Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH STUDI ISLAM

“SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM”


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
Dosen pengampu : Dr. Ahmad Royani, S.Ag., M.Hum.

Disusun oleh :
Kelompok 5
Muhammad Hadi Al-Aziz (11200163000021)
Fenti Algiyantoro (11200163000047)
Kelas : Pendidikan Fisika 3B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini mengenai “Sumber-
Sumber Ajaran Islam”. Tidak lupa shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam gelap ke
alam yang terang benderang, dari alam jahiliyah ke alam yang penuh berkah ini.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi
Islam. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ahmad Royani, S.Ag., M.Hum.,
selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Islam yang senantiasa meluangkan waktunya untuk
memberikan ilmu dan bimbingannya.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
para pembaca. Kami meminta maaf apabila dalam materi atau penulisan terdapat kesalahan.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 12 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4

A. Latar Belakang........................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5

C. Tujuan ........................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

A. Isi Kandungan Al-Qur’an .......................................................................................... 7

B. Peran Dan Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an ........................................................ 10

C. Peran Dan Fungsi Al-Ra’yu Terhadap Al-Qur’an Dan Hadis ................................ 12

D. Hubungan Antara Akal Dan Wahyu ....................................................................... 15

E. Cara Memahami Al-Qur’an, Hadis Dan Al-Ra’yu ................................................. 17

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 25

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 26


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar
akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber ajaran
islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Allah telah menetapkan sumber
ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Agama Islam bersumber dari
Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam
(akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya. Mempelajari agama
Islam merupakan fardhu ’ain, yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah,
sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran
manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber pokok ajaran Islam yang mempunyai kedudukan yang paling pertama
dan utama ialah Al-Qur’an. Kehidupan di dunia dan di akhirat yang harus dijalani
telah tertulis didalamnya sebagai aturan dan tuntunan bagi umat Islam. Al-Qur’an
mengajarkan semua aspek kehidupan umat manusia, mulai dari proses
diciptakannya manusia hingga hari kehancuran dan berakhirnya dunia. Untuk
mengetahui segala hal dalam pesan-pesan Al-Qur’an, manusia diwajibkan untuk
membaca dan memahami artinya, karena hal tersebut merupakan suatu ibadah yang
mulia. Al-Qur’an adalah kitab penyempurna kitab-kitab lainnya, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh
dengan memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan
pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu
dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih)
Islam dari keduanya.

B. Rumusan Masalah

• Bagaimana kandungan al-Qur’an secara umum?


• Apa saja peran dan fungsi hadis terhadap al-Qur’an?
• Apa saja peran dan fungsi al-Ra’yu terhadap al-Qur’an dan hadis?
• Bagaimana hubungan antara akal dan wahyu?
• Bagaimana cara memahami al-Qur’an (Ilmu Tafsir dan Ulum al-Qur’an,
Hadis (lmu Hadis), dan al-Ra’yu (Metode berijtihad)?

C. Tujuan

• Untuk memahami kandungan al-Qur’an secara umum.


• Dapat mengetahui peran dan fungsi hadis terhadap al-Qur’an.
• Dapat mengetahui peran dan fungsi al-Ra’yu terhadap al-Qur’an dan hadis.
• Dapat mengidentifikasi hubungan anatara akal dan wahyu.
• Dapat menjelaskan cara memahami al-Qur’an (Ilmu Tafsir dan Ulum al-
Qur’an, Hadis (lmu Hadis), dan al-Ra’yu (Metode berijtihad).
BAB II
PEMBAHASAN

Sumber utama ajaran agama dalam Islam yang utama adalah al-Qur‟an dan al-Hadis
atau al-Sunnah. Al-Qur‟an adalah Wahyu Allah yang mutlak kebenarannya dan tidak
dapat dibantah oleh akal dan kebenaran manusia, sehingga al-Qur‟an adalah sumber
ajaran utama dalam Islam. Al-Hadis atau al-Sunnah adalah sumber ajaran utama yang
kedua setelah al-Qur‟an, sebab al-Hadis atau al- Sunnah adalah ajaran-ajaran dan contoh
teladan dari Rasulullah SAW, menusia yang telah dipercaya dan diangkat oleh Allah
sebagai Rasul yakni utusan Allah untuk menyampaikan Agama Islam kepada manusia.
Hadis Rasul kedudukannya lebih tinggi dari pemikiran atau pendapat manusia baik dia
ulama maupun ilmuan, sehingga al-Hadis atau al-Sunnah dari Rasul harus digunakan
dalam menerapkan ajaran-ajaran agama. Al-Hadis atau al-Sunnah ini berupa perkataan
Nabi, perbuatan Nabi dan persetujuan Nabi. (Abd. Rozak dan Ja’far, 2019:24)

Dimana dalam firman Allah SWT. berbunyi:

‫س ْو َل َواُو ِلى ْاْلَ ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم‬ ُ ‫الر‬ َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬
‫اْل ِخ ِۗ ِر ٰذ ِل َك َخي ٌْر‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْال َي ْو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ ِب ه‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫ش ْيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِ َلى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ َ ‫ِف ْي‬
ࣖ ً ْ
َ ‫َّواَ ْح‬
‫س ُن تَأ ِويْل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)
Dan Hadis Rasulullah SAW.

ُ ‫سنَّةَ َر‬
‫س ْو ِل ِه‬ َّ ‫َضلُّ ْوا َما ت َ َم‬
َ ‫ ِكت‬: ‫س ْكت ُ ْم ِب ِه َما‬
ُ ‫َاب هللاِ َو‬ ِ ‫ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh
Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-
13).

A. Isi Kandungan Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam, dan juga merupakan


pedoman hidup bagi setiap manusia. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya
(Choiruddin Hadliri:1993) Dengan demikian, untuk dapat memahami ajaran Islam
secara sempurna, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami
Al-Qur’an. Al-Qur’an, sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik
lafal maupun uslubnya. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa semua orang
Arab, atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Qur’an
secara rinci. Bahkan menurut Ahmad Amin (1975) para Sahabat sendiri tidak
sanggup memahami kandungan Al-Qur’an dengan hanya sekedar
mendengarkannya dari Rasulullah saw, karena menurut beliau, memahami Al-
Qur’an tidak cukup dengan menguasai bahasa Arab saja.
Al-Qur’an menurut istilah, antara lain, adalah: Firman Allah swt yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang memiliki kemukjizatan lafal,
membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam
mushhaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas.
(Muhammad Abu Syahbah: 1992).
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai : “firman-firman
Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksinya kepada Nabi
Muhammad saw, dan diterima oleh ummat Islam secara tawatur. Maka dapat
didefinisikan bahwa: Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril a.s sesuai dengan
redaksinya, yang memiliki kemukjizatan lafal, yang tertulis dalam mushaf, dimulai
dari suruh al-Fatihah sampai pada suruh al-Nas, dan disampaikan secara mutawatir
kepada umat Islam, dimana membacanya dinilai sebagai ibadah.

‫ص ِدقًا‬ ِ ‫ع ٰلى قَ ْل ِب َك ِب ِا ْذ ِن ه‬
َ ‫ّٰللا ُم‬ َ َ‫قُ ْل َم ْن َكا ن‬
َ ٗ‫عد ًُّوا ِل ِجب ِْر ْي َل فَ ِا نَّهٗ ن ََّزلَه‬
َ‫ِل َما بَيْنَ يَ َد ْي ِه َو ُهدًى َّوبُ ْش ٰرى ِل ْل ُمؤْ ِمنِيْن‬
"Katakanlah (Muhammad), "Barang siapa menjadi musuh Jibril maka (ketahuilah)
bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan izin
Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta
berita gembira bagi orang-orang beriman." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 97)

Menurut Abdul Wahab Khalaf definisi tentang Al-Qur'an mengandung


penjelasan tentang:
a. Isi Al-Qur'an, yaitu seluruhnya firman Allah SWT yang mutlak dan pasti benar.
b. Cara diturunkannya, yaitu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril yang tidak pernah durhaka kepada Allah, dan senan-
tiasa mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Dengan demikian, firman
Allah yang disampaikan langsung dari Allah, tanpa melalui Malaikat Jibril,
tidak termasuk ke dalam Al-Qur'an; melainkan termasuk dalam Hadis qudsi.
c. Orang yang dipercaya untuk menjelaskan kandungan Al-Qur'an kepada umat
manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW yang keagungan akhlaknya diakui oleh
Allah SWT, mendapat julukan al-Amien, yaitu orang yang dapat dipercaya,
serta memiliki sifat shidiq (selalu jujur dalam berkata), amanah (dapat
dipercaya dalam menunaikan amanah), tabligh (menyampaikan ajaran dari
Allah kepada umat manusia), dan fathanah (cerdas).
d. Fungsinya, antara lain sebagai dalil, petunjuk, dan bukti yang kuat atas
kerasulan Nabi Muhammad SAW.
e. Susunannya terdiri dari ayat dan surat-surat yang disusun berdasarkan tauqify
(ketetapan petunjuk Rasulullah), dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Naas.
f. Penyampaiannya dilakukan secara mutawatir, yakni disampaikan oleh sejumlah
orang yang semuanya dapat dipercaya dan sepakat bahwa ia benar-benar wahyu
Allah SWT, terpelihara dari berbagai perubahan dan pergantian.

Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh juga memerinci lebih
jelas tentang kandungan isi ayat al-Qur'an yang terdiri dari tiga doktrin yaitu :

a. Doktrin akidah yang berisi tentang akidah (keimanan) yang wajib diimani oleh
setiap mukalaf tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab, para rasul, dan hari
akhir.
b. Doktrin akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap
mukalaf dengan menjalankan hal-hal yang utama dan menghindarkan diri dari
hal-hal yang menghinakan.
c. Hukum amaliyah yang berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan
tindakan mukalaf (ucapan dan perbuatan), akad, pembelanjaan (pengolahan
harta benda). Bagian ketiga inilah yang dise- but dengan fiqh al-Qur'an yang
berhubungan dengan ilmu ushul fiqh (doktrin syariat/fiqh).
Hukum amaliyah dibagi lagi menjadi dua:
a. Hukum ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan ibadah-
ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya.
b. Hukum muamalah yang dalam ilmu modern terdiri dari hukum badan pribadi,
hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.
(Abdul Wahhab Khallaf, 1994:32-34)
Selain memiliki sifat-sifat yang demikian itu, Al-Qur'an juga diyakini tetap
terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman. Al-Qur‘an terdiri dari 30 juz, 114 surat
dan 6.236 ayat. Ayat-ayat Al-Qur‘an yang turun pada periode Mekah (Ayat
Makkiyah) sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat. Sedangkan ada
periode Madinah (Ayat Madaniyah) sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28
surat. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengandung nuansa sastra yang kental
karena ayat-ayatnya pendek-pendek. Isinya banyak mengedepankan prinsip-
prinsip dasar kepercayaan (aqidah) dan akhlak. Sedangkan ayat Madaniyah
menerangkan aspek syari‘ah, muamalah dan juga akhlak. (Nurhasanah Bakhtiar
dan Marwan, 2016)

B. Peran Dan Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an.
Penetapan hadits sebagai sumber kedua ini ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an
sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran
menekankan bahwa Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman
Allah. Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi
sebagai rasul harus diteladani oleh kaum Muslimin.

َ‫اس َما نُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَت َفَ َّك ُر ْون‬ ِ ‫الزب ِۗ ُِر َوا َ ْنزَ ْلنَا ٰٓ اِلَي َْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬ ِ ‫بِ ْالبَيِ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

“(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan


kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar
mereka memikirkan,” (Q.S. An-Nahl:44)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW bertugas memberikan


penjelasan tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada
al-hadits. Dengan demikian fungsi al-hadits terhadap al-Qur`ân itu cukup penting,
yaitu sebagai bayan atau penjelas. Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`ân sebagai
bayan itu dipahami oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai
berikut:
a. Bayan Taqrir
Bayan taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan,
dan mengokohkan apa yang telah ditetapkan alQur`an, sehingga maknanya
tidak perlu dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang
sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai
kaum muslimin salah menyimpulkan.
b. Bayan Tafsir
Bayan tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang
maknanya global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah
yang berfungsi bayan tafsir tersebut terdiri dari
1. tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat
al-Qur`an yang maknanya masih global.

2. Tabyîn al-Musytarak
Tabyîn al-Musytarak ialah menjelas kan ayat al-Qur`an yang
mengandung kata bermakna ganda.
3. Takhshish Al-’am
Takhshîsh al-’am ialah sunnah yang mengkhususkan atau
mengecualikan ayat yang bermakna umum.
c. Bayan Tabdila
Bayan Tabdil ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya.
Dalam istilah lain dikenal dengan nama nasih wa al- mansuh. Banyak ulama
yang berbeda pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah mentabdil al-
Qur`an. Namun pada dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum,
melainkan hanya terletak pada penetapan istilahnya saja.
(Hamdani Khairul Fikri, 2015)
Imam Syafi’i berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`an itu
adalah sebagai (1) bayan tafshil atau perinci ayat yang mujmal, (2) bayân takhshish
atau pengkhusus yang bersifat umum, (3) bayan ta’yien yaitu menetapkan makna
yang dimaksud dari suatu ayat yang memungkinkan memiliki beberapa makna
seperti menjelaskan yang musytarak, (4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi
tambahan hukum yang tidak tercantum dalam al-Qur`an. (5) bayan nasakh, yaitu
mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan pada bayan tabdil.
Fungsi hadist terhadap al-Quran adalah sebagai bayan dan muhaqiq (penjelas
dan penguat) bagi al-Quran. Karena hukum merupakan produk hadits yang tidak
ditunjukan oleh al-Qur’an secara langsung. Oleh karena itu, hadits berperan sebagai
penjelas dan penguat al-Qur’an seperti larangan-larangan secara tidak langsung
antara lain memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakai
cincin emas, dan kain sutra bagi laki-laki.

C. Peran Dan Fungsi Al-Ra’yu Terhadap Al-Qur’an Dan Hadis

Secara etimologi kata (ra’yu) berasal dari bahasa Arab ‫ رأى‬yang berarti
“melihat”. Menurut Abu Hasan kata ra’yu memiliki arti: pengelihatan dan
pandangan dengan mata atau hati, segala sesuatu yang dilihat oleh manusia,
jamaknya ‫( األراء‬al-Ara’). Secara terminologi, ra’yu menurut Muhammad Rowas,
yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses berfikir dan
merenung. Kata ra’yu atau yang seakar dengan itu terdapat pada 328 ayat dalam
Alquran.

ْ َ‫غةً قَا َل ٰهذَا َر ِب ْي ٰهذَ ۤا ا َ ْكبَر ۚ فَلَ َّم ۤا اَفَل‬


‫ت قَا‬ َ ‫س بَا ِز‬ َّ ‫فَلَ َّما َرا َ ال‬
َ ‫ش ْم‬
َ‫ي ٌء ِم َّما ت ْش ِرك ْون‬
ْْٓ ‫َل ٰيقَ ْو ِم اِنِ ْي َب ِر‬
"Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah tuhanku, ini
lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku!
Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan."(QS. Al-An'am 6:
Ayat 78)
Kata ra’yu pada ayat di atas berarti melihat. Namun pada obyek yang abstrak,
kata ra’yu tidak mungkin diartikan “melihat dengan mata kepala”, tetapi harus
diartikan “melihat dengan mata hati” atau dengan arti “memikirkan atau
memperhatikan”. Adapula air kata ra’yu adalah “memikirkan”, juga berarti “hasil
pemikiran” atau “rasio” dalam QS. Luqman 31: Ayat 20

‫ض َواَ ْس َب َغ‬ِ ‫ت َو َما فِى ْاْلَ ْر‬ِ ‫س َّخ َر لَك ْم َّما فِى السَّمٰ ٰو‬ ‫اَلَ ْم تَ َر ْوا اَ َّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬
‫ّٰللا ِبغَي ِْر ِع ْل ٍم‬
ِ ‫ظا ِه َرة ً َّو َبا ِطنَةً ۚ َو ِمنَ النَّا ِس َم ْن يُّ َجا دِل فِى ه‬
َ ٗ‫علَيْك ْم نِ َع َمه‬ َ
ٍ ‫َّو َْل هدًى َّو َْل ِك ٰت‬
‫ب ُّمنِي ٍْر‬
"Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan
menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa
Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman 31: Ayat 20)

Dalam kajian ilmu usul fikih, masalah otoritas dan kapasitas akal dalam
mencoba mencari solusi/mencari ketetapan hukum dari setiap permasalahan baru
yang timbul, namun tidak terdapat nas yang jelas untuk menjadi dalilnya,
menjadikan ra’yu sebagai salah satu solusi dalam menjawab problematika
kontemporer umat Islam. Namun, para ulama berbeda pen dapat dalam penggunaan
ra’yu jenis ini sebagai dalil hukum, para ahlipun membuat klasifikasi ra’yu. Jumhur
sepakat mendahulukan ra’yu yang tetap mengambil dalil dari premis mayor yang
terdapat dalam teks-teks kitab suci sebagai ra’yu yang dapat diterima.
Dalam Al-Qur'an terdapat lebih banyak peraturan hukum yang diungkapkan
secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Dalam uraian tentang
sunah, terutama tentang fungsi sunah sebagai penjelasan terhadap Al- Qur'an,
dikemukakan bahwa sebagian dari aturan dalam Al-Qur'an yang bersifat global atau
garis-garis besar itu telah dijelaskan secara harfiah oleh Nabi. Juga masih banyak
dari penjelasan Nabi itu yang membutuhkan penalaran. Selain itu, karena penjelasan
Nabi itu bersifat sederhana, maka tidak mampu menjangkau seluruh kejadian dan
peristiwa yang ber- munculan kemudian sciring dengan perkembangan dan
perubahan dalam kehidupan umat Islam. Dalam kenyataan, banyak sekali kejadian
yang telah dan yang akan muncul tidak ditemui jawabannya secara harfiah, baik
dalam Al-Qur'an maupun sunah.
Pada prinsipnya penalaran dipergunakan dalam menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian bila tidak terdapat aturan-atur- annya secara harfiah. Begitu pula
dalam keadaan-keadaan tertentu, ra'yu (nalar) pun dapat digunakan terhadap hal-hal
yang sudah ada nash tetapi dalam pengaturannya tidak dikemukakan secara pasti.
Dengan demikian, ra'yu itu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu:
1. Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam hal ini mujtahid
menemukan hukum secara murni dan tidak akan berbenturan dengan ketentuan
nash yang sudah ada karena memang belum ada nash-Nya. Mungkin hasil
penemuan mujtahid itu berbeda dengan yang lebih dahulu menemukannya.
Tetapi yang demikian itu tidak ada halangannya karena masing- masing
mempunyai kekuatan yang sama dan karenanya dapat berdiri sendiri-sendiri. Di
sinilah timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama yang tidak akan mungkin
dipersatukan. Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya, tetapi dapat dikaitkan
hukumnya kepada lafaz yang ada dalam nash atau yang dinamakan hukum yang
tersirat, penggunaan ra'yu dapat juga berlaku sebagaimana yang berlaku pada
bentuk pertama di atas. Apa pun hasil ra'yu yang ditemukan oleh mujtahid tidak
akan berbenturan dengan harfiah hukum dalam nash, selama tetap menjaga
ketentuan-ketentuan dalam perentangan hukum nash. Perbenturannya dengan
hasil penemuan mujtahid terda- hulu tidaklah merupakan suatu halangan.
2. Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap
hukum tidak secara pasti. Nash hukum dalam ben- tuk ini memberikan
kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Jika terdapat kemungkinan
pemahaman, maka di sini terdapat lapangan bagi ra'yu. Kalau begitu, apa lagi
yang akan ditetapkan oleh ra'yu terhadap yang sudah diatur secara harfiah itu?
Peranan ra'yu dalam hal ini adalah menemukan alternatif-aternatif. Pendapat
yang muncul dalam bentuk ini tidak akan berbenturan dengan dalil karena
memang dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti.

(Amir Syarifuddin, 2008)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:

1. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti dalam nash, tidak ada peranan
ra'yu,
2. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi,
3. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, ra'yu dapat menjalankan fungsi reformulasi.

D. Hubungan Antara Akal Dan Wahyu


Akal berasal dari kata Arab (‘aqal). Dalam bahasa Indonesia orang biasa
menyalinnya dengan pikir atau pikiran.Jadi kejadian berakal, disalin dengan
berpikir.Menurut bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat” (menahan) dan
“membedakan”. Dalam rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal merupakan
tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk
atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Umumnya akal dimaknakan
sebagai alat untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala
perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat daripadanya. Perkataan
akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian diantaranya mengikat dan
menahan, juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat
dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga). Untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan
antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan benda yang ditangkap
oleh panca indera. Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian
diantaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami
dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya
(kekuatan, tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang
dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan
benda yang ditangkap oleh panca indera.
Kata wahyu berasal dari kata arab ‫الوحي‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan
bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.Dan ketika
Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh
sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan
ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam
Allah yang diberikan kepada Nabi. Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut
Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh
seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari
Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti
suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan
Wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang
filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak
untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu
dengan pendapat akal ulama lain. Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat
diperoleh melalui akal, termasuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban
beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak
turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan
pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga
dapat diketahui melalui akal. Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan
buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu
adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib. Menurut Asy’ariyah, pertama
kali semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu
tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia. Hal tersebut
dikarenakan akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban
beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban
menjauhi yang buruk.

E. Cara Memahami Al-Qur’an, Hadis Dan Al-Ra’yu


a. Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dalam bahasa Arab Quraisy sesuai
dengan dialek-dialek bangsa Arab sebagai bahasa yang paling fasih. Meskipun
bangsa Arab paham terhadap Al-Qur’an, karena diturunkan dengan bahasa
mereka sendiri, tetapi tingkat pemahaman mereka berbeda-beda sejalan dengan
berbedanya kecerdasan, lama bergaul dengan Rasulullah ditambah dengan
kesungguhan atau tidaknya mereka dalam memahami Al-Qur’an. Meskipun
demikian, secara umum dapat dikemukakan disini bahwa pada masa Rasulullah
saw. masih hidup tidak ada kesulitan berarti yang dialami oleh para sahabat.
Selama 14 abad, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai
macam perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Walaupun
demikian, menurut Adnan Amal dan Panggabean (1992:16), terdapat
kecenderungan yang umum untuk memahami Al-Qur’an secara ayat perayat,
bahkan kata perkata. Selain itu pemahaman Al-Qur’an terutama didasarkan pada
pendekatan filologis – grammatical. Pendekatan ayat perayat atau kata perkata
ini tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan
Al-Qur’an. Bahkan sering tejadi penafsiran semacam ini dengan semena-mena
menanggalkan ayat dari konteks dan aspek kesejarahannya untuk membela
sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran
teologis, filosofis, dan sufistis. Gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke
dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks kesejarahan dan kesusasteraan
Kitab Suci itu. Dan praktek pemaksaan prakonsepsi ke dalam Al-Qur’an ini
tetap berlangsung hingga sekarang. Dalam memahami Al-Quran dibutuhkan
suatu ilmu yang disebut Ulumul Quran. Ulum Al-Qur’an ialah ilmu-ilmu yang
membahas tentang Al-Qur’an, yang garis besarnya tediri dari dua cabang, yaitu
(a) ilmu yang biasa diperalat untuk memahami Al-Qur’an, seperti ilmu tafsir,
ilmu qira’at, ilmu penulisan AlQur’an (rasm), I’jaz Al-Qur’an (daya mu’jizat)
sebab nuzul ayat, nasikh mansukh , dan ilmu-ilmu kebahasaan Arab,
(b) ilmu yang dapat dicarikan legitimasi dari Al-Qur’an seperti ilmu fiqh, ilmu
kalam, ilmu sejarah dan sebangsanya.
Al-Qur’an harus dipelajari sedemikian rupa sehingga keutuhan yang konkrit
akan terlihat dengan sempurna. Pandangan yang parsial dan subyektif
memungkinkan kepuasan bagi yang memberikan pandangan yang subyektif,
tetapi perbuatan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an itu sendiri dan akan
dapat menimbulkan abstraksiabstraksi yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,
usaha-usaha untuk merumuskan metodologi yang memadai guna pemahaman
Al-Qur’an perlu dilakukan. Usaha ke arah perumusan suatu metodologi yang
dicita-citakan itu seharusnya menjadi prioritas utama dalam rangka
pengembangan kajian-kajian Al-Qur’an dan tafsir. Sebab, tanpa metodologi
yang memadai, upayaupaya untuk membumikan pesan-pesan Al-Qur’an dan
menjadikannya sebagai pedoman umat Islam dalam menghadapi tantangan
zaman tak akan membawa banyak hasil. Menafsirkan Al-Qur’an berarti
membedah makna yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk dijadikan petunjuk
bagi manusia, karena Al-Qur’an itu sendiri merupakan petunjuk. Dalam hal
penafsiran misalnya, terdapat beberapa prinsip-prinsip penafsiran yang harus
dipegangi antara lain sebagaimana diajukan Amal dan Panggabean (1992:34-
62) yaitu sebagai berikut:
1. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai
petunjuk bagi manusia dan julukannya lainnya yang senada, menyebut
dirinya bersumber dari Tuhan, dan menegaskan bahwa Kitab Suci ini sama
sekali tidak mengandung kontradiksi di dalamnya dan lain-lain.
2. Sebagai petunjuk Allah yang jelas dan berkaitan bagi manusia, pesan-pesan
Al-Qur’an bersifat universal. Doktrin keabadian Al-Qur’an ini disepakati
umat Islam. Ini terletak bukan pada makna harfiahnya. Pemahaman yang
harfiah pada Al-Qur’an, di samping telah membatasi daya cakupnya, juga
mengakibatkan timbulnya doktrin nasikh mansukh yang dalam kenyataanya
telah menghantam doktrin keabadian dan koherensi Al-Qur’an.
3. Al-Qur’an diturunkan dalam situasi kesejarahan yang konkret. Ia merupakan
respon Ilahi terhadap situasi Arabia ketika ia diturunkan. Respon tersebut
terekam di sana-sini di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Oleh karena itu,
mempelajari situasi kesejarahan ini merupakan unsur penting dalam
memahami Al-Qur’an. Situasi kesejarahan tersebut mencakup konteks
kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa pewahyuan Al-Qur’an.
4. Pentingnya pemahaman terhadap konteks sastra AlQur’an, sejalan dengan
adanya beberapa ilustrasi seperti mukham, mutasyabih , nasikh- mansukh,
khulud, dan mala’kah. Konteks sastra ini adalah konteks dimana suatu tema
atau istilah tertentu muncul atau digunakan dalam Al-Qur’an. Ia mencakup
ayat-ayat yang terdapat sebelum dan sesuadah tema atau istilah itu, serta
rujukan silangnya kepada konteks-konteks relevan yang terdapat di dalam
surat-surat lain.
5. memahami konteks kesejarahan (situasi kesejarahan pra-Qur’an dan pada
masa Al-Qur’an dalam urutan kronologisnya) dan konteks sastra (konteks
tema atau istilah didalam Al-Qur’an yang didekati secara kronologis) sangat
penting dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an selaras dengan pandangan
dunianya sendiri.
6. Pemahaman akan tujuan Al-Qur’an mutlak dibutuhkan dalam menafsirkan
kitab suci tersebut. Sebagaimana telah ditunjukkan diatas, tujuan-tujuan Al-
Qur’an ini hanya dapat diperoleh lewat kajian-kajian yang melibatkan
konteks kesejarahan dan konteks literer (sastra).
7. Pemahaman akan Al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana diuraikan
dalam prinsip-prinsip diatas, akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat
akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan kontemporer.
8. Tujuan-tujuan moral AL-Qur’an sesungguhnya dapat dan harus menjadi
pedoman dalam memberikan penyelesaian terhadap problem-problem sosial
yang muncul di masyarakat. Sebab, ia diwahyukan Tuhan sebagai pedoman
bagi manusia dalam hidup dan kehidupan mereka.
Dari delapan prinsip di atas, secara metodologis, dapat dibangun dua
kerangka konseptual yang berhubungan dengan penafsiran Al-Qur’an dan
pelaksanaan ajarannya. Dua kerangka konseptual (metode) yang diajukan Amal
dan Panggabean (1992:63) meliputi, pertama adalah, memahami Al-Qur’an
dalam konteks-konteks kesejarahan dan harfiah, lalu memproyeksikannya ke
dalam situasi masa kini. Sedangkan kerangka konseptual yang kedua adalah,
membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan tujuan-tujuan Al-
Qur’an. Menafsirkan Al-Qur’an berarti membedah makna yang terkandung
dalam Al-Qur’an untuk dijadikan petunjuk bagi manusia, karena Al-Qur’an itu
sendiri merupakan petunjuk. Sebagaimana firman Allah SWT.

b. Hadist
Hadits Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan
sebagian lagi berlangsung secara ahad. Dilihat dari segi periwayatannya,
sebagaimana dikemukakan Syuhudi Ismail (1992:4), Al-Qur’an mempunyai
kedudukan qat’iyal al wurud , dan sebagian lagi, bahkan yang terbanyak,
berkedudukan zanniy al - wurud . Dengan demikian, dilihat dari segi
periwayatannya, seluruh ayat Al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian tentang
orsinalitasnya. Sedangkan hadits Nabi, dalam hal ini yang berkategori ahad,
diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadits yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya, apakah ia berasal
dari Nabi atau bukan. Obyek Penelitian Hadits Sebagaimana, dikemukakan
Taufiqullah (1997:12), bagian-bagian hadits yang menjadi wilayah penelitian
ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan materi
hadits yang dikenal dengan istilah sanad , dan materi atau matan hadits itu
sendiri. Pendapat senada juga dikemukakan Syuhudi Ismail (1992:23) bahwa
yang menjadi obyek penelitian hadits itu ada dua macam, yakni rangkaian para
periwayat hadits, yang dikenal dengan istilah sanad , dan materi atau matan
hadits itu sendiri. Mengenai sanad hadits, yang menurut pengertian istilahnya
adalah rangkaian para periwayat yang menyampaikan kita kepada matan hadits,
mengandung bagian-bagian yang penting diteliti. Bagian-bagian tersebut,
menurut Syuhudi Ismail (1992:25) adalah:
1. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang
bersngkutan, dan
2. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-
masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan. Misalnya,
sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna.

Dalam hal ini, ulama hadits pada umumnya dalam melakukan penelitian sanad
hadits, hanya berkonsentrasi pada keadaan para periwayat dalam sanad itu saja,
tanpa memberikan perhatian yang khusus kepada lambang-lambang yang
digunakan oleh masingmasing periwayat dalam sanad. Kemudian, untuk
kepentingan penelitian hadits, ulama ahli kritik telah menyusun berbagai kaidah
dan cabang pengetahuan hadits, diantaranya :
1. Ilmu Hadits Riwayah , yaitu ilmu yang mencakup pernyataan dan perbuatan
Nabi saw. baik periwayatnya, pemeliharaanya, maupun penulisannya atau
pembukuan lafazh-lafazhnya (Zammalaluddil Al-Qosimi, 1979: 75). Yang
menjadi objek ilmu hadits ini adalah bagaimana cara menerima,
menyampaikan, memindahkan dan mentadwinkan hadits. Ilmu ini tidak
membicarakan kualitas hadits (tentang makbul dan mardudnya). Signifikasi
memperlajari ilmu hadits ini untuk menghindari adanya penukilan yang
salah dari sumbernya yang salah.
2. Ilmu Hadits Diroyah atau disebut juga dengan Ilmu Diroyah alhadits, yang
dikenal juga dengan sebutan ilmu usul al - hadits, ulumul-hadits, mustolahal-
hadit satau Qowaid al – Tahdits (1997: 11).
Secara terminologi, yang dimaksud Ilmu Hadits Diroyah ialah undang-
undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad, dan matan.
Pengertian diatas, menunjukkan bahwa segala ketentuan, baik yang berkaitan
dengan kualitas (Shahih, hasan, dan dhaif nya), sandarannya (marfu’, mawquf
dan maqthu’nya), cara menerima dan meriwayatkannya maupun sifat periwayat
dan hal lain yang berkaitan dengan itu. Dengan demikian, dapat dikemukakan
bahwa objek ilmu ini ialah sanad dan matan dari sudut diterima dan ditolak
(maqbul dan mardud nya) suatu hadits. Dari aspek sanad diteliti tentang
keadilan dan kecatatannya, cara menerima dan meyampaikan hadits. Sedangkan
dari aspek matan diteliti kejanggalan dan kecatatan (syuzuz dan ‘illat) karena
adanya nash-nash lain yang berkaitan. Sementara itu, dari imu hadits diroyah
dan riwayah ini kemudian muncul cabang-cabang ilmu hadits lainnya, seperti
Ilmu Rijal al - Hadits, Ilmu al - Jarh wa al - Ta’dil, Ilmu Thabaqat, dan Ilmu
Tarikh al - Ruwat . Ketiga ilmu ini berkaitan erat dengan pengkajian sanad
hadits. Sedang Ilmu Asbabal - Wurud al-Hadits, Ilmu Muhtalib al - Hadits, Ilmu
Ghorib al - Hadits dan Ilmu ‘illal al - Hadits berkairan erat dengan pengkajian
matan hadits.
c. Ra’yu
Menurut Mahmud Syaltout, ijtihad artinya sama dengan Ar ra’yu , yang
perinciannya meliputi:
1. Pemikiran arti yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
2. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak ditunjukan oleh nash dengan
sesuatu masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nash.
3. Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara amali
tentang masalah yang tidak ditunjukan hukumnya oleh suatu nash secara
langsung.
Metode ijtihad yaitu:
1. Qiyas.
Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur
atau membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu.
Contoh: Pada masa Nabi belum ada persoalan Padi. Dengan demikian
diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
2. Ijma atau konsensus.
Kata ijma berasal dari kata jam’un artinya menghimpun atau
mengumpulkan. Ijma mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan
mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan
dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam
pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan hasil ijma ini contohnya
bagaimana masalah Keluarga Berencana.
3. Istihsan.
Istihsan artinya preference. Makna aslinya ialah menganggap baik suatu
barang atau menyukai barang itu. Menurut terminologi para ahli hukum,
berarti menjelaskan keputusan pribadi, yang tak didasarkan atas qiyas,
melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.
Sebagai contoh adalah peristiwa Umar bin Khattab yang tidak
melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa
paceklik.
4. Maslahat Al-Mursalat.
Artinya, keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan
tujuan hukum syara. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan
maslahat Al - Mursalat ialah menolak mafsadat atau mengambil suatu
manfaat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini ini adalah tentang khamar
dan judi. Dalam ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu terdapat manfaat
bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari
sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung maslahat
dan mafsadat, didahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah, “
Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatannya,
dan apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah
menolak mafsadat ”. Di samping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain,
seperti istidlal, Al – Urf dan istishab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar
akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber utama ajaran agama dalam
Islam yang utama adalah al-Qur‟an dan al-Hadis atau al-Sunnah.

Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh


kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi
syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran,
termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Nurhasanah dan Marwan. (2016). Metodologi Studi Islam. Pekanbaru:


Cahayo Firdaus.
Fikri, Hamdani Khairul. (2015). Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur`an. Tasamuh, 12(2).
Khallaf, Abdul Wahhab. (1994). Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Semarang Dina Utama.
Rozak, Abd. dan Ja’far. (2019). Studi Islam Di Tengah Masyarakat Majemuk.
Tangerang Selatan: Yayasan Asy Syariah Modern Indonesia.
Syahbah, Muhammad Abu . (1992). Al-Madkhal li dirasah al-Qur'an al-karim. Mesir:
As-Sunnah.
Sodikin, Abuy. (2000). Metodologi Studi Islam. Bandung : Tunas Nusantara

Anda mungkin juga menyukai