Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH KODIFIKASI HADIS

Matkul :

Ulumul Hadis

Dosen pengampu:

Yang di susun oleh:

-Khoirun nisa Sirregar:0406212027

Ramsil Huda Hasibuan:0406213019

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
Sebagai umat Islam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Islam adalah yang
wajar dan sangat baik, terutama tentang sejarah kodifikasi hadits. Banyak sekali umat Islam yang
belajar hadits dan ulumul hadits, akan tetapi jarang mereka mengkaji sejarah pembukuannya.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan tentang sejarah kodifikasi
haditsPengertian Kodifikasi Hadits

Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin yang merupakan bentuk
masdar dari dawwana, yudawwinu, tadwiinan yang berarti pembukuan. Pembukuan adalah
mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan yang ada di dalam
dada, kemudian menyusunnya hingga menjadi satu kitab.[1] Jadi kodifikasi berbeda dengan
menulis, karena menulis belum tentu disusun menjadi buku, sedangkan kodifikasi tulisan yang
telah dibukukan

Faktor-faktor Kodifikasi Hadits

Upaya pembukuan hadits secara resmi ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya

1.Al-Qur’an telah dibukukan dan tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan
bercampur dengan hadits.

2.Para perawi hadits telah banyak yang meninggal. Jika hadits tidak segera ditulis dan
dibukukan, maka lama kelamaan hadits akan hilang bersama dengan meninggalnya perawi
hadits.

3.Daerah kekuasaan Islam semakin luas dan peristiwa-peristiwa umat Islam semakin kompleks,
sehingga memerlukan petunjuk dari hadits sebagai sumber agama.

4.Pemalsuan hadits semakin merajalela. Jika kejadian tersebut dibiarkan, maka akan mengancam
kemurnian dan kelestarian hadits.[2]

Sejarah Kodifikasi (Pembukuan) Hadits

Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang
dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ hingga beliau
disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima. Beliau menetapkan dan memerintah ulama-
ulama pada masanya untuk melakukan kodifikasi hadits disebabkan karena kesadaran beliau atas
banyaknya para perawi hadits semakin lama banyak yang meninggal. Sehingga beliau khawatir
jika hadits tidak segera dibukukan maka akan hilang dan lenyap.[3] Di bawah ini akan dijelaskan
7 periode sejarah kodifikasi hadits, sebagai berikut:

Periode pertama adalah periode pada zaman Rasulullah SAW. Pada periode ini dikenal dengan
masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[4] Sehingga pada awal-awal
kemajuan Islam Rasulullah SAW melarang para shahabatnya untuk menulis hadits, karena
disamping akan bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an juga agar umat Islam lebih fokus pada
Al-Qur’an.[5] Akan tetapi dengan berjalannya waktu tidak sedikit di antara para shahabat banyak
yang berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi SAW. Hal tersebut dikarenakan selain melarang,
Rasulullah di lain waktu juga membolehkan para shahabatnya untuk menulis hadits. Sehingga
banyak di antara para shahabat yang memiliki shahifah hadits, di antaranya: Abdullah bin Amr
bin ‘Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin Jundab, Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.[6]

Periode kedua adalah dimulai pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada periode ini dikenal dengan
masa pembatasan atau pengurangan dalam periwayatan hadits Nabi SAW sebagai bentuk kehati-
hatian. Usaha para shahabat dalam membatasi periwayatan hadits dilatar belakangi oleh rasa
khawatir akan terjadinya kekeliruan. Hal ini dikarenakan suasana pada waktu itu tidak kondusif,
bahkan terjadi perpecahan dan fitnah di dalam umat Islam itu sendiri,[7] di antaranya munculnya
nabi palsu, terbunuhnya Umar, Usman, dan Ali, banyak shahabat yang tidak suka kepada Usman,
munculnya Syi’ah, dll. Sehingga para shahabat sangat berhati-hati dalam menerima kegiatan
periwayatan hadits. Para shahabat pada periode ini meriwayatkan hadits melalui dua cara, yaitu
bilafdzi dan bilmakna.[8]

Periode ketiga adalah masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah. Periode ini berlangsung pada
masa shahabat kecil/ muda dan tabi’in atau pada masa Dinasti Muawwiyah sampai pada akhir
abad 1 Hijriyah. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir,
Persia, Samarkand, hingga Spanyol. Bertambahnya wilayah Islam berdampak pada tersebarnya
hadits di dalamnya.[9]

Periode Keempat adalah Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Penulisan dan
pembukuan hadits ini dimulai setelah adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717 – 720 M). Perintah resmi tersebut sebagai instruksi langsung dari Umar untuk seorang
Ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm (Ibnu Shihab Az-Zuhri) yang
menjabat sebagai Gubernur Madinah agar menuliskan hadits Nabi Muhammad SAW.[10]

Latar belakang Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan agar mengkodifikasi hadist adalah
karena kekhawatiran akan hilangnya hadits seiring meninggalnya para perawi hadits dan
khawatir akan bercampurnya hadits Nabi SAW dengan hadits palsu. Pengkodifikasian hadits ini
berlangsung hingga pemerintahan Bani Abbasiyah tepatnya pada pertengahan awal abad ke III
H.
Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w. 179 H) di Makkah, Ibnu
Shihab Az-Zuhri (w. 124 H), Ali Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H) di Madinah, Ar-
Rabi’ bin Shihab (w. 160 H) dan Abdurrahman Al-Auza’i (w. 156 H) di Suriah.[11] Selain itu
juga termasuk imam Syafi’i (w. 204 H) di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di
Baghdad.[12] Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-
Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik,
termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Dan kitab hadits pada periode ini masih bercampur
dengan fatwa shahabat, tabi’in, hingga hadits palsu karena belum ada penyeleksian secara penuh.
[13]

Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Periode ini
berangsung sekitar pertengah awal abad ke III Hijriyah, atau tepatnya pada masa Dinasti
Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Mu’tadir.[14] Periode ini ulama-
ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits, yakni
memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits mauquf dan maqtu’. Pada periode ini lahirlah kitab
induk hadits (Kutubus Sittah), di antaranya:

Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)

Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)

Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)

Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)

Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H)

Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)[15]

Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan.


Periode ini berlangsung 2 setengah abad, mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII
Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H.
Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode kelima, sehingga periode ini juga melahirkan
banyak ulama dan kitab hadits, di antaranya:

1.Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-
Mu’jam Ash-Shaghir.
2.Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni.

3.Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah.

4.Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra.

5.Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar.

6.Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll.[16]

Periode Ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Pada periode ini
ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-
kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Para periode ini hanya
sedikit ulama hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya
secara hapalan yang sempurna, di antaranya ulama yang masih menyampaikan hadits secara
hapalan sempurna adalah Imam Al-Iraqy (w. 806 H), Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), As-
Sakhawy (w. 902 H).[17] Ketiganya mempunyai hubungan sebagai guru dan murid.

Footnote

[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. ke-II,
1994), hlm. 33.

[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 88.

[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), Ed. 3, hlm.78.

[4] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 18.

[5] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
89.

[6] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 19.
[7] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
90.

[8] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20.

[9] Ibid., hlm. 20

[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 75.

[11] Ibid., hlm. 91.

[12] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20-21.

[13] Ibid., hlm. 21.

[14] Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: LISK, 2000), hlm. 197.

[15] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 21.

[16] Ibid., hlm. 22-23.

[17] Fathur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 296.

Daftar Pustaka

Abdul Hakim, Atang. 2003. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Qaththan, Manna’. 1994. Mabahis fi ‘Ulum Al-Hadits. Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. ke-II.

Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009. Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir.
Semarang:Pustaka Rizki Putra, Ed. 3.

Muhajirin. 2016. Ulumul Hadits II, Palembang: NoerFikri Offset.

Nata, Abudin. 2000. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: LISK.

Rahman, Fathur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif.

Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7.

Bagikan ini:

Muhammad Nasikhul Abid

NEXTMateri PAI Kelas VII SMP Kurikulum 2013 Revisi 2017 »

PREVIOUS« Mengenal Lebih Dekat KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha')

VIEW COMMENTS

Leave a Comment

SHARE

PUBLISHED BY

Muhammad Nasikhul Abid


TAGS:

Haditskodifikasi haditspembukuan haditsSejarah

2 TAHUN AGO

RELATED POST

hadits mutawatir dan ahad

Pembagian Hadits Ditinjau dari Kuantitasnya

Pendahuluan Apabila Al-Quran sepenuhnya adalah wahyu dari Allah SWT, maka sunnah berasal
dari Nabi Muhammad…

Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-
Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling
penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat
dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata,
“Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”

Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk
dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran
atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka
sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.

Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin.
Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang
setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan
dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal
hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup
menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.

Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan
hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan
dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah
kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan
sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah
mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis
dengan menuliskannya.

Masa Sahabat

Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para
sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan
menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab
al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada
seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya
dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”

Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki.
Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang
penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa
Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran,
maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)

Masa Tabi’in dan setelahnya

Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga
datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau,
kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.

Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis
perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu
dan lenyapnya para ulama.”

Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi
hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz
merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat
melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul
‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan kumpulkanlah.”

Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah
Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam.
Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya
dalam kitab mereka.

Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-
tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab
“as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di
Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin
Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-
Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”

Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai,
Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang
ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.

Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan
seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab
Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari,
seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-
hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti
setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.

Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak
terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh, ajzaa` dan lain-lain.
Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang
diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang
tidak diperhitungkan.
Rujukan Utama:

Muqaddimah Mushahhih Kitab “Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis”, al-Hakim an-Naisaburi.

Al-Manhaj al-Muqtarah lii fahmi al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-‘Auni

Fathul Bariy, al-Hafidz ibnu Hajar.

dll.

Anda mungkin juga menyukai