Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

Oleh
M. IKHWANUDIN (12030416421)
M. FADHIL HAZRA (12030411268)
Ilmu Hadist, fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Email: muhammadikhwan9812@gmail.com
fadhilhazra450@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang perkembangan Hadist pada masa Dinasti


Abbasiyah, hadits adalah salah satu pilar utama agama Islam setelah Al-Qur’an.
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat. Sehingga menjadikan hadits
sebagai alat untuk memahami dan menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an, karena
sejatinya Rasululullah SAW adalah Al-Qur’an yang berjalan, akhlaknya
mencerminkan hakikat dalam mengamalkan kandungan Al-Qur’an, sehingga
wajar hadits Rasulullah SAW tidak bisa dipisahkan dari Al-Qur’an dan tidak bisa
berdiri sendiri. Maka, karena kedudukan hadits yang sangat urgen ini,
dilakukanlah berbagai upaya untuk menjaga dan melestarikan hadits Nabi SAW.
Dan upaya-upaya tersebut bahkan sudah mulai muncul pada masa Rasulullah
SAW sendiri masih hidup, tentunya dengan inisiatif beberapa para sahabat.
Walaupun pada awalnya upaya tersebut belum dilakukan secara massif dan aktif
karena memang belum ada penulisan hadits secara khusus seperti halnya Al-
Qur’an dan ditambah pernah ada larangan dari Nabi untuk menuliskan hadits,
sehingga kebanyakan dari para sahabat hanya mengandalkan hafalan mereka
untuk mengingat perkataan Nabi SAW. Namun larangan tersebut tidak bersifat
mutlak, karena setelahnya ternyata ada hadits Nabi SAW yang berisi perintah
untuk menuliskan hadits kepada salah seorang sahabat pada masa itu. Dan
kebolehan menulis hadits ini diperkuat dengan ditemukannya shuhuf (catatan-
catatan) hadits para sahabat seperti shahifah Abu Bakar As-Shiddiq, shahifah Ali
bin Abi Thalib, dan shahifah Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Artikel ini akan
membahas tentang bagaimana sesungguhnya sejarah, periwayatan dan penulisan
hadits pada masa Rasulullah SAW masih hidup.

Kata kunci: Sejarah; Hadits; Periwayatan dan Penulisan; Shahifah; Rasulullah


SAW

A. PENDAHULUAN

Peradaban Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu bukti kejayaan umat Islam
di masa lampau. Dan dinasti ini sendiri adalah masa gemilang Islam karena pada
masa ini mulai diadakannya penerjemahan buku-buku asing dengan dukungan
pemerintahan setempat yang ditunjang dengan banyak fasilitas-fasilitas yang
sangat menunjang kebangkitan bagi pengetahuan pada masa itu.

Dengan mengkaji pengembangan peradaban dan kebudayaan dinasti ini,


diharapkan bisa membangkitkan semangat kita sebagaimana semangat para
ilmuwan-ilmuwan muslim terdahulu khususnya dalam perkembangan pembukuan
hadis-hadis nabi, yang pada masa ini dibukukannya kutub as-sittah oleh para
imam-imam hadis yang sampai saat ini masih menjadi sumber rujukan utama
dalam mencari hadis-hadis nabi. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai perkembangan hadis dan tentang peradaban dan kebudayaan pada
Dinasti Abbasiyah. Sehingga kita tahu bagaimana perkembangan kebudayaan
hebat dan pengetahuan khususnya hadis yang kita perdalami saat ini.

B. PEMBAHASAN
A. Kemajuan Dalam Bidang Hadis di Masa Bani Abbasiyah

Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana


disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-
Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaanya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d
656 H (1258 M).1 Dengan demikian, pada masa ini mencangkup pada tiga periode
perkembangan hadis.

Dalam periode pertama, merupakan masa pengumpulan dan pengumpulan


hadis. Pada masa ini sebenarnya melanjutkan proyek pengumpulan hadis pada
masa dinasti Bani Umayyah yang dipelopori oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz
dengan menyuruh para ulama untuk menyelesaikan proyek mulia ini.

Semua ulama besar yang membukukan hadis adalah ahli-ahli hadis abad ke-2
Hijrah. Kita menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui di
mana sekarang ini. Kitab hadis paling tua yang ada di tangan umat islam dewasa
ini ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik atas perintah Khalifah Al-Manshur
ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H. (143H).2

Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum
adalah Al-Muwaththa’ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
(susunan Imam Asy-Syafi’y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa
as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).3 Dalam abad ini pula, mulai dipisahkan hadis-hadis
tafsir dari umum hadis dan mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah dan maghazi-
nya.4

Pada periode kedua ini merupakan masa pentashhihan dan kaidah-kaidahnya.


Dalam abad ke-3 Hijrah, upaya pembukuan hadis mulai melonjak setelah
datangnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang disambut gembira oleh
umat Islam saat itu.

Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadis yang terdapat di kota


mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 49.
2
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 54.
3
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 55.
4
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 57.
lain untuk kepentingan hadis. Keadaan ini dipecahkan oleh Al-Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis.

Ringkasnya, Al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadis


yang tersebar di berbagai daerah. Enam belas tahun lamanya beliau terus menerus
menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.5 Al-Bukhary menyusun kitabnya
yang terkenal dengan nama Al-Jami’ ash-Shahih yang membukukan hadis-hadis
yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha Al-Bukhary ini diikuti pula oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.6

Sesudah Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, muncul pula


beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu
Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (Sunan at-Tirmidzy), dan An-Nasa’y
(Sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat
ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (Al-Ushul al-Khamsah).

Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab Sunan yakni
Sunan Ibni Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab
induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal
dengan nama Al-Kutub as-Sittah.7

Pada mulanya ulama menerima hadis dari para perawi, lalu menulis ke dalam
bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut islam
melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis pun
menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadis yaitu dengan menambahkan
lafalnya atau membuat hadis maudhu’.

Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat


perbuatan mereka, maka para ulama hadis bersungguh-sungguh membahas
keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman,

5
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm, 60.
6
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61.
7
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61-62.
masa dan lain-lain, serta memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang dha’if
yakni menshahihkan hadis.

Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Diroyah (Ilmu Dirayah al-Hadis) yang


banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadis).8

Kemudian pada periode ketiga atau yang terakhir di masa Bani Abbasiyah ini
merupakan masa Tahdzib, Istidrak, menyusun Jawami’, Zawa’id dan Athraf.9

Perlu diketahui bersama bahwa pada periode ini, ditemukan perbedaan yang
menyolok dalam meletakkan sistem penulisan karya ilmiah, khususnya dalam
bidang hadis, sebab pada masa ini, sudah terjadi pemisahan dua pola dan sistem
pemikiran di kalangan para ulama, bahkan menjadi awal terjadinya pemisahan
antara kelompok ulama mutaqoddimin dan muta’akhirin, yaitu:

a). Mutaqoddimin ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. Sistem penulisan
hadis-hadis koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya, dengan menggunakan
pola mendengar hadis langsung dari para guru mereka, lalu melakukan penelitian
sendiri terhadap matan hadis dan perawinya.

b). Muta’akhirin, yaitu ulama yang hidup setelah tahun 300 H. Sistem penulisan
hadis-hadis mereka dalam kitab koleksinya, menggunakan pola menghimpun
hadis-hadis dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi hadis yang sudah
ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada penyusunan hadis-hadis secara
lebih sistematis atau hanya membuat resume (ringkasan) atau mensyarahi kitab-
kitab yang sudah ada.10

Ringkasnya, para ulama muta’akhirin ini menyusun kitab-kitab hadis yang


telah ada berdasarkan metode-metode mereka dalam mengumpukan hadis-hadis
mereka. Dan dalam tiap metode tersebut memiliki nama kitab-kitab tersendiri,
8
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 60-61.
9
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 79.
10
Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah,
2008), hlm. 76.
diantaranya kitab jami’, mustakhraj, mustadrak, athraf. Dan kitab-kitab inilah
juga merupakan salah satu bukti perkembangan keilmuan tentang hadis-hadis
pada masanya.

B. Peradaban dan Kebudayaan Masa Bani Abbasiyah


Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-
833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada
masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-
buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-
Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang
besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada
masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.11
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut,
terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran
pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interprestasi tradisional dengan
mengambil interprestasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-
ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang
lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadis.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).
Dalam bidang filsafat, para filosuf Islam berusaha menjawab
persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan
pemikiran baik secara teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun
ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk dijawab sebagai
pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi.
Pada masa ini pemikiran filsafat mencangkup bidang keilmuan yang
sangat luas seperti logika, geometri, atronomi, dan musik yang
dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar,
gerakan dan suara. Para filosuf semasa Abbasiyah seperti Ya’qub ibn

11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 52-52.
Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Bajah, Ibnu Tufail
dan Ibnu Rushd menjelaskan pemikiran pemikirannya dengan
menggunakan contoh, metafor, analogi dan gambaran imaginatif.12
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan.
Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium
diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian barat. Di
kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di
Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai
produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Iraq. Hasil-
hasil industri dan pertania ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industrialisasi yang muncul
di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu,
perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari
Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan
Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.13
Pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di kota Baghdad,
negeri seribu satu malam. Baghdad yang ketika itu menjadi ibu kota
negara adalah Baghdad yang menjadi ibu kota kemegahan. Al-Khathib Al-
Baghdadi telah menyifati dan memujinya dengan pujian yang tidak ada
bandingannya, dia menulis, “Baghdad tidak memiliki padanan dalam
kemegahan nilainya, kebesaran negaranya, dan ilmuwannya yang banyak.
Masyarakat dan orang elit memiliki sifat khusus, wilayahnya besar,
pinggiran sungainya luas, rumah, lorong, jalan, toko, pasar, gang, masjid,
pemandian, dan penginapannya sangat banyak. Airnya segar, peneduhan
dan naungannya sejuk, musim panas dan musin dinginnya normal, musim
bunga dan musim gugurnya menyehatkan, dan banyak perkakas yang
dikumpulkan dari masyarakat”.14
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
12
Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 105-106.
13
Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, hlm. 106-107.
14
Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 271.
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan
seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam
mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami masa keemunduran.15

C. KESIMPULAN

Pada masa Bani Abbas atau yang lebih dikenal dengan dinasti
Abbasiyah ini bisa dibilang merupakan masa puncak kejayaan semangat
umat Islam dalam hal perkembangan hadis. Diawali dari masterpiece
Imam Malik yaitu kitab Al-Muwaththa’ yang menuai banyak pujian dan
memberi banyak inspirasi bagi para ulama masa itu untuk melakukan
pengkajian yang lebih mendalam dalam pengumpulan hadis. Dan dengan
kehadiran dua imam hadis yang berjulukan Amir al-Mukminin fi al-Hadis
Imam Bukhori dan muridnya Imam Muslim berhasil membuat karya besar
juga yaitu kitab yang khusus berisi tentang hadis-hadis shohih saja dengan
pengkajian yang sangat teliti dan berhati-hati dengan pengembaraan ke
berbagai sumber-sumber hadis yang ada. Tak lama setelah itu pula muncul
karya-karya hadis imam-imam lain yang sering kita dengar dengan nama
kutub as-sittah oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Turmudzi, Imam An-
Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dan pada masa ini muncul sebuah ilmu
tersendiri yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Diroyah yang mempelajari tata
cara pengkajian terhadap hadis. Dan pada masa ini pula muncul metode
penyusunan kitab-kitab baru dengan cara menghimpun, memilah dan
mengklasifikasi hadis-hadis yang telah dibukukan sebelumnya oleh para

15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 59.
ulama muta’akhirin yang juga memudahkan kita dalam mencari dan
mempelajari hadis.
Begitu pula peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ini juga
merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang pada masanya menjadi
panutan dunia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum lainnya yang didapat dengan penerjemahan
buku-buku asing dalam bahasa arab disertai penelitian kembali yang
bahkan tidak sedikit membenarkan teori-teori yang kurang benar yang
telah berkembang sebelumnya. Dengan dukungan para khalifah-khalifah
yang memberi dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang salah satunya
dikenal dengan nama Bait al-Hikmah yang berhasil menumbuhkan
semangat para ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban pada
masanya. Namun sayangnya, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami kemunduran dan akhirnya kalah dengan peradaban barat yang
pada sebelumnya terinspirasi dari semangat umat muslim yang bahkan
sampai saat ini masih belum mampu mengembalikan masa kejayaannya.
Dan semoga tidak lama lagi kita mampu bangkit dari kemunduran ini
dengan berkaca bahwa pada masa lalu Islam pernah menjadi pusat
peradaban dunia dengan semangat keilmuan yang mereka miliki untuk
membangun peradaban yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar. Jakarta: Al-Kautsar, 2007.

Maryam, Siti (dkk.). Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI, 2002.

ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis.


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul Hadis & Musthalah Hadis Jombang: Darul
Hikmah, 2008.

Anda mungkin juga menyukai