Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis di Indonesia
Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
Sofyan Effendi, S.Th.I, MA.
Puji syukur kehadirat Allah swt, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyusun makalah ini dalam bentuk yang sangat sederhana. Sholawat dan salam
senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Perkembangan Hadis di Era Modern”.
Kami sebagai penyusun makalah menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami berharap kepada dosen mata kuliah ini khususnya, dan
kepada pembaca pada umumnya untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah kedepannya. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. Kesimpulan..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis menempati posisi sentral mengikuti pelajaran, sebab tidak ada dalam
agama Islam. Karena posisinya karya fikih yang tidak didukung oleh yang penting
tersebut, kajian hadis mendapat perhatian yang besar dalam dunia Islam. Tidak
kurang dari 500.000 orang terlibat dalam periwayatan hadis. Ratusan buku telah
ditulis ulama dalam bidang hadis ini. Bahkan pada abad ke-15, ilmu hadis telah
terbagi dalam 74 cabang ilmu.
B. Rumusan Masalah
1. Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
2. Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis
3. Ragam Studi Hadis
4. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia
5. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di Indonesia
6. Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia
1
BAB II
PEMBAHASAN
Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput dari kritikan mengingat ia
lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai dengan adanya upaya
pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadis. Seiring dengan perkembangan
zaman, problematika hadis dan ulumul hadis juga sangat luas. Diantaranya:
2
menjelaskan bahwa kata sunnah pada awalnya adalah istilah masyarakat jahiliyah
yang kemudian dipakai oleh orang Islam
Aspek kesejarahan merupakan hal yang penting dalam perbincangan sarjana
Barat. Mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana literatur
abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama dan kedua
hijriah. Ironisnya, kesadaran historis di kalangan ulama hadis terhitung rendah.
Indikatornya adalah bahwa usaha untuk mengkaji aspek kesejarahan hadis secara
serius baru dilakukan pada abad XV H, melalui karya al-Khawliy dalam bukunya
Miftah al-Sunnah aw Tarikh Funun al-Hadis. Dalam buku tersebut Abd Al-Aziz al-
Khawliy mendefinsikan sejarah hadis (tarikh al-sunnah) sebagai fase-fase yang telah
dilalui oleh hadis mulai dari awal kemunculannya pada masa Rasulullah saw sampai
sekarang.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada masa Rasul, hadis tidak dibukukan
sebagaimana halnya al-Qur’an, melainkan hanya terpelihara dalam hapalan para
sahabat yang kemudian meriwayatkanya secara lisan kepada generasi berikutnya.
Demikianlah masa sahabat kemudian berakhir dan hadis tidak dibukukan kecuali
dalam ukuran yang sangat terbatas. Sedangkan usaha pemalsuan hadis ditengarai
muncul pertama kali sekitar tahun 40 H yang merupakan ekses dari persoalan politik
yang terjadi pada akhir pemerintahan Usman Ibn Affan (w. 35 H). Kegiatan ini
kemudian semakin meluas dengan motif yang beragam dan corak pemalsuan yang
berbeda-beda pula.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul
hadis menuju pembaruan adalah aspek kesejarahan, di mana aspek tersebut melewati
rentang waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan lahirnya berbagai macam
masalah di dalamnya seperti pemalsuan hadis.2
3
lebih setelah nabi wafat). Pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat
akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah
menjelaskan metodologinya secara detail. Kecenderungan sebagian di antara kita
adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila
sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau
keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan juga dalam al-kutub al-
sitta atau al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana
Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap
seperti itu?
Hadis yang terangkum dalam kutub al-sitta, al-tis’ah sebagai kitab standar
bukan berarti bebas dari kritikan. Bahkan dari kitab tersebut dapat ditemukan hadis-
hadis da’if bilamana standarisasi ulumul hadis diterapkan. Demikian juga ulumul
hadis dimana masih menyisakan berbagai problem dan kritikan untuk diperbaiki.3
4
yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada
pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.16
Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu
menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan guna
otentisitas hadis di era mendatang.4
d. Problem pada Aspek Otoritas (kedudukan) Hadis
M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti
sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas
sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran
Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang berpaham inkar al-
sunnah.
Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa otoritas hadis sudah mulai
dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya masih personal dan belum
terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada akhir abad ke III dan baru
muncul kembali pada abad ke XIII H. Perbedaan pendapat para ulama mengenai
otoritas hadis selain aspek yang berkaitan dengan kuantitas jalur periwayatan, juga
terletak pada aspek kualitas sanadnya, yaitu khususnya otoritas hadis-hadis yang
berkualitas daif. Menurut Imam Ahmad dan Abu Dawud hadis daif secara mutlak
diamalkan kandungannya dengan syarat tidak ada hadis lain yang ditemukan.
Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin dan fuqaha seperti yang dikemukakan
oleh al-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn Hajar al-Haytami berpendapat bahwa hadis
ahad dianjurkan untuk diamalkan hanya dalam fadail al–‘amal. Sementara sebagian
ulama mengatakan bahwa hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam
persoalan fadail al-‘amal maupun dalam persoalan hukum dan akidah.19 Perbedaan
pendapat inilah yang kemudian menjadikan sebagian ulama ada yang cenderung
ketat, longgar dan moderat. Belum lagi satu istilah yang sama digunakan secara
berbeda untuk periode yang berbeda (berjauhan masanya).
Demikian problem yang terjadi pada otoritas hadis, dimana munculnya istilah-
istilah sebagai upaya mengukur kualitas hadis justru menjadi problem baru bagi
4
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 128.
5
otoritas hadis. pengertian term atau istilah-istilah tersebut berbeda antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya, karena perbedaan tersebut maka akan berpengaruh pada
otoritas hadis, selanjutnya berimplikasi apakah hadis tersebut dapat dijadikan hujjah
atau tidak.5
Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak
zaman Nabi. Hal tersebut dibuktikan pasca peperangan Ahzab, dimana Nabi saw
menyampaikan kepada sahabat agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang
melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Qurayzah. Pada saat waktu ashar tiba
sementara mereka masih dalam perjalanan, segolongan sahabat yang lain tetap
melanjutkan perjalanan dan tidak melaksanakan shalat kecuali setelah mereka sampai
di tempat yang disebutkan oleh Nabi meskipun konsekuensinya mereka tidak
melaksanakan shalat pada waktunya. Segolongan sahabat yang lain melaksanakan
shalat dalam perjalanan, karena berpendapat bahwa yang diinginkan oleh Nabi
sebetulnya adalah agar mereka mempercepat perjalanan sehingga bisa sampai di Bani
Qurayzah dan melaksanakan shalat ashar di tempat tersebut, tetapi karena ternyata
waktu ashar sudah tiba sementara mereka belum sampai di tempat tersebut, mereka
akhirnya tetap melaksanakan shalat karena melaksanakan shalat di awal waktu adalah
salah satu amal yang utama. Ketika hal tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau
tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat tersebut.
6
kualitas sanadpun dapat ditaksir melalui matannya. Dengan metode ini, maka
sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis. Kitapun dapat
membandingkan antara riwayat satu jalur dengan riwayat dari jalur yang lain
untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat
melihat tingkat kedhabitan setiap perawi dari generasi ke generasi;
b) Metode Tematik (Maudu’i) sebagai Solusi
Istilah metode tematik dalam kajian hadis merupakan terjemahan dari al-
Manhaj al Maudui'i fi Syarh al Hadits. Metode tematik itu mengandung
pengertian pensyarahan, atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang
dipermasalahkan. Maka pengkajian hadis dengan metode tematik itu
memanfaatan berbagai teori dan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, dan sejarah. Pada dasarnya, sebuah hadis bila telah terbukti
berasal dari Nabi, maka ia merupakan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran.
Karena itu, pengetahuan yang benar dan baik mestilah sejalan dengan hadis Nabi.
Bahkan memperkuat kebenaran hadis Nabi.
c) Kontekstualisasi Hadis
Seiring dengan tantangan zaman yang semakin tinggi, berbagai persoalan pun
muncul untuk dicarikan solusinya, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Salah satu
metode yang dapat ditempuh adalah kontekstualisasi hadis. Istilah pemahaman
kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk suatu
hadis Nabi saw berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya,
meliputi bentuk dan cakupan petunjuknya, kapasitas nabi tatkala hadis itu terjadi
kapan dan apa sebab hadis itu terjadi serta kepada siapa ditujukan, bahkan dengan
mempertinmbangkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, pemahaman secara
kontekstual memerlukan kegiatan ijtihad.
Dengan demikian pembaruan di bidang hadis tentunya tidak lepas dari
metodologi pengkajian hadis yang harus disesuaikan dengan perkembangan
zaman tanpa merobah esensi hadis itu sendiri.
d) Rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai Solusi
Rekonstruksi yang dimaksudkan adalah penataan ulang ilmu-ilmu hadis,
mengingat hadis berjalan dinamis sesuai dengan perubahan yang melingkupinya.
e) Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuien
yang berarti menafsirkan. Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses
7
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Bahasa Arab
merupakan bahasa yang memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi. Bahasa Arab –
Balagha dan Mantiq- merupakan salah satu persyaratan untuk sampai pada taraf
pemahaman yang konfrehensif.
Jadi dalam memahami hadis nabi, sangat ditekankan penggunaan gramatika
bahasa. Karena hadis tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling dekat
mengenal hadis adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri.7
Kitab-kitab Muwatta’ Imam Malik diatas sangat beragam mulai dari buku-buku
maupun teks pdf dan software tertentu.
2. Kitab hadis Musnad Ahmad bin Hanbal
7
Muhammad Rusli, Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis, Jurnal AL-FIKR
Volume 17 Nomor 1, 2013, hlm. 130-135.
8
3. Kitab Shahih al-Bukhari
Berikut dalam kitab Muta’akhkhirin, sebagai mana dalam kitab Bulugh al-Maram :
Syarah hadis juga dapat ditemukan, seperti kitab-kitab yang sederhana dan
bisa dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat yaitu kitab Arba’in Nawawi kitab
yang berisi 40 hadis, yaitu:
9
Bahkan terdapat rumusan keilmuan hadis untuk mempermudah mengkaji hadis
shahih dan lain-lain, kajian hadis juga dapat ditemukan didalam jurnal seperti Jurnal
al-Bayan dan sebagainya.8
8
Muhammad Alfatih Suryadilaga http://digilib.uin-suka.ac.id/19454/1/MUHAMMAD%20ALFATIH
%20SURYADILAGA%20-%20KAJIAN%2OHADIS%20DI%20ERA%20GLOBAL.pdf diakses pada tanggal
15 April pukul 21.00.
10
7. Kajian politik, terdapat 4 artikel, seperti artikel yang berjudul Hadis dan Analisis
Aliran Politik Rijal: Studi Geo-Politik terhadap Alirah Syi’ah dan Nasab karya
Aceng Abdul Kodir,
8. Kajian lingkungan, terdapat 3 artikel, seperti artikel yang berjudul, Dari Sutet
Menuju Teologi berbasis Ekologi (Tinjauan Hadis-hadis Pelestasian Lingkungan,
Kesehatan, dan Layanan Publik) karya Munawir.
Adapun tema kajian hadis pada saat ini dapat dikatakan tidak memiliki
karakteristik yang spesifik. Karena banyaknya tema-tema kajian hadis yang
menjadi diskusi para sarjana hadis saat ini. Namun kajian hadis pada saat ini lebih
memiliki banyak variasi.9
9
Lili Siwidyaningsih http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36877/2/LILI
%20SIWIDYANINGSIH-FU.pdf diakses pada 15 April pukul 21.11.
10
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), YPI Ar Rahmah: Yogyakarta, 2001,
hlm. 29-52.
11
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, Citra Karya: Banda
Aceh, 2002, hlm. 167-177.
11
Adapun tentang menerapkan metode maudhu`i terhadap pemahaman hadis
jelas diterapkan di sejumlah pascasarjana, khususnya untuk program S3. Di antara
hasil penerapan hadis tematis terdapat lebih kurang dalam buku, Hadis-Hadis
Pendidikan, terbit pada tahun 2008 yang berupa kumpulan tulisan dan diedit oleh
Hasan Asari serta diberi kata pengantar oleh Nawir Yuslim.12
Nizar Ali juga membahas tentang pendekatan-pendekatan yang dilakukan
dalam memahami Hadis. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan
bahasa, pendekatan historis, pendekatan sosiologis, pendekatan sosio-historis,
pendekatan antropologis, dan pendekatan psikologis.13 Pendekatan-pendekatan ini
merupakan bagian dari mata kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) yang sejak akhir
tahun 1990-an sampai sekarang diajarkan di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Pada bulan Maret 2010, Musahadi HAM dalam bukunya, Evolusi Konsep
Sunnah mengaitkan pemahaman kontekstual H.M. Syuhudi Ismail dengan pendekatan
hermeneutika hadis. Ia juga membahas tentang hermeneutika hadis Yusuf al-Qardawi,
Muhammad Iqbal, dan Fazlur Rahman.14 Pada bulan Mei 2010, Muhammadiyah
Amin menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar-nya di bidang ilmu Hadis
dengan judul, Kontekstualisasi Pemahaman Hadis : Rekonstruksi Epistimologis
Meretas Simpul Ikhtilaf Dalam Fiqh al-Hadit. Tampaknya, dalam pidato ini,
Muhammadiyah Amin tidak membawa konsep baru. Pidato ini dapat dipandang
sebagai penegasan dan penguatan kepada konsep kontekstual yang ditulis para penulis
sebelumnya.15
Hasan Asari (ed), Hadis-Hadis Pendiudikan Sebuah Penelusuran Akar-Akar Ilmu Pendidikan Islam,
12
12
2. Lingkungan, salah satu cara biologis dapat mempengaruhi kepribadian adalah
dengan mempengaruhi lingkungan tempat kita hidup. Pengaruh biologis dapat
menyebabkan kita mengubah situasi-situasi tertentu.
3. Politik dan madzhab, faktor politik dan madzhab juga termasuk faktor yang
bisa mempengaruhi pemikiran seseorang, fikiran dalam persektif piaget
bersifat terstruktur dan terorginir.
4. Pendidikan, merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat
pendidikan sebagai proses pengoprasian ilmu yang normative, akan
memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan
keluarga, masyarakat, dan kelembagaan.16
b) Pemeratan secara sinkronis dan diakronis perkembangan diindonesia
Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama hadits diindonesia
dengan ulama hadits yang lainnya,penulis menggunakan pendekatan sinkronis dan
diakronis, pemerataan secara sinkronis yaitu perubahan pada saat-saat tertentu,
sedangan secara sinkronis yaitu lama-bersenambung.17
Sejarah awal perkembangan hadits memberikan gambaran bahwa
hadits pada masa itu belum berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Karena kajian hadits baru pada dataran praktis, belum tersusun secara
teoris.ini dapat dilihat dari beberapa karya dari al-Raniry, al-Sinkili dan lain-
lain. karya mereka lebih condong kepada penelitian sanad. Sedangkan pada
masa sekarang penelitian hadist lebih banyak tentang kajian metodologi
pemahaman Hadits.
Diantara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan Hadits
di Indonesia adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang dan
hetorogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka penerapan ajaran
islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan masyarakat. Jadi, disatu segi perlu
dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan segi yang lain, para mujtahid memikul
tanggung jawab untuk memehami dan memanfaatkan teori dari berbagai
16
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataan dan Analisis Genealogi, 2014,
hlm. 134-145.
17
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataan dan Analisis Genealogi, 2014,
hlm. 148.
13
disiplin pengetahuan. Hal tersebut didukung oleh pengkaji hadits diindonesia
pada saat ini, sehingga karya hadits diindonesia terus berkembang.18
18
Hasep Saputra, Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataandan Analisis Genealogi”,
2014, hlm. 149-152.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di antara alasan kenapa hadis senantiasa dikritisi adalah banyaknya celah
dalam sejarah periwayatan hadis. Demikian halnya dengan Ulumul Hadis, tidak luput
dari kritikan mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai
dengan adanya upaya pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadis.
Seiring dengan perkembangan zaman, problematika hadis dan ulumul hadis juga
sangat luas. Solusi problematika hadis dan ulumul hadis yaitu: Pendekatan Isnad cum
matn analysis, Metode Tematik (Maudu’i) sebagai Solusi, Kontekstualisasi Hadis,
Rekonstruksi Ulumul Hadis sebagai Solusi, Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi.
Diantara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan Hadits di Indonesia
adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang dan hetorogenitas kelompok
masyarakat selalu terjadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). YPI ar Rahmah: Yogyakarta. 2001.
Asari, Hasan. Hadis-Hadis Pendiudikan Sebuah Penelusuran Akar-Akar Ilmu Pendidikan Islam. Perdana Mulya
Sarana: Bandung. 2008
Djuned, Daniel. Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis Rekonstruksi Fiqh al-Hadis. Citra Karya: Banda Aceh. 2002.
Musahadi. Evolusi Konsep Sunnnah (Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam). Aneka Ilmu Kerjasama
dengan IAIN Walisongo Press: Semarang. 2000.
Rusli, Muhammad. Prolematika dan Solusi Masa Depan Hadis dan Ulumul Hadis. Jurnal AL-FIKR Volume
17 Nomor 1. 2013.
Saputra, Hasep. Perkembangan Studi Hadits di Indonesia: Pemerataandan Analisis Genealogi. 2014.
16