Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“Politik Islam Dalam Pandangan Tokoh”

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

“Pemikiran Politik Islam”

Dosen Pengampu : Mardian Idris Harahap

Di susun oleh:

Poppy Radana : 0406213035

Putri Aprillia Pr Payung : 0406212027

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang
senantiasa memberi banyak limpahan nikmat dan karunianya, yaitu nikmat iman dan islam
sehingga atas izin nya kami diberi kemudahan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pemikiran
Politik Islam yang berjudul “Politik Islam Dalam Pandangan Tokoh”, Sholawat serta salam
kami haturkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu„Alaihi wa Sallam yang telah
memperjuangkan islam dan memberikan petunjuk kepada kita menuju jalan kebenaran, semoga
kita mendapatkan syafa’at di yaumil mahsyar aamiin ya Rabbal „aalamiin.

Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Madinah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan untuk perbaikan karya tulis ilmiah kami yang akan datang. Semoga
makalah kami dapat dipahami dan di amalkan di kehidupan sehari hari.

Medan, 19 Maret 2023

Pemakalah Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………………………………….iii

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………………………………………….i

A. LATAR BELAKANG ………………………………………………………………………………………………………………………i


B. RUMUSAN MASALAH …………………………………………………………………………………………………………………ii

BAB 2 PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………………………………………i

1. POLITIK ISLAM PADA MASA KLASIK DAN PERTENGAHAN …………………………………………………………..i


2. POLITIK ISLAM MENUURUT PANDANGAN TOKOH DI ERA KLASIK DAN PERTENGAN ………………….i
3. POLITIK ISLAM MENURUT PANDANGAN TOKOH DI ERA MODREN …………………………………………….i

BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………………………………………..i

A. KESIMPULAN …………………………………………………………………………………………………………………………..ii

DATAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………………………..i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara sederhana, pemikiran politik ialah sebuah ide atau gagasan yang ideal dalam
mewujudkan masyarakat, bangsa, dan negara (sistem politik) yang diinginkan agar bisa mencapai
tujuan yang dikehendaki disertai pula cara mencapainya (Sutrisno, 2015). Ide atau gagasan ideal
tersebut bukan hanya meliputi urusan politik semata, namun hampir seluruh segi kehidupan
manusia.

Tentu, ide atau gagasan tentang sistem politik ideal sangat diperlukan sebagai acuan
berbangsa dan masyarakat, dan bernegara. Dalam konteks pemikiran politik di Indonesia,
tujuannya adalah untuk mengetahui lebih banyak perkembangan perilaku politik seseorang atau
elit politik, masyarakat, bangsa dan negara, maka perlu pemahaman lebih jauh aliran-aliran
pemikiran politik yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Apakah berasal dari akar budaya asli bangsa Indonesia ataukah merupakan kebanyakan
hasil interaksi dengan pemikiran dan kebudayaan diluarnya. Suka-atau tidak suka, aliran-aliran
pemikiran (politik) inilah yang secara empirik berpengaruh terhadap proses politik dan perubahan
sosial di Indonesia ke depannya.Sebagaimana banyak diketahui, sedari awal negara ini berdiri,
sudah nampak kentara bagaimana pergulatan pemikiran politik para elite dalam merumuskan
Pancasila.

Perdebatan hingga pengalaman perubahan atas konstitusi yang akhirnya Pancasila, dari
Piagam Jakarta hingga bentuk yang sekarang disepakati, tidak terlepas dari adanya corak
pemikiran politik para tokoh yang berbeda-beda. Pastinya perbedaan pemikiran tersebut
mengakibatkan konsekuensi logis berupa perdebatan yang tidak muda.
Rumusan Masalah

1.Bagaimana penjelasan tentang politik islam pada masa abad klasik pertengahan dan modern ?

2. Bagaimana politik islam dalam pandangan tokoh pada masa klasik dan pertengahan ?

3.. Bagaimana politik islam dalam pandangan tokoh pada masa modern ?

Tujuan Masalah

1. Agar mengetahui tentang politik islam pada masa abad klasik dan pertengahan

2. Agar mengetahui tentang politik islam dalam pandangan tokoh.

3. agar mengetahui tentang politik islam di era zaman nya.

BAB II
PEMBAHASAN

1 . Pemikiran Islam Pada Masa Klasik dan Pertengahan .

Sejarah Islam yang sudah berjalan sepanjang lima belas abad, menurut para ahli, dapat dibagi menjadi
tiga periode, yaitu periode klasik (hingga tahun 1250 M), pertengahan (1250-1800 M), dan modern (1800-
sekarang).1 Perkembangan pemikiran politik Islam juga dapat dibagi berdasarkan periodisasi sejarah
tersebut. Terdapat perbedaan dan ciri khas pada masing-masing pemikiran dalam periode-periode
tersebut. Uraian berikut akan memaparkan perkembangan pemikiran politik Islam, tokoh-tokoh pemikir,

1
Umar amir hosein ,kultur islam [Jakarta ;bulan bintang 1975]h. 1
dan gagasan mereka masing-masing. Ciri umum pemikiran politik ketatanegaraan Islam pada masa klasik
dan pertengahan ditandai oleh pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris. Kepala negara atau
khalifah memegang peranan pen- ting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk
mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni.

Periodisasi sejarah Islam ini dipaparkan dengan baik oleh Harun Nasution dalam karyanya Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, terkadang sangat berlebihan. Biasanya, mereka mencari dasar legitimasi
keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. Di antaranya yang
mereka jadikan landasan adalah surat al-Nisa', 4: 59 yang memerintahkan umat Islam untuk menaati Allah,
Rasul-Nya, dan para pemimpin mereka:

ُ َْ َ َ ُ َّ
‫ول َوأ ْو ِ ِل اْل ْمر ِمنك ْم‬ ُ ‫اّلل َو َأط‬
‫يعوا الرس‬ َ َّ ‫يعوا‬ َ ‫َي َتأ ُّي َها َّالذ‬
ُ ‫ين َء َام ُنوا َأط‬
ِ ِ ِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...serta
surat al-An âm, 6: 165 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi
dan meninggikan derajat sebagian manusia atas yang lainnya:

َ َ َ ُ َ َ َْ َ ََ َ ُْ ََ َ َّ ُ
‫ف اْل ْرض َو َرف َع َب ْعضك ْم ف ْوق َب ْعض د َر َجت‬‫َوه َو ال ِذي جعلكم خلت ِب‬

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas
sebagian (yang lain) beberapa derajat

Selain itu, Hadis Nabi SAW juga banyak berbicara tentang kepatu- han kepada kepala negara. Di antaranya
pernyataan Nabi bahwa orang yang keluar dari jemaah dan ketaatan kepada pemimpin, lalu meninggal
dunia, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah. Al-Mawardi, seba- gaimana akan dijelaskan nanti,
mengutip Hadis yang berasal dari Abu Hurairah yang memerintahkan umat Islam mendengarkan dan
menaati pemimpin setelah Nabi, baik atau buruk. "Kalau pemimpin itu baik, maka kebaikannya untuk
ketenteraman kalian dan ia akan mendapat pahala. Sebaliknya, kalau pemimpin itu buruk, maka kalian
mendapat pahala (dengan kesabaran kalian) dan mereka mendapat dosa.

"Alasan mereka menekankan ketaatan yang ketat rakyat terhadap kepala negara adalah demi
menjaga stabilitas politik umat Islam itu sendiri, sehingga keadaan negara benar-benar aman dan
penegakan syariat Islam terlaksana dengan baik. Hal ini membawa pengaruh besar."Sultan (di sini berarti
kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama;
ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib
adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya. urang lebih 50
tahun. Di Baghdad inilah ia mencapai kematangan yang maksimal. Ia pernah tinggal di Harran dan
kemudian kembali ke Baghdad.

2. POLITIK ISLAM MENURUT PANDANGAN PADA ERA KLASIK DAN PERTENGAHAN

1. AL FARABI.

Al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling banyak membicarakan masalah kemasyarakatan,
meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat, karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain."
Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja
materiil tetapi juga spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Farabi ini
memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam di samping pengaruh pemikiran
Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moral, akhlak atau budi pekerti. Dari kecenderungan
hidup bermasyarakat inilah lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan negara.

Masalah kemasyarakatan banyak dibicarakannya dalam karya-karyanya, antara lain: al-Siyâsah al-
Madaniyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan) dan Arâ' Ahl al- Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran
Penduduk Kota/Negara Utama). Buku Arâ' Ahl al-Madinah al-Fâdhilah mirip dengan buku Republik karya
Plato, dan banyak memuat pikiran-pikiran aliran Platonisme, di samping memuat aliran Neo Platonisme.
Memang dalam soal kemasyarakatan, di antara filsuf-filsuf Yunani, hanya Plato-lah yang sangat
berpengaruh di kalangan filsuf Islam. Dalam buku tersebut, beliau membagi negara kepada dua kelompok,
yaitu Negara Utama (al-Madinah al-Fâdilah) dan Lawan Negara Utama (Mudaddah al-Madinah al-
Fadhilah).

1. Negara Utama [al-Madinah al-Fadhilah]

Al-Farabi menyatakan, sebagaimana dinyatakan oleh Plato, bahwa bagian suatu negeri sangat erat
hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama, laksana anggota badan. Apabila salah satunya
menderita sakit, maka anggota-anggota lainnya akan ikut merasakannya pula. Setiap anggota badan
mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat kepentingan yang tidak sama.
Keseluruhan ang- gota tubuh yang beragam ini dipimpin oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hati
atau akal. Hati merupakan salah satu anggota badan yang paling baik dan sempurna.

Demikian juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai warga-warga dengan fungsi dan
kemampuan yang tidak sama satu dengan lainnya. Kebahagiaan bagi satu masyarakat tidak akan terwujud
dengan sempurna kecuali apabila ada pembagian kerja yang berbeda, sesuai dengan keahlian dan
kecakapan anggotanya dengan dijiwai oleh rasa setia kawan dan kerja sama yang baik. Semua warga
negara yang beragam tadi dipimpin oleh seorang Kepala Negara, seperti halnya hati. Di samping negara
utama yang dikemukakan al-Farabi di atas terdapat pula empat macam negara yang rusak, yang
bertentangan dengan Negara Utama, yaitu:

1 . Negara bodoh (al-Madinah al-Jâhilah) yaitu negara yang pendu- duknya tidak mengenalkebahagiaan,dan
kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hatinya. Kalaupun diingatkan, mereka tidak memercayainya.
Kebaikan menurut mereka yaitu badan sehat, harta yang cukup, dapat merasakan kesenangan lahiriah,
sedangkan kebalikan dari hal tersebut adalah kesengsaraan." Negara yang bodoh ini bermacam-macam.
Ada negara yang sangat primitif, yang perhatian rakyatnya hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan
hidup, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, serta kerja sama untuk pengadaan keperluan
tersebut. Ada negara yang sudah agak maju, tetapi perhatian rakyatnya terpusat pada kerja sama untuk
peningkatan materi dan penumpukan harta kekayaan. Ada negara yang tujuan hidup rakyatnya untuk
dihormati, dipuji, dan tersohor di antara bangsa-bangsa lain. Ada juga yang perha- tiannya ingin
menaklukkan dan menguasai negara-negara lain; dan ada pula yang rakyatnya ingin menikmati kebebasan
berbuat sekehendaknya, yang pada akhirnya menimbulkan anarki.

2 . Negara fasik (al-Madinah al-Fâsiqah), yakni negara yang pendu- duknya mengenal kebahagiaan, Tuhan
dan Akal Fa``âl, seperti penduduk negeri utama. Akan tetapi, tingkah laku mereka sama dengan tingkah
laku negara bodoh. Dengan demikian, apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka
ucapkan.

3 . Negara sesat (al-Madînah al-Dhâllah), yaitu negara yang pendu- duknya mempunyai pemikiran yang
salah tentang Tuhan dan Akal Fa"âl. Meskipun demikian, kepala negaranya menganggap bahwa dirinya
mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain dengan ucapan dan tingkah lakunya.

(4) Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah) . 2fadalah negara yang pada awalnya mempunyai
pikiran yang sama seperti pemikiran penduduk negara utama, akan tetapi kemudian mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang membawa mereka kepada kerusakan pada
pikirannya. Negara sebagaimana tersebut di atas sebenarnya hanya ada dalam khayalan al-Farabi,
sehingga terlihat bahwa konsepsi-konsepsi poli- tiknya lebih banyak bersifat teoretis daripada realistis-
pragmatis. Hal ini memang dapat dimaklumi karena ia sendiri hanyalah seorang ahli piker.

2. Al-Mawardi

Setting Sosial Politik al-Mawardi Abu al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, demikian nama lengkap al-
Ma- wardi, (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai
dengan suasana dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan daulat bani Abbas. Pada masa itu,
Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan bani Abbas tidak mampu membendung arus keinginan
daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari bani Abbas dan membentuk daerah otonom.
Ini akhirnya memunculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan bani
Abbas. Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah bani Abbas sangat lemah. Mereka menjadi boneka dari
ambisi politik dan persaingan antara pejabat-pejabat tinggi negara dan para panglima militer bani Abbas.

2
Umar amir hosein ,kultur islam ,[ Jakarta ;bulan bintang ,1997 hal 2
Khalifah sama sekali tidak berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang berkuasa adalah para
menteri bani Abbas yang pada umumnya bukan berasal dari bangsa Arab, melainkan dari bangsa Turki
dan Persia.3

Pemikiran Politik al-Mawardi.

Menurut al-Mawardi, imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam


rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imamah, menurutnya, adalah
fardhu kifayah ber- dasarkan ijma ulama.Pandangannya didasarkan pula pada realitas sejarah al-Khulafa'
al-Rasyidûn dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik dari bani Umaiyah maupun bani Abbas, yang
merupakan lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang
menyatakan mâ lâ yatimmu al-wajib illâ bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali
melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu juga hukumnya wajib) Artinya, menciptakan dan
memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah
negara. Maka, hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah). Hal ini juga sesuai dengan kaidah
amr bi syay` amr bi wasâ'ilih (perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk
mengerjakan penghubung-penghubungnya). Negara adalah alat atau penghubung untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia.

Al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu ahl al-
ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara, dan ahl al-imâmah atau orang yang
ber- hak menduduki jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui
dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas serta kebijakan, sehingga dapat
mem- pertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi
tujuh persyaratan, yaitu: adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat pancaindranya, punya
ke- mampuan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah
kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.4

Pelembagaan imamah, menurutnya, adalah fardhu kifayah ber- dasarkan ijma ulama. Pandangannya
didasarkan pula pada realitas sejarah al-Khulafa' al-Rasyidûn dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik
dari bani Umaiyah maupun bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik umat Islam.
Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang menyatakan mâ lâ yatimmu al-wajib illâ bihi,
fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu
juga hukumnya wajib). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat
untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka, hukum mendirikan negara juga wajib
(fardhu kifayah). Hal ini juga sesuai dengan kaidah amr bi syay` amr bi wasâ'ilih (perintah untuk

3
Umar amir hosein ,kultur islam ,[Jakarta bulan bintang ] hal 3

4
amin husein nasution ,pemikiran politik islam [Jakarta ,bulan bintang ,hal 5]
mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan penghubung-penghubungnya). Negara
adalah alat atau penghubung untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.

Al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kandidat kepala negara yang diawali dengan
meneliti persyaratan kandidat. Lalu kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi diminta
kesediaannya. Da- lam hal ini, al-Mawardi menolak pemaksaan terhadap kandidat kepala negara, sebab
jabatan kepala negara merupakan kontrak yang harus dilakukan kedua belah pihak atas dasar kerelaan.
Kalau kandidat kepala negara bersedia dipilih, maka telah dimulailah sebuah kontrak sosial antara kepala
negara dan masyarakat yang diwakili oleh ahl al-ikhtiyâr. Mereka melakukan bay`ah terhadap kepala
negara terpilih untuk kemu- dian diikuti oleh masyarakat Islam. Dari kontrak ini, lahirlah hak dan
kewajiban secara timbal balik antara kepala negara sebagai penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi
Amanah .

Menurut al-Mawardi, secara garis besar ada sepu- luh tugas dan kewajiban kepala negara terpilih,
yaitu: (1) memelihara agama; (2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara
yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya; (3) memelihara keamanan dalam negeri agar
orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman; (4) menegak- kan hudud;
(5) membentuk tentara yang tangguh untuk membentengi negara dari serangan musuh; (6) melakukan
jihad terhadap orang yang menolak ajaran Islam setelah diajak; (7) memungut harta fai' dan zakat dari
orang yang wajib membayarnya; (8) membagi-bagikannya kepada

Dalam kaitannya dengan fungsi keagamaan kepala negara, al- Mawardi menyatakan bahwa
penguasa adalah pelindung agama. Dialah yang melindungi agama dari pendapat-pendapat sesat yang
merusak kemurnian agama, mencegah muslim dari kemurtadan, dan melindunginya dari kemungkaran.
Bagi al-Mawardi, karena adanya hubungan timbal balik antara agama dan penguasa, wajib hukumnya bagi
umat Islam mengangkat penguasa yang berwibawa dan tokoh agama sekaligus. Dengan demikian, agama
mendapat perlindungan dari kekuasaan dan kekuasaan kepala negara pun berjalan di atas rel agama.

Sebaliknya, rakyat wajib taat kepada kepala negara selama ia menja- lankan tugasnya dengan baik.
Kewajiban taat ini tidak hanya kepada kepala negara yang adil, tetapi juga kepada mereka yang jahat
Menurut al-Mawardi, ada dua kemungkinan akibat bila kepala negara dikuasai oleh orang-orang dekat
atau para "pembisiknya". Kalau orang- orang dekatnya menguasainya tetapi masih menjalankan kebaikan
dan tidak menyusahkan rakyat, maka kepala negara tetap dibiarkan dalam jabatannya. Tetapi, bila
tindakan dan perbuatan orang-orang dekatnya sudah menyimpang dari agama dan keadilan, maka
mereka harus ditindak. Demikian juga kalau kepala negara ditawan musuh dan tidak dapat mele- paskan
diri, maka umat Islam harus segera mencari penggantinya untuk menjalankan roda pemerintahan
sehingga tidak terjadi kevakuman politik.

3. Al-Ghazali

Latar Belakang Sosial Politik al-Ghazali.


Al-Ghazali dapat dikatakan sebagai pemikir Muslim yang paling po- puler dan paling
berpengaruh di Dunia Islam. Pemikiran keislamannya meliputi seluruh aspek ajaran Islam. Dari
tafsir, Hadis, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, teologi dan pendidikan hingga politik, al-Ghazali
mem- berikan sumbangan pemikirannya. Tidak heran kalau banyak pengamat yang melakukan
kajian terhadap pemikiran al-Ghazali dari berbagai aspek tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, al-Ghazali mem- pelajari fiqh pada seorang
ulama bernama Ahmad ibn Muhammad al-Rasykani di Thus, 1073 M/465 H. Setelah itu, ia
berangkat ke Jurjan melanjutkan studi Hadis pada seorang ulama mazhab Syafi`i bernama Abu al-
Qasim al-Isma`ili. Kemudian ia belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini (419-478 H/1028-
1085 M), guru besar mazhab Syafi'i di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur, 473 H. Dari Imam al-
Haramain ini al-Ghazali belajar filsafat, kalam, dan mantiq (logika).5

Al-Ghazali sependapat dengan al-Mawardi bahwa mendirikan imamah adalah wajib.


Pemikiran al-Ghazali tentang hal ini dapat dilihat dalam karyanya Al-Iqtishâd fi al-I'tiqâd (Sikap
Lurus dalam I'tiqad). Al-Ghazali melukiskan hubungan antara agama dan kekuasaan politik
dengan ung- kapan: "Sultan (di sini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia;
ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.
Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan
tidak ada jalan untuk meninggalkannya.

Apa yang diungkapkan oleh al-Ghazali ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang
dikemukakan oleh al-Mawardi di atas, tentang bentuk pemerintahan, kewajiban mendirikan suatu
pemerintahan dan mengangkat imam yang berfungsi untuk mengurusi persoalan agama.

3 . Pandangan Pemikiran Politik Islam Menurut Pandangan Tokoh Tokoh Pada Masa
Modren

1 . Sayyid Jamaluddin al-Afghani Latar Belakang Sosial Politik

Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang tokoh penting peng- gerak pembaruan
dan kebangkitan Islam abad ke-19. Ia disenangi seka- ligus dimusuhi oleh Dunia Islam sendiri. Ia
disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi inspirasi bagi upaya pembebasan umat

Aktivitas Politik

Perjalanan Jamaluddin ke Mekkah kembali merupakan awal dari keterlibatannya dalam


kegiatan politik Islam internasional. Jamaluddin mulai mencurahkan perhatian dan pemikirannya
pada pembebasan Dunia Islam dari penjajahan Barat. Ia menyadarkan umat Islam untuk bangkit
dan bersatu menciptakan satu kesatuan di dalam panji Pan- Islamisme. Ia pun mulai mengembara
dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya. Di setiap negeri Muslim yang dikunjunginya tidak
lupa ia ingatkan tentang bahaya imperialisme bangsa-bangsa Barat. Ia pun tidak hanya
mengunjungi negeri-negeri Muslim saja, tetapi juga langsung ke jantung negeri Barat untuk
melihat langsung sistem nilai kehidupan mereka. Ia pernah ke Paris dan Amerika.

5
Amin husein nasution ,pemikiran islam [Jakarta, bulan bintang]hal 5
Dari pengembaraannya yang luas ini wawasannya pun semakin luas, sehingga ia dapat
menawarkan berbagai alternatif dari perma- salahan umat Islam. Menurut Jamaluddin, Dunia
Islam menghadapi penyakit kronis yang menggerogoti masyarakatnya, sehingga umat Islam tidak
mampu menegakkan kepala mereka berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Penyakit itu adalah
absolutisme dan despotisme penguasa Muslim, sikap keras kepala dan keterbelakangan umat Islam
dalam sains dan peradaban, menyebarnya pemikiran-pemikiran yang korup dan merusak cara
berpikir umat Islam, seperti takhayyul, bid'ah dan khurafat, serta kolonialisme dan imperialisme
Barat.

Ide Ide Politik Islam

Dari pengalamannya melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam, Jamaluddin melihat


kenyataan bahwa Dunia Islam ketika itu didominasi oleh pemerintahan yang otokrasi dan absolut.
Penguasa-penguasa di Dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana dikehendakinya saja,
tanpa terikat pada konstitusi. Mereka juga tidak mau membuka diri melakukan musyawarah dalam
pemerintahan. Karena itu, untuk mem- bangun pemerintahan yang bersih dan kuat, yang pertama
kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus ada perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat,
dari keterpakuan serta sikap menerima saja terhadap peme- rintahan yang ada menuju upaya
perubahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut
Jamaluddin, se- perti dikutip Ahmad Amin, pada hakikatnya kekuatan sebuah masyarakat akan
bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri.

Lembaga perwa- kilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan,
apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing.
Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang akan mengisinya. Oleh
sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat harus terlebih dahulu dibangun dan dibenahi, barulah
bisa dibicarakan bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan.6 Untuk usaha ini, Jamaluddin
menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat
tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini,
Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide
Jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Ab- duh, meskipun dalam beberapa
hal di antara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan. Abduh dilahirkan pada 1849 M di sebuah
desa pertanian di lembah Sungai Nil. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, adalah seorang
keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Adapun ibunya adalah seorang Arab yang
masih mempunyai hubungan dengan keluarga Umar ibn Abduh sangat membenci kehadiran
bangsa-bangsa Barat di Dunia Islam, namun juga menyesalkan sikap penguasa-penguasa Muslim
dan ulama yang memberi kesempatan kepada bangsa-bangsa Barat untuk menguasai mereka.

Karena itu, kebencian terhadap kolonialisme Barat ia perlihatkan ketika mendukung gerakan
nasionalisme Mesir Urabi Pasha, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Menurut Abduh, kehadiran
bangsa-bangsa Barat tidak hanya menguasai Dunia Islam, tetapi juga mengembangkan sistem nilai
mereka, seperti dalam bidang sosial, politik, pendidikan, budaya dan hukum, terhadap umat Islam.
Dalam lapangan sosial politik, bangsa-bangsa Barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Di
6
Amin husein nasution pemikiran politik islam [Jakarta ,bulan bintang ] hal 6
bidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Barat yang memisahkan antara pendidikan
agama dan umum menjadi fenomena di Dunia Islam. Kepada penguasa Muslim yang despotis,
Abduh juga mengarahkan kecaman pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek impe-
rialis Barat yang berkonspirasi menindas rakyat.

Dalam politik, Abduh dipandang lebih moderat ketimbang Afghani. Bagi Abduh, organisasi
politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu
tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Dengan demikian, ide pembaharuan Abduh
sesungguhnya lebih menekankan kebebasan dalam menentukan, termasuk apakah negara
berbentuk khalifah atau berbentuk negara dengan demokratisasi seperti yang telah terjadi di dunia
Barat. Dengan sikap tersebut bukan berarti Abduh menghendaki copy-paste sistem kedua model
negara di atas. Karena jika hal tersebut terjadi menurut Abduh, maka sesungguhnya kaum
muslimin keluar-masuk taqlid.

Padahal taqlid merupakan berhala yang coba dihindari Abduh.18Kemudian yang terpenting
bagi Abduh seperti yang dikemukakan oleh Abdul Athi adalah, memberikan kebebasan politik dan
kebebasan berorganisasi kepada umat. Kebebasan inilah yang kemudian disebut Abduh sebagai
kebebasan Insyaniah dalam menetapkan pilihannya. Dengan kebebasan tersebut diharapkan umat
melakukannya dengan penuh kesadaran, sehingga apa yang diharapkannya dapat digapai.
Kesadaran yang demikian akan hadir tentunya setelah umat mampu bangkit dan keluar dari
kungkungan dogmatisme agama, atau dalam Bahasa Abduh, melalui reformulasi Islam seperti
yang telah disinggung sebelumnya.

Mengenai kepemimpinan, Abduh tidak jauh berbeda dengan pemikir lainnya sebab,
kepemimpinan merupakan faktor kunci dalam dinamika kehidupan. Jangankan dalam suatu
masyarakat yang besar seperti negara, dalam sekelompok masyarakat terkecil atau bahkan pada
setiap pribadi, kepemimpinan menjadi keniscayaan. Maka dari itu, untuk menunjukkan betapa
pentingnya peran pemimpin tidak heran jika hal tersebut diperkuat dengan dalil. Dalam Islam ada
sebuah hadist yang cukup populer seperti: Idza kuntum thalasatan faamiru wahīdan (ketika kamu
berkumpul tiga orang, maka salah satu harus menjadi pemimpin).Abduh sebagai tokoh modernis
juga menekankan adanya pemimpin, tetapi bagaimana pemimpin yang ideal menurut Abduh,
inilah salah satu proyek pemikiran modernis Abduh yang pantas untuk dipertimbangkan.

Dalam persoalan kepemimpinan, Abduh secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak
mengenal pemimpin keagamaan lebihlebih dalam persoalan akidah. Bagi Abduh sorang mufti,
Qadhi dan as-Syaikh al-Islam hanyalah petunjuk jalan terutama bagi kalangan awam untuk
memahami agama khususnya mengenai persoalan kebaikan dan keburukan. Lebih lanjut Abduh
mengemukakan bawa Islam hanya mengenal seorang pemimpin sipil (hakim madany). Pemimpin
ini menurut Abduh adalah orang yang terikat oleh hukum yang tidak ia kuasai, dan ia didudukkan
pada jabatannya oleh komunitas yang mengawasinya, dan menurunkannya.

Dengan logika di atas tersebut bukan berarti Abduh ingin memisahkan secara mutlak antara
persoalan akidah dan persoalan dunia sebab, Islam dalam pandangan Abduh sesungguhnya
mencakup kedua-duanya. Untuk itu seorang pemimpin dalam pandangan Abduh memiliki
kewajiban untuk menegakkan keadilan, bahkan jika dibutuhkan, pemimpin yang diktator-pun
bukan persoalan yang penting ia adil serta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh ajaran agama
(Al-Qur’an dan Hadis) dan umat.

Dan jika terjadi pertentangan antar Al-Qur’an dan hadis dalam mana umat mengamalkannya,
maka umatlah yang berhak untuk memutuskannya guna menemukan al-maslahah yang menjadi
harapan umat. Pemikiran Abduh tersebut terkesan agak ekstrim dan bahkan bertolak belakang
dari keumuman paham keagamaan yang telah diwarisi oleh umat Islam. Dalam urusan kekuasaan,
Abduh memandang perlu ada pembatasan dengan sebuah konstistusi yang jelas, sebab tanpa
konstitusi menurut Abduh akan terjadi kesewenangwenangan.

BAB III
PENUTUP

A . Kesimpulan

Pemikiran para tokoh-tokoh tersebut merefleksikan sebuah gagasan masa depan umat Islam dalam
merumuskan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal apapun, sesungguhnya
Islam tidak mengikat umatnya untuk tunduk dan pasrah pada hasil olah pikir masa lalu. Bahwa
produk pemikiran keislaman tentu bersumber dari Al-quran dan hadist. Tugas setiap generasi Islam
adalah menggali makna-makna yang terkandung dalam Alquran dan hadis untuk kepentingan
zamannya. Produk pemikiran atau produk hukum yang ada tidak untuk disingkirkan apalagi
menjadi belenggu tetapi menjadi titik pijak guna menentukan memproduksi pemikiran yang tepat.
Sehingga perbedaan simpulan hukum tidak dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai
sebuah kreasi pemikiran yang betul-betul maslahah bagi umat. Abduh telah membentangkan cara
berfikir yang brilian untuk masa depan umat Islam. Tidak takut dianggap bid’ah dan berfikir
objektif guna kemaslahatan umat Islam.

B . Daftar Pustaka

Dr. Muhamad H.amiin husein nasution ,M.A. 2017 pemikiran politik islam dari masa klasik hingga
Indonesia kontemporer . Jakarta ; PT balebat dedikasi prima.

Anda mungkin juga menyukai