TUJUANNYA
Makalah
Oleh:
Mirzatul Qhadri
221003001
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa permulaan Alquran masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan
Alquran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Alquran, Nabi Muhammad
SAW juga meny uruh menghafalkan ayat-ayat Alquran. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan hadits
tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengijinkannya. Walaupun
beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum
dibukukan sebagaimana Alquran. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir
Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam
tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang
wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-
tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri,
kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain. Penulisan dan
pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-
ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar
seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang
ahli dalam urusan fikih dan hadits.1
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits
yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita,
tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh
hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah itu,
dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin Syihah az Zuhry yang
memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di
masanya. Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan
hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-
khalifah Abbasiyah.
Pada Zaman dahulu, menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah,
tidak disuruh juga mereka dengan senang hati menyusun hadits tanpa meminnta
imbalan. Karena mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka,
dan ini bukanlah suatu pekerjaan yang harus diberi upah. Ulama jaman dahulu
benar-benar berbeda dengan ulama jaman sekarang, mereka benar-benar berjuang
di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Para pengumpul pertama
hadits yang tercatat dalam sejarah adalah :
1.
3
Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al
Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika
dia pergi naik haji pada tahun 144 H (143 H). Kitab al Muwaththa’ dianggap
paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab
sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum muncul, dari sistematika
itu yang paling baik.
4
melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada
hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya,
siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa
pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang
tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-II H,
dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits
marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
d. Masa Penyusunan
Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan) dan
penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam
memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama
mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk
marfu’ (yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad), mana yang mauquf
(yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat) dan mana yamg maqthu’ (yang
sanadnya hanya sampai kepada tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini
selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan rawi-rawi
pembawa beritanya sebagai wujud tashih (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang
ada maupun yang dihafal.
Selanjutnya pada abad ke-IV H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan
hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan
mahligai hadits. Sedangkan abad ke-V H dan seterusnya adalah masa
memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan
mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-IV H.2
2.
5
Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan
ulama dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih,
kalam, dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashr al-Tadwin”
(masa pembukuan). Karya ulama pada masa ini masih bercampur antara hadits
rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan
antara hadits sahih, hasan dan dha'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits
mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab
yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
3.
6
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab Asy-Syafi’y yang penting. Di
dalamnya di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang
mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun di dalamnya di terangkan pula
cara-cara menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama
lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan
Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
h. Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan antara hadits-hadits tafsir
dari hadits umum dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya.
Maka yang mula-mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin
Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama
Sirah ibnu Hisyam.
i. Hadits dalam Abad Ketiga
Ahli hadits abad ketiga mulai bangkit mengumpulkan hadits, mereka
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-
buku hadits berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus
kita akui, ialah mereka tidak memisah-misahkan hadits. Yakni mereka
mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala
hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm
membukukan hadits saja mengingat perkataan Umar bin Abdil Aziz kepadanya :
“Jangan Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”
Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits
yang terdapat di kota mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan
oleh Imam Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad,
Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang beliau kunjungi. Beliau
membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah.
Selama 16 tahun lamanya Imam Al-Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab
shahihnya.
B. Kemunculan Hadits-Hadits Palsu
7
1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari golongan Abbasiyah, syiah
dan lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu untuk menambah
hebat ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah
dan kekacauan di golongan umat Islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada
masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran
hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus
hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin
Mahdi.
Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat,
bergeraklah para ulama untuk membela syariat dan memelihara agama Islam.
Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu.
Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu
(maudhu’) mereka tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu
jarh wa ta’dil. Para ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits
dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan
motif pembuatan hadits palsu.
Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan
memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang
shahih dan dha’if, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang
mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat
menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah yang
dipegangi dalam menentukan hadits maudhu’.
C. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.
Di antara hal yang tumbuh dalam abad ketiga ini ialah muncul orang-
orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat.
Sejak dari timbul fitnah di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi
beberapa golongan.
1. golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
2. golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
8
3. golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).
4. Penganut ajaran tasawuf, di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang
pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah. Tetapi
biasanya, orang yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang
ajaran Islam. Ditafsirkanlah ajaran Islam sesuai dengan kehendaknya.
Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu,
maka dibuatnyalah hadits-hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang
mereka buat, biasanya berkisar tentang persoalan yang berhubungan
dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yang menggembirakan dan
mencemaskan).
5. Ulama tidak/belum memperhatikan dhaif, shahih/hasan, yang penting
itu sumbernya dari Rasulullah SAW.
6. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak.
9
BAB III
PENUTUP
Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ulama dapatlah kita
memantapkan, bahwa merekalah ulama yang mula-mula menciptakan undang-
undang (qawaid) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai
khabar-khabar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara seluruh umat,
karena memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal
menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan
garis pemisah antara shahih dan dha’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada
asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudhu’.
[1] Az Zuhry menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Saheh ibn Sa’ad, Anas ibn Malik,
Mahmud bin al Rabi’, Sa’id bin Musaiyab dan Umamah bin Saheh.
[2] Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar al-‘Iim al-
Malayin, 1977), hal. 45.
[3] Perbedaan Musnad dengan Mushannaf, ialah musnad disusun haditsnya
menurut nama perawi pertama, sedangkan mushannaf disusun menurut bab fiqih.
Begitu juga sunan dan shahih.
10
D. PEMALSUAN HADITS
Motif-motif Pemalsuan Hadits
1. Propagandis propagandis politik
Salah satu cara untuk menarik minat orang terhadap apa yang disam. paikannya,
adalah dengan mengemukakan cerita. Cerita itu akan lebih menarik bila dibumbui
dengan hal-hal yang menakjubkan, yang ganjih ganjil dan yang menakutkan.
2. Golongan Zindiq
Golongan yang pada lahirnya memeluk Islam , tetapi batinnya memusuhi Islam.
3. Tukang-tukang cerita
Maka, di antara penyebar ajaran Islam, karena dorongan dan ke¬inginannya yang
sarigat besar untuk menarik minat para hadirinnya, mereka lalu membuat kisah-
kisah, dongeng-dongeng dan semacamnya. Celakanya, kisah-kisah yang
dikarangnya itu lalu dilengkapi. dengan ad dan dinyatakan berasal dari Nabi
Muhammad.
4. . Penganut ajaran tasawuf
Di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan agamanya masih sangat
terbatas dan bahkan salah. Tetapi biasanya, orang yang demikian ini merasa
dirinya serba tahu tentang aj aran Islam. Ditafsirkan¬hh ajaran Islam sesuai
dengan kehendaknya. Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan
pemahamannya itu, maka dibuatnyalah Hadits¬hadits palsu. Dan pemalsuan
Hadits yang mereka buat, biasanya berkisar ~soal-soal yang berhubungan dengan
“targhib wat tarhib” (berita-berita yangmenggembirakan dan mencemaskan).
E. CARA MENGATASI PEMALSUAN HADITS
1. Pemerintah, dalam hal ini dari bani Abbasiyah; berusaha menumpas kaum
zindiq.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat, bahwa bani Abbas menumpas
kaum zindiq itu, boleh jadi karena mereka membuat Hadits-hadits palsu yang
merendahkan derajat bani Abbas dan menjauhkan masyarakat dari bani Abbas.
Atau, mungkin para Khalifah bani Abbas bermaksud memelihara agama dari
kerusakan yang dilakukan oleh golongan zindiq.
Usaha pemerintah ini, tentu saja belumlah berhasil secara tuntas menumpas
pemalsu-pemalsu Hadits. Sebab, kaum zindiq yang ditumpas pemerintah itu,
barulah salah satu golongan saja di antara golongan Hadits. Ditambah lagi, karena
kaum zindiq ini, merupakan gerakan yang terselubung, maka dalam
menumpasnya tidaklah mudah.
2. Para Ulama berusaha dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemal¬suan -
Hadits. Caranya, bermacam-macam. Di antaranya:
a. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran Hadits-
hadits yang diterimanya dan meneliti sum¬ber-sumbernya, kemudian hasilnya
mereka siarkan ke masyara¬kat.
b. Meneliti sanad dan perawi Hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah laku
para perawi dan sanad Hadits diselidiki dengan saksama. Maka lahirlah, istilah-
11
istilah: tsiqah, kadz¬dzab, fulan la ba’sa bihi, dan sebagainya. Imam Malik
misalnya, telah memberi tuntunan kepada penun¬tut/pencari Hadits, dengan
menyatakan: Janganlah mengambil ilmu (Hadits) dari empat macam orang, yaitu:
a. orang yang kurang akal,
b. orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengajak manusia untuk mengikuti
hawa nafsunya,
c. orang yang suka berdusta, dan
d. seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesalihan dan aktif ibadah, tetapi
tidak mengetahui apa yang diriwayatkannya yang berhubungan dengan Hadits.
Pada sekitar tahun 150 H, Ulama mulai memperbincangkan tentang ta’dil dan
tajrih. Banyak Ulama yang terkenal ahli dalam menilai perawi Hadits pada abad II
periode keempat ini. Misalnya, Imam Malik, Auza’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul
Mubarak, Uyaiyah, Ibnu Wahhab, Waki’ Ibnu AI¬Jarrah, Yahya Ibnu Saad AI-
Qatthan, Abdur Rahman Ibnu Mahdi, dan lain-lain. Di antara Ulama tersebut,
yang ferkenal memiliki ilmu yang menda¬lam tentang kritik rijalil Hadits, ada dua
orang. Yaitu:
1. Yahya Ibnu Saad Al-Qatthan (wafat th. 193 H).
2. Abdur Rahman Ibnu Mahdi (wafat th. 198 H).
12