Anda di halaman 1dari 16

MASA PENGUMPULAN & KONDIFIKASI HADITS

MASA PENTASIHAN &PENYUSUNAN KAIDAH


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Teddy Khumaedi.S.Sos.1.M.Ag.

Disusun oleh : kelompok 4


 Siti Nurjannah
 Elita sari

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT UMMUL QURO AL –ISLAMI


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala limpahan rahmat serta
karunianya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dangan tepat waktu. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits Tahun 2020 Institut Ummul Quro Al-
Islami Bogor. Makalah ini membahas tentang Masa pengumpulan Hadits &kondifikasi hadits,
Masa pentasihan & penyusunan kaidah

Dalam penyusunan makalah ini penulis telah mendapatkan bantuan dari babarapa
pihak .oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1) Dosen pengampu : Teddy Humaedi.S.Sos.1.M.Ag.


2) Sahabat- sahabat semua yang telah bersama-sama dengan penulis belajar dan
berjuang menuntut ilmu di INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI BOGOR.

Penulis menyampaikan dan mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis,
mahasiswa, dan para pembaca yang lain .Namun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pada pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan selanjutnya.

Bogor, 12 Maret 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang.....................................................................................................................1
Rumusan masalah................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian pengumpulan...............................................................................................3
2.2 Faktor-faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz.................................................4
2.3 Dugaan hadits ditulis pada abab ke- 2 hijriyah............................................................5
2.4 Tuduhan yang dilontarkan kepada Imam syihabuddin Al-Zuhri..................................6
2.5 Pentasihan dan penyusunan kaidah-kaidah hadits........................................................7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW,masa khulafaur Rasyidin dan
sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu
berpindah-pindah dan disampaikan mulut –kemulut. Masing- masing perawi pada waktu
itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hafalannya. Memang hapalan mereka
terkenal kuat sehingga mampu –mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah
direkam pada ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama
kalinya dikemukakan oleh khalifah umar bin khattab (w.23 H/644M). Namun ide tersebut
tidak dilaksanakan oleh Umar karna beliau khawatir bila umat Islam tertanggu
perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad
pertama hijrah, yakni tahun 99 hijriyah datanglah angin segar yang mendukung
kelestarian hadis. Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang
mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal
dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-
buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis- hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya
para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis
Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Umar bin Adul Aziz
memerintahkan kepada gubernur madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin
hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi-nabi yang terdapat pada para penghafal.
oleh karena itu keberadaan hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki
sejarah perkembangan dan penyebaran yang komplek. Sejak dari pra-kondifikasi, zaman
nabi, sahabat, dan tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke 2H.
Perkembangan hadis pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan
larangan nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut didasarkan kekhawatiran nabi akan
tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadis. Selain itu juga disebabkan fokus nabi pada
para sahabat yang bisa untuk menulis Al-Qur’an.
Oleh karena itu, permasalahan ini layak untuk dikaji secara menyeluruh, dengan
melihat setting historis Nya agar permasalahan ini terpecahkan.

1
B. Rumusan masalah

Adapun penyusunan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengertian pengumpulan


b. Bagaimana faktor-faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz
mengkodifiksikan hadits
c. Bagaimana timbul dugaan hadits di tulis pada abad ke -2 hijriyah
d. Bagaimana tuduhan yang dilontarkan kepada imam syihabuddin Al-zuhrSSSi
e. Bagaimana pentasihan dan penyusunan kaidah- kaidah hadits
f. Bagaimna metodologi pembukuan hadits

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah :


a. Mengetahui pengertian pengumpulan
b. Mengetahui proses kondifikasi hadis
c. Mengetahui faktor- faktor yang mendorong umar bin AbdulAziz
mengkondifikasikan hadits
d. Mengetahui timbul dugaan hadits ditulis pada abad ke- 2 hijriyah
e. Mengetahui tuduhan yang dilontarkan kepada imam syihabuddin Al- zuhri
f. Mengetahui pentasihan dan penyusunan kaidah-kaidah hadits
g. Mengetahui metodologi pembukuan hadits.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PENGUMPULAN


Menurut syaikh manna’ Al-Qaththan, pembukuan adalah mengumpulkan shahafiyah (lembar
catatan) yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam hati, lalu menyusunnya sehingga menjadi
dalam satu buku. 1 Sedangkan menurut Muhammad zaini, yang dimaksud dengan kondifikasi
hadits atau tadwin hadits pada priode ini adalah kondifikasi secara resmi berdasrkan perintah
kepala negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya. Tidak seperti
kondifikasi yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimanayang
terjadi pada masa Nabi saw.2
Sejalan dengan muhammad zaini, Ramli Abdul Wahid berpendapat yang dimaksud dengan
kondifikasi hadits secara resmi ialah pengumpulan penulisan hadits- hadits atas perintah khalifah
atau pengusaha daerah untuk disebarkan kepada masyarakat.
Para ulama hadits hampir sepakat mengatakan bahwa kondifikasi hadits secara resmi mulai
dilakukan oleh khalifah umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan pada tahun 99-101 H.
Kondifikasi secara resmi belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun ada shahifah-shahifah
yang membuat hadits di zaman nabi dan sahabat, namun pencatatan itu dilakukan oleh para
sahabat dan tabi’in atas inisiatif mereka sendiri dan untuk kepentingan pribadi masing- masing.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada
urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh
setelah Az-zuhri dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian besar diantaranya mengumpulakan
hadits nabi yang bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in. Kemudian para ulama
hadits menyusun secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan
berdasarkan bab.
Berikut ini beberapa metode pembukuan hadits yang dilakukan oleh ulama hadits yaitu:
metode masanid, metode Al-ma’jim,metode jawami, metode penulisan hadits berdasarkan
pembahasan fiqih, metode penyusunannya hanya menuliskan hadits-hadits yang sohih,metode
tematik, metode kumpulan hadits hukum fiqih, metode merangkaikan jawami,metode Al-ajza,
metode Al- Athraf, metode pengumpulan hadits-hadits yang masyur diucapkan di lisan atau
tematik, dan yang terakhir adalah metode Az-zawa’id.

1
Syaikh manna’ Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: pustaka Al-Kautsar,2005),h.50
2
Muhammad Zaini, Metode Pemahaman Haditsdari masa ke masa, (Banda Aceh Naskah Aceh dan Ar-Rabiry Press,
2013), h. 26

3
2.2 FAKTOR- FAKTOR YANG MENDORONG UMAR BIN ABDUL AZIZ
MENGKONDIFIKASIKAN HADITS
As- sunnahyang menjadi hadits sumber hukum kedua bagi syariat Islam telah dihafalkan
oleh para sahabat yang mendengarkannya dan mereka menyampaikan kepada orang lain,baik
kepada sahabat yang tidak turut mendengarkannya, maupun tabi’in, bahkan kepada tabi’in.
Setelah masyarakat zajirah Arab menerima Islam secara utuh, para sahabat mulai terpencar-
pencar ke berbagai wilayah dan diantara mereka banyak yang meninggal dunia. Maka tersalah
betapa pentingnya sunnah itu dibukukan dalam suatu bentuk “ dewan hadits “ prakarsa yang
menggerakkan untuk meneliti dan mengkompilasikan hadits yaitu dibawah kalifah Umar bin
Abdul Aziz tahun 99 H-101 H. 3
Telah diketahui dengan jelas apa yang telah dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi’in
mengenai pengumpulan hadits yaitu dengan melewat ke berbagai kota untuk mencari hadits,
menolak hadists yang maudhu dan melepaskan hadits-hadits tersebut dari tangan perusak. Baik
golongan persia, romawi, yahudi dan lain-lain. Dan telah diketahui pula, bahwasannya para
sahabat dan tabi’in membendarakan hadits Rosulullah didalam hafalan mereka yang kuat.
Mereka tidak memerlukan tulisan-tulisan hadits. Jika ada para sahabat yang menulis hadits, maka
hal tersebut mereka lakukan bukanlah kerena lemahnya hafalan mereka, melainkan untuk
menambah kokohnya ingatan dan hafalan mereka.
Oleh karena itu mendapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk
menyelamatkan hadits, antara lain:
1. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hadits seperti waktu yang sudah-
sudah, karna beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadits dari perbendaraan
masyarakat, disebabkan belum didewankan dalam hadits.
2. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-
hadits maudhu’ yang membuat orang-orang untuk mempertahankan ediologi
golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya
ke khalifahan Ali bin Abi Thalib.
3. Alasan sejak mendewakannya hadits secara resmi di zaman Rasulullah dan khulafaur
rasyidin. Karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Qur’an telah
hilang, disebabkan al-quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf sudah merata
keseluruh pelosok. Ia telah dihafal diotak dan diserapkan kedalam hati sanubari beribu-
ribu orang.
4. Kalau zaman khulafaur rasyidin belum pernah terbayangkan dan terjadi peperangan
antara orang muslim dengan orang kafir, demikian pula perang saudara antara orang
muslim yang sekian hari semakin menjadi- jadi yang sekaligus terakibatkan berkurang
jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konprontasi tersebut benar-benar terjadi.

2.3 MENGAPA TIMBUL DUGAAN HADITS DI TULIS PADA ABAB KE-2


HIJRIYAH ?
3
Zulfar Rahman, Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya,1995), h.70

4
Sebagai mana telah dijelaskan sebelumnya bahwa usaha pembukuan hadits dimulai
ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz ( khalifah
kedelapan dari bani umayyah), melalui intruksinya kepada penjabat daerah agar
memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. seruan khalifah ini
disebut positif oleh gubernur yang berkuasa pad saat itu dan membuahkan hasil pada
tampilnya dua pelopor kondifikator, yaitu Muhammad Ibn Hazm ( w. 117 H) dan
Muhammad Syihab al-zuhri (w. 124 H). Ulam menetapkan al- zuhri sebagai penyusun
kitab hadits pertama. Tidak ada kesepakatan dikalangan ulama mengenai yang menjadi
tokoh ulama mengenai siapa yang menjadi tokoh utama dalam menyusun kitab hadits
diantara mereka.
Namun rasyid ridha berpendapat, boleh jadi orang yang pertama menulis hadits
dikalangan tabi’in abad pertama hijriyah dalam bentuk koleksi adalah khalid bin Mi’dan
al- Himshi ( w. 103, atau 104 H ), konon, ia sempat bertemu dengan tidak kurang dari
tujuh puluh orang sahabat. Sungguhpun demikian, ridha mengakui bahwa pendapat yang
masyur adalah bahwa orang pertama membukukan hadits adalah Ibn Syihab L-zuhri atas
perintah Umar bin Abdul Aziz.
Munculnya kitab- kitab al-mushannaf, menggambarkan bahwa gerakan pembukuan
hadits mendapat sambutan hangat dari para ulama. Diantara sekian banyak kitab hadits
yang ditulis, hanya kitab al- muwatha’ ditulis oleh Imam Malik pada pertengahan abab
kedua. Karena kitab tertua yang sampai kepada kita itu produk abab ke-2, maka tidak
heran kalau timbul kesan bahwa kitab hadits dibukukan pada abab ke-2.
Menurut al- khattib, ia berpendapat bahwa ada kemungkinan hadits secara resmi
dibukukan pada masa Abdul Aziz ibnu Marwan, Gubernur mesir (65-85 H). Menurut
keterangan dari al- laits bin sa’ad,Abdul Aziz bin Marwan menyuruh katsir bin Murrah,
seorang tabi’in yang sempat berjumpa dengan tujuh puluhan “ sahabat badar” di Hims
untuk menulis hadits-hadits Nabi, kecuali riwayat Abu Humairah,karena hadits ini sudah
ada padanya. 4
Memang pengalamn sejarah yang menunjukan bahwa setiap gagasan tidak luput dari
kritik dan tanggapan. Sebaik apapun bentuk sebuah gagasan selalu ada orang yang
mengkritiknya, sebaliknya, sejelek apapun bentuknya akan ada saja yang mendukung
atau bersimpati kepadanya. Gagasan besar seperti kondifikasi resmi yang dilakukan oleh
khalifah tentunya tidak luput dari pengalaman yang demikian. 5
Diantara kritik yang menyangkut dengan kondifikasi resmi yang dilakukan oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah anggapan bahwa penulisan hadits baru ada pada
abab ke-2 hijriyah, dan penulisan hadits yang dilakukan Az-zuhri hanyalah atas dasar
ekspoloitasi penguasa bani Umayyah untuk tujuan politik. Ahmad Amin misalnya
meragukan terlaksananya penulisan hadits oleh Ibn Hazm atau Az-zuhri atas perintah
Umar bin Abdul Aziz. Keraguannya timbul karena masa pemerintahan Umar begitu
singkat dan kondifikasi itu tidak sampai kepada kita.
Orientalis seperti Goldziher merupakan satu pasal khusus tentang penulisan hadits-
hadits dalam pembahasannya muhammedanische, yang jilid keduanya diterjemahkan
4
Ibid., h. 57
5
Ibid., h 56

5
dalam bahasa prancis. Ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan bahwa
pencatatan hadits dilakukan pada permulaan abab kedua hijriyah. sejalan dengan
Goldziher, Schacth dan Sprenger menyimpulkan bahwa hadits-hadits nabi sama sekali
tidak ada hingga sekitar pertengahan abad ke-2 hijriyah.
Masih pada priode abab ke-2 hijriyah, para ulama meningkatkan perhatian sebagai
kelanjutan penulisan hadits diberbagai wilayah seperti : Ibn Juraji (w. 150 H ) di mekkah,
Malik bin annas (w. 179) di madinah, hammad bin salamah (w. 167) di bashrah, sufyan
bin Tsauri ( w. 161 H ) di kuffah, ma’mar bin Rasyid ( w. 158 H ) di yaman, al –auza’I
(w. 157 ) di syam, Abdullah bin al –Mubarak ( w. 181 H ) di khurasan, jarir bin Abd al-
hamid ( w. 188 H ) di ray, dan lain-lain.
Setelah hasil dari usaha para ulama abab kedua hijriyah dalam mengumpulkan
hadits adalah dalam bentuk kitab- kitab hadits. Diantara kitab-kitab hadits abad kadua
yang terkenal antara lain: kitab muwatha’ karya Imam malik, musnad al-syafi’iy karya
Imam syafi’i dan kitab mukhtalif al- hadits juga karya imam syafi’iy.

2.4 TUDUHAN YANG DILONTARKAN KEPADA IMAM SYIHABUDDIN AL-


ZUHRI
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn muslim ibn ubaidillah ibn abdillah ibn syihab
ibn abdillah ibn harits ibn zahrah ibn kitab ibn marrah al-Quraisy Al-zuhri. Ia termasuk
seorang imam dan ulama Hizaj dan syam. Ia menerima riwayat dari abdullah ibn Umar
bin khattab, Abdullah ibn jakfar, rubaiah ibn Ubad, Al-munawar ibn makhramah, Abd Al
Rahman ibn syihab Az-zuhri memiliki hadits mencapai 2000 hadits.
Seperti yang sudah penulis paparkan diatas bahwa, para orientalis terutama seorang
yahudi bernama Goldziher berpendapat bahwa as-sunnah belum dibukukan, kecuali
dengan terjadinya perselisihan antara pengikut Umayyah dengan musuh mereka dari
ahlul bait dan pengikut zubair secara bersamaan, setiap sekelompok membuat hadits
untuk memperkuat pendapatnya, dan tidak menjadi hujjah bagi lawannya. Dan pengikut
Umayyah dengan kecerdikannya mereka memanfaatkan Imam Az-zuhri untuk hal itu.
Dan tidak hanya terbatas pada pemalsuan hadits- hadits politik bahkan melampaui kepada
masalah-masalah ibadah.
Goldziher tidak menunduh Ibn syihab Az-zuhri bekerja sama dengan bani
Umayyah dalam memalsukan hadits karena motif kejahatan, melainkan atas alasan-
alasan stabilitas negara, kendati terdatang ia meragukan hal seperti itu, tapi ia tidak dapat
mengalakkan lingkungan resmi yang menekan secara tak menentu.
Goldziher juga beranggapan Az-zuhri penulis pertama tentang hadits atau hadits-
hadits tersebut lebih berasal dari dirinya ketimbang dari generasi sebelumnya. Asumsi ini
cukup beralasan, jika tetis ini benar mayoritas hadits akan runtuh dengan sendirinya,
melihat posisi Az-zuhri sebagai poros ulama pada masanya dan pemegang otoritas
tertinggi sebagai perawi hadits. Disisi lain, Az-zuhri dituduh telah diperalat oleh khalifah.
Anggapan diatas tidak cukup beralasan karena latar belakang Az-zuhri tidak dipakai
sebagai pertimbangan bahkan diabaikan sama sekali. Latar belakang Az-zuhri, dengan
kemampuan hafalan yang luar biasa, dia telah menghafalkan Al-Qur’an dalam waktu 80
malam, juga terdapat hadits ( hafalannya) yang telaah teruji oleh ulama lainnya.

6
Bantahan hal tersebut telah disampaikan oleh para peneliti islam, diantara mushafa
As-siba’I dan Dr. Yusuf al-Isy. Bahwa itu adalah bohong dan dusta kepada para khalifah
dinasti Umayyah, dan kepada para ulama islam secara menyeluruh, bertentangan dengan
kenyataan yang menjelaskan tentang mereka. Disebutkan oleh ibnu Sa’ad dan para ahli
sejarah lainnya, ia (Az-zuhri) adalah ahli ibadah dan takwa sejak masa kecinya, sehingga
orang-orang menjulukinya sebagai “ merpati masjid” dan Az-Zuhri beserta sahabatnya
dari para ulama, tidak pernah menjadi permainan ditangan seorang penguasa, bahkan
mereka dikenal dengan ketakwaan dan izzah mereka dengan islam.
Para ulama Al- jarh wa At-Ta’dil sepakat bahwa Az-zuhri adalah seorang yang
tsiqah, amanah, dan mempunyai kedudukan yang agung dalam hadits. Sedangkan
anggapan Goldziher tentang adanya hubungan dengan bani Umayyah dan pemanfaatan
dirinya dalam pemalsuan hadits demi mengikuti hawa nafsu mereka, hanyalah
merupakan tuduhan yang mengada-ngada, yang tidak pantas bagi seorang Az-zuhri
dengan segala sikap amanah dan ketakwaannya.

2.5 MASA PENTASIHAN DAN PENYUSUNAN KAIDAH- KAIDAH NYA

a. Pengertian pentasihan hadits


Pentasihan hadits adalah pengoreksian, penyaringan atau penyeleksian
terhadap hadits yang telah dikumpulkan dan akan dicetak atau dibukukan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam pencetakan hadits –hadits
tersebut. Masa seleksi atau penyaringan hadits ialah masa upaya para mudawwin
hadits yang melakukan seleksi secara ketat sebagai kelanjutan dari upaya para
ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan kitab tadwin. Masa ini dimulai
pada akhir abad II atau abad ke III, atau ketika pemerintahan di pegang oleh
dinasti bani abbas, khususnya sejak masa Al- Makmum hingga akhir abad III
atau IV,masa Al-Muktadir.
Munculnya priode seleksi ini karena pada priode sebelumnya, yakni priode
tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu. Begitu
pula belum dapat memisahkan beberapa hadits yang dha’if dari yang shahih.6
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan
hadits yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah tertentu mereka berhasil
memisahkan hadits- hadits yang dha’if dari yang shahih, yang mauquf dan yang
maq’tu dari yang marfu’ meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya
masih dikemukakan tersisipkannya hadits-hadits yang dah’if pada kitab-kitab
yang shahih.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka
bermuncullah kitab- kitab yang hanya memuat hadits –hadits yang salah. Kitab-
kitab tersebut pada perkembangannya kemudian dikenal dengan kutub Al-sittah
(kitab induk yang enam.

b. Penyusunan kaidah –kaidah hadits


6
Mustofa Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), h. 158-160

7
Metodologi pembukuan hadits dilakukan dengan beberapa macam yaitu :

1. Metode Juz dan Athraf


Metode ini termasuk paling awal yang digunakan dalam mengelompokan
hadits. Metode juz berarti mengumpulkan hadits berdasarkan guru yang
meriwayatkan hadits kepada penulis kitab hadits. Metode athraf adalah
pembukuan hadits dengan menyebutkan pangkalnya sebagai penunjuk
matan hadits selengkapnya. contoh dari kitab juz yang diriwayatkan oleh
seorang sahabat atau orang- orang setelahnya yaitu juz Hadits Abi bakar
dan juz hadits malik. Lalu, contoh kitab juz yang memuat hadits- hadits
tentang suatu tema tertentu, seperti juz al- Qira’ah khalfah al- imam karya
al- bukhari dan al-Rihlah fi thalab al- hadits karya al-khatib al- baghdadi.
contoh dari kitab athraf yaitu athrafush shahihaini karangan al- hadid
ibrahim ibn muhammad ibn ‘ubaid addimasqi (800H) dan Athrafush
shahihaini karangan abu muhammad khalf ibn muhammad al- wasithi.

2. Metode muwanththa

Secara kebahasaan, muwantha berarti sesuatu yang dimudahkan. Adapun


secara istilah ilmu hadits, muwantha adalah metode pembukaan hadits
berdasarkan klarifikasi hukum islam dan mencantumkan hadits-hadits
marfu’, mauquf, dan maq’tu. Contohnya yaitu hadits-hadits marfu’,
mauquf, dan maqtu.

3. Metode mushannaf

Secara kebahasaan, mushannaf berarti sesuatu yang disusun, sedangkan


secara istilah, sama artinya dengan muwatha. Contohnya:

a) Musannaf karya Abd al- malik Ibn Jurayh al-basyiri (w. 150 H)
b) Musannaf karya Sa’id Ibn Abi’Arubah ( w. 161 H )
c) Musannaf karya Jamad Ibn salamah (w. 161 H )

4. Metode musnad

Metode ini mengklarifikasikan hadits berdasarkan nama para sahabat


yang meriwayatkan hadits tersebut, contohnya:

a) Musnad Abu Daud ath-Thayahisi (w. 204 H)


b) Musnad al- Imam Ahmad bin Hambal ( w. 241 H).(13)

5. Metode Jami

8
Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan dan
mencakup. Kitab jami’ adalah kitab hadits yang metode penyusunannya
mencakup seluruh topik dalam agama, baik akidah, hukum, adab,tafsir,
dan manaqib.

Contohnya :
a) Al- Jami’ ash- shahih, susunan Imam Bukhari (w. 256 H)
b) Al –Jami’ ash-shahih, susunan muslim (w. 261 H ).

6. Metode mustakhraj

Metode ini menyusun kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-


hadits yang terdapat dalam kitab lain. Kemudian penulis kitab pertama
mencantumkan sanadnya sendiri. contohnya: misalnya, kitab-kitab yang
men-takhrij shahih al-bukhari : mustakhraj al- Isma’ili (w. 371 H ),
mustahkhraj al-Ghithrifi (w. 377 H), dan mustakhraj Ibn Abi Zhul (w.
378 H).kitab- kitab yang mentakhrij shahih muslim : mustakhraj Abu
Awanah al-isfirayani (w. 316 H), mustakhraj al-humaydi (w. 311 H ) dan
mustakhraj Abu Hamid al-harawi ( w. 355 H ).

7. Metode sunan

Kata “as-sunan” adalah bentuk jamak “sunnah”, yang pengertiannya sama


dengan hadits. Adapun metode sunan adalah metode penyusunan
berdasarkan klarifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah) dan hanya
mencantumkan hadits-hadits marfu contoh kitab- kitab sunan yang
masyhur adalah sunan Abu Dawud, sunan at-Turmudzi, sunan an-Nasa’i
dan sunan Ibnu majah.

8. Metode mustadrak

Metode ini menyusun kitab hadits dengan menyusulkan hadits-hadits


yang tidak tercantumkan dalam kitab-kitab hadits yang lain.
Namun,dalam menuliskan hadits-hadits susulan tersebut penulis kitab
mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab lain.
contoh kitab mustadrak yang terkenal ialah al-mustadrak, susunan Abu
Abdullah muhammad Ibn abdullah Ibn muhammad Ibn hamdawaih al-
Hakim al- Naisabury ( w. 405 H ). Selain itu karya-karya kitab hadits
yang disusun dengan tipe mustadrak adalah al-Ilzamat karya al-
Daruquthni (w. 434 H ).

9. Metode Mu’jam

9
Metode ini mengumpulkan hadits berdasarkan nama-nama para sahabat
guru-guru hadist,negeri-negeri, dan /atau yang lain. contoh kitab-kitab
mu’jam yang mahsyur adalah sebagai berikut :

a) Kitab al- mu’jam al-kabir karya Abu al- Qasim sulayman Ibn
Ahmad al-thabrani ( w.360 H )
b) Kitab al- mu’jam al-awsath, juga karya Abu al-Qasim sulayman
Ibn Ahmad al-Thabrani ( w. 360 H )
c) Kitab mu’jam al-shahabah karya ahmad ibn ali al- hamdani ( w.
308 H).

10. Metode zawaid

Metode ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan. contoh kitab


zawaid adalah :

a) Misbah al- zujajah fi zawaid Ibn majah karya Abu Abbas ahmad
bin muhammad al-bushairi ( w. 684 H )
b) Zawaid al-sunan al-Qubra juga karya al-bushairi, memuat hadits-
hadits riwayat al-baihaqi yang tidak termuat dalam kitab al-kutub
al-sittah.

BAB III
KESIMPULAN

10
Dari kajian diatas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi, pertama, pembukuan pertama kali
dilakukan pada massa Umar bin Abdul Aziz, dikarenakan ada beberapa faktor yang mendorong
untuk membukukannya yaitu: banyak para penghafal hadits yang suah wafat, kemauan yang
keras untuk memelihara hadits, karena Al-Qur’an sudah di mushafkan, dan yang terakhir karena
khawatir para penghafal hadits akan lenyap. Kedua , sebagai buah dari kegiatan ilmiah dan
penulisan hadits, munculah buku-buku hadits susunan para ulama dari abab ke-2H. Kitab-kitab
itu muncul dalam waktu yang berdekatan diwilayah-wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, adanya
tuduhan dari orientalis terhadap Ibn syihab Az-zuhri yang meragukan keaslian hadits
dikarenakan dia berdusta. Penyebab terjadinya kondifikasi hadits adalah untuk menghilangkan
kehawatiran akan hilangnya al-hadits dan memelihara al-hadits dari bercampurnya dengan
hadits-hadits palsu. Lalu pentasihan hadits digunakan agar tidak ada kesalahan dalam kitab- kitab
hadits yang akan dibukukan.

DAFTAR PUSTAKA

11
Mustofa Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014)

Syaikh manna’ Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: pustaka Al-Kautsar,2005)

Hadan Saufan Pengumpulan dan Kodifikasi Hadits https//www.academia.edu

Isra Retno Sari Sejarah Perkembang Hadits https//www.academia.edu

12

Anda mungkin juga menyukai