar-nya di bidang ilmu Hadis
dengan judul, Kontekstualisasi Pemahaman Hadis : Rekonstruksi Epistimologis
Meretas Simpul Ikhtilaf Dalam Fiqh al-Hadit. Tampaknya, dalam pidato ini,
Muhammadiyah Amin tidak membawa konsep baru. Pidato ini dapat dipandang
sebagai penegasan dan penguatan kepada konsep kontekstual yang ditulis para penulis
sebelumnya.15

F. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia


a) Faktor-Faktor yang mempengaruhi perkembangan studi hadis di Indonesia :

1. Hereditas, yaitu pewarisan watak dari induk ke keturunannya baik secara


biologis melalui gen ( DNA ) atau secara sosial melalui pewaris gelar, atau
status sosial.

Hasan Asari (ed), Hadis-Hadis Pendiudikan Sebuah Penelusuran Akar-Akar Ilmu Pendidikan Islam,
12

Perdana Mulya Sarana: Bandung, 2008.


13
Nizar Ali, op. cit, hlm. 57-112.
14
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnnah (Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam), Aneka
Ilmu Kerjasama dengan IAIN Walisongo Press: Semarang, 2000. hlm. 142-151.
15
Muhammadiyah Amin, Kontekstualisasi Pemahaman Hadis : Rekonstruksi Epistimologis Meretas
Simpul Ikhtilaf dalam Fiqh al-Hadist, UIN Alauddin Makassar, 2010.

12
2. Lingkungan, salah satu cara biologis dapat mempengaruhi kepribadian adalah
dengan mempengaruhi lingkungan tempat kita hidup. Pengaruh biologis dapat
menyebabkan kita mengubah situasi-situasi tertentu.
3. Politik dan madzhab, faktor politik dan madzhab juga termasuk faktor yang
bisa mempengaruhi pemikiran seseorang, fikiran dalam persektif piaget
bersifat terstruktur dan terorginir.
4. Pendidikan, merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat
pendidikan sebagai proses pengoprasian ilmu yang normative, akan
memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan
keluarga, masyarakat, dan kelembagaan.16
b) Pemeratan secara sinkronis dan diakronis perkembangan diindonesia
Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama hadits diindonesia
dengan ulama hadits yang lainnya,penulis menggunakan pendekatan sinkronis dan
diakronis, pemerataan secara sinkronis yaitu perubahan pada saat-saat tertentu,
sedangan secara sinkronis yaitu lama-bersenambung.17
Sejarah awal perkembangan hadits memberikan gambaran bahwa
hadits pada masa itu belum berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Karena kajian hadits baru pada dataran praktis, belum tersusun secara
teoris.ini dapat dilihat dari beberapa karya dari al-Raniry, al-Sinkili dan lain-
lain. karya mereka lebih condong kepada penelitian sanad. Sedangkan pada
masa sekarang penelitian hadist lebih banyak tentang kajian metodologi
pemahaman Hadits.
Diantara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan Hadits
di Indonesia adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang dan
hetorogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka penerapan ajaran
islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan masyarakat. Jadi, disatu segi perlu
dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan segi yang lain, para mujtahid memikul
tanggung jawab untuk memehami dan memanfaatkan teori dari berbagai

16
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataan dan Analisis Genealogi, 2014,
hlm. 134-145.
17
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataan dan Analisis Genealogi, 2014,
hlm. 148.

13
disiplin pengetahuan. Hal tersebut didukung oleh pengkaji hadits diindonesia
pada saat ini, sehingga karya hadits diindonesia terus berkembang.18

18
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataandan Analisis Genealogi”,
2014, hlm. 149-152.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di antara alasan kenapa hadis senantiasa dikritisi adalah banyaknya celah
dalam sejarah periwayatan hadis. Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput
dari kritikan mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai
dengan adanya upaya pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadis.
Seiring dengan perkembangan zaman, problematika hadis dan ulumul hadis juga
sangat luas. Solusi problematika hadis dan ulumul hadis yaitu: Pendekatan Isnad cum
matn analysis, Metode Tematik (Maudu’i) sebagai Solusi, Kontekstualisasi Hadis,
Rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai Solusi, Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi.
Diantara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan Hadits di Indonesia
adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang dan hetorogenitas kelompok
masyarakat selalu terjadi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). YPI ar Rahmah: Yogyakarta. 2001.

Amin, Muhammadiyah. Kontekstualisasi Pemahaman Hadis: Rekonstruksi Epistimologis Meretas Simpul


Ikhtilaf dalam Fiqh al-Hadist. UIN Alauddin Makassar. 2010.

Asari, Hasan. Hadis-Hadis Pendiudikan Sebuah Penelusuran Akar-Akar Ilmu Pendidikan Islam. Perdana Mulya
Sarana: Bandung. 2008

Djuned, Daniel. Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis Rekonstruksi Fiqh al-Hadis. Citra Karya: Banda Aceh. 2002.

Musahadi. Evolusi Konsep Sunnnah (Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam). Aneka Ilmu Kerjasama
dengan IAIN Walisongo Press: Semarang. 2000.

Rusli, Muhammad. Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis. Jurnal AL-FIKR Volume
17 Nomor 1. 2013.

Saputra, Hasep. Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataandan Analisis Genealogi. 2014.

Siwidyaningsih, Lili. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36877/2/LILI


%20SIWIDYANINGSIH-FU.pdf diakses pada 15 April pukul 21.11

Suryadilaga, Muhammad Alfatih. http://digilib.uin-suka.ac.id/19454/1/MUHAMMAD%20ALFATIH


%20SURYADILAGA%20-%20KAJIAN%2OHADIS%20DI%20ERA%20GLOBAL.pdf diakses pada
tanggal 15 April pukul 21.00

16

Anda mungkin juga menyukai