AR RA’YU (IJTIHAD) • Ar Rayu adalah akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad, • Ra’yu berarti pendapat, pertimbangan • Ra'yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan Hadis. • Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu. PERBEDAAN AR RA’YU DAN AKAL •Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran) •Ra'yu adalah, suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis. IJTIHAD • Ijtihad berasal dari kata Jahada yang berarti bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha • Ijtihad sebagai sumber hukum Islam berarti usaha atau ikhtiar sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas dalam Al Qur’an dan Hadis DASAR IJTIHAD اب اِب لْ َح ّ ِق ِل َت ْحمُك َ بَنْي َ النَّ ِاس ِب َما َأ َر َاك اهَّلل ُ ۚ َواَل تَ ُك ْن ِللْ َخائِ ِن َني خ َِصميًا َ َاَّن َأ ْن َزلْنَا لَ ْي َك ْال ِكت Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, “ ِإ ِإ supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,” (QS An Nisa:105)
ون “… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ِإ kaum yang berfikir.” (QS Ar Ra’d:4) DASAR IJTIHAD “...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.” (Diriwayatkan dari Amr ibn al-’Āsh) “...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.” (HR Abu Daud) SYARAT-SYARAT MUJTAHID • Menguasai bahasa arab untuk dapat memahami Al Qur’an dan Kitab Hadis (yang ditulis dalam bahasa arab) • Mengetahui isi dan sistem hukum serta ilmu-ilmu untuk memahami Al Qur’an • Mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu hadis • Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan metode menarik garis hukum dari sumber hukum Islam • Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih • Mengetahui rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan hukum Islam • Jujur dan Ikhlas SYARAT-SYARAT MUJTAHID • (pada masa lampau berlaku mutlak, saat ini syarat tersebut diperingan) • Syarat tambahan mujtahid masa kini: • Menguasai ilmu-ilmu sosial dan ilmu-Ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dicari hukumnya • Dilakukan secara kolektif dengan cabang ilmu lain PENGGOLONGAN MUJTAHID • Mujtahid Mutlak : para ulama yang pertama kali mengusahakan terbentuknya hukum fiqih Islam berdasarkan ijtihad mereka • Mujtahid Mazhab : orang yang meneruskan dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak • Mujtahid Fatwa : orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa atau nasihatnya • Mujtahid Muqallih (Ahli Tarjih) : orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat membandingkan mana pendapat yang lebih kuat dari perbedaan pendapat yang ada serta memberi penjelasan atas pendapat tersebut. BENTUK IJTIHAD DILIHAT DARI JUMLAH PELAKUNYA
•Ijtihad individual, yaitu ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid (orang yang berijtihad) •Ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang persoalan hukum tertentu BENTUK IJTIHAD DILIHAT DARI OBJEKNYA • Dilakukan untuk persoalan-persoalan hukum yang bersifat zhanni (untuk yang bersifat qath’i bukan lapangan ijtihad) • Hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadis • Mengenai masalah-masalah hukum baru yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat METODE-METODE IJTIHAD 1. Ijma 2. Qiyas 3. Masalih al Mursalah 4. Istihsan 5. Istishab 6. Urf 7. Sadd adz-dzari’ah METODE-METODE IJTIHAD 1. Ijma : kesepakatan semua mujtahid di dunia Islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah wafatnya Nabi saw. terhadap suatu kejadian. • Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam • Kesepakatan yang dilakukan harus dinyatakan secara jelas • Kesepakatan terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw. • Yang disepakati adalah hukum syara’ MACAM-MACAM IJMA 1. Ijma Sharih, yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid di mana masing-masing mujtahid menyatakan peretujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu. 2. Ijma Sukuti, yaitu sebagian ulama’ mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama’ mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. CONTOH IJMA • Kesepakatan ulama’ bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan, sebagaimana pada hadits berikut: “Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung bapak yang datang kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada orang- orang dan al-Mughirah bin Syu’bah-lah yang memberi tahu bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam”. • Penetapan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan ru’yatul hilal KEDUDUKAN IJMA SEBAGAI HUJJAH ٱ ٱ َو َمن ي ُ َشا ِق ِق َّلر ُسو َل ِم ۢن ب َ ۡع ِد َما تَ َبنَّي َ هَل ُ لۡهُدَ ٰى َويَت َّ ِب ۡع غَرۡي َ َس ِب ِيل لۡ ُم ۡؤ ِم ِن َني ن َُوهِّل ِ ۦ َما تَ َوىَّل ٰ َون ُۡصهِل ِ ۦ هَج َمَّن َ ۖ َو َسٓا َء ۡت َم ِص ًرياٱ “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS An Nisa:115) METODE-METODE IJTIHAD
2. Qiyas : menyamakan hukum suatu
hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al Qur’an dan As-Sunnah dengan yang hukumnya ditentukan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasannya) RUKUN QIYAS a. Ashl (asal) : yaitu masalah pokok (minuman keras yang bernama khamar yang telah ditetapkan hukum haramnya dalam al-Qur’an) b. Hukum asal : misal Haram c. Far’u : yaitu masalah cabang (misal wiski yang tidak tersebut hukumnya dalam nash syara’) d. Illat : yaitu sesuatu yang menjadi alasan pensyariatan hukum (misal sifat memabukkan). CONTOH QIYAS a. Setiap minuman yang memabukan , wiski dan tuak disamakan dengan khamar, illatnya sama-sama memabukan. · b. Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa. Menurut Syafei karena sama-sama dapat tumbuh dan berkembang, dan dapat ,menolong fakir miskin. c. Mengatakan telmi kepada orangtua disamakan dengan membentak dan ah, karena illatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan. KEDUDUKAN QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’
Mayoritas ulama’ mengatakan bolehnya qiyas menjadi
dalil hukum syara’. Untuk ini mereka mengemukakan landasan dari nash al-Qur’an dan hadits Nabi, sedangkan sebagian kecil ulama’ menolak kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum berdasarkan qiyas. Mereka berpendapat bahwa hukum syara’ itu harus ditetapkan dengan nash al-Qur’an dan hadits Nabi. Sama sekali mereka menolak penetapan hukum dengan semata menggunakan akal. METODE-METODE IJTIHAD
3. Masalih al Mursalah: suatu cara
menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum SYARAT MASALIH AL MURSALAH • Maslahah mursalah harus maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dapat diterima akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat secara utuh; • Sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yaitu kemaslahatan bagi seluruh manusia • Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam al-Qur’an, Hadits, maupun ijma’ • Diaplikasikan dalam kondisi tertentu dimana jika masalahah mursalah tidak digunakan maka persoalan tidak akan selesai CONTOH MASALIH AL MURSALAH • Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran, memerangi orang yang membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. menjadi khalifah; • Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan berbagai pajak, dan putusan beliau tidak menjalankan hukum potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena lapar dan masa paceklik; • Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain. KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’ Oleh karena tidak adanya petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ yang memandangnya, ulama’ berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai dalil hukum syara’. Ulama’ Malikiyah menempatkannya sebagai dalil hukum dengan alasan bahwa ia adalah maslahat dan tidak ada pula petunjuk khusus yang menolaknya METODE-METODE IJTIHAD
4. Istihsan : suatu cara untuk
mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan, dengan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial CONTOH ISTIHSAN • Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya KEDUDUKAN ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’
Para ahli ushul fiqh berbeda pendapat dalam
menggunakan istihsan sebagai dalil. Perbedaan ini disebabkan oleh berbeda dalam melihat istihsan itu sendiri, sebagaimana yang tergambar dalam definisi yang dikemukakannya. Yang paling banyak menggunakan istihsan adalah ulama’ Hanafiah. Kemudian diikuti oleh sebagian ulama’ Malikiyah, dan juga diikuti oleh sebagian ulama’ Hanabilah. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah menolaknya secara tegas dan menyebut orang yang menggunakannya sebagai membuat syari’at. METODE-METODE IJTIHAD
5. Istishab : menetapkan hukum suatu
hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. CONTOH ISTISHAB • Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukan bahwa dia meninggal dunia; • Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami istri sampai ada bukti lain yang menunjukan bahwa mereka telah bercerai; • Tetap dipandang sah punya wudlu bagi yang yakin sebelumnya telah berwudlu, dan tidak hilang karena keragu-raguan; KEDUDUKAN ISTISHAB SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’
Pada umumnya ulama’ ushul fiqh menempatkan istishab
sebagai dalil hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab. Istishab dalil akal hanya diakui oleh ulama’ Mu’tazilah, dalam hal istishab sifat ulama’ Hanafiah hanya memberlakukannya untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru. Ulama’ yang mengamalkan istishab mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadits Nabi saw. dan menambahkannya dengan sebuah kaidah fiqh yang berbunyi: “Sesuatu yang diyakini tidak dapat dihilangkan dengan hal yang meragukan”. METODE-METODE IJTIHAD 6. Urf : adat istiadat yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam , sehingga dapat terus berlaku. • Urf amaly (perbuatan) misalnya tradisi jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian tanpa mengucapkan sighat (aqad) seperti yang berlaku di pasar- pasar swalayan. • Urf qauly (ucapan) misalnya kata waladun dalam Q.S. al- Nisa’ [4]: 11-12 yang mencakup anak laki-laki dan anak perempuan, sebagaimana digunakan dalam tradisi orang Arab. SYARAT PENGAMALAN URF • ‘Urf itu harus berlaku secara umum, artinya ‘urf tersebut terjadi pada sebagian besar kasus yang terjadi ditengah- tengan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut; • ‘Urf telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat ketika hukum yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran lebih dahulu muncul daripada kasus yang akan ditetapkan hukumnya. • ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. KEDUDUKAN ‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’
Pada umumnya ‘urf yang sudah memenuhi syarat dapat
diterima secara prinsip. Golongan Hanafiah menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukan atas qiyas, yang disebut istihsan ‘urf. Golongan Malikiah menerima ‘urf terutama ‘urf penduduk Madinah dan mendahulukannya dari hadits yang lemah. Demikian pula berlaku dikalangan Syafi’iyah dan menetapkannya dalam sebuah kaidah: “Setiap yang datang padanya syara’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam syara’ atau bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf”. METODE-METODE IJTIHAD 7. Sadd adz-dzari’ah : menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Contoh: seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. SADD ADZ-DZARI’AH Ibnu Qayyim menyatakan bahwa adz-dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi juga ada yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adz-dzari’ah itu dibagi menjadi dua, sadd adz-dzari’ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan). Ketentuan hukum yang dikenakan pada adz-dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. CONTOH SADD ADZ-DZARI’AH • Zina adalah haram. Maka, melihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga. • Shalat jum’at adalah wajib. Maka, meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban ibadah shalat juma’at adalah wajib KEDUDUKAN SAD DZARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sad dzari’ah
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, ُون اهَّلل ِ فَيَ ُس ُّبوا اهَّلل َ عَ ْد ًوا ِب َغرْي ِ ِعمْل ٍ َك َذكِل َ َزيَّنَّا ِ ون ِم ْن د ع ُ د ْ ي ين ِ َ َ َ َوال ت َ ُسبُّوا ا ذَّل ون َ ََ ُ ل معْ ي اوُ ن اَك ا مبِ م هُئ y ّ ِب ِّ َ ن يَ ف َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ ْ َ ْ ِإ ُمهع ِ ج ر م َ م ِ هِّب ر ىَل َّ مُث ُم ه َ ل َ مَع ٍ ة م َّ ُأ ّ y ِّ ِلُك ِ ل “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al An’am:108)