Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ULUMUL HADIST

SEJARAH KODIFIKASI HADIST

STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


STAI SILIWANGI BANDUNG

Pembimbing: Ulfa futri hasymiah,M.pdi


Penyusun: Anggi Lesmana [021.021.0135]
Irpan apandi[021.0210129]
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini di susun guna
memenuhi tugas mata pelajaran Ulumul hadist dan juga sebagai bahan ilmu
pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat. Makalah ini kami
susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun,
kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami
sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua
yang membaca makalah ini terutama Guru pembimbing dari mata pelajaran
Ekonomi yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wa’alaikumsalam Wr.Wb

Bandung,21 Maret 2022

penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengatar...................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang...............................................................................................
BAB II ISI
A.Pengertian Kodifikasi hadist.........................................................................
B.Latarbelakang munculnya usaha modifikasi ...............................................
C.sistematika kodifikasi hadist pada abad kedua............................................
D.masa pengembangan sistem modifikasi hadist............................................
E.masa penyempurnaan sistem kodifikasi hadist............................................

BAB III PENUTUP


A.Kesimpulan.....................................................................................................
B.saran...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid,
hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama
Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu
sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas
menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur’an. Oleh karena itu
dari masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap
tenaganya untuk melestarikan dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya.
Mengingat pentingnya hadis dalam dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin
meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai
sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu
sendiri. Oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan menyajikan pembahasan singkat
tentang perkembangan hadis sebelum era kodifikasi dan sesudahnya, dilanjutkan dengan
pembahasan tentang pusat-pusat studi hadis dan para tokoh-tokohnya secara rinci.
Adapun metode yang akan dipakai dalam kajian ini adalalah termasuk kategori
penelitian literer atau study pustaka dengan objek berupa naskah-naskah utama (primer),
meski tidak menutup kemungkinan adanya referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai
sumber kedua (skunder) yang erat kaitannya dengan persoalan yang akan dibahas.  Tujuan
tulisan ini adalah untuk memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’in dalam
memelihara hadis dengan sangat berhati-hati dan bijaksana sehingga dapat diturunkan kepada
generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul untuk umatnya dalam mengarungi kehidupan.
BABII
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kodifikasi Hadits


Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah pembukuan
hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin
kepala negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak
seperti kodifikasi yang terjadi pada masa rasulullah SAW. yang dilakukan secara individu
atau untuk kepentingan pribadi. Usaha ini mulai direalisasikan pada masa pemerintahan
kalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui instruksinya
kepada walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr bin Hazm yang berbunyi “
Tulislah untukku hadis rasullullah SAW. yang ada padamu melalui hadis ‘Amrah (binti
Abdurrahman) sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat Al-Darimy).
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada pada
dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah Umar
bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya,
yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan
mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin
Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab.
Khalifah lalu mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru wilayahnya.  Menurut para ulama,
hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm masih kurang lengkap, sedangkan
hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri dipandang lebih lengkap. Akan tetapi,
sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi
sekarang.[1]
Para sarjana Hadis, seperti, ‘Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i, muhammad
jamaluddin al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafaf, dan lain-lain,
menemukan dokumen yang bersumber dari imam Malik bin Anas bahwa kodifikasi Hadis ini
adalah atas prakarsa Khalifah Umar bin Abd Aziz dengan menugaskan kepada Ibnu Syihab
az-Zuhri dan Ibnu Hazm untuk merealisasikannya. Begitu juga Umar bin Abd Aziz
menugaskan kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru untuk ikut serta membantu
pelaksanaan kodifikasi Hadis Nabi tersebut.[2]
B.       Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi
Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada periode ini
dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan hilangnya
hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang benar-benar ahli
dibidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin sedikit. Hal ini kemudian
memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai dengan petunjuk sahabat yang
mendengar langsung dari nabi. Disamping itu  pergolakan politik pada masa sahabat setelah
terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan umat Islam kepada beberapa
kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada otentitas
hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat untuk mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok sekaligus untuk mempertahankan ideologi
golongannya demi mempertahankan madzhab mereka. Demikianlah persoalan yang
menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku
khalifah untuk segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan hadis dari
kemusnahan dan pemalsuan dengan cara membukukannya.[3]

C.      Sistematika Kodifikasi Hadits Pada Abad Kedua


Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal kodifikasi,
pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang
baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih muda sehingga mereka belum sempat
menyeleksi antara hadis nabi dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari
itu mereka belum mengklasifikasi hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian
karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. walhasil, bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-
pilah antara hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if. 
Namun tidak berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan hadis
dengan lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah mempunyai inisiatif untuk
menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai ide cemerlang
mengumpulkan hadis-hadis berhubungan dengan masalah talak kedalam sebuah kitab. Begitu
juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi kedalam sebuah
kitab atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain hadis nabi SAW
saja.” [4]
Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti dikota Makkah
hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id bin Abi
‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin Salamah, di Kufah
oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’I dan begitu seterusnya.
D.      Masa Pengembangan Sistem Kodifikasi Hadis
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan sistematika
pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini kemudian
memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya dengan fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa
penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas,
khususnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin
(kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqtu’ dari
hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang
shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada masa ini,
para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui
kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari
yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun
berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-
kitab sahih karya mereka.  Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini
akhirnya bermunculan berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya
kutub as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:
1.         Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H).
2.         Al-Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H).
3.         As-Sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H).
4.         As-Sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H).
5.         As-Sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H).
6.         As-Sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H).[5]
E.       Masa Penyempurnaan Sistem Kodifikasi Hadits (abad ke-5 dan seterusmya)
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun
ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha
keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi
melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam
membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang
menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini
(abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan
cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan
dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka memberikan pen-syarahan (uraian)
dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni
usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan
hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul
berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:[6]
1.    Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)
2.         Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
3.    Nailul Authar,  sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad
bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:
4.    Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).
5.    Dalil al-Fatihin, sebagai  Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-
Siddiqy (1057 H).
Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
6.    Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin Suyuthi (849-911 H).
7.    Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul Ghani.
8.    Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F.
Mensing
9.                         Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc.
Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan demikian
hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah pembukuannya sebagai upaya
dari tanggung jawab generasi penerus untuk selalu menjaga dan melestarikan pusaka yang
telah diberikan oleh nabi Muhammad kepada umatnya.
BABIII
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasa-pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal diantaranya:
1.    Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan sangat
rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan.
Sebenarnya larangan menulis hadis pada priode nabi bersifat umum, karena sabdanya
memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang
terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu
yang bersamaan, rasulullah memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena
pertimbangan akan situasi, kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2.    Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan
menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis.
3.    Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih
sempurna.
4.    Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan
mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.
B.       Saran
Di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu menjaga dan
mengamalkan perintah-perintah agama yang terkandung di dalamnya sehingga kita bisa
menjadi orang-orang yang beruntung dan mendapat petunjuk-Nya.

[1] Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2007),  hlm.34.
[2] Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Darussalam, 1998),
hlm. 104-105.
[3] H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 91-93.
[4] ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 166.
[5] Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003),
hlm. 42-43.
[6] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 454.
[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 55.

Anda mungkin juga menyukai