Anda di halaman 1dari 37

AR RA’YU

SUMBER HUKUM ISLAM


KETIGA

Drs. H. Zaenal Abidin, M.Ag.


AR RA’YU (IJTIHAD)
• Ar Rayu adalah akal fikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berijtihad,
• Ra’yu berarti pendapat, pertimbangan
• Ra'yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan
suatu hukum dari permasalahan-permasalahan
kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan Hadis.
• Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara
komprehensif dengan tetap berpegang teguh pada Alquran
dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu.
PERBEDAAN AR RA’YU DAN
AKAL
•Akal adalah subjek (alat/pelaku yang
melakukan pemikiran)
•Ra'yu adalah, suatu hasil/obyek dari
proses pemikiran yang bertujuan untuk
mencari kebenaran/solusi dari suatu
hukum yang tidak ada di dalam Alquran
dan hadis.
IJTIHAD
• Ijtihad berasal dari kata Jahada yang berarti
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya
dalam berusaha
• Ijtihad sebagai sumber hukum Islam berarti usaha
atau ikhtiar sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemampuan yang ada,
dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi
syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum
jelas dalam Al Qur’an dan Hadis
DASAR IJTIHAD
‫اب اِب لْ َح ّ ِق ِل َت ْحمُك َ بَنْي َ النَّ ِاس ِب َما َأ َر َاك اهَّلل ُ ۚ َواَل تَ ُك ْن ِللْ َخائِ ِن َني خ َِصميًا‬
َ َ‫اَّن َأ ْن َزلْنَا لَ ْي َك ْال ِكت‬
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, “
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat,” (QS An Nisa:105)

َ ‫ َّن يِف َذٰ كِل َ آَلاَي ٍت ِل َق ْو ٍم ي َ َت َفكَّ ُر‬...


‫ون‬
“…Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
‫ِإ‬
kaum yang memikirkan” (QS Ar Ra’d:3)

َ ُ‫ َّن يِف َذٰ كِل َ آَلاَي ٍت ِل َق ْو ٍم ي َ ْع ِقل‬...


‫ون‬
“… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
‫ِإ‬
kaum yang berfikir.” (QS Ar Ra’d:4)
DASAR IJTIHAD
“...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan
dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.” (Diriwayatkan
dari Amr ibn al-’Āsh)
“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman
bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan
kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum
berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak
mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah
Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW.
dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan
nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”
(HR Abu Daud)
SYARAT-SYARAT MUJTAHID
• Menguasai bahasa arab untuk dapat memahami Al Qur’an dan
Kitab Hadis (yang ditulis dalam bahasa arab)
• Mengetahui isi dan sistem hukum serta ilmu-ilmu untuk
memahami Al Qur’an
• Mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu hadis
• Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan metode menarik
garis hukum dari sumber hukum Islam
• Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih
• Mengetahui rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan hukum Islam
• Jujur dan Ikhlas
SYARAT-SYARAT MUJTAHID
• (pada masa lampau berlaku mutlak, saat ini
syarat tersebut diperingan)
• Syarat tambahan mujtahid masa kini:
• Menguasai ilmu-ilmu sosial dan ilmu-Ilmu yang
relevan dengan permasalahan yang dicari
hukumnya
• Dilakukan secara kolektif dengan cabang ilmu
lain
PENGGOLONGAN MUJTAHID
• Mujtahid Mutlak : para ulama yang pertama kali mengusahakan
terbentuknya hukum fiqih Islam berdasarkan ijtihad mereka
• Mujtahid Mazhab : orang yang meneruskan dasar-dasar ajaran
yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak
• Mujtahid Fatwa : orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid
mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa
atau nasihatnya
• Mujtahid Muqallih (Ahli Tarjih) : orang-orang yang dengan ilmu
pengetahuan yang ada padanya dapat membandingkan mana
pendapat yang lebih kuat dari perbedaan pendapat yang ada
serta memberi penjelasan atas pendapat tersebut.
BENTUK IJTIHAD DILIHAT DARI JUMLAH PELAKUNYA

•Ijtihad individual, yaitu ijtihad yang


dilakukan oleh seorang mujtahid
(orang yang berijtihad)
•Ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang
dilakukan bersama-sama oleh banyak
ahli tentang persoalan hukum tertentu
BENTUK IJTIHAD DILIHAT DARI OBJEKNYA
• Dilakukan untuk persoalan-persoalan hukum
yang bersifat zhanni (untuk yang bersifat qath’i
bukan lapangan ijtihad)
• Hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya
dalam Al Qur’an dan Hadis
• Mengenai masalah-masalah hukum baru yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
METODE-METODE IJTIHAD
1. Ijma
2. Qiyas
3. Masalih al Mursalah
4. Istihsan
5. Istishab
6. Urf
7. Sadd adz-dzari’ah
METODE-METODE IJTIHAD
1. Ijma : kesepakatan semua mujtahid di dunia Islam
tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah
wafatnya Nabi saw. terhadap suatu kejadian.
• Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan
umat Islam
• Kesepakatan yang dilakukan harus dinyatakan secara
jelas
• Kesepakatan terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw.
• Yang disepakati adalah hukum syara’
MACAM-MACAM IJMA
1. Ijma Sharih, yaitu kesepakatan tegas dari
para mujtahid di mana masing-masing
mujtahid menyatakan peretujuannya secara
tegas terhadap kesimpulan itu.
2. Ijma Sukuti, yaitu sebagian ulama’ mujtahid
menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama’
mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
CONTOH IJMA
• Kesepakatan ulama’ bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu
kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta
warisan, sebagaimana pada hadits berikut:
“Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek yaitu ibu kandung
ibu dan ibu kandung bapak yang datang kepada Abu Bakar
(menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada orang-
orang dan al-Mughirah bin Syu’bah-lah yang memberi tahu
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. memberikan bagian warisan
kepada nenek seperenam”.
• Penetapan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan ru’yatul hilal
KEDUDUKAN IJMA SEBAGAI HUJJAH
‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫َو َمن ي ُ َشا ِق ِق َّلر ُسو َل ِم ۢن ب َ ۡع ِد َما تَ َبنَّي َ هَل ُ لۡهُدَ ٰى َويَت َّ ِب ۡع غَرۡي َ َس ِب ِيل‬
‫لۡ ُم ۡؤ ِم ِن َني ن َُوهِّل ِ ۦ َما تَ َوىَّل ٰ َون ُۡصهِل ِ ۦ هَج َمَّن َ ۖ َو َسٓا َء ۡت َم ِص ًريا‬‫ٱ‬
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS An Nisa:115)
METODE-METODE IJTIHAD

2. Qiyas : menyamakan hukum suatu


hal yang tidak terdapat ketentuannya
di dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
dengan yang hukumnya ditentukan
dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
karena persamaan illat (penyebab
atau alasannya)
RUKUN QIYAS
a. Ashl (asal) : yaitu masalah pokok (minuman keras
yang bernama khamar yang telah ditetapkan
hukum haramnya dalam al-Qur’an)
b. Hukum asal : misal Haram
c. Far’u : yaitu masalah cabang (misal wiski yang
tidak tersebut hukumnya dalam nash syara’)
d. Illat : yaitu sesuatu yang menjadi alasan
pensyariatan hukum (misal sifat memabukkan).
CONTOH QIYAS
a. Setiap minuman yang memabukan , wiski dan tuak
disamakan dengan khamar, illatnya sama-sama
memabukan. ·
b. Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan
harta dewasa. Menurut Syafei karena sama-sama dapat
tumbuh dan berkembang, dan dapat ,menolong fakir
miskin.
c. Mengatakan telmi kepada orangtua disamakan dengan
membentak dan ah, karena illatnya sama-sama
menyakiti dengan ucapan.
KEDUDUKAN QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

Mayoritas ulama’ mengatakan bolehnya qiyas menjadi


dalil hukum syara’. Untuk ini mereka mengemukakan
landasan dari nash al-Qur’an dan hadits Nabi,
sedangkan sebagian kecil ulama’ menolak
kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum
berdasarkan qiyas. Mereka berpendapat bahwa hukum
syara’ itu harus ditetapkan dengan nash al-Qur’an dan
hadits Nabi. Sama sekali mereka menolak penetapan
hukum dengan semata menggunakan akal.
METODE-METODE IJTIHAD

3. Masalih al Mursalah: suatu cara


menemukan hukum sesuatu hal yang
tidak terdapat dalam Al Qur’an dan
As Sunnah berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum
SYARAT MASALIH AL MURSALAH
• Maslahah mursalah harus maslahah yang hakiki dan bersifat
umum, dapat diterima akal sehat bahwa hal itu benar-benar
mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat secara
utuh;
• Sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yaitu
kemaslahatan bagi seluruh manusia
• Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam
al-Qur’an, Hadits, maupun ijma’
• Diaplikasikan dalam kondisi tertentu dimana jika masalahah
mursalah tidak digunakan maka persoalan tidak akan selesai
CONTOH MASALIH AL MURSALAH
• Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran,
memerangi orang yang membangkang membayar zakat,
menunjuk Umar ra. menjadi khalifah;
• Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan
berbagai pajak, dan putusan beliau tidak menjalankan hukum
potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena lapar dan
masa paceklik;
• Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin
untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan
kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.
KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH
SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’
Oleh karena tidak adanya petunjuk khusus dalam
nash atau ijma’ yang memandangnya, ulama’
berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai
dalil hukum syara’. Ulama’ Malikiyah
menempatkannya sebagai dalil hukum dengan alasan
bahwa ia adalah maslahat dan tidak ada pula
petunjuk khusus yang menolaknya
METODE-METODE IJTIHAD

4. Istihsan : suatu cara untuk


mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadaan, dengan
menyimpang dari ketentuan yang
sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial
CONTOH ISTIHSAN
• Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang
yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak
menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang
tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai
hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak
diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai
hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai
keperluan hidupnya
KEDUDUKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

Para ahli ushul fiqh berbeda pendapat dalam


menggunakan istihsan sebagai dalil. Perbedaan ini
disebabkan oleh berbeda dalam melihat istihsan itu
sendiri, sebagaimana yang tergambar dalam definisi yang
dikemukakannya. Yang paling banyak menggunakan
istihsan adalah ulama’ Hanafiah. Kemudian diikuti oleh
sebagian ulama’ Malikiyah, dan juga diikuti oleh sebagian
ulama’ Hanabilah. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah
menolaknya secara tegas dan menyebut orang yang
menggunakannya sebagai membuat syari’at.
METODE-METODE IJTIHAD

5. Istishab : menetapkan hukum suatu


hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang
mengubahnya.
CONTOH ISTISHAB
• Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada
bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukan bahwa dia
meninggal dunia;
• Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam
hubungan suami istri sampai ada bukti lain yang
menunjukan bahwa mereka telah bercerai;
• Tetap dipandang sah punya wudlu bagi yang yakin
sebelumnya telah berwudlu, dan tidak hilang karena
keragu-raguan;
KEDUDUKAN ISTISHAB SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

Pada umumnya ulama’ ushul fiqh menempatkan istishab


sebagai dalil hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab.
Istishab dalil akal hanya diakui oleh ulama’ Mu’tazilah, dalam
hal istishab sifat ulama’ Hanafiah hanya memberlakukannya
untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya
untuk menetapkan hukum baru. Ulama’ yang mengamalkan
istishab mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadits Nabi
saw. dan menambahkannya dengan sebuah kaidah fiqh yang
berbunyi: “Sesuatu yang diyakini tidak dapat dihilangkan
dengan hal yang meragukan”.
METODE-METODE IJTIHAD
6. Urf : adat istiadat yang tidak bertentangan dengan
Hukum Islam , sehingga dapat terus berlaku.
• Urf amaly (perbuatan) misalnya tradisi jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian tanpa
mengucapkan sighat (aqad) seperti yang berlaku di pasar-
pasar swalayan.
• Urf qauly (ucapan) misalnya kata waladun dalam Q.S. al-
Nisa’ [4]: 11-12 yang mencakup anak laki-laki dan anak
perempuan, sebagaimana digunakan dalam tradisi orang
Arab.
SYARAT PENGAMALAN URF
• ‘Urf itu harus berlaku secara umum, artinya ‘urf tersebut
terjadi pada sebagian besar kasus yang terjadi ditengah-
tengan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut;
• ‘Urf telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat
ketika hukum yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran lebih dahulu
muncul daripada kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
• ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara
jelas dalam suatu transaksi.
KEDUDUKAN ‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

Pada umumnya ‘urf yang sudah memenuhi syarat dapat


diterima secara prinsip. Golongan Hanafiah
menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukan atas
qiyas, yang disebut istihsan ‘urf. Golongan Malikiah
menerima ‘urf terutama ‘urf penduduk Madinah dan
mendahulukannya dari hadits yang lemah. Demikian pula
berlaku dikalangan Syafi’iyah dan menetapkannya dalam
sebuah kaidah: “Setiap yang datang padanya syara’ secara
mutlak dan tidak ada ukurannya dalam syara’ atau bahasa,
maka dikembalikan kepada ‘urf”.
METODE-METODE IJTIHAD
7. Sadd adz-dzari’ah : menetapkan hukum larangan
atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
Contoh: seseorang yang telah dikenai kewajiban
zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia
terhindar dari kewajiban zakat.
SADD ADZ-DZARI’AH
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa adz-dzari’ah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi
juga ada yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih
tepat kalau adz-dzari’ah itu dibagi menjadi dua, sadd
adz-dzari’ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari’ah
(yang dianjurkan). Ketentuan hukum yang dikenakan
pada adz-dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum
yang terdapat pada perbuatan yang menjadi
sasarannya.
CONTOH SADD ADZ-DZARI’AH
• Zina adalah haram. Maka, melihat aurat
wanita yang menyebabkan seseorang
melakukan perbuatan zina adalah haram
juga.
• Shalat jum’at adalah wajib. Maka,
meninggalkan jual beli guna memenuhi
kewajiban ibadah shalat juma’at adalah wajib
KEDUDUKAN SAD DZARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sad dzari’ah


dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum,
‫ُون اهَّلل ِ فَيَ ُس ُّبوا اهَّلل َ عَ ْد ًوا ِب َغرْي ِ ِعمْل ٍ َك َذكِل َ َزيَّنَّا‬ ِ ‫ون ِم ْن د‬ ‫ع‬
ُ ‫د‬ ْ ‫ي‬ ‫ين‬ ِ
َ َ َ ‫َوال ت َ ُسبُّوا ا‬ ‫ذَّل‬
‫ون‬
َ ََ ُ ‫ل‬ ‫م‬‫ع‬ْ ‫ي‬ ‫ا‬‫و‬ُ ‫ن‬ ‫اَك‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ب‬ِ ‫م‬ ‫هُئ‬
y
ّ ‫ِب‬
ِّ َ ‫ن‬ ‫ي‬َ ‫ف‬
َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ ْ َ ‫ْ ِإ‬ ‫ُم‬‫ه‬‫ع‬ ِ
‫ج‬ ‫ر‬ ‫م‬
َ ‫م‬ ِ ‫هِّب‬
‫ر‬ ‫ىَل‬ َّ ‫مُث‬ ‫ُم‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ َ ‫مَع‬ ٍ
‫ة‬ ‫م‬
َّ ‫ُأ‬ ّ y
ِّ ‫ِلُك‬ ِ
‫ل‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al An’am:108)

Anda mungkin juga menyukai