Anda di halaman 1dari 28

SUMBER AJARAN ISLAM

MAKALAH

Dosen Pengampu : Dr. MOH. SODIQ, M.Pd.I.

Disusun Oleh :

Ahmad Farih Ibadur Rohman


Mada Purwa Mahadi
Onang Febrian

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

AL-MUSLIHUUN TLOGO KANIGORO BLITAR

OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil‟alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing
umatnya dari zaman jahiliyah meulama kitaju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memeulama kitahi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
Seperti; Pengertian Al-Qur’an dan ruang lingkupnya, Kedudukan Hadist, Ijma’, Qiyas,
Pengertian Nash, Syari’ah, Teori Istimbath Hukum dalam Islam, serta Ijtihad dan
Perbedaan Mazdhab. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca
tentang konsep didalamnya.
Tim penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tim penyusun berharap semoga
semua yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini mendapat balasan yang sebaik-baiknya
dari Allah SWT.
Akhirnya tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu tim
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga
makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Blitar, 30 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar .............................................................. ii


Daftar isi .............................................................. iii
Pendahuluan .............................................................. 1
A.Latar Belakang .............................................................. 1
B.Rumusan Masalah .............................................................. 1
C.Tujuan Penulisan .............................................................. 1
Pembahasan .............................................................. 2
A.Pengertian Qur‟an dan ruang lingkupnya .............................................................. 2
B.Kedudukan hadits, ijma‟, dan qiyas .............................................................. 3
C.Pengertian Nash, Syari‟ah .............................................................. 9
D.Teori Istimbath Hukum dalam Islam .............................................................. 11
E Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab .............................................................. 20
Penutup .............................................................. 24
A.Kesimpulan .............................................................. 24
B.Saran .............................................................. 24
C.Analisis .............................................................. 24
Daftar Pustaka .............................................................. 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah
berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-
Qur‟an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu
terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur‟an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum.
Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma‟, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam
menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti
Al-Qur‟an, Hadist, Ijma‟, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta
kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Al-Qur‟an dan ruang lingkupnya.
2. Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3. Pengertian Nash dan Syari‟ah.
4. Teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Pengertian ijtihad dan perbedaan mazdhab.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Al-Qur‟an dan ruang lingkupnya.
2. Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma‟ dan Qiyas dalam menetapkan hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari‟ah
4. Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu‟jizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan
bernilai ibadat yang membacanya.

2. Ruang Lingkupnya Al-Qur’an


Pokok-pokok isi Al-Qur‟an ada 5:
a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-
rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
c. Janji dan Ancaman
d. Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.

3. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum


a. Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
1) Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
2) Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
3) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu‟

b. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar
menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti:
mengqashar sholat.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1) Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3) Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.

2
B. KEDUDUKAN HADITS, IJMA’ DAN QIYAS

1. Kedudukan Hadits sumber ajaran agama islam


Sebagai bangunan atau konstruksi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran,
petunjuk hidup dan sebagainya, Islam membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil
bahan-bahan yang diperlukan guna mengkonstruksi ajaran Islam tersebut.
Mengacu kepada ayat al-Qur‟an yang berbunyi:
َ ‫ول َوأ ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَإِن تَنَزَ ْعت ُ ْم فِى‬
‫ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ ِِلَى‬ َ ‫س‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫ٱَّلل َوأ َ ِطٌع‬ ۟ ُ‫ٌََٰٓأٌَُّ َها ٱلَّذٌِنَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أ َ ِطٌع‬
َ َّ ‫وا‬
‫ٌل‬ ً ‫س ُن ت َأ ْ ِو‬
َ ْ‫اخ ِر ۚ ذَ ِل َك َخٌ ٌْر َوأَح‬ ْ ‫ٱَّلل َو ْٱلٌَ ْو ِم‬
ِ ‫ٱل َء‬ ِ َّ ِ‫ول ِِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ب‬ ِ ‫س‬
ُ ‫ٱلر‬ ِ َّ
َّ ‫ٱَّلل َو‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa‟: 59)
Dan hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
‫ وسنة نبٌه صلى هللا‬،‫ كتاب هللا‬:‫) تركت فٌكم أمرٌن لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬: " ‫قال رسول هللا ملسو هلآو هيلع هللا ىلص‬
‫علٌه وآله وسلم‬
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kamu sekalian, yang dijamin tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (alQur‟an) dan Sunnah Rasul (Hadits).”
(HR. Muslim).
Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada keterangan ayat-
ayat al-Qur‟an dan hadits juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Seluruh
sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti hadits baik pada
Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Keberadaan hadits sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur‟an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayatNya secara
tersirat juga merupakan ijma‟ (konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat.
Ijma‟ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman
Nabi, para Khulafa al-Rasyidun dan para pengikut mereka. Banyak contoh yang bisa
menjelaskanbetapa para sahabat sangat mengagumi Rasulullah dan melakukan apa yang
dilakukannya. Hal ini terlihat misalnya, penjelasan Usman bin Affan mengenai etika
makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Begitu juga, Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul.
Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia berkata: “Saya tau engkau adalah batu. Jika
tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu.” Janji Abu Bakar untuk
tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia ikrarkan ketika disumpah
(bai‟ah) menjadi khalifah. Abu Bakar juga pernah berkata: “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah, maka pasti aku akan
melakukannya.” Umat Islam menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad merupakan

3
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an bahkan hadits dapat berdiri sendiri sebagai
sumber ajaran. Meulama kitarut Muhammad Abu Zahrah, ada beberapa alasan yang kuat
yang mendukung pemakaian hadits sebagai hujjah, yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, adanya nash-nash al-Qur‟an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk
kepada Nabi. Firman Allah SWT.
ً ٌْ ‫س ْلن َك َعلَ ٌْ ِه ْم َح ِف‬
‫ظا‬ َ ‫ّٰللا ۚ َو َم ْن ت ََولهى فَ َما َٰٓ اَ ْر‬
َ‫ع ه‬ َ َ ‫س ْو َل فَقَ ْد ا‬
َ ‫طا‬ َّ ‫َم ْن ٌ ُِّط ِع‬
ُ ‫الر‬

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah SWT.” QS.
An-Nisa‟: 80.
ۖ ‫سو َل َوأ ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم‬
ُ ‫ٱلر‬ ۟ ُ‫ٱَّلل َوأ َ ِطٌع‬
َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫ٌََٰٓأٌَُّ َها ٱلَّذٌِنَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أ َ ِطٌع‬
َ َّ ‫وا‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. QS. An-Nisa‟: 59
Nash-nash tersebut dengan tegas menerangkan bahwa apa yang datang dari Nabi SAW
sesungguhnya datang dari Allah SWT.
Kedua, hadits Nabi sebagai bentuk penyampaian risalah dari Tuhan. Firman Allah SWT:
ِ َّ‫ص ُم َك ِمنَ ٱلن‬
‫اس‬ ُ َّ ‫سالَتَهُۥ ۚ َو‬
ِ ‫ٱَّلل ٌَ ْع‬ َ ‫نز َل ِِلٌَ َْك ِمن َّر ِبّ َك ۖ َو ِِن لَّ ْم ت َ ْفعَ ْل فَ َما َبلَّ ْغ‬
َ ‫ت ِر‬ ِ ُ ‫سو ُل بَ ِلّ ْغ َما َٰٓ أ‬ َّ ‫ٌََٰٓأٌَُّ َها‬
ُ ‫ٱلر‬
َ‫ٱَّلل ََل ٌَ ْهدِى ْٱلقَ ْو َم ْٱل َك ِف ِرٌن‬
َ َّ ‫ِِ َّن‬
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan, (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
amanatNya.” QS. Al-Maidah: 67.
Dengan demikian, apabila hadits secara keseluruhan merupakan penyampaian risalah
Muhammad, maka menerapkan dalil hadits berarti sama dengan menerapkan syariat
Allah SWT. Ketiga, nash-nash al-Qur‟an yang ada menerangkan bahwa Nabi berbicara
atas nama Allah. Firman Allah SWT:

ٌ ْ‫ع ِن ْال َهوى ا ِْن ُه َو ا ََِّل َوح‬


‫ً ٌ ُّْوحى‬ َ ‫َو َما ٌَ ْن ِط ُق‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu meulama kitarut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” QS. An-Najm:
3-4.
Keempat, ayat-ayat al-Qur‟an dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul
bersama dengan iman kepadaNya. Firman Allah SWT:
ُ‫َل ِال َه ا ََِّل ُه َو ٌُحْ ً َوٌ ُِمٌ ْۖت‬
َٰٓ َ ‫ض‬
ۚ ِ ‫اَل ْر‬ َ ْ ‫ت َو‬ ِ ‫سمو‬ َّ ‫ِي لَهٗ ُم ْلكُ ال‬ ْ ‫ّٰللا اِلَ ٌْ ُك ْم َج ِم ٌْعًا ۨالَّذ‬
ِ ‫س ْولُ ه‬ ُ ‫اس اِ ِنّ ًْ َر‬ ُ َّ‫قُ ْل ٌَٰٓاٌَُّ َها الن‬
َ‫اَّلل َو َك ِلم ِته َوات َّ ِبعُ ْوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت َ ْهتَد ُْون‬
ِ ‫ي ٌُؤْ ِم ُن ِب ه‬ ْ ‫ً ِ الَّ ِذ‬
ّ ‫ً ِ ْاَلُ ِ ّم‬
ّ ‫س ْو ِل ِه النَّ ِب‬ ِ ‫فَا ِمنُ ْوا ِب ه‬
ُ ‫اَّلل َو َر‬
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang „ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitabkitabNya) dan ikutilah dia supaya
kamu mendapat petunjuk.” QS. AlA‟raf: 158.
Nash al-Qur‟an ini mengandung perintah untuk beriman kepada Rasul dan perintah akan
sesuatu yang menjadi konsekuensi logis dari iman kepada Rasul itu, yakni tunduk kepada
Rasul. Argumentasi Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar tentang

4
tingkatan/kedudukan hadits yang berada di bawah tingkatan/kedudukan al-Qur‟an,
diantaranya:
a. Al-Qur‟an diterima secara qath‟i (meyakinkan), sedangkan hadits diterima secara
zhanni, kecuali hadits mutawatir. Keyakinan kita kepada hadits hanyalah secara
global, bukan secara detail (tafshili), sedangkan al-Qur‟an baik secara global maupun
secara detail diterima secara meyakinkan.
b. Hadits ada kalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam alQur‟an, ada
kalanya memberi komentar terhadap al-Qur‟an, ada kalanya membicarakan sesuatu
yang belum dibicarakan atau memberi komentar terhadap al-Qur‟an, maka sudah
tentu keadaan (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang diberi
penjelasan/komentar, yang pokok (al-Qur‟an) pasti lebih utama daripada yang
memberi komentar (hadits).
c. Dalam hadits terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadits menduduki posisi
kedua setelah al-Qur‟an.
Sedangkan meulama kitarut pendapat Mahmud Abu Rayyah sebagaimana
dikutip oleh Muhaimin, posisi hadits itu berada di bawah al-Qur‟an karena al-Qur‟an
sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun.
Al-Qur‟an datangnya dengan qath‟i al-wurud yaitu kepastian jalannya sampai kepada
kita dan qath‟i al-tsubut yaitu eksistensi atau ketetapannya meyakinkan atau pasti.
Sedangkan hadits sampai kepada umat Islam tidak semuanya mutawatir tetapi
kebanyakan adalah diterima dengan periwayatan tunggal (ahad), kebenarannya ada
yang qath‟i (pasti) dan zhanni (diduga benar) karena masih banyak hadits yang tidak
sampai kepada umat Islam. Di samping itu banyak pula hadits-hadits dhaif. Jadi
keberadaan hadits sebagai tashri‟ dapatlah ditelusuri melalui hujjah al-Qur‟an,
argumentasi hadits itu sendiri, maupun ijma‟ sahabat yang telah berkembang dalam
sejarah pertumbuhan hadits. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimuculkan
sebagai basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari keberadaan hadits.
Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an, hadits memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan al-Qur‟an. Keberadaan hadits tidak dapat dijelaskan dari
adanya sebagian ayat al-Qur‟an
a. yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian,
b. yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian,
c. yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
d. isyarat al-Qur‟an yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
menghedaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut;
bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di
dalam al-Qur‟an yang selanjutnya diserahkan kepada hadits Nabi.
Selain itu ada pula yang sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an tetapi hadits

5
datang pula memberikan keterangan sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
Dalam kaitan ini, hadits berfungsi sebagai petunjuk dan isyarat bagi alQur‟an
yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat al-Qur‟an yang bersifat
umum, sebagai pembatas terhadap ayat al-Qur‟an yang bersifat mutlak, juga
sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak dijumpai dalam al-
Qur‟an. Dengan demikian, maka pemahaman al-Qur‟an dan juga pemahaman
ajaran Islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadits
Nabi SAW. Memang banyak hukum dalam al-Qur‟an yang tidak dapat dijalankan
bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat,
rukun-rukun, batal-batalnya, dan lain-lain dari hadits Rasulullah. Dalam hal itu
banyak pula kejadian yang tidak ada nash yang menasakh hukumnya dalam al
Qur‟an secara tegas dan jelas. Dalam hal ini diperlukan ketetapan Nabi yang telah
diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang-undang kepada
umat. Hadits merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari dan diteliti
kebenarannya karena hadits adalah sumber kedua yang berfungsi sebagai bayan
yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang masih global sebagaimana pendapat
Imam Malik yang dikutip oleh Rohmansyah bahwa hadits mempunyai empat
fungsi utama yang menghubungkan dengan al-Qur‟an, yaitu berfungsi sebagai
bayan al-taqrir yang menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum alQur‟an,
bayan al-taudhih yang menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud dari ayat
al-Qur‟an, bayan al tafshil yang menjelaskan ayat-ayat yang masih mujmal dan
bayan al basthi (tabsith dan takwil) yakni memanjangkan keterangan yang masih
ringkas dalam al-Qur‟an. Ada 3 fungsi hadits terhadap al-Qur‟an dalam
pandangan Muhammad „Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Syahrin
Harahap, diantaranya:
a. Hadits berfungsi memperkuat apa yang dibawa al-Qur‟an. Di sini
kelihatannya hadits tidak menjelaskan apalagi menambah apa yang telah
ditetapkan al-Qur‟an.
b. Hadits berfungsi memperjelas atau memperinci apa yang telah digariskan
dalam al-Qur‟an.
c. Hadits berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-Qur‟an.

2. Kedudukan Ijma’ sumber ajaran agama islam


Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah sesuatu yang biasa
terjadi termasuk dalam soal ijma apakah dapat dipandang sebagai dalil syar‟i atau
tidak. Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ijma sebagai
upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya
dalam nash harus mempunyai landasan. Jumhur ulama berpendapat bahwa
kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al Quran

6
dan Sunnah. Ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Quran dan
Sunnah.
Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama mengemukakan beberapa ayat
dan hadits Nabi diantaranya QS. An Nisa ayat 115 :
‫خ‬ ْ ََُٔ ّٰٗ‫ٍَْ َُ َٕ ِنّ ّٖ َيا ذ ََٕن‬ُِٛ‫ ِم ْان ًُؤْ ِي‬ْٛ ِ‫ َْش َسث‬ٛ‫ر َّ ِث ْغ َغ‬َٚ َٔ ٖ‫ٍََّ نَُّ ْان ُٓ ٰذ‬ٛ‫س ْٕ َل ِي ْۢ ٍْ َت ْؼ ِذ َيا ذ َ َث‬
ْ ‫ص ِه ّٖ َج ََُّٓ َۗ َى َٔ َس ۤا َء‬ ُ ‫انش‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫ُّشَاق‬ٚ ٍْ ‫َٔ َي‬
ࣖ ‫ ًْشا‬ٛ‫ص‬
ِ ‫َي‬
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini meulama kitanjukkan ijma
mempunyai hujjah yang tidak boleh diperselisihkan sebagaimana Al Quran dan
Hadits. Sedang Amidy mengatakan bahwa ayat ini merupakan ayat yang ama kuat
petunjuknya tentang kehujjahan ijma, dimana Allah Swt mengancam orang yang
mengikuti bukan jalan orang mukmin dengan memasukkan ke neraka jahannam dan
tempat yang paling buruk. Jalan orang mukmin diartikan sebagai apa yang disepakati
untuk dilakukan oleh orang mukmin. Inilah yang disebut ijma. 8 Begitu juga dalam
al-Quran surah An Nisa (4) ayat 59 ” Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu”. Perintah mentaati ulil amri sesudah
mentaati Allah dan Rasul berarti untuk mematuhi ijma, karena ulil amri berarti orang
yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama,
dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama salah satunya adalah bila mereka
sepakat tentang sesuatu hukum dan inilah yang disebut ijma.
3. Kedudukan Qiyas’ sumber ajaran agama islam
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟
dalam hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya
secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu
penggunaan ra‟yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara
bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut
qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena
merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash
walaupun tidak secara langsung.1
Sedang mengenai definisinya meulama kitarut ulama ushul
fiqh,qiyas berarti menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan
oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul
Wahab Khallaf, 2002:74).Para ulama Hanabilahberpendapat bahwaillat merupakan

1 Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana,Hal. 170


7
suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenalsuatu hukum. Sifat pengenal dalam
rumusan definisi tersebut meulama kitarut mereka sebagai suatu tanda atau
indikasi keberadaan suatu hukum. Misalnya, khamer itu diharamkan karena ada
sifat memabukkan yang terdapat dalam khamer.2
Mayoritas ulama Syafi‟iyyah mendefinisikan qiyas dengan “Membawa
(hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam
rangkamenetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
baik hukum maupun sifat.
Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat
dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang
membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh
nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas
sebagai dalilhukum syara‟.3Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas,
dikalangan ahli fiqih terbagi menjadi tiga kelompok seperti berikut:Pertama,
Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal
yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat sahabat dan ijma‟ ulama.
Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak berlebihan.Kedua, kelompok
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas secara peulama
kitah dan tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha mengetahui sasaran dan
tujuan nash, termasuk mengungkap alasan-alasan guna menetapkan suatu kepastian
hukum yang sesuai dengan illat.Ketiga, kelompok yang memperluas penggunaan
qiyas, mereka berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat
diantara keduanya, bahkan menerapkan qiyas sebagai pembatas keumuman al-
Qur‟an dan hadits. Alasan ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas
dapat dibagi lagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima dan
menolak menggunakan qiyas, yang masing-masing mengemukakan dalil al-
Qur‟an, sunnah, ijma‟ ulama atau sahabat dan dalil akal.

2 Nasrun Haroen, Op. Cit., hal. 76-77


3 Amir Syarifuddin, Op Cit. hal. 177

8
C. PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH

1. Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf‟u asy-syai‟ atau munculnya segala sesuatu yang
tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut
istilah antara lain dapat dikemukakan di sini :
a. Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh
shahir.”

b. Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si
pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul
dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud
nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya
lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur‟an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.

ّ ِ ‫ َغ َٔ َح َّش َو‬ْٛ َ‫َٔا َ َحمَّ هللاُ ْانث‬


.َٗ‫انشت‬

Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan
riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih
memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya
diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.

2. Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari‟ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang
dilalui air terjun.”
Syari‟ah adalah semua yang disyari‟atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-
Qur‟an ataupun melalui Sunnah Rasul.
9
Syari‟ah itu adalah hukum-hukum yang disyari‟atkan Allah bagi hamba-hamba Nya
(maulama kitasia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang
disebut far‟iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri‟tiqad yang disebut ashliyah i‟tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk
itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari‟ah meulama kitarut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari‟at meulama
kitarut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju maulama kitasia dan binatang untuk
miulama kitam air. Meulama kitarut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang
disyari‟atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari‟ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah
disepakati (di ijma‟) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya
dan yang belum jelasa dalam Al-Qur‟an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain
syari‟at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai
peraturan hidup maulama kitasia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh maulama kitasia
didalam kehidupannya.
Pengertian syari‟ah meulama kitarut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islamy. Salah satu makna syari‟ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18

)81 :‫ح‬ٛ‫ (انجاث‬. ٌَْٕ ًُ َ‫َ ْؼه‬َٚ‫ٍَْ ال‬ٚ‫ َؼ ٍح ِ ّيٍَ اْأل َ ْي ِش فَاذ َّ ِثؼْ َٓ َأالَ ذَر َّ ِث ْغ ا َ ْْ َٕآ َء انَّ ِز‬ْٚ ‫ث ُ َّى َج َؼ ْهُ ََك َػهَٗ ش َِش‬

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari‟ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah
untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu
melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai
akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Meulama kitarut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari‟ah itu adalah
ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i‟tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari‟at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari‟ah
untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas
dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari‟ah sebagaimana
dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari‟ah Islam adalah syari‟ah peulama kitatup, syari‟ah
yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan
maupun keakhiratan.4

4 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hal. 5-7
10
D. TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM

Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap
pakai adalah cukup mendesak. Ini karena banyaknya kasus-kasus fikih baru yang tidak
mudah ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih keislaman klasik. Untuk
menangani kasus-kasus baru tersebut, ulama kita sudah membuatkan patokan, “Dalam
hal ketika suatu masalah / kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah / kasus
tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul – masail bi nazha`iriha secara jama‟i. Ilhaq
dilakukan dengan mempertimbangkan mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih.

Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq ,
maka ulama memutuskan demikian, “Dalam ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena
tidak adanya mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih didalam kitab maka dilakukan istinbath
secara jama‟i, yaitu dengan mempraktekkan qawa‟id fiqhiyyah untuk ilhaq. Dengan ini
jelas bahwa ulama kita telah memberikan mandat intelektual agar istibath jama‟i tersebut
dilakukan.

Pertanyannnya, bagaimana istinbath jama‟i dengan mempraktekkan qawa‟id


fiqhiyyah itu mesti diselenggarakan di lingkungan kita. Dengan tetap mengacu pada
kitab-kitab ushul fikih, tulisan ini coba membuat kerangka metodologi sederhana, bukan
hanya untuk memeulama kitahi mandat intelektual ulama kita melainkan juga untuk
menjawab persoalan-persoalan fikih baru dengan tetap mengacu pada bangunan
metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Metode itu adalah metode bayani, metode
qiyaasi, dan metode istishlahi atau maqashidi. 5

1. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari
nash (al-Quran dan al-Sunnah).6 Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istibaath
al-ahkaam min al-ulama kitashuush. Nash dimaksud dapat berupa nash juz`i tafshili,
nash kulli ijmali, dan nash yang berupa kaedah umum. Dalam rangka istinbath hukum
dari nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengkaji sabab al-ulama kitazul/wurud, baik yang makro atau mikro. Yang
dimaksud asbab al-ulama kitazul mikro adalah sebab khusus (asbab al-ulama
kitazul al-khashsh) yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau hadits.
Sedangkan yang dimaksud asbab al-ulama kitazul makro adalah sebab umum
(asbab al-ulama kitazul al-„amm) yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-
budaya, dan sosial-ekonomi dari proses tanzil al-Quran dan wurud al-hadits.
b. Mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa‟id al-ushuliyyah
al-lughawiyyah). Kajian teks dari perspektif kaedah bahasa ini meliputi tiga

5 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat
al-jami’ah al-islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006 jilid III, hal. 82
6 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-Isami” jilid III, hal. 82.
11
kajian secara simultan, yaitu kajian lafazh (al-tahlil al-lafzhi), kajian makna (al-
tahlil al-ma‟na) dan kajian dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan
dijelaskan pada paragraf berikutnya.
c. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth al-
ulama kitashuush badluhaa bi ba‟dlin). Nash yang sedang dikaji harus
dihubungkan dengan nash yang lain, karena ulama kitashuush al-syarii‟ah ( al-
Quran dan Hadits) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lain, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadits yang satu
terkait dengan hadits yang lain, ayat terkait dengan hadits dan hadits terkait
dengan ayat. Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukid
(penguat), bayaan al mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid
al muthlaq (membatasi lafazh muthlaq), takhshish al „amm (membatasi
keumuman lafdazh „amm), atau taudlih al-musykil (menjaskan lafazh musykil /
ambigu).
d. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-syari‟ah (rabth al-ulama
kitashuush bi al-maqaashid).Maqaashid al-syari‟ah (tujuan umum syari‟at) yang
sekaligus merupakan kulliyah al-syari‟ah (totalitas syari‟ah) memilki hubungan
saling terkait dengan ulama kitashush al-syari‟ah. Maqashid al-syari‟ah lahir dan
mengacu pada ulama kitashush al-syari‟ah, sementara ulama kitashush al-syari‟ah
dalam menafsirinya harus mempertimbangkan maqashid al-syari‟ah. Ini masuk
dalam kategori mengaitkan yang juz`i (partikular) dengan kulli (universal).40
Konkretnya, syari‟at Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
maulama kitasia zhahir-bathin dan dunia-akhirat. Maka, perumusan hukum dari
nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan maulama kitasia yang menjadi
tujuan syari‟at itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak
bertentangan dengan nash itu sendiri. Dengan mengaitkan ulama kitashsuush
dengan maqaashid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik dari ulama
kitashuush tidak sepeulama kitahnya tekstual, tapi kontekstual. Maka kita menjadi
maklum, mengapa fuqaha membolehkan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat
biji-bijian, kambing dan unta.7 Padahal instrkusi Nabi pada sahabat Mu‟adz bin
Jabal menjelang keberangkatannya ke daerah Yaman jelas mengatakan:

ٍ‫« ُخ ِز ْان َحةَّ ِي‬: ‫ال‬


َ َ‫ ًَ ٍِ فَق‬َٛ ‫ َتؼَثَّ ُ ِإنَٗ ْان‬-‫ ِّ َٔ َسهَّ َى‬ْٛ َ‫صهَّٗ هللاُ َػه‬ َ - ‫هللا‬
ِ ‫س ْٕ َل‬ ُ ‫ أ َ ٌَّ َس‬: ُ ُّْ ‫ هللاُ َػ‬َٙ ‫ض‬ِ ‫َػ ٍْ ُي َؼا ِر ْت ٍِ َج َث ٍم َس‬
.» ‫اْلتِ ِم َٔ ْانثَقَ َشج َ ِيٍَ ْانثَقَ ِش‬
ِ ْ ٍَ‫ َْش ِي‬ٛ‫ْان َحةّ ِ َٔان َّشاج َ ِيٍَ ْانغَُ َِى َٔ ْانثَ ِؼ‬

“....driwayatkan dari Muadz bin bin Jabal bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam mengutusnya ke Yaman lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa)
biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seekor onta ba‟iir dari

7 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat
al-jami’ah al-islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006 jilid III, hal. 82
12
onta, dan seekor sapi dari sapi.”

Fuqaha` memahami bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut dalah


memberikan kemudahan kepada muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan
mustahiq (yang berhak menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat
dengan mengeluarkan qiimah lebih mudah, tidak ada alasan untuk tidak
membolehkannya.

Dalam hal ini tanpa memperhatikan maqaashid didalam menafsirkan


ulama kitashuush, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air
besar diatas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi shallallaahu „alaihi
wasallam:
ِ ًَ ‫ ْان‬ِٙ‫َث ُْٕنَ ٍَّ أ َ َحذ ُ ُك ْى ف‬ٚ ‫َال‬
‫اء انذَّائِ ِى‬

“janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir)”
Maksud dari hadits diatas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing
di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu al-Zhahir, tapi juga melarang
mengotori air dan menjadikannya najis dengan cara apapun. 8
Mentakwil nash (ta`wiil al-ulama kitashuush) bila diperlukan. Pada prinsipnya.
Setiap lafazh / nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna
dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rajih. Akan tetapi, kajian yang
komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta`wil, yakni
memalingkan lafazh / nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki dan rajih kepada
makna lain yang tersembunyi, majaazi atau marjuuh. Ta`wil tidak boleh dipahami
sebagai upaya meulama kitandukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau
menyesuaikan syari‟at dengan situasi, karena ta`wil hanya bisa dilakukan ketika ada
dalil yang memicunya.
Ulama ushul fiqh membagi ta`wil kepada dua bagian: 9
a) Pertama, ta`wil qariib (dekat / dangkal) seperti men-ta`wil:
. ‫ ُك ْى َِكَا ُح أ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ْى‬ْٛ َ‫ ُح ِ ّش َو َػه‬dengan ‫ ُك ْى أ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ْى‬ْٛ َ‫د َػه‬
ْ ‫ُح ِ ّش َي‬
Men-ta`wil ayat ini dengan menghadirkan semacam kata ‫ َِكَا ُح‬merupakan tuntutan
َ ِ‫] اِ ْقر‬, karena status hukum seharusnya disandangkan kepda perbuatan
[ ‫ضا ْء‬
mukallaf sebagai mahkuum fiih (obyek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada zat, yaitu ibu. Maka tanpa ta`wil ayat tersebut
tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta`wil ini adalah takhshish al-
„amm, taqyiid al-muthlaq, daan mengartikan lafazh zhahir dengan makna
marjuuhnya.
b) Kedua, ta`wiil ba‟iid (jauh / dalam). Ta`wil macam ini tidak sembarang orang

8 Al-Suyuthi, al-Kaukab al-Sathi’ Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taimyyah, 1998,
hal.212
9 Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul, hal. 83.
13
dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibn Abbas
radhiyallaahu „anhumaa:

‫ ْان ِؼ ْه ِى‬ِٙ‫انشا ِس ُخ ٌَْٕ ف‬


َّ ‫قِ ْس ٌى ذ َ ْؼ ِشفُُّ ْانؼُهَ ًَا ُء‬

“ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya”
Ta`wil tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wil terhadap suatu nash
harus dilakukan setelah mengetahui tafsir nash itu. Jadi, ta`wil itu setelah tafsir [
‫ش‬ٛ‫م تؼذ انرفس‬ٚٔ‫] انرأ‬. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
kajian teks ayat / hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawaaid al-ushuuliyyah
al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalaalah dengan
penjelasan:
1) Kajian Lafazh [ ٙ‫م انهفظ‬ٛ‫] انرحه‬
Kajian lafazh berkisar berksar pada hal-hal sebagai berikut:
a. antara „aamm dan khaashsh

b. antara muthlaq dan muqayyad

c. antara haqiiqah dan majaaz

d. antara muhkam, mujmal dan mutasyaabih

e. antara zhahiir dan nash

f. antara musytarak dan mutaraadif, dan

g. antara amr dan nahy.

Setiap lafazh dapat memiliki lebih dari satu ketgori, misalnya lafazh ‫ دمحم‬.
Lafazh ini dari satu sisi masuk kategori khaashsh karena tidak memiliki cakupan
makna yang luas, sementra dari sisi yang lain

masuk kategori nash sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan
makna yang lain. Contoh yang lain ‫ش‬ٛ‫ أسذ كث‬. Lafazh ini dari satu sisi masuk
kategori muqayyad karena lafazh ‫ أسذ‬ber-qayyid (dibatasi) dengan lafazh ‫ش‬ٛ‫كث‬,
sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhaahir karena lafazh ‫ أسذ‬tampak
dalam makna singa dan ada kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani,
dan lafazh ini ketika dimaknai singa, maasuk kategori haqiiqah, dan bila dimaknai
pemberani masuk kategori majaaz.

Contoh konkrit dalam al-Quran adalah firman Allah SWT.: ‫م‬ٛ‫( قى انه‬bangunlah
pada waktu malam). Lafazh ‫قى‬dari satu sisi termasuk kategori khaashsh karena
cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi lain disebut amr sebab berisi
tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain, disebut
zhaahir karena shiighatul-amri tampak dalam makna wujuub (kewajiban) dan
mungkin untuk ditarik pada selain makna wujuub. Yang pasti, lafazh „aamm

14
bukan khaashsh, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan mutasyaabih,
haqiiqah bukan majaaz, zhahiir bukan nash, amr bukan nahy, dan musytarak
bukan mutaraadif.

2) Kajian Makna [ ُٕ٘‫م انًؼ‬ٛ‫] انرحه‬

Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah:

a. Lafazh dimaksud dimakna secara haqiqi, ataukah dipalingkan pada


makna majaznya?

b. Lafazh zhaahir dimaksud tetap pada makna raajih-nya ataukah


dipalingkan kepada makna marjuuh-nya?

c. Makna dimaksud adalah makna lughawi, syar‟i, ataukah „urfi?

d. Yang manakah diantara makna-makna lafazh musytarak yang diambil,


atau semuanya diambil?

e. Lafazh dimaksud, disamping memiliki makna lughawi, apakah memiliki


makna syar‟i atau „urfi, dan makna yang manakah yang dipakai?

f. Shiighatul-amri dimaksud tetap pada makna primernya [‫ ]ٔجٕب‬ataukah


dipalingkan pada makna sekunder selain [‫?]ٔجٕب‬

g. Shighatun-nahyi dimaksud tetap pada makna primernya [‫ى‬ٚ‫ ]ذحش‬ataukah


dipalingkan pada makna sekundernya selain [‫ى‬ٚ‫?]ذحش‬

3) Kajian Dalaalah [ ٙ‫م انذالن‬ٛ‫] انرحه‬

Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam
hal ini terdapat dua metode:

Pertama, metode jumhuur al-ushuliyyun. Meulama kitarut jumhuur


ushuuliyyin, makna (hukum) satu nash, disamping bisa diambil dari
manthuuq-nya, kadang bisa diambil dari mafhuum-nya. Manthuuq Terbagi
menjadi dua:

a. shariih

b. ghairu shariih

Sedangkan manthuuq ghairu shariih itu terbagi menjadi tiga:


a. isyaarah
b. iqtidhaa`, dan
c. iimaa`
Sementara mafhuum itu ada dua:
a. mafhuum muwaafaqah
b. mafhuum mukhaalafah
15
Kedua, metode Hanafiyah. Meulama kitarut Hanafiyah, makna (hukum) nash
dapat diambil dari empat pendekatan:
1. „ibaarah al-nash
2. isyaarah al-nash
3. iqtidlaa` al-nash
4. dalaalah al-nash (mafhuum muwaafaqah dalam istilah jumhuur).10
A. Metode Qiyasi
Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui pendekatan qiyas.39 Dalam
konteks ini ada baiknya saya kemukakan pendapat Imam Syafi‟i:

ّ ٍ َ َٗ‫َص أ َ ْٔ َح ًْ ٍم َػه‬
‫َص‬ َ ‫إِ ٌَّ ْاألَحْ ك‬
ّ ٍ َ ٍْ ‫َاو َال ذُؤْ َخز ُ إِ َّال ِي‬

“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dar nash atau dari penggabungan pada nash”.
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab radhiyallaahu „anhu kepada Abu Musa al-
Asy‟ari adalah:

‫س ا َ ْأل ُ ُي ْٕ َس ِػ ُْذَ رَ ِن َك‬


ْ ِ‫ف ا َ ْأل َ ْشثَاَِ َٔ ْاأل َ ْيثَا َل َٔق‬
ْ ‫اِػ ِْش‬

“Hendaklah kamu tahu tentang persoalan-persoalan yang serupa dan persoalan-persoalan


yang sama, dan ketika itu lakukan qiyas menyangkut berbagai persoalan”
1. Rukun Qiyas
Qiyas terdiri dari empat unsur (rukun) sebagai berikut:
a. Al-ashlu, yaitu kasus yang memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-ashlu
disebut al-maqiis „alaih (yang di-qiyas-i) atau al-musyabbah bih (yang diserupai)
seperti khamr dalam contoh diatas.
b. al-far‟u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-
Far‟u disebut juga al-maqiis (yang di-qiyas-kan) atau al-musyabbah (yang
diserupakan), semisal masalah miulama kitaman keras (bir dalam contoh diatas).
c. hukm al-ashli, yaitu hukum yang terdapat pada ashl yang ditetapkan berdasarkan
nash, misalnya hukum haramnya khamr dalam contoh diatas.
d. Keempat, adalah illat (al-„illah), yaitu sifat yang menjadi titik
persamaan (al-jami‟) antara al-ashlu dan al-far‟u, seperti memabukkan (al-
iskaar) dalam contoh diatas.. Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam
qiyas. Sebab, dengan illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat
dtularkan pada kasus baru yang muncul kemudian.11
B. Metode Istishlaahi
Ijthad dengan metode istishlahi ialah ijthad yang mengaju pada maqaashid
al-syari‟ah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam. Karena itu ia bisa
juga disebut ijthad maqashidi. Para Fuqaha menyimpulkan bahwa syari‟at islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) maulama kitasia

10 Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul, h. 83.


11 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh hal. 52.
16
lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil
penelitian (istiqra`) yang mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri‟ (al-Quran
dan al-Sunnah), hukum-hukum syar‟i, illat-illatnya dan hikmah-hikmahnya.12
Dengan demikian maqaashid al-syari‟ah tidak hanya penting diperhatikan dalam
menafsirkan nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syar‟i
yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Dalil-dalil sekunder semacam
istihsan, mashlahah mursalah, dan „urf pada hakikatnya merujuk pada maqaashid
al-syari‟ah.
1) Istihsaan
Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid yang
menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum
umum. Secara lebih bagus, syeikh Abdul Wahhab al-Khallaf mengatakan:
“Istihsan ialah kebijakan mujtahid dengan berpegang kepada qiyas khafi dengan
meninggalkan qiyas jali; atau meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada
hukum juz`i – istitsnaa`i (hukum pengecualian) karena ada dalil yang
menghendaki demikian.
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil qiyas yang satu jali dan
lain khafi, maka pada dasarnya mujtahid harus berpegang pada dalil yang rajih,
yaitu qiyas jali, Namun, atas pertimbangan-pertimbangan (dalil) tertentu,
mujtahid bisa meninggalkan qiyas jali yang rajih dengan mengambil qiyas khafi
yang marjuh. Cara kerja inilah yang dikenal dengan istihsaan.
Begitu juga, jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua ketentuan hukum,
yang satu hukum kulli dan yang lain hukum juz`i istitsnaa`i, kemudian mujtahid
mengambil hukum yang juz`i istitsnaa`i dan meninggalkan hukum kulli ataas
dasar pertimbangan kebutuhan (dlarurah atau haajah), ini juga disebut istihsaan.
Contoh, dalam hukum (ketentuan) umum ditetapkan bahwa obyek transaksi
(ma‟qud „alaih) harus berupa seuatu yan telah nyata ada. Akan tetapi, ketentuan
hukum ini ada beberapa transkasi yang dikecualikan atas dasar kebutuhan
masyarakat, seperti ijaarah, salam, istishnaa` (mirip akad salam), dan lain-lain.
Kedudukan istihsan sebagai salah satu pertimbangan penetapan hukum
adalah masalah khilafiyah (kontroversial), sebagian menerima dan sebagian lain
menolak. Imam Syafi‟i merupakan salah seorang yang menolak istihsaan, dengan
ungkapannya yang sangat terkenal ‫(يٍ اسرحسٍ فقذ ششع‬barang siapa menggunakan
istihsaan sebagai dalil, berarti ia telah membuat syari‟at baru). Walaupun
demikian, istihsaan dengan pengertian diatas sesungguhnya secara de facto
diamalkan oleh hampir semua fuqaha`, termasuk Imam Syafi‟i sendiri. Sedangkan
istihsaan yang ditolak al-Syafi‟i bukan istihsaan dengan pengertian diatas,
melainkan istihsaan yang didasarkan atas kenginan subyektif seseorang tanpa

12 Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut, Daar al-Ma’rifah, tanpa tahun, juz VI, hal. 353
17
pjakan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan
Istihsaan sesungguhnya bukan bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam
proses penetapan hukum. Sebaliknya, istihsaan mempunyai pijakan dalil yang
muaranya tak lain untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat
maulama kitasia. Pada kenyataannya, dalam berbagai kasus hukum, penggunaan
istihsaan tidak dapat dihindari.
2) Al-Mashaalih al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan
manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlalah juga
diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti meulama kitantut
ilmu adalah mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat, berdagang
adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan
dalam terminologi ushuul fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin
terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syaari‟ (maqaashid al-syarii‟ah),
yaitu hifzh al-diin, hifzh al-nafs, hifz al-„aql, hifzh al-nasl / hifzh al-„irdl dan
hifz al-maal.13
Para ulama membagi mashlaah ke dalam tiga bagian;
a. Pertama, adalah mashlahah mu‟tabarah, yaitu mashlahah yang diapresisasi
syar‟i melalui nash al-Quran atau Sunnah, seperti diharamkannya setiap
miulama kitaman yang memabukkan.
b. Kedua, adalah mashlahah mulghaa, yaitu mashlahah yang dinafikan oleh
syaari‟ melalui nash al-Quran atau Sunnah, seperti penyamaan pembagian
harta waris antara anak anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap
sebagai mashlahah.
c. Ketiga, adalah mashlahah mursalah , yaitu mashlahah yang tidak punya
acuan nash, baik nash yang mengakui (i‟tibaar) ataupun yang
menafikannya (ilghaa`), seperti merayakan maulid Nabi Muhammad
shallallaahu „alaihi wasallam, peulama kitalisan dan penyatuan al-Quran
dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan, dan lain-lain.
d. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan
mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, syari‟at Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi „ibaadah
dan dmensi mu‟aamalah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak
dapat dijadikan acuan hukum dalam wilayah „ibaadah. Sebab, „ibaadah
berbasis pada ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai
mashlahah-nya tidak dapat dinalar akal pikiran maulama kitasia.14

13 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh hal. 197-205


14 Abdul Karim Zaidan, al-Wajizfi Ushuul al-Fiqh, Mu`assasah Qurthubiyyah, tanpa tahun,
hal. 238
18
e. Sedangkan dalam wilayah mu‟aamalah, ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahan mashlahah mursalah.
3) „Urf
„Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal bersama dan dijalani oleh
masyarakat, baik berupa perbuatan („amali) ataupun perkataan (qawli).57 „Urf
dan „aadah adalah dua kata yang mafhum-nya berbeda tetapi mashdaq-nya
sama. Artinya, dua kata tersebut memiliki akar yang berbeda. Akan tetapi
sesuatu yang disebut „urf sekaligus juga disebut „aadah dan sesuatu yang bisa
disebut „aadah sekaligus juga bisa disebut „urf. Dengan demikian, „urf dan
„aadah merupakan kata yang sinonim yang dalam bahasa Indonesia disebut
tradisi.15

Para ulama membagi „urf dari segi wilayah berlakunya kedalam dua bagian:

a. „urf „aamm, yaitu „urf yang berlaku pada seluruh atau mayoritas umat
maulama kitasia pada masa tertentu.
b. „urf khaashshah, yaitu „urf yang berlaku pada masyarakat, komunitas atau
daerah tertentu pada masa tertentu.
Sementara dari segi kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syari‟at, „urf
dibagi menjadi dua macam:
a. „urf shahih, yaitu „urf yang tidak bertentangan dengan nash al-Quran as
Sunnah dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang
halal.
b. „urf fasid, yaitu „urf yang bertentangan dengan nash shariih al-Quran atau
Sunnah, menghaalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.

Namun, ada pandangan tunggal tentang kebolehan berhujjah dengan „urf.


Walaupun demikian, para ulama sepakat bahwa „urf fasid tidak dapat dijadikan acuan
dalam penetapan hukum. Sedangkan „urf shahih diperselisihkan dikalangan mereka.
A`immah al-madzaahib al-arba‟ah menjadikan „urf shahih sebagai acuan penetapan
hukum, tapi dengan kadar berbeda. Imam Madzhab yang dikenal paling banyak
menggunakan „urf adalahImam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal
dan Imam Syafi‟i.

Contoh-contoh „urf:

a. Perempuan yang haid dengan teratur, dalam menentukan kadar haid dapat
berpedoman pada „urf-nya.
b. Pemberian pra nikah terhadap calon isteri tidak dipandang sebagai bagian dari
maskawin berdasarkan „urf yang berlaku di sebagian daerah di Indonesia
c. Kata „almarhum‟ dalam „urf Indonesia hanya digunakan untuk orang yang

15 Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, tanpa Penerbit, Tanpa tahun, hal. 86-87.
19
meninggal dunia. Padahal arti asalnya (yang dirahmati Allah) bisa digunakan
untuk orang hidup atau orang mati.

Istibath hkum berdasarkan „urf masuk dalam lingkup ijtihad istshlaahi. Ini artinya,
menjadikan mashlahah sebagai tujuan syari‟at berkonsekuensi logis pada keharusan
memperhatikan „urf maulama kitasia, selama tidak bertentangan dengan syari‟at.

E. IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB

1. Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedang meulama kitarut pengertian syara‟ ijtihad adalah:

ِ ‫اط ِيٍَ ْان ِكر َا‬


.‫ب َٔان ُّسَُّ ِح‬ ِ َ‫ق اْ ِْل ْسرُِْث‬ َ ِ‫ ت‬ٙ
ِ ْٚ ‫ط ِش‬ ٍّ ‫ ِم ُج ْك ٍى ََِ ْس ِػ‬ْٛ ََ ْٙ ِ‫ اِ ْسر َ ْف َشاؽُ ْان ُٕس ِْغ ف‬:ُ ‫ا َ ِْْل ْجرِ َٓاد‬

Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara‟ dengan jalan


memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah16.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan
hukum agama (syara‟), melalui salah satu dalil syara‟ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil
syara‟ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri
semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad. 17
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam.
Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur‟an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari
sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar maulama kitasia menggunakan akalnya.
Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat
kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat maulama kitasia. Sehingga
secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan
ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.

2. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Meulama kitarut istilah
para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.

16 Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003), hal. 124
17 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 33
20
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil
ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang
kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[4]
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam
Hanafi, Maliki, Syahi‟i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh
sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab
bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab
tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima
hanya dari ulama/guru yang mengaulama kitat suatu mazdhab saja.
Mengaulama kitat suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya meulama kitatup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran
yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya
mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.

A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
meulama kitarutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah
generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur‟an, Sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan
serta mempertahankan muamalah-muamalah maulama kitasia dan apa yang mendatangkan

21
maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an,
Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau
melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan
istihsan, beliau kembali kepada Urf maulama kitasia.

B. IMAM MALIKI BIN ANAS


Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur‟an
2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)

C. IMAM SYAFI’I
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i sebagai acuan pendapatnya
termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Qur‟an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun
diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni
selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi‟i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga
dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal (Istishhab)

D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI


Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar
sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur‟an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang
menyalahinya.
2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat
yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada
pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.

22
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak
berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada
sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Al-Qur‟an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam
menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
Al-Qur‟an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur‟an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana
berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur‟an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak
dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak
bertentangan dengan nash syari‟at yang jelas.

Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut
alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu,
ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Istimbath adalah cara yang ditempuh untuk menentukan hokum, istimbath dibagi menjadi
beberapa metode, diantara nya adalah metode bayani dan metode Istishlaahi.
Ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara‟), melalui salah satu dalil syara‟ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara‟ dan tanpa
cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan
hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Madzhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang
hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”

B. SARAN
Demi makalah yang kami susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
makalah ini.

C. ANALISIS
Al Quran adalah sumber ajaran islam yang paling utama yang merupakan kalam Allah
Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan sifatnya yang universal Al Quran
merupakan sumber semua hukum yang selanjutnya akan menelurkan banyak disiplin ilmu yang
tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yang nantinya akan diimbangi oleh
haidts, ijma‟ qiyas yang cara istimbhatul hukumnya berbeda-beda.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi, al-Kaukab al-Sathi‟ Nazhm Jam‟i al-Jawami‟, Maktabah Ibn Taimyyah, 1998.

Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut, Daar al-Ma‟rifah, tanpa tahun.

Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-„Urf, tanpa Penerbit, Tanpa tahun.

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh

Abdul Karim Zaidan, al-Wajizfi Ushuul al-Fiqh, Mu`assasah Qurthubiyyah, tanpa tahun

Amir Syarifuddin, Op Cit.

Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana.

„Atha al-Rahman al-Nadawy, „Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat

al-jami‟ah al-islamiyyah al-„Alamiyyah, Desember 2006.

Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003

· Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

· Nasrun Haroen, Op. Cit

· Syafi‟i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul.

25

Anda mungkin juga menyukai