Dosen Pengampu:
Moch Zainuddin,S.EI,M.E.I
Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
KELAS B
1. VIDA OKTAVIATUL MUBAROKAH ( 23403040 )
2. NUR SABILLA ( 23403073 )
3. AHMAD MAHENDRA TRI PUTRA ( 23403045 )
2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah- Nya kepada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “PENULISAN HADITS DAN
SEJARAH PERKEMBANGANNYA” ini dengan lancar dan tepat waktu. Sholawat serta
salam tetap tercurahkan kepada beliau Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita
semua dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah seperti saat ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dalam penyelesaian makalah ini. Terkhusus kepada dosen pengampu mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam, yaitu beliau Moch Zainuddin,S.EI,M.E.I yang telah membimbing penulis
dan memberi semangat dalam penulisan makalah ini.
Penulis sadar betul bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak memiliki kekurangan dalam penulisannya. Maka dari itu, penulis mengharap kritik
dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Sebagai penutup kata pengantar
ini, penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Hadits
adalah sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW, yaitu berupa perbuatan,
perkataan dan persetujuan beliau. Sejarah dan perkembangan hadits dapat dilihat dari
dua aspek penting, yaitu periwayatan dan pen-dewanannya. Dari keduanya dapat
diketahui proses dan transformasi yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal
ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW kepada para sahabat dan seterusnya hingga
munculnya kitab-kitab himpunan hadits untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan
ini. Terkait dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadis, para ulama berbeda
dalam menyusunnya. M.M.Azamiy dan Ajjaj al-khatib membagi- nya dalam dua
periode, dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam lima periode,
sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh periode.
Situasi pada masa Tabi'in agak berbeda dengan yang terjadi di era para
sahabat. Sejak Al-Qur'an pada saat itu sudah menyebar ke negara-negara Islam, maka
para tabi'in bisa mulai fokus mempelajari hadits para sahabat yang sudah mulai
menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Dengan demikian, kumpulan hadits (al-
jam'u wa al-tadwin) mulai terbentuk pada masa Tabi'in, meskipun masih terdapat
campuran antara hadits Nabi dan fatwa para sahabat. Hadits baru tercatat pada era
1
tabi’al-tabi’in, bahkan pada era tersebut merupakan masa kejayaan kodifikasi hadits.
Kodifikasi tersebut dilakukan atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah
ke delapan Bani Umayyah, yang kebijakannya diikuti oleh para ulama di berbagai
daerah hingga hadits-hadits tersebut tercatat dalam kitab hadits. Pada masa Tabi’al-
tabi’in yaitu abad II, III, IV-VII dan seterusnya, terjadi pengumpulan dan penerbitan
hadits secara sistematis (al-jam’u wa at-tartib wa at-tanzhim).
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan hadits terbagi dalam berapa periode ?
2. Seperti apa sejarah hadits pada Abad pertama hijriyah?
3. Seperti apa sejarah hadits pada abad kedua hijriyah?
4. Seperti apa sejarah hadits pada abad ketiga hijriyah?
5. Seperti apa sejarah perkembangan hadits pada abad keempat hijriyah?
6. Seperti apa sejarah perkembangan hadits pada abad kelima hijriyyah?
7. Seperti apa sejarah perkembangan hadits pada abad keenam hijriyah?
8. Seperti apa sejarah perkembangan hadits pada abad ketujuh sampai sekarang?
C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan periodesasi perkembangan hadits.
2. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad pertama hijriyah.
3. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad kedua hijriyah.
4. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad ketiga hijriyah.
5. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad keempat hijriyah
6. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad kelima hijriyah
7. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad keenam hijriyah
8. Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada abad ketujuh hijriyah hingga
sekarang.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
B. Hadits pada Abad Pertama Hijriyah
Pada periode abad pertama hijriyah ini bisa dikelompokkan menjadi 2 fase, yaitu
hadits pada fase Rasulullah SAW dan hadits pada fase para sahabat dan tabi’in.
1
Saifuddin Herlambang and Menyingkap Khazanah, Ulumul Hadis, ed. Mohamad Ilyasa (Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya, 2001).
4
Selain usaha dan kegigihan yang dilakukan oleh para sahabat, Nabi
Muhammad pun juga melakukan beberapa metode dalam penyampaian
hadits-hadits beliau2.
1) Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melainkan sedikit demi
sedikit agar dapat meresap dalam hati para sahabatnya.
2) Beliau tidak berbicara panjang lebar, namun berbicara dengan sederhana.
Hal ini pernah disampaikan oleh Aisyah ra. Yang menyatakan bahwa
seandainya ada orang yang menghitung ketika nabi berbicara ia akan bisa
menghitungnya.
3) Nabi sering mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati para
pendengarnya.
Setelah para sahabat mendapatkan hadits dari Nabi SAW mereka akan
menghafalkannya. Disebabkan karena perbedaan frekuensi para sahabat
dalam mengikuti majelis yang diadakan oleh Rasulullah, maka jumlah
hadits yang dihafalkan masing-masing sahabat adalah berbeda.
b. Penulisan Hadits pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa ini hadits dari Rasulullah tidak ditulis seperti halnya ayat –
ayat Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi SAW untuk
para sahabat menuliskan hadits-hadits darinya. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang
berasal daripadaku, kecuali al-Qur’an, dan barangsiapa telah menulis
daripadaku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapuskannya.”
Larangan penulisan hadits tersebut bertujuan agar ayat-ayat Al-Qur’an
yang ditulis tidak bercampur dengan tulisan lainnya. Meskipun demikian,
dalam beberapa riwayat ada sahabat yang memiliki catatan hadits tersediri
seperti Abdullah bin Ash dengan lembaran haditsnya yang diberi nama Sakifah
al- Shadiqah. Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik yang
keduanya sama-sama memiliki catatan hadits sendiri.
Namun dalam riwayat lain menunjukan bahwa Nabi mengizinkan para
sahabat untuk menuliskan hadits yang merekaa peroleh. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah bin Amr bin Ash yang
2
Nuruddin, Ulumul Hadis, ed. Ashia Fauzia (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2016).
5
selalu menuliskan apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena
menurut mereka Nabi SAW terkadang juga dalam keadaan marah sehingga
pada waktu seperti itu ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i. Tetapi setelah
diadukan kepada Nabi, beliau bersabda “Tuliskan apa yang kamu dengar
dariku. Demi zat yang jiwaku berada di tangannya, tidak keluar dariku kecuali
kebenaran.”3
Para ulama berbeda pendapat mengenai dua perselisihan diatas. Ibnu
Qutaibah mengambil titik tengah dan dalam Kitab Ta’wil Mukhtalaf al Hadits
ia menyatakan : “Kontradiksi antara dua hadits diatas mengandung dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kasus ini termasuk Mansukh al-
sunnah bi al-sunnah, yaitu semula Rasulullah memang melarang penulisan
hadits tetapi setelah beliau melihat bahwa hadits semakin banyak dan
kemungkinan hafalan lambat laun akan hilang, maka beliau memerintahkan
untuk menuliskan hadits. Kemungkinan kedua adalah bahwa kebolehan
penulisan hadits hanya dikhususkan pada beberapa orang sahabat, seperti
Abdullah bin Ash karena ia adalah seseorang yang dapat membaca dan
menulis dengan baik. Sedangkan sahabat yang lain banyak yang masih ummi
dan sebagian lainnya sudah bisa menulis namun belum bisa
dipertanggungjawabkan karena belum sesuai dengan kaidah huruf hijaiyah.
Maka dari itu ketika Rasulullah khawatir akan terjadi kesalahan beliau akan
melarangnya dan jika beliau tidak khawatir terjadi kesalahan beliau
mengizinkannya.
Rasulullah sendiri juga pernah menuliskan surat-surat yang ditujukan
untuk gubernur dan pegawai beliau berkenaan dengan pembagian wilayah
islam dan negara-negara terdekat,serta penjelasan hukum-hukum islam.
Contoh dari surat-surat tersebut adalah sebagai berikut.4
1. Kitab zakat dan niat yang dikirmkan kepada Abu Bakar .Diriwayatkan pula
oleh Abu Dawud dan Tirmidzi bahwa Rasulullah telah menulis surat tentang
sedekah tetapi tidak beliau kirimkan ke siapapun sampai beliau wafat.
2. Surat beliau kepada Amr bin Hazm yang berisikan prinsip-prinsip ajaran
islam dan cara dakwahnya, masalah ibadah, nisab zakat, pajak dan diyat.
3
ASEP DJAENUDIN, “Urgensi Penyesuaian Metode Pembelajaran Di Era Disruptive Technology,” Jurnal Pari 7,
no. 1 (2021): 1,
4
Nuruddin, Ulumul Hadis.
6
3. Surat beliau kepada Wail bin Hujut yang berisi prinsip agama islam dan hal-
hal haram yang perlu diperhatikan.
8
d. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan
semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam,
maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk- petunjuk dari
Hadis Nabi SAW, selain petunjuk Al-Qur'an sendiri.
Empat kitab hadits yang ada pada abad ke-2 hijriyah adalah sebagai berikut.
a. Kitab Al-Muwaththa', yang disusun oleh Imam Malik atas permintaan Khalifah
Abu Jafar al-Manshur.
b. Musnad Al-Syafi'i, karya Imam Al-Syafi'i, yaitu berupa kumpula Hadis yang
terdapat dalam kitab Al-Umm.
c. Mukhtaliful Hadis, karya Imam Al-Syafi'i yang isinya mengandung pembahasan
tentang cara-cara menerima Hadis sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan
Hadis yang kelihatannya kontradiktif satu sama lain.
d. Al-Sirat al-Nabawiyyah, oleh Ibn Ishaq. Isinya antara lain tentang perjalanan hidup
Nabi SAW dan peperangan-peperangan yang terjadi pada zaman Nabi. 5
D. Hadits pada Abad Ketiga Hijriyah
Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun sampai
awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah Pada
periode ini para Ulama Hadits memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan
keberadaan dan terutama kemurnian hadits-hadits Nabi SAW, sebagai antisipasi
mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadits yang semakin marak.
Pada abad kedua Hijriah perkembangan ilmu pengetahuan islam pesat sekali
dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang, di antaranya di bidang
Fiqh dan Ilmu Kalam. Pada dasarnya para imam mujtahid tersebut, meskipun dalam
beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai
pendapat masing-masing Akan tetapi, para pengikut masing-masing imam, terutama
setelah memasuki abad ke-3 Hijriyah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya
(imamnya)-lah yang benar, dan bahkan hal tersebut sampai meninibulkan bentrokan
perudapat yang semakin meruncing di antara pengikut mazhab yang sangat fanatik,
akhirnya menciptakan hadits-hadits palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan
menjatuhkan mazhab lawannya.
Di antara mazhab Ilmu Kalam, khususnya Mutazilah, sangat memusuhi Ulama
Hadits sehingga terdorong untuk menciptakan Hadis-Hadis palsu dalam rangka
5
Aldila Nur et al., “REVISI HADIS Dosen : Dr . H . Muhammad Rozali , MA Program Studi : Hadis Disusun Oleh :,”
2019.
9
memaksa kan pendapat mereka. Hal ini terutama setelah Khalifah Al-Ma'mun
berkuasa dan mendukung golongan Mu 'tazilah. Perbedaan pendapat mengenai
kemakhlukan Al-Qur'an menyebabkan Imam Ahmad ibn Hanbal, seorang tokoh
Ulama Hadis, terpaksa dipenjarakan dan disiksa. Keadaan ini berlanjut terus pada
masa pemerintahan Al-Mutashim (w. 227 H) dan Al-Watsiq (w. 232 H); dan barulah
setelah pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, yang mulai memerintah pada tahun
232 H, keadaan berubah dan menjadi positif bagi Ulama Hadits.
Penciptaan hadits - hadits palsu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang
fanatik mazhab, tetapi momentum pertentangan mazhab tersebut juga dimanfaatkan
oleh kaum zindık yang sangat memusuhi islam, untuk menciptakan hadits-hadits palsu
dalam rangka merusak ajaran Islam dan menyesatkan kaum muslimin. Kegiatan
pemalsuan hadits semakin disemarakkan oleh para pembuat kisah, yang dalam rangka
menarik para pendengarnya juga melakukan pemalsuan hadits
Dalam abad ini ada tiga bentuk penyusunan hadis,yaitu:
a. Kitab Shahih
Kitab ini hanya menghimpun hadits-hadits shahih, sedangkan yang tidak shahih tak
dimasukkan ke dalamnya. Bentuk penyusunannya adalah ber- bentuk mushannaf,
yaitu penyajian berdasarkan bab- bab masalah tertentu sebagaimana metode kitab-
kitab Figh. Hadis-Hadis yang dihimpun adalah menyangkut masalah fiqh, aqidah,
akhlak, sejarah, dan tafsir. Contoh Kitab Shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim
b. Kitab Sunan
Di dalam kitab ini selain dijumpai hadits-hadits shahih, juga didapati hadits yang
berkualitas dhaif dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Terhadap
hadits yang dhaif, umumnya dijelaskan sebab ke dhaifannya. Bentuk penyusunan
nya berbentuk mushannaf, dan hadits-hadistnya terbatas pada masalah fiqh
(hukum). Contoh-contohnya adalah ji Sunan Abu Daurid, Sunan Al-Tirmidzi,
Sunan Al-Nasa'I, Sunan Ibn Majah, dan Sunan Al-Darimi
c. Kitab Musnad
Di dalam kitab ini hadits-hadits disusun berdasarkan nama perawi pertama. Urutan
nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan
Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan
waktu memeluk Islam, dan ada yang menurut urutan lainnya, seperti urutan huruf
10
hijaiyah (abjad), atau lainnya. Pada umumnya di dalam kitab jenis ini tidak
dijelaskan kualitas hadits - haditsnya. Contoh kitab musnad adalah: Musnad Ahmad
ibn Hanbal, Musnad Abu al-Qasim al-Baghawi, dan Musnad Utsman ibn Abi
Syaibah
6
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu hadits, Cet. 10 (Jakarta: Bulan Bintang, , 1991).
11
F. Hadits pada Abad Kelima Hijriyah
Hadits dalam periode ke lima pada masa pentashhihan dan penyusunan kaidah-
kaidahnya. Para ahli hadits abad ke-4, seperti yang dijelaskan beberapa orang, tidak
memisahkan hadits dari fatwa sahabat dan tabi’in. Keadaan ini diperbaiki oleh hadits
pada abad ke-5. Ketika mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa.
Mereka hanya menuliskan hadits dalam kitab-kitab hadits. Namun, satu kekurangan
yang harus kita akui adalah bahwa mereka tidak memisahkan hadits. Secara khusus,
mereka menggabungkan hadits shahih dengan hadits yang benar dan dengan hadits
dha'if. Semua hadits yang mereka terima, mereka menahan tanpa menjelaskan
kebenaran, atau ajaran, atau agama, karena orang-orang yang kurang berpengetahuan
tidak dapat memahami hadis-hadis yang tertulis di dalamnya.
Pada abad ke-5 Hijriyah, upaya pembukuan hadis dimulai setelah kitab-
kitab Ibnu Juraij dan Al-Muwatha' Malik menyebar ke seluruh masyarakat dan
diterima dengan pujian besar, sehingga mendorong hafalan, kompilasi, dan
penyebaran hadits. Para ulama memulai perjalanan mereka dari satu tempat ke tempat
lain, dari satu negara ke negara lain, untuk mengejar hadits.
Awalnya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terkandung di dalam
kota masing-masing. Hanya sebagian kecil dari mereka berkelana ke kota-kota lain
untuk mencari hadits. Keadaan ini diperbaiki oleh Bukhary. Dia adalah orang pertama
yang memperluas wilayah yang dia kunjungi untuk mencari hadits. Dia melakukan
perjalanan ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah,
Mesir, Damaskus, Qaisa riyah, Asqalan, dan Himsah.
Upaya untuk mengotentikasi dan menyaring hadits, atau untuk membedakan
syahih dari dha'if dengan menggunakan prinsip-prinsip pen-tashhihhan, baik mengenai
tradisi sejarah, tahammud, dan keberadaan, memunculkan kitab-kitab syahih dan
kitab-kitab Sunan.
Untuk menjelaskan hadits, sangat penting untuk memiliki pengetahuan luas
tentang sejarah perawi hadits, tanggal lahir dan kematian para perawi, untuk
memastikan apakah dia bertemu dengan individu yang kepadanya dia meriwayatkan
hadits atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang perawi hadits dapat
diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai
12
hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa
yang dusta siapa yang lalai. 7
7
Ibid.hal-59
13
bagian khabar. Keempat, bagian ibadat Kelima, bagian afal (pekerjaan). Mencari
hadits dalam kitab ini membutuh kan waktu yang panjang.
d. Ada juga yang menyusun kitabnya secara kamus, memulainya dengan hadits yang
berawalan a-i-u, kemudian yang berawalan b, demikian seterusnya. Seperti kitab
Al-Jami' ash-Shaghir susunan As- Sayuthy
Dalam masa ini ialah ada pula usaha untuk meng-istikhraj-kan kitab hadits.
Istikhraj ialah mengambil sesuatu hadits dari Al-Bukhary dan Muslim umpamanya,
lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Al-Bukhary atau
Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab
mustakhraj. Banyak ulama telah berusaha menyusun istikhraj terhadap Shahih al-
Bukhary dan Shahih Muslun dan lain-lain. 8
8
Ibid.hal-79
9
Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital),”
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1 (April 1, 2016): 111–23,
10
“SYARḤ HADIS DARI MASA KE MASA | Jurnal Al-Irfani : Jurnal Kajian Tafsir Hadits,” March 13, 2017,
14
Islam di Indonesia yang cukup intens, sekali lagi tidak dapat dipisahkan sehingga
gairah akan kajian hadis marak dilakukan. 11
11
Taufan Anggoro, “PERKEMBANGAN PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Analisis Pergeseran Dan Tawaran Di
Masa Kini,” Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis 7, no. 01 (July 1, 2019): 147–66,
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada abad pertama hijriyah penulisan hadits belum banyak dan masih ada
perdebatan antara boleh atau tidaknya penulisan hadits. Ketidakbolehan penulisan
hadits disebabkan karena kekhawatiran hadits mencampuri ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Pada abad kedua hadits-hadits mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Salah
satu seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintah di penghujung
abad pertama Hijriah yaitu Umar ibn 'Abd al-Aziz.
3. Pada abad ketiga berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun
sampai awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti
Abbasiyah Pada periode ini para Ulama Hadits memusatkan perhatian mereka pada
pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits-hadits Nabi SAW,
sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadits yang semakin marak.
4. Pada saat abad ke 4 para ulama menyusun buku-buku yang mencakup berbagai
jenis hadits, tanpa bentuk penyaringan apa pun.
5. Hadits dalam periode abad kelima pada masa pentashhihan dan penyusunan kaidah-
kaidahnya.
6. Pada periode ke enam adalah masa tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’,
zawa’id, dan athraf.
7. Pada awal masa abad ketujuh, perkembangan studi hadits hanya berkutat biasa saja
tanpa adanya sebuah kemajuan, hal ini mungkin yang menjadi penyebabnya ialah
dominasi masyarakat Islam kala itu sudah terhegemoni dengan budaya eropasentris,
sehingga umat Islam masih saja bersikap pasif terhadap kajian hadits.
B. Saran
Sebagai generasi milenial, kita harus menjadikan hadits sebagai pegangan atau
pedoman hidup kita setelah Al-Qur’an. Selanjutnya kita juga harus menghargai jasa
para sahabat dan ulama yang telah melakukan penulisan dan kodifikasi hadits
sehingga kita tidak kehilangan warisan dari Nabi SAW ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan pengantar ilmu hadits. Cet. 10. Jakarta: Bulan
Bintang, , 1991.
Maulana, Luthfi. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga
Berbasis Digital).” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1 (April 1, 2016):
111–23. https://doi.org/10.14421/esensia.v17i1.1282.
Nur, Aldila, Puji Asih, Hasan Efendi, May Saroh, and Reni Silvia Nst. “REVISI HADIS
Dosen : Dr . H . Muhammad Rozali , MA Program Studi : Hadis Disusun Oleh :,”
2019.
Nuruddin. Ulumul Hadis. Edited by Ashia Fauzia. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2016.
“SYARḤ HADIS DARI MASA KE MASA | Jurnal Al-Irfani : Jurnal Kajian Tafsir Hadits,”
March 13, 2017.
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/alirfani/article/view/2873.
17