Anda di halaman 1dari 29

STUDI AKHLAQ TASAWUF DAN AQIDAH ISLAM

TEOLOGI MUKTAZILAH DAN AHLU SUNNAH WAl JAMA’AH


Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Studi
Akhlaq Tasawuf dan Aqidah Islam Program Pasca Sarjana Magister Pendidikan
Islam
Dosen Pengampu: H. Ahmad Fatih, S.Pd. I, MM

Kelompok: 2 (dua)

Semester: 1 (satu)

Di susun oleh:

Muhammad Sayyid Rafi, Nim: 22200127

Ikramullah, Nim: 22200108


Sunardi, Nim: 22200123

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH


SAWANGAN KOTA DEPOK
2022
i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Teologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah, dan
tak lupa sholawat serta salam kami haturkan kepada baginda Nabi Muhammad,
Saw, keluarga serta sahabatnya yang telah menjadi perantara keilmuan-keilmuan
yang diturunkan oleh Allah. Swt, sehingga sampai pada kita selaku umatnya.
Selanjutnya kami atas nama penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Ahmad Fatih, S.Pd. I, MM selaku Dosen pengampu mata Kuliah Studi
Studi Akhlaq Tasawuf dan Aqidah Islam” yang telah memberikan tugas ini
kepada kami, sehingga kami dapat mengetahui secara lebih mendalam terkait
dua Aliran Theologi yang eksis dan mewarnai sejarah peradapan Islam termasuk
didalamnya terkait sejarah, tokoh, doktrin, konsep berpikir, sumbang sih, kritik
maupun pertentangan yang terjadi; yang selanjutnya akan kami bahas dalam
makalah ini.
Makalah ini kami harapkan dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita tentang studi dan kajian yang membahas
tentang Teologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah. Namun di sisi lain
kami juga menyadari sepenuhnya bahwa isi di dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan dari Bapak Ahmad Fatih, S.Pd. I, MM selaku
dosen pengampu dan juga dari rekan-rekan mahasiswa sekalian demi perbaikan
makalah yang telah kami buat dibawah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya; apabila terdapat kesalahan kata-kata dalam penyusunanya,
sependek pengetahuan kami; kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kota depok, September 2022


Penyusun,

Kelompok 2 (dua)
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar belakang...........................................................................................1

B. Pembatasan dan perumusan masalah........................................................6

C. Tujuan pembahasan...................................................................................6

D. Manfaat pembahasan.................................................................................7

E. Sistematika penyusunan makalah..............................................................7

BAB II......................................................................................................................9

PEMBAHASAN......................................................................................................9

A. Teologi Mu’tazilah....................................................................................9

B. Teologi Ahlu sunnah wal jama’ah...........................................................17

BAB III..................................................................................................................26

PENUTUP..............................................................................................................26

A. Kesimpulan..............................................................................................26

B. Saran........................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di dalam Alquran, Allah ta’ala telah memerintahkan manusia
untuk belajar, berilmu dan berpikir, sebagaimana dalam surah Al-
Mujadalah Ayat 11.
‫ح ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡۖ َوِإ َذا قِي َل‬ ۡ ْ ‫س فَ ۡٱف َسح‬
ِ ‫ُوا يَف َس‬
ۡ ْ ‫يل لَ ُكمۡ تَفَ َّسح‬
ِ ِ‫ُوا فِي ٱل َم ٰ َجل‬ َ ِ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا ق‬
‫ت َوٱهَّلل ُ بِ َما‬ٖ ۚ ‫وا ۡٱل ِع ۡل َم د ََر ٰ َج‬
ْ ُ‫وا ِمن ُكمۡ َوٱلَّ ِذينَ ُأوت‬
ْ ُ‫وا يَ ۡرفَ ِع ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
yْ ‫وا فَٱن ُش ُز‬
yْ ‫ٱن ُش ُز‬
ٞ ِ‫ت َۡع َملُونَ َخب‬
‫ير‬
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Hadis rasullullah juga telah memerintahkan umatnya untuk
belajar;

‫ َسه ََّل هللاُ لَهُ طَ ِر ْيقًا ِإلَى ال َجنَّ ِة‬,‫َم ْن َسلَكَ طَ ِر ْيقًايَ ْلتَ ِمسُ فِ ْي ِه ِع ْل ًما‬
"Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu,
maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim).
Dari kutipan ayat Alquran dan hadits diatas, jelas tergambar bahwa
manusia pada hakekatnya diperintahkan untuk belajar, berpikir dan
berilmu. Namun setelah melewati proses ajarannya manusia pada akhirnya
mampu berilmu dan berpikir, bahkan menemukan dan mengembangkan
dasar-dasar keilmuan yang tersurat dalam musfaf Alquran maupun yang
tersirat yang berada dialam sekitar, termasuk didalamnya pengetahuan
terkait dengan Agama. Seiring dengan perkembangan agama yang begitu
pesat, muncul juga suatu kenyataan yang tak bisa di hindari, yaitu

1
2

melahirkan beragam aliran-aliran dari berbagai macam latar belakang


proses pemikiran dan keilmuan.
Dari sudut pandang positifnya beragam aliran yang lahir dapat
menjadi bukti bahwa umat islam merupakan umat yang dinamis, bukan
umat yang statis dan bodoh yang tidak mau berfikir, terutama pemikiran
terkait persoalan tentang ketuhanan dan alam semesta yang selanjutnya di
sebut sebagai Theologi.
Ahmad Syamsul Muarif dan Mohammad Yunus dalam jurnalnya
berpendapat bahwa, Pemikiran teologi Islam klasik, ada pandangan yang
dihubungkan dengan kekuasaan Allah. Pemikiran teologi ini dulunya
berasal dari diskursus antara pemikiran Khawarij, Murjiah, kemudian
berkembang menjadi Qadariah, Jabariah, Asy’ariah, Mu’tazilah dan
seterusnya.1
Lingga Yuwana dalam jurnalnya mengungkapkan Teologi Islam
dalam Perspektif Sayyid Qutb; Konsep pertama yang dicetuskan Sayyid
adalah konsep jahiliyah. Konsep tersebut merupakan pemetaan Sayyid
terhadap realitas masyarakat, yang menurutnya terbagi menjadi dua, yaitu
masyarakat jahiliyah dan non-jahiliyah atau muslim. Konsep ketauhidan
dalam pemikiran Sayyid juga menjadi pembahasan penting, dengan
menempatkan Allah di atas segala posisi dan aktivitas manusia. Dengan
demikiran otoritas mutlak berada di tangan Allah dan manusia harus
menjalankan perintahnya dengan penuh ketaatan. Dengan tegaknya Islam
di muka bumi, maka kesejahteraan umat dapat tercapai. Dengan ditopang
ukhuwah Islamiyah, umat Islam dapat makmur dan sejahtera, serta
terhindar dari paham jahili.2

1
Ahmad Syamsul Muarif dan Mohammad Yunus, “Tinjauan Teologi Islam di Dunia:
“Isu dan Prospek” Frederick Mathewson Denny”, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman,
Vol. 19 No. 2, Desember 2019, hlm. 51
2
Lingga Yuwana, Teologi Islam Perspektif Sayyid Qutb”, Kalimah: Jurnal Studi Agama-
Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 18 No. 1, Maret 2020, hlm. 74
3

Akilah Mahmud juga mengungkapkan fakta bahwa Al-Ghazali dan


Ibn Rusyd yang berdiri sebagai Hujjatul Islam dan The Great
Commentaror, telah memberikan warna dalam dua aliran besar teologi
Islam yakni; Jabariyah dan Qadariyah. Bahkan, keduanya menjadi
masing-masing figur representasi dari dua aliran teologi ini. Argumentasi
Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut Al-Falasifah menjadi senjata kritik
aliran Free Will atau yang lazim disebut Jabariyah terhadap Aliran
Predestination atau yang juga akrab dikenal dengan Qadaiyah. Namun
demikian, alih-alih menerima kritik tersebut, Aliran Predestination justru
menjawab kritik-kritik tersebut dengan argumentasi yang elegan dan
rasional melalui argumentasi Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut
Attahafut. Lebih jauh, dalam debat teologis setelahnya, argementasi
keduanya menjadi fondasi dan legitimasi dalil dari masing-masing aliran
teologi ini.3
Begitu pula Zulkanain dalam jurnalnya berpendapat bahwa
Pemikiran teologi Islam kritis tidak berurusan dengan prinsip-prinsip
umum, tidak membentuk sistem ide, melainkan memberikan kesadaran
untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Untuk itulah, pemikiran
teologi Islam kritis tidak memisahkan teori dari praktik, pengetahuan dari
tindakan, dan rasio teoretis dari rasio praktis. Pemikiran ini berusaha
merefleksi secara kritis hal-hal praktis yang berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari (historical praxis) atau melakukan transformasi wahyu dari
teori menuju praktek.4
Berikutnya Muhammad Adnan dalam jurnalnya berpendapat bahwa
pemikiran Islam yang sebenarnya merupakan satu konstruksi pemikiran
yang menjadi tolak ukur perkembangan peradaban Islam. Sebagaimana
yang kita pahami bersama bahwa awal mula sejarah pemikiran Islam di
awali oleh adanya satu ketidak sepahaman dengan arbitrase yang
3
Akilah Mahmud, “Jejak Pemikiran Al-Ghazali Dan Ibnu Rusyd Dalam Perkembangan
Teologi Islam”, Jurnal Sulesana, Vol. 13 No. 2, 2019, hlm. 197.
4
Zulkanain, “Telaah Kritis Teologi Islam”, Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam, Vol. 4
No. 1, Juni 2022, hlm.86
4

dilakukan oleh Ali bin Abi Tholib dengan pihak Umayyah. Sehingga pada
tahap berikutnya berkembang sebagai satu analisis pemikiran untuk
memperkokoh keimanan di dalam Islam itu sendiri.5
Dari semua aliran Theologi yang mewarnai perkembangan umat
islam itu, Aliran Mu’tazilah adalah suatu aliran teologi Islam terbesar dan
tertua sepanjang sejarah peradaban Islam; sehingga dalam eksistensinya
Mu’tazilah mampu masuk dan bepengaruh kedalam lini sendi-sendi
masyarakat kehidupan di zamanya, termasuk didalamnya dalam bidang
ilmu pengetahuan.
Rizka Maulida dan M. Fandriansyah mengungkapkan fakta dalam
jurnalnya, bahwa; Rasionalisme Mu’tazilah sangat berdampak pada
pengembangan ilmu di masa dinasti Abbasiyyah hingga berdirinya
lembaga ilmu dan perguruan tinggi berupa Baitul Hikmah. Pengembangan
ilmu tersebut berdampak pada kejayaan dan kesejahteraan rakyatnya
diberbagai bidang terutama sosial, politik, budaya dan ekonomi.6
Aliran Theologi selanjutnya yang masih eksis pada zaman modern
sekarang ini adalah aliran Sunni atau Ahlussunah Wal Jamaah ataupun
orang mengenalnya dengan Aswaja.
Achmad Muhibin Zuhri dan Winarto Eka Wahyudi berpendapat
dalam jurnalnya bahwa Sunni di Nusantara berhasil menunjukkan bahwa
sifat kontekstual agama melahirkan implikasi terhadap lahirnya ekspresi
keislaman yang khas. Indonesia yang menjadi negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia tak bisa dilepaskan dari fenomena teologis ini, bahwa
diakui atau tidak, paham keislaman Indonesia yang relatif moderat, toleran
dan akomodatif merupakan konsekuensi dari nalar teologi Sunnisme yang
menjadi mainstraim dalam dinamika kelompok keagamaan di Indonesia.

5
Muhammad Adnan, “Menapaki Sejarah Pemikiran Dalam Teologi Islam”, CENDEKIA:
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 6 No. 1, Juni 2020, hlm. 45
6
Rizka Maulida dan M. Fandriansyah, “Teologi Mu’tazilah Dan Pengaruhnya dibidang
Sosial Politik Dan Ekonomi”, Al-Mufasir; Jurnal Ilmu Alquran, Tafsir dan Studi Islam, Vo. 4, No.
1, Maret 2022, hlm. 90
5

Hampir bisa di pastikan bahwa semua organisasi Islam di


Indonesia, baik yang disebut dengan kelompok Islam tradisional dan
modernis mengaku pada basis teologi sunni yang dikenal moderat ini.
Dengan menunjukkan artikulasinya yang variatif, baik ekspresi keagamaan
dan gerakan sosialnya, menunjukkan bahwa Sunni lokal merupakan satu
keniscayaan agar Islam menjadi ajaran Islam yang kontekstual dan
kompatibel terhadap dinamika kawasan.
Logika lokalitas dalam konteks ini perlu ditekankan bukan untuk
mereduksi atau merekonstuksi basis ajaran Islam, bahkan justru eksistensi
Sunni lokal menunjukkan bahwa Islam benar-benar ajaran Islam yang
memiliki relevansi terhadap karakter situasi dan kondisi lokal yang ada.
Paradigma semacam ini, secara bersamaan juga menjadikan ajaran Islam
tidak kaku dan kedap terhadap kebudayaan yang justru berpotensi
destruktif terhadap tantangan zaman.7
Kedua aliran Teologi diatas apabila kita lihat dari sudut pandang
eksistensinya; sangatlah mempunyai peran dan pengaruh yang luar biasa
dalam setiap perkembangan Islam; sehingga perlu dikaji lebih mendalam.
Dalam kajian ini akan mencoba menjawab pertanyaan apakah konsep
berpikir aliran Mu’tazilah yang mempunyai eksistensi di zamanya telah
benar-benar menjadi sejarah ataukan tetap ada dan menjadi hikmah aliran
lain; ataukah sebaliknya apakah aliran Aswaja yang terkenal tidak kaku
terhadap kebudayaan tidak merupakan manifestasi dari aliran Mu’tazilah.
Untuk itu kami akan membahasnya dalam makalah yang berjudul; Teologi
Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah.
B. Pembatasan dan perumusan masalah
1. Pembatasan masalah
a. Dalam makalah ini sebatas membahas definisi Theologi
Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah.

7
Achmad Muhibin Zuhri dan Winarto Eka Wahyudi, “Artikulasi Teologi Sunni di
Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya”, Journal of Islamic Civilization, Vol. 3, No. 2,
Oktober 2021, hlm. 133.
6

b. Dalam makalah ini sebatas membahas sejarah awal mula


munculnya Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal
Jama’ah, beserta tokoh-tokohnya.
c. Dalam makalah ini sebatas membahas Landasan berpikir,
Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah.
d. Dalam makalah ini sebatas membahas hikmah dibalik ajaran
Theologi Mu’tazilah dan Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah.

2. Perumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Theologi Mu’tazilah dan Ahlu
sunnah Wal Jama’ah?
b. Bagimana sejarah awal mula munculnya Theologi Mu’tazilah
dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah, beserta tokoh-tokohnya?
c. Bagaimana Landasan berpikir Theologi Mu’tazilah dan Ahlu
sunnah Wal Jama’ah?
d. Apa hikmah dibalik ajaran Theologi Mu’tazilah dan Theologi
Ahlu sunnah Wal Jama’ah?

C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui definsi Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal
Jama’ah.
2. Untuk mengetahui sejarah awal mula munculnya Theologi Mu’tazilah
dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah, beserta tokoh-tokohnya.
3. Untuk mengetahui Landasan berpikir, Theologi Mu’tazilah dan Ahlu
sunnah Wal Jama’ah
4. Untuk mengetahui hikmah dibalik ajaran Theologi Mu’tazilah dan
ajaran Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah

D. Manfaat pembahasan
Pada dasarnya manfaat pembahasan Theologi Mu’tazilah dan Ahlu
sunnah Wal Jama’ah adalah untuk memperdalam Pengetahuan tentang
ilmu ketuhanan didasarkan pada keyakinan yang kuat sehingga seseorang
tidak akan mudah terpengaruh dengan paham-paham teologi yang salah.
7

Manfaat tersebut mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis.


Penjabaran masing-masing manfaat pembahasan adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis
Manfaat yang bersifat teoritis ialah dengan mempelajari
teologi Islam seseorang dapat mengetahui berbagai aliran beserta
pemikiran dan pemahamannya, sehingga seseorang tidak terjebak
pada aliran-aliran yang menyimpang/sesat, sekaligus akan dapat
menangkalnya dengan menggunakan pola pikir dari aliran terkait. Di
samping itu dapat pula dijadikan sebagai bukti bahwa ajaran-ajaran
Islam dapat diselaraskan dengan pemikiran yang rasional
argumentatif.

2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam membahas Theologi Mu’tazilah dan
Ahlu sunnah Wal Jama’ah dapat memahami keberadaan berbagai
aliran teologi Islam dan hubungannya dengan nash Alquran dan
Hadits, sehingga dapat mengambil sikap dan beramal sesuai dengan
aliran tersebut, termasuk didalamnya untuk memperkuat dan
memberikan pondasi iman, mengamalkan ajaran islam, memberikan
arahan kepada yang membutuhkan nasihat dan mengarahkan kepada
jalan sesuai tuntunan Rasul.

E. Sistematika penyusunan makalah


Sistematika penyusunan makalah ini diawali Cover depan yang
berisikan: halaman judul mata kuliah, judu makalah, tujuan penyusunan
makalah, nama dosen pengampu, lambang satuan pendidikan STAI Al-
Karimiyah, nama penyusun, program jenjang pendidikan, alamat atau
lokasi satuan pendidikan dan tahun penyusunan makalah.
Halaman selanjutnya adalah halaman kata pengantar yang berisikan
ucapan syukur kehadirat Allah, Swt atas karunia, nikmat serta hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalahnya;
berikutnya adalah halaman daftar isi yang memuat isi dari makalah yang
8

disusun. Menginjak halaman berikutnya adalah halaman BAB 1 yang


berisikan latar belakang pembahasan, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat pembahasan serta sistematika penyusunan makalah itu
sendiri.
Selanjutnya di teruskan kedalam halaman BAB II yang merupakan
pokok dari pembahasan makalah, antara lai; Definisi Theologi Mu’tazilah
dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah, sejarah awal mula munculnya Theologi
Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah, beserta tokoh-tokohnya, Ciri-
ciri dan ajaran Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah,
Landasan berpikir Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal Jama’ah dan
Hikmah dibalik ajaran Theologi Mu’tazilah dan ajaran Theologi Ahlu
sunnah Wal Jama’ah. Sebagai penutup penyusunan makalah ini maka
penulis menuangkan dalam BAB III yang berisikan; Kesimpulan dan
saran, sebagai referensi, selanjutnya penyusun menuliskan daftar pustaka
di halaman terakhir.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Teologi Mu’tazilah
1. Definisi Theologi Mu’tazilah.
Menurut Luis Ma’lub dalam Al-Munjid fi Al-lughah yang di
kutif Abdul Rozak dan Rozihon Anwar; secar harfiah kata Mu’Tazilah
berasal dari i’tazala yang dapat diartikan berpisah atau memisahkan
diri atau berarti menjauhkan diri.8
Senada dengan hal tersebut Abubakar Atjeh berpendapat
bahawa Kata-kata mu'tazilah ini terambil dari perkataan Arab i'tizal,
Yang berarti pada mulanya mengasingkan diri.9
Sedangkan menurut Hadis Purba dan Salamuddin, definisi
Mu’tazilah adalah sebagai nama teologi rasional dan liberal dalam
dunia islam dan timbul setelah peristiwa Wasil bin Atha’ dengan
gurunya Hasan al Basri di Basrah.10

2. Sejarah awal mula munculnya Theologi Mu’tazilah beserta tokoh-


tokohnya.
Kembali Abdul Rozak dan Rozihon berpendapat bahwa Secara
tekhnis istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu:
a. Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni, golongan
ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dan lawan lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah,
Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula
mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri
dari masalah pertikaian khilafah. Kelompok ini bersikap netral
tanpa stigma teologi.
8
Abdul Rozak dan Rozihon, Ilmu Kalam, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2014, hlm. 97
9
Abubakar Atjeh, Ilmu Ketuhanan, Jakarta: Tintamas, 1966, hlm. 48
10
Hadis Purba dan Salamuddin, Theologi Islam, Medan; Perdana Publising, 2016, hlm 177

9
10

b. Golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologi yang


berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya
peristiwa Tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang
pemberian status kafir terhadap pelaku dosa besar.
Beberapa versi tentang sejarah pemberian nama Mu’tazilah
berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha dan
temannya Amr bin Ubaid dan Hasan Al Basri di Basrah. Ketika
Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al Basri di
mesjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat
Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Barsi
masih berpikir Washil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di
antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di tempat itu Washil
mengulangi pendapatnya di hadapan pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari
kita (I’tazaala anna) maka dengan adanya peristiwa ini maka Washil
dan kelompoknya dinamakan kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al Baghdadi, ia mengatakan
bahwa Washil dan temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan Al
Basri dari majlisnya karena ada pertikaian tentang masalah qadla dan
orang yang berbuat dosa besar, lalu keduanya menjauhkan diri dari
Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan golongan Mu’tazilah.
Versi lain juga dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang
menyebut bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid
Basrah dan bergabung dengan majlis Amr bin Ubaid yang
11

disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahui bahwa


majelis tersebut bukan majlis Hasan Al Basri maka ia berdiri dan
meninggalkan tempat sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan kaum Mu’tazilah.
Al Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul
kemunculan Mu’tazilah tanpa menghubungkannya dengan peristiwa
antara Washil dan Hasan Al Basri. Tetapi mereka diberi nama
Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al manzila bain al manzilatain).
Di samping keterangan-keterangan ini ada teori baru yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin bahwa nama Mu’tazilah sudah
terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dengan Hasan Al Basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi; jika
hal ini digunakan untuk orang-orang yang tidak mau ikut campur
dengan peristiwa-peristiwa yang terjada pada masa Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Sofwan dan lain lain (golongan
yang saling bertikai).
Senada dengan pendapat Amin dan Al Mas’udi, Carlo Alfonso
Nallino, seorang orientalis ilatia mengemukan pendapat bahwa nama
Mu’tazilah bukan berarti memisahkan dengan umat Islam lainya;
melainkan mereaka berdiri netral di antara Khawarij dan Murjia’ah
sehingga Muk’tazilah II mempunyai hubungan yang erat dengan
Mu’tazilah I.11
Dengan demikian golongan Mu’tazilah mempunyai corak
politik yang diawali dengan peristiwa peristiwa khalifah yang
dilanjutkan dengan persoalan persoalan teologi dan falsafat ke dalam
ajaran ajaran Mu’tazilah.
Kaum Mu’tazilah dapat diartikan golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat

11
Abdul Rozak dan Rozihon, Ilmu Kalam, Op cit, hlm, 97-100.
12

filosofis dibanding dengan persoalan-persoalan yang dibawa kaum


Khawarij dan Murji’ah.
Namun untuk mengetahui dengan jelas asal usul nama
Mu’tazilah ini memang sulit karena berbagai pendapat diungkapkan
oleh para ahli tetapi belum adanya kata sepakat antara mereka dari
mana asal usul nama Mu’tazilah tersebut. Menurut hemat penulis
bahwa nama mu’tazilah itu muncul dari sikap orang orang pada masa
itu. Tetapi yang jelas bahwa golongan Mu’tazilah merupakan aliran
teologi yang mengedepankan akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam.”
Selanjutnya Hadis Purba dan Salamuddin berpendapat bahwa,
Mu’tazilah banyak memiliki tokoh yang pandai dan mengembangkan
ajaranya, anatara laian;
a. Wasil bin Atha’ sebagai pendiri Mu’Tazilah
b. Amru bin Ubaid, rekan seperjuangan Wasil bin Atha yang
meninggalkan gurunya Hasan al-Basri.
c. Abu Huzail al-Allaf, tokoh generasi kedua yang menguasai
filsafat yunani, india dan keyakinan agama lain serta menjadi ahli
debat melawan majusi.
d. Al-Nazzam (Ibrhahim bin Sayyar bin Hani al-Nazzam) Adalah
muraid Huzzail yang cerdas yang membela aqidah Islam dari
serangan luar.
e. Al-Jubba’I (Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i)
adalah orang yang berdebat denga Abu al-Hasan al-Asy’ari
tentang nasib anak kecil, kafir dan orang mukmin diakhirat,
sehingga menodrong al-Asy’ari membentuk aliran Asy-aryah.12
3. Landasan Berpikir aliran Mu’tazilah.
Menurut Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Mu’tazilah
memiliki lima ajaran dasar yang juga merupakan ciri khas maupun
karakteristik serta landasan berpikir dari Mu’tazilah itu sendiri yang

12
Hadis Purba dan Salamuddin, Theologi Islam, Op cit, hlm 179-180.
13

meliputi landasan secara Theologis, Filosofis dan Sosiologis; adapun


lima ajaran dasar tersebut tertuang dalam Al-Ushul Al Khamsah; yaitu
a. Al-Tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Dalam mengesakan Tuhan,
kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat-sifat yang berdiri sendiri di luar zat, karena akan berakibat
banyaknya yang qadim. Mereka juga menolak sifat-sifat
jasmaniyah (antropomorfisme) bagi Tuhan karena akan membawa
tajsim dan tasybih, dasar pemikiran Mu’tazilah bukanlah tanpa
dasar alasan, namun mereka memiliki rujukan yang kuat dalam
Al-Quran, yaitu di surah Asy-Syura (42): 11)

yٗ ‫ج ا َو ِمنَ ٱَأۡل ۡن ٰ َع ِم َأ ۡز ٰ َو‬


‫جا‬ yٗ ‫ ُكمۡ َأ ۡز ٰ َو‬y‫ل لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِس‬y ِ ۚ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬
َ y‫ض َج َع‬ ِ ‫ر ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬yُ ‫فَا ِط‬
‫ر‬yُ ‫صي‬ِ َ‫ۖ َوه َُو ٱل َّس ِمي ُع ۡٱلب‬ٞ‫س َك ِم ۡثلِِۦه َش ۡيء‬
َ ‫يَ ۡذ َرُؤ ُكمۡ فِي ۚ ِه لَ ۡي‬
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan
Melihat”
b. Al’Adlu, yaitu keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan menurut
mu’tazilah mengandung arti bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan
terbaik bagi hamba-Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan wajib
menepati janji Tuhan wajib berbuat sesuai norma dan aturan yang
ditetapkan-Nya, dan Tuhan tidak akan memberi beban di luar
kemampan hamba. (Quran surah Albqarah.286)
‫ا اَل‬yyَ‫بَ ۡ ۗت َربَّن‬y‫ا ۡٱكت ََس‬yy‫ا َم‬yyَ‫بَ ۡت َو َعلَ ۡيه‬y‫ا َك َس‬yy‫ا َم‬yyَ‫ َع َه ۚا لَه‬3‫سا ِإاَّل ُو ۡس‬ ً ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ۡف‬
‫ا َح َم ۡلتَهۥُ َعلَى‬yy‫ ٗرا َك َم‬y‫ص‬ ۡ ‫ٓا ِإ‬yَ‫ل َعلَ ۡين‬y ۡ y‫ا َواَل ت َۡح ِم‬yyَ‫َؤاخ ۡذنَٓا ِإن نَّ ِسينَٓا َأ ۡو َأ ۡخطَ ۡأن َۚا َربَّن‬
ِ ُ‫ت‬
‫ا‬yyَ‫ر لَن‬yۡ yِ‫ٱغف‬ۡ ‫ فُ َعنَّا َو‬y‫ٱع‬ ۡ ‫ا بِ ِۖۦه َو‬yyَ‫ةَ لَن‬yَ‫طاق‬ َ ‫ا اَل‬y‫ا َم‬yَ‫ا َواَل تُ َح ِّم ۡلن‬yَ‫ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِن َۚا َربَّن‬
َ‫ َعلَى ۡٱلقَ ۡو ِم ۡٱل ٰ َكفِ ِرين‬y‫ فَٱنص ُۡرنَا‬y‫َو ۡٱر َحمۡ ن َۚٓا َأنتَ َم ۡولَ ٰىنَا‬
14

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
c. Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu janji dan ancaman. Kaum Mu’tazilah
meyakini bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas
perbuatan hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian dari
keadilan Tuhan. (Quran surah Al-Insan 4-5).
y‫ِإنَّٓا َأ ۡعت َۡدنَا لِ ۡل ٰ َكفِ ِرينَ َس ٰلَ ِساَل ْ َوَأ ۡغ ٰلَاٗل َو َس ِعي ًرا‬
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir
rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala”
ۡ
ٖ ‫ر يَ ۡش َربُونَ ِمن َكأ‬yَ ‫ِإ َّن ٱَأۡل ۡب َرا‬
y‫س َكانَ ِمزَا ُجهَا َكافُو ًرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari
gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.”
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain, yaitu tempat di antara dua
tempat. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin
yang berdosa besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak
kafir, ia berada di antara keduanya. Doktrin inilah yang kemudian
melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.
Menurut Mu’tazilah pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
sebagai mukmin secara mutlak dan tidak dapat dikatan kafir
secara mutlak pula karena masih percaya kepada Tuhan, Rasulnya
dan mengerjakan perbuatan baik. Orang yang melakukan dosa
besar harus bertobat sebelum meninggal. Dan menurut penulis
15

nampaknya Muk’tazilah mengarahkan orang yang berdosa besar


untuk mempergunakan fasilitas tobat Nasuha sesuai perintah
Allah dalam Surah At-Tahrim Ayat 8.
ۡ‫ ٰى َر ُّب ُكمۡ َأن يُ َكفِّ َر عَن ُكم‬y‫َس‬َ ‫وحا ع‬ ً 3‫ص‬ ُ َّ‫ة ن‬3ٗ 3َ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا تُوبُ ٓو ْا ِإلَى ٱهَّلل ِ ت َۡوب‬
ٰ
َّ ِ‫ ِزي ٱهَّلل ُ ٱلنَّب‬y‫و َم اَل ي ُۡخ‬yۡ yَ‫ ُر ي‬yَ‫ا ٱَأۡل ۡن ٰه‬yyَ‫ ِري ِمن ت َۡحتِه‬y‫ت ت َۡج‬
‫ي‬ ٖ َّ‫م َجن‬yۡ‫د ِخلَ ُك‬yۡ yُ‫‍ئَِّاتِ ُكمۡ َوي‬y ‫َس‬
‫ا‬yyَ‫ٓا َأ ۡت ِممۡ لَن‬yyَ‫ونَ َربَّن‬yyُ‫م يَقُول‬yۡ‫َأ ۡي ٰ َمنِ ِه‬yِ‫وا َم َع ۖۥهُ نُو ُرهُمۡ يَ ۡس َع ٰى بَ ۡينَ َأ ۡي ِدي ِهمۡ َوب‬
ْ ُ‫َوٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
‫ير‬ٞ ‫ٱغفِ ۡر لَن َۖٓا ِإنَّكَ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ۡي ٖء قَ ِد‬ ۡ ‫ورنَا َو‬ َ ُ‫ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama
dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah
kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami;
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".
e. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar, yaitu perintah
melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar. Ini
merupakan kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu’tazilah.
Menurut salah seorang pemuka Mu’tazilah, Abu al-Husain al-
Khayyat, seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu’tazilah
kecuali jika sudah menganut kelima doktrin tersebut. 13 (Quran Ali
Imran.110)
ۡ ۡ َ‫ُوف َوت َۡنه‬ yِ ‫ٱل َم ۡعر‬yy ۡ ِ‫أ ُمرُونَ ب‬yyَۡ ‫ ر َج ۡت لِلنَّاس ت‬yy‫ َر ُأ َّم ٍة ُأ ۡخ‬yy‫خَي‬ ۡ ۡ‫ُكنتُم‬
ِ ‫ونَ ع َِن ٱل ُمن َك‬yy
‫ر‬yy ِ ِ
ِ َ‫َوتُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ۗ ِ َولَ ۡو َءا َمنَ َأ ۡه ُل ۡٱل ِك ٰت‬
‫ب لَ َكانَ خ َۡي ٗرا لَّهُمۚ ِّم ۡنهُ ُم ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ َوَأ ۡكثَ ُرهُ ُم‬
َ‫ۡٱل ٰفَ ِسقُون‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
13
Abdul Rozak dan Rozihon, Ilmu Kalam, Op cit, hlm, 100-107
16

dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,


tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.”
4. Hikmah dibalik ajaran Theologi Mu’tazilah.
Banyak hikmah yang dapat di ambil dari lahirnya Theologi
Muk’tazilah yang dapat kita rasakan pada era eksistensinya dan
kemungkinan juga di era sekarang ini, antara laian;
1. Menurut Rohanda dan Dadan firdaus berpendapat bahwa
Mu’tazilah banyak berjasa dalam membela akidah islamiah dari
serangan pihak-pihak non muslim, dengan begitu Mu’tazilah
merupakan salah satu aliran Theologi yang membangun sistem
teologi kuat dalam rangka membela kebenaran wahyu ilahi melalui
ketajaman rasio.14
2. Menurut Abdul Rozak dan Rozihon Anwar, bahwa dengan doktrin
Al-Manzilah bain al-Manzilatain, Mu’tazilah ingin mendorong dan
mengarahkan umat Islam khususnya untuk tidak menyepelekan
perbutan dosa, terutama dosa-dosa besar15.
3. Dengan lahirnya aliran ini yang mengutamakan akal merupakan
pelopor dan motivator yang ketat guna menggairahkan dan
menggiatkan pemikiran tentang ajaran Islam secara sistematis.
4. Lewat ide dan pemikiran Wasil ibn Atha’ mampu menyegarkan
kembali pemikiran ilmiah di kalangan para intelektual muslim,
terutama terkait dengan perkembangan modern dewasa ini.
Semenjak dia mencetuskan ide pemikiran rasional tersebut,
nampaknya dunia Islam sudah berani mencoba untuk
meningkatkan kembali pemahamannya terhadap Islam dalam
berbagai macam ilmu pengetahuan terutama ilmu filsafat (Al-

14
Rohanda dan Dadan Firdaus, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Arfino Raya, 2017, hlm. 32
15
Abdul Rozak dan Rozihon, Ilmu Kalam, Loc cit, hlm.106
17

Syahrastani), yang dianggap sebagai dasar seluruh cabang ilmu


pengetahuan.16

B. Teologi Ahlu sunnah wal jama’ah.


1. Definisi Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah.
Menurut Abdurahman Navis, dkk (Tim Aswaja NU Center
PWNU Jawa timur) dalam buku Khazanah Aswaja, definisi Ahlu
sunnah Wal Jama’ah di istilahkan dan disingkat dengan Aswaja, ada
tiga kata yang membentuk istilah tersebut;
a. Ahl berarti keluarga, pengikut, penduduk.
b. As-Sunnah secara bahasa berarti at-thariqoh wa lau ghoiro
mardhiyah (jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak di ridhoi).
c. Al-Jama’ah berarti al-Jamu yaitu mengumpulkan sesuatu atau
mengumpulkan yang tercerai-berai.
Sedangkan secara istilah Sunnah adalah Thariqoh atau metode
Nabi Muhammad atau jalan yang di tempuh Nabi. Sedangkan menurut
Syaikh Abdul qodir al-Jilani “Al-jama’ah adalah segala sesuatu yang
telah menjadi kespakatan para sahabat Rasullullah pada masa al-
Khula ar-Rasyidin yang empat dan yang telah diberi hidayah oleh
Allah”.
Syaikh Abdullah al-Harari menegaskan pengertian Al Jama’ah
secara terminologi sebagai mayoritas kaum Muslimin sehingga dalam
arti Aswaja adalah aliran yang di ikuti mayoritas kaum muslimin.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Al-
Jama’ah adalah kelompok kaum muslimin dari para pendahulu
kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak
kebaikan mereka sampai hari kiamat.
Lebih lanjut Hadratusy Syaikh Kh, Muhammad Hasyim
Asy’ari dalam kitab Ziyadah at-Ta’liqat menjelaskan bahwa; “Aswaja
adalah kelompok tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih, mereka berpegang
16
Zainimal “Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam”, Tarikhuna: Journal
Of History And History Education, Vol. 3, No. 1, Mei 2021, hlm. 102-103
18

teguh kepada sunnah nabi dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin


setelahnya, Mereka adalah kelompok yang selamat (al-Firqah an-
najiyah). Ulama mengatakan, “Sungguh kelompok tersebut sekarang
ini terhimpun dalamn mazhab empat yaitu; Hanafim Syafi’I, Maliki
dan Hanbali.”17
Sedangkan menurut Sufyan Raji Abdullah pengertian Ahlu
sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam
dengan benar, komitmen dengan manhaj Nabi Saw bersama para
sahabatnya, tabi’in dan para mujtahidin generasi berikutnya yang
mengikuti mereka dengan baik dan sejalan dengan al-Quran dan rasul
serta ijma para ulama.18

2. Sejarah awal mula munculnya Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah


beserta tokoh-tokohnya.
Secara singkat Rohanda dan Dadan Firdaus berpendapat bahwa
munculnya Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah berawal dari seorang
tokoh yang bernama lengkap Abu Al-hasan Ali bin Isma’il bin Abi
Basyar bin Salim bin Isma’il bin Qais Al-Asy’ari. Ia lahir di basrah
pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Bagdad tahun 935 M, dia
adalah cucu sahabat Rasul yang terkenal yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Sejak kecil beliau berguru kepada ayah tirinya Abu Al-juba’I yang
merupakan tokoh besar Mu’tazilah. Meskipun sangat menguasai
paham Mu’tazilah akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari al-
Juba’i.19
Sedangkan tokoh-tokoh yang mengembangkan ajaran Al-
Asy’ari antara lain;
a. Abu bakar al-Baqilani (403/1013 M)

17
Abdurahman Navis, dkk (ed), Khazanah Aswaja, Surabaya: Tim Aswaja NU Center
PWNU Jawa timur, 2016, hlm. 10-15.
18
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al
Riyadi, 2003, hlm.106
19
Rohanda dan Dadan Firdaus, Ilmu Kalam, Op cit, hlm. 34
19

b. Abu al-Ma’ali atau Imam al-Haramain (478 H/1058 M)


c. Al-Ghozali (505 H/1111 M)
d. As-Syahrastani (548 H/1153 M)
e. Fakhruddin ar-Razi (606 H/1209 M)
f. As-Sanusi (w. 895/1490 M)
Ajaran Asy’ari selanjutnya tidak lepas dari tokoh yang
bernama al-Maturidi atau dengan nama Asli Imam Abu Manshur
dengan gelar Al-Maturidi al Samarqondi, al-Maturidi dilahirkan di
Samarkand bernama Maturid asia tengah yang sekarang bernama
Uzbekistan, dan Al-Maturidiyah merupakan salah satu bagian dari
Ahlu sunnah Wal Jama’ah, dengan pemikiran yang sama seperti
Asy’ariyyah, yang mana keduanya datang untuk memenuhi kebutuhan
mendesak dalam rangka menyelamatkan diri dari ektremitas kaum
rasionalis, yang dipelopori oleh Mu’tazilah maupun kaum tekstualis
yaitu kaum Hanabilah.
Karya-karya al-Maturidi berdasarkan disiplin keilmuanya
antara lain;
a. Ilmu Tafsir yaitu; Takwilat Ahlisunnah atau Takwilat al-Qur’an
dan Takwilat al-Maturidiyah fi Bayani Ushul as-Sunnah wa
Ushul at-Tauhid
b. Ilmu kalam terdiri dari; Kitab at-tauhid, Syarh al-Fiqh al-Akbar,
Risalah fi al- ‘Aqidah, Risalah fi al-Imam, Al-Maqolat, Bayan
Wahm al-Mu’tazilah, Ar-Radd’ala al-Qaramithah, Radd al-
Immah dan lain sebagainya.
c. Ilmu ushul al-Fiqh antara lain; Ma’khadz as-Syarai, Al-Jadal.
Sedangkan tokoh-tokoh Maturiddiyah dan mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangannya antara lain;
a. Abu al-Mu’in an-Nasafi (508 H/ 1114 M)
b. Abu al-Jasr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-
Bazdawi
c. Abu al-Yasr al-Bazdawi (421-493 H)
20

d. Najmuddin Umar an-Nasafi (462-537 H)


e. Nuruddin as-Shabuni (w. 580 H)
f. Al-Kamal ibn al-Hamam (790-861 H)
g. Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H).20

3. Landasan berpikir Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah.


Landasan berpikir Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah yang
juga merupakan ciri khas maupun karakteristik serta landasan berpikir
dari Al-Asy’ari adalah meliputi landasan secara Theologis, Filosofis
dan Sosiologis yaitu;
a. Perbuatan manusia diciptakan tuhan dan dasar yang dikemukan
adalah dalam surah As-Saffat ayat 96.
َ‫َوٱهَّلل ُ خَ لَقَ ُكمۡ َو َما ت َۡع َملُون‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
b. Setiap yang ada dapat dilihat termasuk Allah juga ada dan dapat
dilihat, dan wahyu-Nya telah menerangkan bahwa kaum
mukminin akan melihat Tuhan di hari akhir, sebagaimana firman
Allah dalam Qu’an Surah Al-Qiyamah ayat 22-23,

ٌ‫اض َرة‬
ِ َّ‫ذ ن‬yٖ‫ُوه يَ ۡو َمِئ‬
ٞ ‫ُوج‬
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri”
‫ة‬ٞ ‫َاظ َر‬
ِ ‫ِإلَ ٰى َربِّهَا ن‬
”Kepada Tuhannyalah mereka melihat “
c. Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur’an seperti mengetahui, berkuasa dengan qudrat-Nya, hidup
dengan hayat-Nya dan sifat tersebut adalah ajali serta berdiri
diatas zat Tuhan.
d. Keadilan Tuhan terkait pemberian pahala, bahwa Allah tidak
mempunyai kewajiban apa pun, tidak memberi pahala kepada

20
Abdurahman Navis, dkk (ed), Khazanah Aswaja, Op cit, hlm. 34-39
21

orang taat ataupun memberi hukuman kepada orang yang


berdosa, namun persoalan itu diserahkan kepada kehendak-Nya.
Imam Haramaini berpendapat bahwa; “Pemberian pahala
bukanlah merupakan hak paten dan pembelaan sebagai yag
diharuskan, tetapi merupakan karunia.
e. Al-Quran adalah Qadim bukan Makhluk, hal tersbut sesuai surah
An-Nahl 40.

ُ‫ لِ َش ۡي ٍء ِإ َذٓا َأ َر ۡد ٰنَهُ َأن نَّقُو َل لَ ۥهُ ُكن فَيَ ُكون‬y‫ِإنَّ َما قَ ۡولُنَا‬
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya,
“Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu”.
f. Masalah -masalah Gaib yang di informasikan Al-Quran seperti
fana, lauh, arsy, kursi, surga dan neraka masih dipahami harfiah
saja, demikian mengimani semuanya sebagaimana surah Al-Jinn
ayat 26.
‫ر َعلَ ٰى غ َۡيبِ ِٓۦه َأ َحدًا‬yُ ‫ب فَاَل ي ُۡظ ِه‬
ِ ‫ٰ َعلِ ُم ۡٱلغ َۡي‬
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia
tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib
itu”.
g. Muslim pendosa yang melakukan dosa besar kemudian
meninggal tetap dihukumi mukmin, tidak kafir dan tidak diantara
keduanya, dia dapat mendapatkan ampunan dengan rahmatnya
ataupun mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad saw.
Rasullullah bersabda.

‫شفاعتي ألهل الكبائر من أمتي‬


"Syafaatku juga ada yang diperuntukkan bagi pelaku dosa-dosa
besar dari umatku." (Hr. Riwayah Bukhari dan Muslim)
h. Anthopomorphisisme (Musyabbibah); Al-Asy’ari berpendapat
bahwa tuhan mempunyai muka, tangan dan sebagainya dengan
tidak ditentukan bentuk dan batasanya. Dalam hadits terdapat
22

redaksi bahwa; Hingga yang kuasa menginjakan kaki-Nya dalam


neraka; hal tersebut dipahami secara tekstual atau literal.21
Sedangkan dasar pemikiran teologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah
dari sudut pandang Al-Maturidiyah adalah;
a. Akal dan wahyu
b. Perbuatan manusia
c. Kekuasan dan kehendak tuhan Mutlak
d. Sifat Tuhan
e. Melihat Tuhan
f. Kalam Tuhan
g. Perbuatan manusia
h. Pengutusan Rasul
i. Pelaku dosa besar (Murtakib al-kabir)22
Selanjutnya ciri-ciri ajaran ahlus sunnah wal-jama'ah yaitu
golongan yang berpegang teguh dengan Al-Qu'an dan sunnah dan
ijmaul uiama'ul ummah secara utuh dan benar adalah;

a. Mengimani bahwa Allah tuhannya, tanpa mempersekutukan-Nya.


b. Mengimani Muhammad saw, nabinya. Dan tidak mengakui
siapapun yang mengaku sebagai nabi atau rasul setelah nabi
Muhammad saw.
c. Mengimani Al-Qur'an kitab sucinya, dan tidak membenarkan
kitab suci atau al-Qur'an buatan Dajjal.
d. Mengimani bahwa ka'bah baitlullah Qiblatnya. dan tidak
mengakui Qiblat manapun selain Baitullah.
e. Meyakini bahwa hadits nabi adalah sumber syari'at Islam yang
kedua setelah al-Qur'an dan menolak mengingkari sunnah.
f. Mengimani al-Qur'an imamnya, dan menolak para Dajjal
pembohong yang mengaku menjadi imam.

21
Rohanda dan Dadan Firdaus, Ilmu Kalam, Op cit, hlm. 34-38
22
Abdul Rozak dan Rozihon, Ilmu Kalam, Loc cit, hlm.157
23

g. Tidak membenarkan atau meyakini siapapun yang mengaku


mempunyai otoritas ketuhanan.
h. Tidak membenarkan atau meyakini siapapun yang mengaku
menjadi nabi atau rasul setelah Nabi Muhammad saw. Sebab Nabi
Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak
akan ada nabi atau rasul setelahnya.
i. Tidak membenarkan atau meyakini atau menjadikan ajaran para
pemimpin aliran sesat yang mengaku menjadi imam atau amir
sama dengan syari'at Islam.
j. Tidak mengakui atau mengikuti paham yang mengatakan Ali ibn
Abu Thalib ra, adalah imam atau nabi.
k. Meyakini AI-Qur'an mushaf Utsman adalah kitab suci yang
benar.
l. Tidak membenarkan atau meyakini kitab suci tandingan al-
Qur’an.
m. Tidak membenarkan dan meyakini ajaran mankul yailu ajaran
para imam aliran sesat yang katanya setiap ajaran yang benar
harus mankul dari imam atau amir.
n. Tidak mencampur aduk antara syari'at Islam dengan ajaran
syetan, yaitu ajaran buatan para imam aliran sesat yang
menyimpang dari syari'at islam yang disebut ajaran mankul.
o. Meyakini kebenaran seluruh isi Al-Qur'an, dalam arti tidak
mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian lainnya.
p. Tidak mngakui atau menjadikan seseorang sebagai imam yang di
yakini sebagai nabi atau tuhan atau mempunyai otoritas kenabian
atau ketuhannan.
q. Tidak membenarkan pembabtisan bagi orang islam yang masuk
aliran tertentu, karena dalam islam tidak ada babtis membabtis
seperti Yahudi.
r. Orang non muslim bila masuk Islam cukup mengucapkan dua
kalimat syahadat, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
24

dan Muhammad saw. hamba dan utusan Allah. Adapun orang


Islam tidak wajib ikrar syahadat kepada imam, karena ia sudah
islam dan kalimat syahadah diucapkannya setiap saat.
s. Mengimani dan mempercayai rukun iman ada enam. Dan
1) Iman kepada Allah.
2) Iman kepada Malaikat Allah.
3) Iman kepada Kitab-kitab Allah.
4) Iman kepada utusan-utusan Allah.
5) Iman kepada hari Kiamat.
6) Iman kepada Q odla dan Qodar Allah baik dan buruknya
f. Mengimani bahwa rukun islam yang benar ada Lima,Rukun islam
yang benar adalah :
1) Membaca dua kalimah syahadah
2) Melaksanakan shalat
3) Membayar zakat
4) Melaksanakan puasa di bulan Ramadhan
5) Menunaikan Haji ke baitullah bagi yang mampu.23

4. Hikmah dibalik ajaran Theologi Ahlu sunnah Wal Jama’ah.


a. Ahlu sunnah Wal Jama’ah Merupakan Manifestasi dan cikal
bakal serta dasar pemikiran berdirinya Organisasi Islam terbesar
di dunia yaitu Nahdatul Ulama.
b. Ahlu sunnah Wal Jama’ah Mampu mengambil jalan tengah antara
ektrem rasional dengan ekstrem literalis/ atsariyah.
c. Ahlu sunnah Wal Jama’ah menjadikan ajaran Islam tidak kaku
dan kedap terhadap kebudayaan yang justru berpotensi destruktif
terhadap tantangan zaman.24

23
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam, Op cit, hlm. 110-112
24
Abdurahman Navis, dkk (ed), Khazanah Aswaja, Op cit, hlm. 397-398
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan tersbut diatas penulis dapat memberikan
kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, adalah
sebagai berikut
1. yang dimaksud dengan Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal
Jama’ah adalah suatu aliran terkait keilmuan yang mempelajari
ketuhanan, namun latar belakangkang kemunculanya berbeda-beda.
2. Sejarah awal mula munculnya Theologi Mu’tazilah dan Ahlu
sunnah Wal Jama’ah, beserta tokoh-tokohnya diawali dari lingkup
terkecil majelis sehingga berkembang menjadi suatu kelompok atau
firqoh yang melahirkan tokoh-tokoh terkenal serta mashyur
termasuk dengan hasil karya berupa kitab-kitab.
3. Landasan berpikir Theologi Mu’tazilah dan Ahlu sunnah Wal
Jama’ah meliputi landasan Theologis normatif, Sosiologis dan
filosofis dengan doktrin ajaran yang berbeda-beda.
4. Hikmah dibalik ajaran Theologi Mu’tazilah dan Theologi Ahlu
sunnah Wal Jama’ah pada dasarnya merupakan bukti nyata bahwa
umat islam itu bukan umat yang bodoh, terbelakang, namun umat
yang mempunya kemapuan berpikir serta berilmu tinggi dalam
bidangnya masing-masing.

B. Saran
Setelah membahas makalah yang penulis susun diatas, dalam
mempelajari ilmu kalam khususnya aliran-aliran ataupun Theologi-
Theologi selepas wafatnya Rasul; kita hendaknya jangan hanya memahami
secara tektual saja, namun harus lebih mendalam lagi memahami doktrin-
doktrin dan dasar pemikiran-pemikiranya terutama Theologi Mu’Tazilah
maupun Ahlu sunnah Wal Jama’ah, sehingga kita mengerti arti
sesungguhnya atas doktrin maupun ajaran-ajaran tersebut.

25
26

DAFTAR PUSTAKA
Abdul, R., & Rozihon. (2014). Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Abdurrahman, N., & dkk. (2016). Khazanah Aswaja. Surabaya: Tim Aswaja Nu
Center PWNU Jawa Timur.
Abubakar, A. (1966). Ilmu Ketuhanan. Jakarta: Tintamas.
Achmad, M. Z., & Winarto, E. W. (2021). Artikulasi Theologi Sunni di Indonesia:
Sejarah, Ekspresi dan Gerakanya. Jurnal of Islamic Civilization, 133.
Ahmad, S. M., & Mohammad, Y. (2019). Tinjauan Teologi Islam Di dunia Isu
dan Proyek Frederick Mathewson Denny. Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-
Ilmu Islam, 51.
Akilah, m. (2019). Jejak Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Dalam
Perkembangan Theologi Islam. Jurna Sulesana, 197.
Hadis, P., & Salamuddin. (2016). Theologi Islam. Medan: Perdana Publising.
Lingga, Y. (2020). Theologi Islam Perspektif Sayyid Qutb. Kalmilah: Jurnal
Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, 74.
Muhammad, A. (2020). Menapaki Sejarah Pemikiran Dalam Theologi Islam.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 45.
Rizka, M., & M., F. (2022). Theologi Mu'tazilah dan Pengaruhnya di bidang
Sosial Politik dan Ekonomi. Al-Mufasir: Jurnal Ilmu Alquran, Tafsir dan
Studi Islam, 90.
Rohanda, & Dadan, F. (2017). Ilmu Kalam. Bandung: CV. Arfindo Raya.
Sufyan, R. A. (2003). Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-
Riyadi.
Zainimal. (2021). Mu'tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Tarikhuna:
Journal Of History And History Education, 102-103.
Zulkarnain. (2022). Telaah kritis Theologi Islam. Jurnal Theosofi dan Peradapan
Islam, 86.

Anda mungkin juga menyukai