“Kedudukan Ijtihad”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
USHUL FIQH
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala kemampuan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan Tugas Makalah yang berjudul
"Kedudukan Ijtihad” ini dengan lancar pada mata kuliah Ushul Fiqh. Penulis dapat menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu Penulis sangat
menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini lebih baik lagi. Demikian yang
dapat kami sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan
bagi kita semua.
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................I
Daftar Isi.........................................................................................................II
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang.................................................................................................
Rumusan Masalah...........................................................................................
Tujuan Penulisan……………………………………….................................
Kesimpulan...............................................................................................
Daftar pustaka...........................................................................................
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang
masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang
sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru
terjadi di masa ini.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan),
atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari
aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”. 1
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik
mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak.
Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang
praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang
lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan
kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang
bersifat zhanni”. 2
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama
(Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab
tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut
merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang
tentu cara ini tidak disebut ijtihad. 3
ﺳﻮ َل َوأ ُ ْو ِﻟﻲ ٱ ۡﻷَﻣۡ ِﺮ ِﻣﻨ ُﻜ ۡۖﻢُ ﻟﺮٰﯾَٓﺄَﯾﱡ َﮭﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ َءا َﻣﻨُ ٓﻮاْ أ َ ِطﯿﻌُﻮاْ ٱ ﱠ�َ َوأ َ ِطﯿﻌُﻮاْ ٱ ﱠ
َﺳﻮ ِل ِإن ُﻛﻨﺘ ُ ۡﻢ ﺗ ُ ۡﺆ ِﻣﻨُﻮن ُ ﻟﺮ� َوٱ ﱠ ِ ﻓَﺈِن ﺗ َ ٰﻨَﺰَ ۡﻋﺘ ُ ۡﻢ ﻓِﻲ ﺷ َۡﻲ ٖء ﻓَ ُﺮدﱡوهُ ِإﻟَﻰ ٱ ﱠ
ً ﺴ ُﻦ ﺗ َۡﺄ ِو
٥۹ ﯾﻼ َ ﺮ َوأ َ ۡﺣٞ � َوٱ ۡﻟﯿَ ۡﻮ ِم ٱ ۡﻷ ٓ ِﺧ ۚ ِﺮ ٰذَ ِﻟ َﻚ ﺧ َۡﯿ
ِ ﺑِﭑ ﱠ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
ۚ ﺎس ِﺑ َﻤﺎ ٓ أ َ َر ٰﯩ َﻚ ٱ ﱠ
�ُ َو َﻻ ِ ّ ﺐ ِﺑﭑ ۡﻟ َﺤ
ِ ﻖ ِﻟﺘ َۡﺤ ُﻜ َﻢ ﺑَ ۡﯿﻦَ ٱﻟﻨﱠ َ َ ِإﻧﱠﺎ ٓ أَﻧﺰَ ۡﻟﻨَﺎ ٓ ِإﻟَ ۡﯿ َﻚ ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ
۱۰٥ َﺼ ٗﯿﻤﺎ ِ ﺗ َ ُﻜﻦ ِﻟّ ۡﻠ َﺨﺎٓﺋِﻨِﯿﻦَ ﺧ
2. Al-Hadits
Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” 5
Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim
ُﻄﺄ َ ﻓَﻠَﮫ
َ ان َوا ِِن ﺟْ ﺘ َ َﮭﺪَ ﻓَﺎ َ ْﺧ
ِ ﺎب ﻓَﻠَﮫُ اَﺟْ َﺮ
َ ﺻَ َ ا َ ْﻟ َﺤﺎ ِﻛ ُﻢ اِذَا اﺟْ ﺘ َ َﮭﺪَ ﻓَﺎ
ِ اَﺟْ ٌﺮ َو
)ﺑﺨﺎرى و.ٌاﺣﺪ
(ﻣﺴﻠﻢ
ِ ﺳ ْﻮ ُل
.(ﷲ )رواه اﺑﻮداود ُ ﺿﻲ َر
َ َﯾ ْﺮ
C. Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: “Maka tidak
terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali
dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang
terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu
harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari
sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad,
sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang
diwajibkan lainnya.
D. Kedudukan Ijtihad
Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,
melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak boleh
menjadi objek ijtihad ialah:
1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta
orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu syara’ yang
dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti
bilangan raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji,
dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati
(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti pemberian
warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang
dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.
1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini
Ringkasnya kedudukan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas
(ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I
wurud dan dalalahnya. Pembatasan kedudukan ijtihad seperti ini sama dengan
apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama undang-undang
menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada pena’wilan dan perubahan
terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa jiwa undang-undangnya
menghendaki adanya perubahan tersebut, meskipun andaikata hakim sendiri
berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa
keadilan, karena sumber undang-undang tersebut adalah majelis perundang-
undangan sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian
keputusan berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan untuk mengadili
undang-undang itu sendiri. 8
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan
persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang
egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-
kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak
melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu
bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak
semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak
untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk
bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas
melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua
orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya
adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika
semua orang melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya
pun akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-
syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-
Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat.
Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
8
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174 via online, diakses 16
november 2023
1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih.
Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan
bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang
harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup
bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi
cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah
ditemukannya ketika diperlukan.
Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala,
cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat
ditemukan segera bila diperlukan.
2. Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia tidak
mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya
dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui
ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.
9
https://www.academia.edu/40507516/MAKALAH_TENTANG_IJTIHAD, diakses 16
november 2023
pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar
kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah
ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui
tempat pengambilannya.
4. Mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui
tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat
memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu
menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode
dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di
dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi
menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat
ijtihad:
Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih
sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan
sunnah.
Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai
syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas
sebagai gantinya.
Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri
dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan
pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama
memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal
penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di
dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum
dari sumber-sumbernya. Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan
hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
10
DR. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 87, diakses 16 november 2023
BAB III
PENUTUP
Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta
http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad
https://www.academia.edu/40507516/MAKALAH_TENTANG_IJTIHAD