MAKALAH
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah
berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-
Qur‟an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu
terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur‟an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum.
Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma‟, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam
menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti
Al-Qur‟an, Hadist, Ijma‟, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta
kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Al-Qur‟an dan ruang lingkupnya.
2. Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3. Pengertian Nash dan Syari‟ah.
4. Teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Pengertian ijtihad dan perbedaan mazdhab.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Al-Qur‟an dan ruang lingkupnya.
2. Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma‟ dan Qiyas dalam menetapkan hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari‟ah
4. Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu‟jizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan
bernilai ibadat yang membacanya.
b. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar
menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti:
mengqashar sholat.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1) Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3) Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.
2
B. KEDUDUKAN HADITS, IJMA’ DAN QIYAS
3
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an bahkan hadits dapat berdiri sendiri sebagai
sumber ajaran. Meulama kitarut Muhammad Abu Zahrah, ada beberapa alasan yang kuat
yang mendukung pemakaian hadits sebagai hujjah, yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, adanya nash-nash al-Qur‟an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk
kepada Nabi. Firman Allah SWT.
ً ٌْ س ْلن َك َعلَ ٌْ ِه ْم َح ِف
ظا َ ّٰللا ۚ َو َم ْن ت ََولهى فَ َما َٰٓ اَ ْر
َع ه َ َ س ْو َل فَقَ ْد ا
َ طا َّ َم ْن ٌ ُِّط ِع
ُ الر
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah SWT.” QS.
An-Nisa‟: 80.
ۖ سو َل َوأ ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم
ُ ٱلر ۟ ُٱَّلل َوأ َ ِطٌع
َّ وا ۟ ٌََُٰٓأٌَُّ َها ٱلَّذٌِنَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أ َ ِطٌع
َ َّ وا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. QS. An-Nisa‟: 59
Nash-nash tersebut dengan tegas menerangkan bahwa apa yang datang dari Nabi SAW
sesungguhnya datang dari Allah SWT.
Kedua, hadits Nabi sebagai bentuk penyampaian risalah dari Tuhan. Firman Allah SWT:
ِ َّص ُم َك ِمنَ ٱلن
اس ُ َّ سالَتَهُۥ ۚ َو
ِ ٱَّلل ٌَ ْع َ نز َل ِِلٌَ َْك ِمن َّر ِبّ َك ۖ َو ِِن لَّ ْم ت َ ْفعَ ْل فَ َما َبلَّ ْغ
َ ت ِر ِ ُ سو ُل بَ ِلّ ْغ َما َٰٓ أ َّ ٌََٰٓأٌَُّ َها
ُ ٱلر
َٱَّلل ََل ٌَ ْهدِى ْٱلقَ ْو َم ْٱل َك ِف ِرٌن
َ َّ ِِ َّن
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan, (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
amanatNya.” QS. Al-Maidah: 67.
Dengan demikian, apabila hadits secara keseluruhan merupakan penyampaian risalah
Muhammad, maka menerapkan dalil hadits berarti sama dengan menerapkan syariat
Allah SWT. Ketiga, nash-nash al-Qur‟an yang ada menerangkan bahwa Nabi berbicara
atas nama Allah. Firman Allah SWT:
4
tingkatan/kedudukan hadits yang berada di bawah tingkatan/kedudukan al-Qur‟an,
diantaranya:
a. Al-Qur‟an diterima secara qath‟i (meyakinkan), sedangkan hadits diterima secara
zhanni, kecuali hadits mutawatir. Keyakinan kita kepada hadits hanyalah secara
global, bukan secara detail (tafshili), sedangkan al-Qur‟an baik secara global maupun
secara detail diterima secara meyakinkan.
b. Hadits ada kalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam alQur‟an, ada
kalanya memberi komentar terhadap al-Qur‟an, ada kalanya membicarakan sesuatu
yang belum dibicarakan atau memberi komentar terhadap al-Qur‟an, maka sudah
tentu keadaan (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang diberi
penjelasan/komentar, yang pokok (al-Qur‟an) pasti lebih utama daripada yang
memberi komentar (hadits).
c. Dalam hadits terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadits menduduki posisi
kedua setelah al-Qur‟an.
Sedangkan meulama kitarut pendapat Mahmud Abu Rayyah sebagaimana
dikutip oleh Muhaimin, posisi hadits itu berada di bawah al-Qur‟an karena al-Qur‟an
sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun.
Al-Qur‟an datangnya dengan qath‟i al-wurud yaitu kepastian jalannya sampai kepada
kita dan qath‟i al-tsubut yaitu eksistensi atau ketetapannya meyakinkan atau pasti.
Sedangkan hadits sampai kepada umat Islam tidak semuanya mutawatir tetapi
kebanyakan adalah diterima dengan periwayatan tunggal (ahad), kebenarannya ada
yang qath‟i (pasti) dan zhanni (diduga benar) karena masih banyak hadits yang tidak
sampai kepada umat Islam. Di samping itu banyak pula hadits-hadits dhaif. Jadi
keberadaan hadits sebagai tashri‟ dapatlah ditelusuri melalui hujjah al-Qur‟an,
argumentasi hadits itu sendiri, maupun ijma‟ sahabat yang telah berkembang dalam
sejarah pertumbuhan hadits. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimuculkan
sebagai basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari keberadaan hadits.
Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an, hadits memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan al-Qur‟an. Keberadaan hadits tidak dapat dijelaskan dari
adanya sebagian ayat al-Qur‟an
a. yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian,
b. yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian,
c. yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
d. isyarat al-Qur‟an yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
menghedaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut;
bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di
dalam al-Qur‟an yang selanjutnya diserahkan kepada hadits Nabi.
Selain itu ada pula yang sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an tetapi hadits
5
datang pula memberikan keterangan sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
Dalam kaitan ini, hadits berfungsi sebagai petunjuk dan isyarat bagi alQur‟an
yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat al-Qur‟an yang bersifat
umum, sebagai pembatas terhadap ayat al-Qur‟an yang bersifat mutlak, juga
sebagai pemberi informasi terhadap suatu kasus yang tidak dijumpai dalam al-
Qur‟an. Dengan demikian, maka pemahaman al-Qur‟an dan juga pemahaman
ajaran Islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadits
Nabi SAW. Memang banyak hukum dalam al-Qur‟an yang tidak dapat dijalankan
bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat,
rukun-rukun, batal-batalnya, dan lain-lain dari hadits Rasulullah. Dalam hal itu
banyak pula kejadian yang tidak ada nash yang menasakh hukumnya dalam al
Qur‟an secara tegas dan jelas. Dalam hal ini diperlukan ketetapan Nabi yang telah
diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang-undang kepada
umat. Hadits merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari dan diteliti
kebenarannya karena hadits adalah sumber kedua yang berfungsi sebagai bayan
yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang masih global sebagaimana pendapat
Imam Malik yang dikutip oleh Rohmansyah bahwa hadits mempunyai empat
fungsi utama yang menghubungkan dengan al-Qur‟an, yaitu berfungsi sebagai
bayan al-taqrir yang menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum alQur‟an,
bayan al-taudhih yang menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud dari ayat
al-Qur‟an, bayan al tafshil yang menjelaskan ayat-ayat yang masih mujmal dan
bayan al basthi (tabsith dan takwil) yakni memanjangkan keterangan yang masih
ringkas dalam al-Qur‟an. Ada 3 fungsi hadits terhadap al-Qur‟an dalam
pandangan Muhammad „Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Syahrin
Harahap, diantaranya:
a. Hadits berfungsi memperkuat apa yang dibawa al-Qur‟an. Di sini
kelihatannya hadits tidak menjelaskan apalagi menambah apa yang telah
ditetapkan al-Qur‟an.
b. Hadits berfungsi memperjelas atau memperinci apa yang telah digariskan
dalam al-Qur‟an.
c. Hadits berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-Qur‟an.
6
dan Sunnah. Ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Quran dan
Sunnah.
Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama mengemukakan beberapa ayat
dan hadits Nabi diantaranya QS. An Nisa ayat 115 :
خ ْ ََُٔ ٍَّْٰٗ َُ َٕ ِنّ ّٖ َيا ذ ََٕنُِٛ ِم ْان ًُؤْ ِيْٛ ِ َْش َسثٛر َّ ِث ْغ َغَٚ َٔ ٍََّٖ نَُّ ْان ُٓ ٰذٛس ْٕ َل ِي ْۢ ٍْ َت ْؼ ِذ َيا ذ َ َث
ْ ص ِه ّٖ َج ََُّٓ َۗ َى َٔ َس ۤا َء ُ انش
َّ قِ ُِّشَاقٚ ٍْ َٔ َي
ࣖ ًْشاٛص
ِ َي
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini meulama kitanjukkan ijma
mempunyai hujjah yang tidak boleh diperselisihkan sebagaimana Al Quran dan
Hadits. Sedang Amidy mengatakan bahwa ayat ini merupakan ayat yang ama kuat
petunjuknya tentang kehujjahan ijma, dimana Allah Swt mengancam orang yang
mengikuti bukan jalan orang mukmin dengan memasukkan ke neraka jahannam dan
tempat yang paling buruk. Jalan orang mukmin diartikan sebagai apa yang disepakati
untuk dilakukan oleh orang mukmin. Inilah yang disebut ijma. 8 Begitu juga dalam
al-Quran surah An Nisa (4) ayat 59 ” Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu”. Perintah mentaati ulil amri sesudah
mentaati Allah dan Rasul berarti untuk mematuhi ijma, karena ulil amri berarti orang
yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama,
dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama salah satunya adalah bila mereka
sepakat tentang sesuatu hukum dan inilah yang disebut ijma.
3. Kedudukan Qiyas’ sumber ajaran agama islam
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟
dalam hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya
secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu
penggunaan ra‟yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara
bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut
qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena
merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash
walaupun tidak secara langsung.1
Sedang mengenai definisinya meulama kitarut ulama ushul
fiqh,qiyas berarti menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan
oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul
Wahab Khallaf, 2002:74).Para ulama Hanabilahberpendapat bahwaillat merupakan
8
C. PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1. Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf‟u asy-syai‟ atau munculnya segala sesuatu yang
tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut
istilah antara lain dapat dikemukakan di sini :
a. Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh
shahir.”
b. Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si
pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul
dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud
nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya
lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur‟an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan
riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih
memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya
diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari‟ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang
dilalui air terjun.”
Syari‟ah adalah semua yang disyari‟atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-
Qur‟an ataupun melalui Sunnah Rasul.
9
Syari‟ah itu adalah hukum-hukum yang disyari‟atkan Allah bagi hamba-hamba Nya
(maulama kitasia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang
disebut far‟iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri‟tiqad yang disebut ashliyah i‟tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk
itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari‟ah meulama kitarut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari‟at meulama
kitarut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju maulama kitasia dan binatang untuk
miulama kitam air. Meulama kitarut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang
disyari‟atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari‟ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah
disepakati (di ijma‟) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya
dan yang belum jelasa dalam Al-Qur‟an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain
syari‟at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai
peraturan hidup maulama kitasia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh maulama kitasia
didalam kehidupannya.
Pengertian syari‟ah meulama kitarut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islamy. Salah satu makna syari‟ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
)81 :حٛ (انجاث. ٌَْٕ ًُ ََ ْؼهٍََْٚ الٚ َؼ ٍح ِ ّيٍَ اْأل َ ْي ِش فَاذ َّ ِثؼْ َٓ َأالَ ذَر َّ ِث ْغ ا َ ْْ َٕآ َء انَّ ِزْٚ ث ُ َّى َج َؼ ْهُ ََك َػهَٗ ش َِش
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari‟ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah
untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu
melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai
akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Meulama kitarut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari‟ah itu adalah
ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i‟tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari‟at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari‟ah
untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas
dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari‟ah sebagaimana
dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari‟ah Islam adalah syari‟ah peulama kitatup, syari‟ah
yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan
maupun keakhiratan.4
4 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hal. 5-7
10
D. TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap
pakai adalah cukup mendesak. Ini karena banyaknya kasus-kasus fikih baru yang tidak
mudah ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih keislaman klasik. Untuk
menangani kasus-kasus baru tersebut, ulama kita sudah membuatkan patokan, “Dalam
hal ketika suatu masalah / kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah / kasus
tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul – masail bi nazha`iriha secara jama‟i. Ilhaq
dilakukan dengan mempertimbangkan mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq ,
maka ulama memutuskan demikian, “Dalam ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena
tidak adanya mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih didalam kitab maka dilakukan istinbath
secara jama‟i, yaitu dengan mempraktekkan qawa‟id fiqhiyyah untuk ilhaq. Dengan ini
jelas bahwa ulama kita telah memberikan mandat intelektual agar istibath jama‟i tersebut
dilakukan.
1. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari
nash (al-Quran dan al-Sunnah).6 Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istibaath
al-ahkaam min al-ulama kitashuush. Nash dimaksud dapat berupa nash juz`i tafshili,
nash kulli ijmali, dan nash yang berupa kaedah umum. Dalam rangka istinbath hukum
dari nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengkaji sabab al-ulama kitazul/wurud, baik yang makro atau mikro. Yang
dimaksud asbab al-ulama kitazul mikro adalah sebab khusus (asbab al-ulama
kitazul al-khashsh) yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau hadits.
Sedangkan yang dimaksud asbab al-ulama kitazul makro adalah sebab umum
(asbab al-ulama kitazul al-„amm) yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-
budaya, dan sosial-ekonomi dari proses tanzil al-Quran dan wurud al-hadits.
b. Mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa‟id al-ushuliyyah
al-lughawiyyah). Kajian teks dari perspektif kaedah bahasa ini meliputi tiga
5 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat
al-jami’ah al-islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006 jilid III, hal. 82
6 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-Isami” jilid III, hal. 82.
11
kajian secara simultan, yaitu kajian lafazh (al-tahlil al-lafzhi), kajian makna (al-
tahlil al-ma‟na) dan kajian dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan
dijelaskan pada paragraf berikutnya.
c. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth al-
ulama kitashuush badluhaa bi ba‟dlin). Nash yang sedang dikaji harus
dihubungkan dengan nash yang lain, karena ulama kitashuush al-syarii‟ah ( al-
Quran dan Hadits) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lain, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadits yang satu
terkait dengan hadits yang lain, ayat terkait dengan hadits dan hadits terkait
dengan ayat. Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukid
(penguat), bayaan al mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid
al muthlaq (membatasi lafazh muthlaq), takhshish al „amm (membatasi
keumuman lafdazh „amm), atau taudlih al-musykil (menjaskan lafazh musykil /
ambigu).
d. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-syari‟ah (rabth al-ulama
kitashuush bi al-maqaashid).Maqaashid al-syari‟ah (tujuan umum syari‟at) yang
sekaligus merupakan kulliyah al-syari‟ah (totalitas syari‟ah) memilki hubungan
saling terkait dengan ulama kitashush al-syari‟ah. Maqashid al-syari‟ah lahir dan
mengacu pada ulama kitashush al-syari‟ah, sementara ulama kitashush al-syari‟ah
dalam menafsirinya harus mempertimbangkan maqashid al-syari‟ah. Ini masuk
dalam kategori mengaitkan yang juz`i (partikular) dengan kulli (universal).40
Konkretnya, syari‟at Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
maulama kitasia zhahir-bathin dan dunia-akhirat. Maka, perumusan hukum dari
nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan maulama kitasia yang menjadi
tujuan syari‟at itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak
bertentangan dengan nash itu sendiri. Dengan mengaitkan ulama kitashsuush
dengan maqaashid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik dari ulama
kitashuush tidak sepeulama kitahnya tekstual, tapi kontekstual. Maka kita menjadi
maklum, mengapa fuqaha membolehkan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat
biji-bijian, kambing dan unta.7 Padahal instrkusi Nabi pada sahabat Mu‟adz bin
Jabal menjelang keberangkatannya ke daerah Yaman jelas mengatakan:
“....driwayatkan dari Muadz bin bin Jabal bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam mengutusnya ke Yaman lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa)
biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seekor onta ba‟iir dari
7 ‘Atha al-Rahman al-Nadawy, ‘Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat
al-jami’ah al-islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006 jilid III, hal. 82
12
onta, dan seekor sapi dari sapi.”
“janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir)”
Maksud dari hadits diatas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing
di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu al-Zhahir, tapi juga melarang
mengotori air dan menjadikannya najis dengan cara apapun. 8
Mentakwil nash (ta`wiil al-ulama kitashuush) bila diperlukan. Pada prinsipnya.
Setiap lafazh / nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna
dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rajih. Akan tetapi, kajian yang
komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta`wil, yakni
memalingkan lafazh / nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki dan rajih kepada
makna lain yang tersembunyi, majaazi atau marjuuh. Ta`wil tidak boleh dipahami
sebagai upaya meulama kitandukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau
menyesuaikan syari‟at dengan situasi, karena ta`wil hanya bisa dilakukan ketika ada
dalil yang memicunya.
Ulama ushul fiqh membagi ta`wil kepada dua bagian: 9
a) Pertama, ta`wil qariib (dekat / dangkal) seperti men-ta`wil:
. ُك ْى َِكَا ُح أ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ْىْٛ َ ُح ِ ّش َو َػهdengan ُك ْى أ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ْىْٛ َد َػه
ْ ُح ِ ّش َي
Men-ta`wil ayat ini dengan menghadirkan semacam kata َِكَا ُحmerupakan tuntutan
َ ِ] اِ ْقر, karena status hukum seharusnya disandangkan kepda perbuatan
[ ضا ْء
mukallaf sebagai mahkuum fiih (obyek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada zat, yaitu ibu. Maka tanpa ta`wil ayat tersebut
tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta`wil ini adalah takhshish al-
„amm, taqyiid al-muthlaq, daan mengartikan lafazh zhahir dengan makna
marjuuhnya.
b) Kedua, ta`wiil ba‟iid (jauh / dalam). Ta`wil macam ini tidak sembarang orang
8 Al-Suyuthi, al-Kaukab al-Sathi’ Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taimyyah, 1998,
hal.212
9 Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul, hal. 83.
13
dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibn Abbas
radhiyallaahu „anhumaa:
“ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya”
Ta`wil tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wil terhadap suatu nash
harus dilakukan setelah mengetahui tafsir nash itu. Jadi, ta`wil itu setelah tafsir [
شٛم تؼذ انرفسٚٔ] انرأ. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
kajian teks ayat / hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawaaid al-ushuuliyyah
al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalaalah dengan
penjelasan:
1) Kajian Lafazh [ ٙم انهفظٛ] انرحه
Kajian lafazh berkisar berksar pada hal-hal sebagai berikut:
a. antara „aamm dan khaashsh
Setiap lafazh dapat memiliki lebih dari satu ketgori, misalnya lafazh دمحم.
Lafazh ini dari satu sisi masuk kategori khaashsh karena tidak memiliki cakupan
makna yang luas, sementra dari sisi yang lain
masuk kategori nash sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan
makna yang lain. Contoh yang lain شٛ أسذ كث. Lafazh ini dari satu sisi masuk
kategori muqayyad karena lafazh أسذber-qayyid (dibatasi) dengan lafazh شٛكث,
sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhaahir karena lafazh أسذtampak
dalam makna singa dan ada kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani,
dan lafazh ini ketika dimaknai singa, maasuk kategori haqiiqah, dan bila dimaknai
pemberani masuk kategori majaaz.
Contoh konkrit dalam al-Quran adalah firman Allah SWT.: مٛ( قى انهbangunlah
pada waktu malam). Lafazh قىdari satu sisi termasuk kategori khaashsh karena
cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi lain disebut amr sebab berisi
tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain, disebut
zhaahir karena shiighatul-amri tampak dalam makna wujuub (kewajiban) dan
mungkin untuk ditarik pada selain makna wujuub. Yang pasti, lafazh „aamm
14
bukan khaashsh, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan mutasyaabih,
haqiiqah bukan majaaz, zhahiir bukan nash, amr bukan nahy, dan musytarak
bukan mutaraadif.
Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam
hal ini terdapat dua metode:
a. shariih
b. ghairu shariih
ّ ٍ َ ََٗص أ َ ْٔ َح ًْ ٍم َػه
َص َ إِ ٌَّ ْاألَحْ ك
ّ ٍ َ ٍْ َاو َال ذُؤْ َخز ُ إِ َّال ِي
“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dar nash atau dari penggabungan pada nash”.
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab radhiyallaahu „anhu kepada Abu Musa al-
Asy‟ari adalah:
12 Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut, Daar al-Ma’rifah, tanpa tahun, juz VI, hal. 353
17
pjakan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan
Istihsaan sesungguhnya bukan bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam
proses penetapan hukum. Sebaliknya, istihsaan mempunyai pijakan dalil yang
muaranya tak lain untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat
maulama kitasia. Pada kenyataannya, dalam berbagai kasus hukum, penggunaan
istihsaan tidak dapat dihindari.
2) Al-Mashaalih al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan
manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlalah juga
diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti meulama kitantut
ilmu adalah mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat, berdagang
adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan
dalam terminologi ushuul fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin
terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syaari‟ (maqaashid al-syarii‟ah),
yaitu hifzh al-diin, hifzh al-nafs, hifz al-„aql, hifzh al-nasl / hifzh al-„irdl dan
hifz al-maal.13
Para ulama membagi mashlaah ke dalam tiga bagian;
a. Pertama, adalah mashlahah mu‟tabarah, yaitu mashlahah yang diapresisasi
syar‟i melalui nash al-Quran atau Sunnah, seperti diharamkannya setiap
miulama kitaman yang memabukkan.
b. Kedua, adalah mashlahah mulghaa, yaitu mashlahah yang dinafikan oleh
syaari‟ melalui nash al-Quran atau Sunnah, seperti penyamaan pembagian
harta waris antara anak anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap
sebagai mashlahah.
c. Ketiga, adalah mashlahah mursalah , yaitu mashlahah yang tidak punya
acuan nash, baik nash yang mengakui (i‟tibaar) ataupun yang
menafikannya (ilghaa`), seperti merayakan maulid Nabi Muhammad
shallallaahu „alaihi wasallam, peulama kitalisan dan penyatuan al-Quran
dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan, dan lain-lain.
d. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan
mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, syari‟at Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi „ibaadah
dan dmensi mu‟aamalah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak
dapat dijadikan acuan hukum dalam wilayah „ibaadah. Sebab, „ibaadah
berbasis pada ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai
mashlahah-nya tidak dapat dinalar akal pikiran maulama kitasia.14
Para ulama membagi „urf dari segi wilayah berlakunya kedalam dua bagian:
a. „urf „aamm, yaitu „urf yang berlaku pada seluruh atau mayoritas umat
maulama kitasia pada masa tertentu.
b. „urf khaashshah, yaitu „urf yang berlaku pada masyarakat, komunitas atau
daerah tertentu pada masa tertentu.
Sementara dari segi kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syari‟at, „urf
dibagi menjadi dua macam:
a. „urf shahih, yaitu „urf yang tidak bertentangan dengan nash al-Quran as
Sunnah dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang
halal.
b. „urf fasid, yaitu „urf yang bertentangan dengan nash shariih al-Quran atau
Sunnah, menghaalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.
Contoh-contoh „urf:
a. Perempuan yang haid dengan teratur, dalam menentukan kadar haid dapat
berpedoman pada „urf-nya.
b. Pemberian pra nikah terhadap calon isteri tidak dipandang sebagai bagian dari
maskawin berdasarkan „urf yang berlaku di sebagian daerah di Indonesia
c. Kata „almarhum‟ dalam „urf Indonesia hanya digunakan untuk orang yang
15 Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, tanpa Penerbit, Tanpa tahun, hal. 86-87.
19
meninggal dunia. Padahal arti asalnya (yang dirahmati Allah) bisa digunakan
untuk orang hidup atau orang mati.
Istibath hkum berdasarkan „urf masuk dalam lingkup ijtihad istshlaahi. Ini artinya,
menjadikan mashlahah sebagai tujuan syari‟at berkonsekuensi logis pada keharusan
memperhatikan „urf maulama kitasia, selama tidak bertentangan dengan syari‟at.
1. Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedang meulama kitarut pengertian syara‟ ijtihad adalah:
2. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Meulama kitarut istilah
para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
16 Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003), hal. 124
17 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 33
20
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil
ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang
kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[4]
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam
Hanafi, Maliki, Syahi‟i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh
sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab
bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab
tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima
hanya dari ulama/guru yang mengaulama kitat suatu mazdhab saja.
Mengaulama kitat suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya meulama kitatup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran
yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya
mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
meulama kitarutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah
generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur‟an, Sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan
serta mempertahankan muamalah-muamalah maulama kitasia dan apa yang mendatangkan
21
maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an,
Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau
melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan
istihsan, beliau kembali kepada Urf maulama kitasia.
C. IMAM SYAFI’I
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i sebagai acuan pendapatnya
termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Qur‟an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun
diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni
selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi‟i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga
dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal (Istishhab)
22
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak
berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada
sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Qur‟an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam
menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
Al-Qur‟an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur‟an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana
berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur‟an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak
dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak
bertentangan dengan nash syari‟at yang jelas.
Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut
alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu,
ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Istimbath adalah cara yang ditempuh untuk menentukan hokum, istimbath dibagi menjadi
beberapa metode, diantara nya adalah metode bayani dan metode Istishlaahi.
Ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara‟), melalui salah satu dalil syara‟ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara‟ dan tanpa
cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan
hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Madzhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang
hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
B. SARAN
Demi makalah yang kami susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
makalah ini.
C. ANALISIS
Al Quran adalah sumber ajaran islam yang paling utama yang merupakan kalam Allah
Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan sifatnya yang universal Al Quran
merupakan sumber semua hukum yang selanjutnya akan menelurkan banyak disiplin ilmu yang
tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yang nantinya akan diimbangi oleh
haidts, ijma‟ qiyas yang cara istimbhatul hukumnya berbeda-beda.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthi, al-Kaukab al-Sathi‟ Nazhm Jam‟i al-Jawami‟, Maktabah Ibn Taimyyah, 1998.
Abdul Karim Zaidan, al-Wajizfi Ushuul al-Fiqh, Mu`assasah Qurthubiyyah, tanpa tahun
„Atha al-Rahman al-Nadawy, „Al Ijthaad wa Daurhu fi Tajdid al-Fiqh al-isami” dalam Dirasat
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
25