Anda di halaman 1dari 12

HADITS DALAM PERIODE KELIMA

(Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya)

Disusun oleh:

M. Noor Rizal : 210105010116


Muhammad Raihan : 210105010133
Putri Najla Aprillia : 210105010148
Syifa Aisya : 210105010175

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ULUMUL HADITS”

Dosen Pengampu:
Drs. Nispan Rahmi, M.Ag

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI S1 EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2023 M/ 1444 H
HADITS DALAM PERIODE KELIMA
(Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah kaidahnya)

1. Masa Membukukan Hadits Semata-mata (Hadits dalam Abad ke-3 Hijrah)


Para ahli hadits abad ke-2 Hijrah sebagaimana sebagian yang telah
diterangkan, tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Keadaan
ini diperbaiki oleh ahli hadits abad ke-3 Hijrah. Ketika mengumpulkan hadits,
mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits-hadits saja
dalam buku-buku hadits. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui
ialah mereka tidak memisahkan hadits. Yakni mereka mencampuradukkan hadits
shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha'if. Segala hadits yang mereka
terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya, atau
kehasanannya, atau kedha'ifannya. Lantaran itu orang yang kurang ahli tidak dapat
mengambil hadits-hadits yang terbuku di dalamnya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abi Bakar ibn
Hazm membukukan hadits saja mengingat perkataan Umar kepadanya.

َ‫سوَل‬
ُ ‫الر‬
‫ثَ ا‬ َ‫لاَ ا‬
َ‫حدَيَ ا‬ َ َ‫لاََت اقَباَلََإ‬
َ .

"Jangan kamu terima melainkan hadits Rasul SAW."

Asy-Sya'by adalah orang yang mula-mula mengumpulkan hadits yang hanya


mengenai suatu sebab (tema) saja. Beliau mengumpulkan hadits-hadits mengenai
talak. Beliau salah seorang imam yang terkemuka dalam permulaan abad ke-2
Hijrah.

Adapula yang menyusun secara musnad, yang mula-mula menyusun dengan


cara ini ialah Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad ibn Musarhad al-
Bashry, Asad ibn Musa al-Amawy, Nu'aim ibn Hammad al-Khuza'y, Ahmad ibn
Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Utsman ibn Abi Syaibah.

2. Bertambah Meluas Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashhihan Hadits


Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-
kitab Ibnu Juraij dan Al-Muwaththa' Malik tersebar dalam masyarakat serta
disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits,
mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian
hari kian bertambah maju.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota
mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota
lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan Al- Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits.
Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah,
Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisa- riyah, Asqalan dan Himsah. Enam belas tahun
lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Pada mulanya ulama menerima hadits dari para perawi, lalu menulis ke
dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam
melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun
menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits, yaitu dengan menambahkan
lafalnya atau membuat hadits maudhu'.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat- akibat
perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan
perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan. tempat, kediaman, masa dan
lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dhaf yakni
menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa'id at-
Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), 'Illat-'illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-
perawi hadits. Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits)
yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih
dari yang dha'if dengan mempergunakan sarat-syarat pentashhihhan, baik
mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada', melahirkan kitab-kitab shahih dan
kitab-kitab sunan.

3. Imam yang Mula-Mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih Saja


Sekiranya kekeruhan itu terus-menerus berlangsung, tentulah kita tidak
dapat meminum airnya dan tidak dapat mengamalkan isinya, apalagi apabila
diingat pada masa itu telah banyak muncul orang Zindiq dan Yahudi yang
membuat hadits-hadits palsu secara licik dan sukar diketahui kepalsuannya.
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih
dari yang palsu dan yang lemah, seorang imam hadits besar, Ishaq ibn Rahawaih,
terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang
tidak. Kemudian, disempurnakan oleh Imam Al-Bukhary.
Al-Bukhary menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami'
ash-Shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja.
Kemudian usaha ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam
Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan
sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, muncul pula
beberapa orang iman lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu
Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (Sunan at-Tirmidzy) dan An- Nasa'y
(Sunan an-Nasa'y) Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat
ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (Al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab Sunan yakni
Sunan Ibni Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab
induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal
dengan nama Al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama
menempatkan Musnad Al-Imam Ahmad.

4. Dasar-dasar Pentashhihan Hadits


Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas
tentang Tarikh Rijal al-Hadits-sejarah perawi hadits, tanggal lahir dan wafat
para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang yang ia
riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang
para perawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman Al-Bukhary
(umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan
perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya,
siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Di samping itu diperlukan pula perbandingan antara hadits satu kota dan
hadits kota lain, begitu pula pengetahuan yang luas tentang mazhab yang dianut
perawi-perawi itu, apakah dia seorang khawarijy. mu'tarily, murji'y, syi'y dan
lain-lain.
Al-Bukhary mempunyai dua keistimewaan. Pertama, hafalan yang
sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang
hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang kita lihat
dalam kitab tarikhnya yang disusun untuk menerangkan keadaan-keadaan
perawi hadits. Al-Bukhary menggunakan kata-kata yang sopan sekali dalam
menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela.
Al-Bukhary dan Muslim mensyaratkan sanad yang muttashil, serta
perawi yang Muslim (Islam), yang bersifat benar, tidak suka bertadlis dan tidak
berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu dan baik pula i'tiqad-nya. Al-
Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim
menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima
perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan
tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun Muslim menerima riwayatnya asal
perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-'Allamah Muhammad Zahid al-Kutsary mengatakan bahwa di antara
yang menarik perhatian adalah Al-Bukhary dan Muslim tidak men- ceritakan
sedikit pun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal Al-Bukhary dan Muslim itu
mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerima hadits dari
mereka. Juga Al-Bukhary dan Muslim tidak mentakhrijkan hadits Imam Asy-
Syafi'y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashhab-nya. Al-Bukhary
juga tidak mentakhrijkan hadits-hadits Ahmad selain dari dua hadits, satu
secara ta'liq, satu lagi secara nazil dengan perantaraan, padahal Al-Bukhary
mendapati Ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam
shahihnya barang satu hadits dari hadits Al-Bukhary, padahal Muslim bergaul
dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits Ahmad
selain dari 30 hadits, Ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari Malik
dari Nafi' melalui jalan Asy-Syafi'y padahal sanad ini dipandang paling sah,
selain dari empat hadits.
Menurut kenyataan, para imam hadits membukukan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang dikhawatirkan akan lenyap haditsnya lantaran
kurang diperhatikan.
Ucapan Ibnu Khaldun dalam Muqaddamah Tarikh-nya, bahwa Abu
Hanifah terlalu keras dalam menentukan syarat-syarat sah, hanya
menshahihkan (meriwayatkan) 17 buah hadits, adalah suatu kekeliruan yang
sangat nyata, karena kita tidak boleh terpengaruh dengan pendapat itu.
Riwayat Abu Hanifah yang sangat ketat dalam menshahihkan hadits,
bukan 17 hadits, akan tetapi 17 buah kitab, yang masing-masing dinamai
Musnad Abu Hanifah yang telah ditakhrijkan oleh para huffazh. Masing-
masing musnad itu tidak lebih daripada Sunan Asy-Syafi'y atau Musnad asy-
Syafi'y menjadi sumber hadits Asy-Syafi'y.

5. Langkah-langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits


Ulama di samping membukukan hadits dan memisahkan hadits dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha'if,
mereka memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk
menyusun kaidah-kaidah tahdits, ushul-ushul-nya, syarat-syarat menerima
riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha'if serta kaidah-kaidah
yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu' (palsu)
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara Sunnah Rasul dan untuk
menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha'if, khususnya
antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits-hadits yang semata-mata
maudhu'. Apa yang telah dikerjakan ulama untuk membedakan sunnah yang
shahih dari yang tidak, merupakan suatu kesungguhan yang tidak dapat
ditandingi. Jalan yang telah mereka tempuh itu adalah jalan yang paling lurus
dan ilmiah untuk membedakan sesuatu yang baik dari yang tidak.
Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik
jalan-jalan menerima hadits ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar
tidaknya hadits yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi,
membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits,
menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu'.
a. Mengisnadkan Hadits
Para sahabat sesudah Nabi SAW wafat, saling mempercayai. Para
tabi'in dengan tidak tertegun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan
kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai
timbulnya fitnah yang digerakkan oleh Abdullah ibn Saba', seorang Yahudi
yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakkan umat untuk
menganut paham tasyayyu' (paham memihak kepada Ali dan
mempertahankan kekhalifahan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka
ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbullah penyisipan ke dalam
hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan
sahabat, maupun dari tabi'in berhati-hati menerima riwayat yang
diberitakan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits
terkecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-
perawinya serta keadilan mereka. Ibnu Sirin berkata (menurut riwayat
Muslim dalam Muqaddamah Shahih-nya),
"Para sahabat dan tabi'in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun,
ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima sesuatu hadits bertanya,
siapa yang memberikan hadits itu? Sesudah diketahui sanad, diperiksalah
apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits
itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid'ah, ditolaklah hadits itu."
Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi
fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-Adawy datang
kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak
memperhatikan hadits-hadits yang diriwayatkan itu. Maka Busyair bertanya,
"Apakah sebabnya Anda tidak mendengar hadits-hadits yang saya riwayatkan?"
Ibnu Abbas menjawab, "Dahulu, apabila mendengar hadits, kami
memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai
binatang jinak dan liar, tidaklah lagi kami menerima selain dari yang kami
ketahui." Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para
tabi'in memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, "Kami mendengar hadits-hadits dari seorang
sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada
sahabat itu untuk mendengar hadits."

َ.‫َلاو الَاإلسناادَُلاقاالاَ امنَشاا اءَ اماَشاا اَء‬،‫اإلسنادَُمنَالدين‬

"Isnad itu dari agama. Sekiranya tidak ada isnad (sekiranya kita tidak me
merlukan isnad), tentulah siapa saja dapat mengatakan apa yang dia kehendaki."

Ibnu al-Mubarak berkata:

‫ااَوباينا َالقاومَاْل ا ا‬
َ.ُ‫سانيَ َد‬ ‫بيَنان ا‬
"Antara kami dan mereka ialah isnad."

b. Memeriksa Benar tidaknya Hadits yang Diterimanya


Seseorang yang menerima hadits, berusaha bertanya kepada sahabat dan
tabi'in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat
yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang
menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadits yang
diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddamah Shahih-nya dari Ibnu
Abi Mulaikah:

َُ‫اارَ لاه‬
ُ ‫َأناَأخت‬،‫ح‬ ٌَ ‫َولادٌَناص‬:‫ا‬
‫عني َفاقاال ا‬ ‫اَكَت ابتُ َإلىَابنَعبَاسَأنَيكَتبَلَيَ َكَتابًاَويُخفيَ ا‬
ََ‫شيَئ‬ َ‫علاىَفا اج اعلاَياكتبَمنَهَشيئًاَوي َُمرََبال ا‬ ‫ضاءَ ا‬‫عاَبقا ا‬ ‫َفادا ا‬:‫عنهُ؟َفاقاالا‬‫يَ ا‬ ُ ‫ار ا‬ ‫اْل ُ ُم ا‬
‫اَوأخف ا‬ ً ‫ورَإختيا‬
‫علايَإ الَأانَيا ُكونا َقاَد ا‬
‫ض اَل‬ ‫َماقضىَب اهذااَ ا‬،‫َوهللا‬:ُ‫فاياقُول‬
"Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menuliskan
untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak baik) pada
saya. Ibnu Abbas berkata, "Seorang anak yang jujur, saya akan memilih
untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak
benar). Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang
membawakan kepadanya kitab hukum Ali. Lalu beliau menyalin
beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak
benar berkata, "Demi Allah, Ali tidak menghukumkan begini. terkecuali
dia sesat."

Untuk memenuhi maksud ini para tabi'in melakukan perlawatan.


Para sahabat pun membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar
hadits-hadits dari orang terpercaya. Di depan sudah diterangkan perihal
perlawatan Jabir ke Syam dan Abu Ayub ke Mesir untuk men dengar hadits

Said ibn al-Musayyab pernah berkata:

.‫طلابَال احديثَالواحد‬
‫امَفيَ ا‬ ‫يَْلسيرَاللاياال ا‬
‫يَواْلايا ا‬ ُ ‫إن‬

"Aku berjalan beberapa malam dan beberapa hari hanya untuk


mencari sebuah hadits."

Asy-Sya'by pernah berkata kepada seorang yang diberikan hadits:

.َ‫َالر ُجلَُيُر احلَُفي اماَدُونا اهاَإلاىَال امدَيناة‬


‫ُحل اهاَبغايرَشايءٍ َفاقادَ اكانا ا‬

"Ambillah dia tanpa mengalami sesuatu kesukaran. Dahulu seseorang


harus pergi ke Madinah untuk keperluan yang lebih kecil dari ini."

Basyir ibn Abdillah al-Hadhramy berkata, "Saya berkendaraan dari


sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits."

c. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka,


tentang Kebenarannya ataupun Kedustaannya
Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali.
Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang
tersembunyi bagi umum dari keadaan-keadaan para perawi-perawi itu.
Mereka dengan tidak segan-segan menerangkan cacat seorang perawi dan
memberitakannya kepada umum.
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum
untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan Mereka juga
menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali yang tidak
diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil atau Ilmu
Mizan ar-Rijal (akan diterangkan ta'rif-ta'rifnya).

d. Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits


Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Setiap derajat
ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain.
Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha'if. Dengan lain perkataan,
mereka melahirkan Ilmu Musthalah Hadits, yaitu ilmu yang menetapkan
kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah
ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawa'id (kaidah-kaidah)
tahdits dan ushul-nya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya,
syarat- syarat shahih, dha'if.

e. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu'


Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits
yang shahih, hasan dan dha'if dari maudhu', yang dipandang seburuk-buruk
hadits dha'if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang
dalam menentukan hadits-hadits maudhu' itu.

6. Tokoh-tokoh Hadits yang Lahir dalam Masa Ini


Tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini ialah Ali ibn al-Madiny,
Abu Hatim ar-Razy, Muhammad ibn Jarir ath-Thabary, Mu- hammad ibn Sa'ad,
Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa'y, Abu Daud, At-
Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah, Ad- Dainury.

7. Kitab-kitab Sunnah yang Tersusun dalam Abad ke-3 Hijrah


Kitab-kitab sunnah yang tersusun dalam abad ke-3 Hijrah di antaranya:
− Al-Musnad, susunan Musa ibn Abdillah al-Abasy
− Al-Musnad, susunan Musaddad ibn Musarhad.
− Al-Musnad, susunan Asad ibn Musa.
− Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini di- kumpulkan oleh
para penghafal hadits berdasar kepada riwayat Yunus ibn Habib dari Ath-
Thayalisy).
− Al-Musnad, susunan Nu'aim ibn Hammad.
− Al-Musnad, susunan Abu Ya'la al-Maushily.
− Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
− Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
− Al-Musnad, susunan Abed ibn Humaid.
− Al-Musnad al-Mu'allal, susunan Al-Bazzar.
− Al-Musnad, susunan Baqy ibn Makhlad (201-296 H.) Musnad ini paling luas
isinya daripada musnad-musnad yang lain).
− Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H.)
− Al-Musnad, susunan Ahmad ibn Hanbal.
− Al-Musnad, susunan Muhammad ibn Nashr al-Marwazy.
− Al-Musnad, susunan Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H.)
− Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H.).
− Al-Musnad, susunan Utsman ibn Abi Syaibah (293 H.).
− Al-Musnad, susunan Abu al-Husain ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H.).
Dalam musnad ini dikumpulkan seluruh hadits-hadits Az-Zuhry.
− Al-Musnad, susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab).
Seharusnya digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena
hadits-hadits yang diriwayatkannya secara musnad. Al-Bukhary pun menamai
kitabnya dengan Al-Musnad ash- Shahih
− Al-Musnad, susunan Said ibn Manshur.
− Al-Musnad, susunan Al-Imam Ibnu Jabir. Kitab ini adalah di antara kitab-kitab
Ibnu Jarir yang bernilai tinggi. Di dalamnya diterangkan 'illat hadits-haditsnya,
fiqhnya, lughah-nya dan pendapat fuqaha.
− Al-Jami' ash-Shahih, susunan Al-Bukhary.
− Al-Jami' ash-Shahih, susunan Muslim.
− As-Sunan, susunan An-Nasa'y.
− As-Sunan, susunan Abu Daud. -As-Sunan, susunan At-Tirmidzy.
− As-Sunan, susunan Ibnu Majah. -Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
− Ath-Thabaqat, susunan Ibnu Sa'ad. Kitab ini walaupun titik beratnya
menguraikan sejarah perawi, tetapi mengumpulkan juga hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi tersebut.
Maka dengan usaha ulama besar abad ke-3 ini, tersusunlah kitab hadits
dalam tiga macam:
Pertama, kitab-kitab shahih.
Kedua, kitab-kitab sunan.
Ketiga, kitab-kitab musnad.
Kitab-kitab shahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tidak
memasukkan ke dalamnya, selain hadits-hadits yang shahih saja.
Kitab-kitab sunan, (kecuali Sunan Ibni Majah) ialah kitab-kitab yang
oleh penulisnya tidak dimasukkan ke dalamnya hadits-hadits yang munkar dan
yang sepertinya. Adapun hadits dha'if yang tidak munkar dan tidak sangat
lemah, terdapat juga di dalamnya, dan kebanyakan diterangkan kedha'ifannya
oleh penulisnya sendiri. Lantaran ini, derajat kitab sunan, di bawah kitab
shahih.
Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya
memasukkan ke dalamnya segala rupa hadits-hadits yang diterima, dengan
tidak menyaring dan tidak menerangkan derajat-derajatnya. Oleh karena itu,
derajatnya di bawah derajat kitab sunan. Dan hanya dibolehkan mengambil
hadits-hadits daripadanya terhadap orang-orang yang ahli menyaring, ahli
menyelidik, mengerti hal ihwal hadits dan seluk-beluknya. Demikianlah urutan
kitab-kitab hadits apabila ditinjau dari segi nilai isinya.
Perbedaan sistem antara musnad dan mushannaf ialah kitab-kitab
musnad itu menyusun hadits menurut nama perawi pertama, sedangkan
mushannaf menyusun hadits menurut nama bab. Kitab-kitab shahih dan sunan
disusun secara mushannaf.
8. Kesimpulan
Para ahli hadits abad ke-2 Hijrah sebagaimana sebagian yang telah
diterangkan, tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in.
Keadaan ini diperbaiki oleh ahli hadits abad ke-3 Hijrah. Ketika mengumpulkan
hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits-
hadits saja dalam buku-buku hadits. Al-Bukhary menyusun kitabnya yang
terkenal dengan nama Al-Jami' ash-Shahih yang membukukan hadits-hadits yang
dianggap shahih saja. Kemudian usaha ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat
alim, yaitu Imam Muslim.
Al-Bukhary dan Muslim mensyaratkan sanad yang muttashil, serta
perawi yang Muslim (Islam), yang bersifat benar, tidak suka bertadlis dan tidak
berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu dan baik pula i'tiqad-nya. Al-
Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim
menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima
perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan
tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun Muslim menerima riwayatnya asal perawi
itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Perbedaan sistem antara musnad dan mushannaf ialah kitab-kitab
musnad itu menyusun hadits menurut nama perawi pertama, sedangkan
mushannaf menyusun hadits menurut nama bab. Kitab-kitab shahih dan sunan
disusun secara mushannaf.

Anda mungkin juga menyukai