Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Kedudukan Ijtihad”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
USHUL FIQH

Dosen Pengempu : Dr. H. Khalilurrahman, MA


Disusun oleh : Rahmat Hidayat
Nim :

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


STAI AL-AQIDAH AL-HASYIMIYYAH JAKARTA
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala kemampuan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan Tugas Makalah yang berjudul
"Kedudukan Ijtihad” ini dengan lancar pada mata kuliah Ushul Fiqh. Penulis dapat menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu Penulis sangat
menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini lebih baik lagi. Demikian yang
dapat kami sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan
bagi kita semua.

Jakarta, 16 November 2023

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................I

Daftar Isi.........................................................................................................II

BAB I. PENDAHULUAN

Latar Belakang.................................................................................................

Rumusan Masalah...........................................................................................

Tujuan Penulisan……………………………………….................................

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad ................................................................................

B. Dasar Hukum …..................................................................................

C. Fungsi Ijtihad ……….……………….................................................

D. Kedudukan Ijtihad …..………………………………………………

E. Syarat-Syarat Ijtihad …………..…………………………………….

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan...............................................................................................

Daftar pustaka...........................................................................................

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum islam melalui


dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Tanpa ijtihad,
mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti
sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu
menjawab tantangan zaman saat ini.

Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun


mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu
hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran
Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran
Islam.

Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang
masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang
sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru
terjadi di masa ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas,


penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan
dengan materi makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Bagaimana kedudukan ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.


2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad.
4. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad.
5. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan),
atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari
aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”. 1
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik
mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak.
Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang
praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang
lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan
kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang
bersifat zhanni”. 2
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama
(Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab
tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut
merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang
tentu cara ini tidak disebut ijtihad. 3

1 DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73


2 Ibit, hlm 75
3 Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162
B. Dasar Hukum
Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :
1. Al-Qur’an

‫ﺳﻮ َل َوأ ُ ْو ِﻟﻲ ٱ ۡﻷَﻣۡ ِﺮ ِﻣﻨ ُﻜ ۡۖﻢ‬ُ ‫ﻟﺮ‬‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡ َﮭﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ َءا َﻣﻨُ ٓﻮاْ أ َ ِطﯿﻌُﻮاْ ٱ ﱠ�َ َوأ َ ِطﯿﻌُﻮاْ ٱ ﱠ‬
َ‫ﺳﻮ ِل ِإن ُﻛﻨﺘ ُ ۡﻢ ﺗ ُ ۡﺆ ِﻣﻨُﻮن‬ ُ ‫ﻟﺮ‬‫� َوٱ ﱠ‬ ِ ‫ﻓَﺈِن ﺗ َ ٰﻨَﺰَ ۡﻋﺘ ُ ۡﻢ ﻓِﻲ ﺷ َۡﻲ ٖء ﻓَ ُﺮدﱡوهُ ِإﻟَﻰ ٱ ﱠ‬
ً ‫ﺴ ُﻦ ﺗ َۡﺄ ِو‬
٥۹ ‫ﯾﻼ‬ َ ‫ﺮ َوأ َ ۡﺣ‬ٞ ‫� َوٱ ۡﻟﯿَ ۡﻮ ِم ٱ ۡﻷ ٓ ِﺧ ۚ ِﺮ ٰذَ ِﻟ َﻚ ﺧ َۡﯿ‬
ِ ‫ﺑِﭑ ﱠ‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

َ ٰ ‫ َوأ َ ۡﯾﺪِي ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣﻨِﯿﻦَ ﻓَﭑ ۡﻋﺘ َ ِﺒ ُﺮواْ ٰﯾَٓﺄ ُ ْو ِﻟﻲ ٱ ۡﻷ َ ۡﺑ‬......


۲ ‫ﺼ ِﺮ‬

“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-


orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan


kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari
Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya,
agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal
ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami
dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini
berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka
harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. 4

4 Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163


firman-Nya yang lain :

٦۹ َ‫ﺳﺒُﻠَﻨ َۚﺎ َوإِ ﱠن ٱ ﱠ�َ ﻟَ َﻤ َﻊ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺤ ِﺴﻨِﯿﻦ‬


ُ ‫َوٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ٰ َﺟ َﮭﺪُواْ ﻓِﯿﻨَﺎ ﻟَﻨَﮭۡ ِﺪﯾَﻨﱠ ُﮭ ۡﻢ‬

“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,


benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )

ۚ ‫ﺎس ِﺑ َﻤﺎ ٓ أ َ َر ٰﯩ َﻚ ٱ ﱠ‬
‫�ُ َو َﻻ‬ ِ ّ ‫ﺐ ِﺑﭑ ۡﻟ َﺤ‬
ِ ‫ﻖ ِﻟﺘ َۡﺤ ُﻜ َﻢ ﺑَ ۡﯿﻦَ ٱﻟﻨﱠ‬ َ َ ‫ِإﻧﱠﺎ ٓ أَﻧﺰَ ۡﻟﻨَﺎ ٓ ِإﻟَ ۡﯿ َﻚ ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ‬
۱۰٥ ‫َﺼ ٗﯿﻤﺎ‬ ِ ‫ﺗ َ ُﻜﻦ ِﻟّ ۡﻠ َﺨﺎٓﺋِﻨِﯿﻦَ ﺧ‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)

2. Al-Hadits
 Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” 5
 Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim

ُ‫ﻄﺄ َ ﻓَﻠَﮫ‬
َ ‫ان َوا ِِن ﺟْ ﺘ َ َﮭﺪَ ﻓَﺎ َ ْﺧ‬
ِ ‫ﺎب ﻓَﻠَﮫُ اَﺟْ َﺮ‬
َ ‫ﺻ‬َ َ ‫ا َ ْﻟ َﺤﺎ ِﻛ ُﻢ اِذَا اﺟْ ﺘ َ َﮭﺪَ ﻓَﺎ‬
ِ ‫اَﺟْ ٌﺮ َو‬
‫ )ﺑﺨﺎرى و‬.ٌ‫اﺣﺪ‬
(‫ﻣﺴﻠﻢ‬

“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran


maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai

5 Ibit, 163, diakses 16 november 2023


kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan
ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

 Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin


Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:

‫ب ُﻣ َﻌﺎذ ﺑ ِْﻦ َﺟﺒَ ِﻞ ِإ ﱠن‬ ِ ‫ﺻ َﺤﺎ‬ ْ َ ‫ﻋ ْﻦ أُﻧﺎ َ ٍس ِ ّﻣ ْﻦ ا َ ْھ ِﻞ َﺣ َﻤﺺ ِﻣ ْﻦ أ‬ َ


‫ﺾ‬ َ ‫ َﻛﯿ‬:‫ﻲ ْاﻟﯿَ َﻤ ِﻦ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ْﻒ ﺗ َ ْﻘ‬ َ ‫ﺚ ُﻣﻌَﺎذًا ا ِﻟ‬ َ َ‫ﷲ ﻟَ ﱠﻤﺎ أ َ َرادَ أ َ ْن ﯾَ ْﺒﻌ‬
ِ ‫ﺳ ْﻮ ُل‬ُ ‫َر‬
‫ ﻓَﺈِ ْن ﻟَ ْﻢ ﺗ َِﺠ ْﺪ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ﷲ‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫ﻀﻰ ِﺑ ِﻜﺘ َﺎ‬ ِ ‫ أ َ ْﻗ‬:‫ﻀﺎ ٌء؟ ﻗَﺎ َل‬ َ َ‫ض ﻟَ َﻚ ﻗ‬ َ ‫ﻋ َﺮ‬َ ‫ِإذَا‬
ُ ‫ ﻓَﺈِ ْن ﻟَ ْﻢ ﺗ َِﺠ ْﺪ ﻓِﻲ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ﷲ‬
‫ﺳﻨﱠ ِﺔ‬ ُ ‫ﺴﻨﱠ ِﺔ َر‬
ِ ‫ﺳ ْﻮ ِل‬ ُ ‫ ﻓَ ِﺒ‬:‫ب ﷲ؟ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ﻓِﻲ ِﻛﺘ َﺎ‬
‫ب‬ َ َ‫ ﻓ‬.‫ْﺊ َو َﻻآﻟُ ْﻮ‬
َ ‫ﻀ َﺮ‬ ِ ‫ اَﺟْ ﺘ َ ِﮭﺪُ َراﯾ‬:‫ب ﷲِ؟ ﻗَﺎ َل‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ ِل ﷲِ َو َﻻ ﻓِﻲ ِﻛﺘ َﺎ‬ُ ‫َر‬
ِ‫ﺳ ْﻮ ِل ﷲ‬
ُ ‫ﺳ ْﻮ َل َر‬ ُ ‫ي َوﻓﱠﻖَ َر‬ ِ ‫ ا َ ْﻟ َﺤ ْﻤﺪ ِ ﱠ‬:‫ﺻ ْﺪ َرهُ َوﻗَﺎ َل‬
ْ ‫ُ� اﻟﱠ ِﺬ‬ َ ِ‫ﺳ ْﻮ ُل ﷲ‬
ُ ‫َر‬
‫ﻟَ ﱠﻤﺎ‬

ِ ‫ﺳ ْﻮ ُل‬
.(‫ﷲ )رواه اﺑﻮداود‬ ُ ‫ﺿﻲ َر‬
َ ‫َﯾ ْﺮ‬

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa


Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus
itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
3. Ijmak
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas
dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar.
Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup
kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena
sebagian besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni
yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan
adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang
terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya menuntut
adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan
menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus
menetapkan semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka
tidak ada jalan lain selain ijtihad. 6

C. Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: “Maka tidak
terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali
dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang
terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu
harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari
sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad,
sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang
diwajibkan lainnya.

Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya:

6 Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir
seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis
yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan
Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis
hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai
permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas
jumlahnya. 7

D. Kedudukan Ijtihad
Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,
melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak boleh
menjadi objek ijtihad ialah:
1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta
orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu syara’ yang
dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti
bilangan raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji,
dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati
(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti pemberian
warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang
dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.

Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:

1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini

7 Zairif, Fungsi Ijtihad, http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-


ijtihad.html , diakses 16 november 2023
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi
dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan
Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
3. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi
qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek
Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya
dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum tersebut di atas
semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid
tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.
4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula
diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad
memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha
ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.

Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat


berbeda-beda, terutama dalam kedudukan yang ke-empat tersebut. Oleh
karena itu dalam sesuatu persoalan bisa terdapat bermacam-macam pendapat,
sesuai dengan perbedaan tinjauan dan jalan pengambilan hukum yang
dipakai. Perbedaan-perbedaan pendapat yang kita dapati dalam kedudukan
hukum Islam mencerminkan bermacam-macamnya hasil ijtihad. Keadaan ini
tidak perlu melemahkan kedudukan syri’at Islam, bahkan menunjukkan sifat
flexibilitasnya dan menjadi sumber kekayaan dan kepadatan pembicaraan-
pembicaraannya.

Ringkasnya kedudukan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas
(ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I
wurud dan dalalahnya. Pembatasan kedudukan ijtihad seperti ini sama dengan
apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama undang-undang
menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada pena’wilan dan perubahan
terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa jiwa undang-undangnya
menghendaki adanya perubahan tersebut, meskipun andaikata hakim sendiri
berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa
keadilan, karena sumber undang-undang tersebut adalah majelis perundang-
undangan sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian
keputusan berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan untuk mengadili
undang-undang itu sendiri. 8

E. Syarat- Syarat Ijtihad

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan
persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang
egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-
kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak
melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu
bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak
semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak
untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk
bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas
melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua
orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya
adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika
semua orang melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya
pun akan membahayakan kehidupan ummat.

Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-
syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-
Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat.
Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:

8
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174 via online, diakses 16
november 2023
1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih.
Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan
bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang
harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup
bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi
cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah
ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya , apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas


merupakansyarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan
ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang
hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya
dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang
menyangkut tersebut secara mendalam.

Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-


Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-
banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang
harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa
seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat lain,
yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan
bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.

Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala,
cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat
ditemukan segera bila diperlukan.

Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak


hanya wjib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi
wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam
sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut
hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah
antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun demikian,
hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui
yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan
tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat
hadits).

2. Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia tidak
mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya
dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui
ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.

Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan


pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan
ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai
dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar
suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa.
Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada
mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.9

3. Mengetahui bahasa Arab,


Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam
hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-
beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui
makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal
gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas
(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk
mengetahui seluk-beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu,
yaitu: nahwu, saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya,

9
https://www.academia.edu/40507516/MAKALAH_TENTANG_IJTIHAD, diakses 16
november 2023
pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar
kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah
ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui
tempat pengambilannya.

Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi


mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar.
Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak
mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau
tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara ulama-
antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang
bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.

4. Mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui
tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat
memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu
menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode
dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di
dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi
menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat
ijtihad:
 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih
sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan
sunnah.
 Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai
syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas
sebagai gantinya.
 Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri
dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan
pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama
memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal
penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di
dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum
dari sumber-sumbernya. Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan
hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.

5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang


dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan
mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang
telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.

Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas


sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah
dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut
Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu
secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya
berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat
dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-
persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat
merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat
diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan
dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-
persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas
sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan
hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid
menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang telah
memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam
wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-
tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu
hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan
sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu.

Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para


pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan
ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara
lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi
syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan
ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang
diketahuinya secara luas dan mendalam. 10

10
DR. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 87, diakses 16 november 2023
BAB III

PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun


dapat menyimpulkan:

1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-


majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya
dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan
sukar”.
2. Dasar hukum ijtihad:
 Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2, Al-
‘Ankabut:69.
 Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan
tentang dasar-dasar ijtihad
 Ijmak
3. Fungsi ijtihad :
 Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah
mursalah
 Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits
mutawattir.
4. Kedudukan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :
 Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali
 Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud dan dalalahnya.
5. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara lain :
 Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
 Mengetahui ijmak
 Mengetahui bahasa Arab
 Mengetahui ilmu usul fikih
 Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan)
DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu :


Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

https://www.academia.edu/40507516/MAKALAH_TENTANG_IJTIHAD

Anda mungkin juga menyukai