Oleh
M. IKHWANUDIN (12030416421)
M. FADHIL HAZRA (12030411268)
Ilmu Hadist, fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Email: muhammadikhwan9812@gmail.com
fadhilhazra450@gmail.com
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Peradaban Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu bukti kejayaan umat Islam
di masa lampau. Dan dinasti ini sendiri adalah masa gemilang Islam karena pada
masa ini mulai diadakannya penerjemahan buku-buku asing dengan dukungan
pemerintahan setempat yang ditunjang dengan banyak fasilitas-fasilitas yang
sangat menunjang kebangkitan bagi pengetahuan pada masa itu.
B. PEMBAHASAN
A. Kemajuan Dalam Bidang Hadis di Masa Bani Abbasiyah
Semua ulama besar yang membukukan hadis adalah ahli-ahli hadis abad ke-2
Hijrah. Kita menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui di
mana sekarang ini. Kitab hadis paling tua yang ada di tangan umat islam dewasa
ini ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik atas perintah Khalifah Al-Manshur
ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H. (143H).2
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum
adalah Al-Muwaththa’ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
(susunan Imam Asy-Syafi’y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa
as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).3 Dalam abad ini pula, mulai dipisahkan hadis-hadis
tafsir dari umum hadis dan mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah dan maghazi-
nya.4
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 49.
2
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 54.
3
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 55.
4
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 57.
lain untuk kepentingan hadis. Keadaan ini dipecahkan oleh Al-Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis.
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab Sunan yakni
Sunan Ibni Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab
induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal
dengan nama Al-Kutub as-Sittah.7
Pada mulanya ulama menerima hadis dari para perawi, lalu menulis ke dalam
bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut islam
melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis pun
menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadis yaitu dengan menambahkan
lafalnya atau membuat hadis maudhu’.
5
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm, 60.
6
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61.
7
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61-62.
masa dan lain-lain, serta memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang dha’if
yakni menshahihkan hadis.
Kemudian pada periode ketiga atau yang terakhir di masa Bani Abbasiyah ini
merupakan masa Tahdzib, Istidrak, menyusun Jawami’, Zawa’id dan Athraf.9
Perlu diketahui bersama bahwa pada periode ini, ditemukan perbedaan yang
menyolok dalam meletakkan sistem penulisan karya ilmiah, khususnya dalam
bidang hadis, sebab pada masa ini, sudah terjadi pemisahan dua pola dan sistem
pemikiran di kalangan para ulama, bahkan menjadi awal terjadinya pemisahan
antara kelompok ulama mutaqoddimin dan muta’akhirin, yaitu:
a). Mutaqoddimin ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. Sistem penulisan
hadis-hadis koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya, dengan menggunakan
pola mendengar hadis langsung dari para guru mereka, lalu melakukan penelitian
sendiri terhadap matan hadis dan perawinya.
b). Muta’akhirin, yaitu ulama yang hidup setelah tahun 300 H. Sistem penulisan
hadis-hadis mereka dalam kitab koleksinya, menggunakan pola menghimpun
hadis-hadis dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi hadis yang sudah
ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada penyusunan hadis-hadis secara
lebih sistematis atau hanya membuat resume (ringkasan) atau mensyarahi kitab-
kitab yang sudah ada.10
11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 52-52.
Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Bajah, Ibnu Tufail
dan Ibnu Rushd menjelaskan pemikiran pemikirannya dengan
menggunakan contoh, metafor, analogi dan gambaran imaginatif.12
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan.
Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium
diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian barat. Di
kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di
Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai
produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Iraq. Hasil-
hasil industri dan pertania ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industrialisasi yang muncul
di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu,
perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari
Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan
Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.13
Pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di kota Baghdad,
negeri seribu satu malam. Baghdad yang ketika itu menjadi ibu kota
negara adalah Baghdad yang menjadi ibu kota kemegahan. Al-Khathib Al-
Baghdadi telah menyifati dan memujinya dengan pujian yang tidak ada
bandingannya, dia menulis, “Baghdad tidak memiliki padanan dalam
kemegahan nilainya, kebesaran negaranya, dan ilmuwannya yang banyak.
Masyarakat dan orang elit memiliki sifat khusus, wilayahnya besar,
pinggiran sungainya luas, rumah, lorong, jalan, toko, pasar, gang, masjid,
pemandian, dan penginapannya sangat banyak. Airnya segar, peneduhan
dan naungannya sejuk, musim panas dan musin dinginnya normal, musim
bunga dan musim gugurnya menyehatkan, dan banyak perkakas yang
dikumpulkan dari masyarakat”.14
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
12
Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 105-106.
13
Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, hlm. 106-107.
14
Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 271.
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan
seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam
mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami masa keemunduran.15
C. KESIMPULAN
Pada masa Bani Abbas atau yang lebih dikenal dengan dinasti
Abbasiyah ini bisa dibilang merupakan masa puncak kejayaan semangat
umat Islam dalam hal perkembangan hadis. Diawali dari masterpiece
Imam Malik yaitu kitab Al-Muwaththa’ yang menuai banyak pujian dan
memberi banyak inspirasi bagi para ulama masa itu untuk melakukan
pengkajian yang lebih mendalam dalam pengumpulan hadis. Dan dengan
kehadiran dua imam hadis yang berjulukan Amir al-Mukminin fi al-Hadis
Imam Bukhori dan muridnya Imam Muslim berhasil membuat karya besar
juga yaitu kitab yang khusus berisi tentang hadis-hadis shohih saja dengan
pengkajian yang sangat teliti dan berhati-hati dengan pengembaraan ke
berbagai sumber-sumber hadis yang ada. Tak lama setelah itu pula muncul
karya-karya hadis imam-imam lain yang sering kita dengar dengan nama
kutub as-sittah oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Turmudzi, Imam An-
Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dan pada masa ini muncul sebuah ilmu
tersendiri yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Diroyah yang mempelajari tata
cara pengkajian terhadap hadis. Dan pada masa ini pula muncul metode
penyusunan kitab-kitab baru dengan cara menghimpun, memilah dan
mengklasifikasi hadis-hadis yang telah dibukukan sebelumnya oleh para
15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 59.
ulama muta’akhirin yang juga memudahkan kita dalam mencari dan
mempelajari hadis.
Begitu pula peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ini juga
merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang pada masanya menjadi
panutan dunia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum lainnya yang didapat dengan penerjemahan
buku-buku asing dalam bahasa arab disertai penelitian kembali yang
bahkan tidak sedikit membenarkan teori-teori yang kurang benar yang
telah berkembang sebelumnya. Dengan dukungan para khalifah-khalifah
yang memberi dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang salah satunya
dikenal dengan nama Bait al-Hikmah yang berhasil menumbuhkan
semangat para ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban pada
masanya. Namun sayangnya, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami kemunduran dan akhirnya kalah dengan peradaban barat yang
pada sebelumnya terinspirasi dari semangat umat muslim yang bahkan
sampai saat ini masih belum mampu mengembalikan masa kejayaannya.
Dan semoga tidak lama lagi kita mampu bangkit dari kemunduran ini
dengan berkaca bahwa pada masa lalu Islam pernah menjadi pusat
peradaban dunia dengan semangat keilmuan yang mereka miliki untuk
membangun peradaban yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar. Jakarta: Al-Kautsar, 2007.