Anda di halaman 1dari 17

IJTIHAD UMAR BIN KHATAB DALAM PEMEBENTUKAN TASYRI`

Oleh: Abdul Nowy


NIM : 20913016
Email: abdulnowy@gmail.com
Magaister Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

ABSTRACK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan ijtihad ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb yang
memiliki karakteristik yang unik. Ijtihad ‘Umar didasarkan pada al-Qur’an dan
hadis, dan apa yang dicontohkan orang saleh sebelumnya. Pemahaman terhadap
naṣ oleh Umar dilakukan secara kontekstual, sehingga menghasilkan produk
pemikiran yang sesuai dengan kebutuhan ummat dan adil. Tulisan ini
menggunakan metode library research dengan menggali literatur-literatur yang
berkaitan dengan ijtihad sahabat Rasululla terkhusus Umar bin khattab.
Pemikiran–pemikiran Umar melalui ijtihadnya, bukan saja telah diterima dan
dijalankan secara luas oleh masyarakat Islam pada saat itu, tetapi juga telah
memberikan alternatif baru dalam keberanian menafsirkan al– dan Sunnah
Rasulullah saw., yang kemudian ternyata telah memberikan konstribusi yang
signifikan bagi perkembangan hukum islam pada masa-masa sesudahnya
Kata kunci: Ijtihad, Umar bin Khatab, Pembentukan Tasyri`

PENDAHULUAN
Pada zaman Nabi masih hidup , seluruh hukum Islam didapatkan dari
wahyu dan diturunkan kepada Rasulullah saw dan kemudian setelah itu nabi
menjelaskan melalui ucapan (Qawlun), perbuatan (af`alun), serta pernyataannya
dengan tidak membutuhkan pemakaian kaidah-kaidah ataupun metode untuk
menggali dan mendapatkan hukum seperti dalam ilmu ushul fikih. Setelah
Rasulullah SAW wafat, maka berakhirlah dan terputuslah wahyu, maka dengan
demikian berarti sahabat-sahabat sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk
bertanya.1 Semenjak masa itu banyak bermuncul masalah-masalah baru yang
nyataannya tidak ditemukan jawabannya secara pasti dalam al-Qur’an al-Karim
dan al-Sunnah Nabawi. Untuk menjawab dan mengatasi berbagai persoalan-
persolan baru tersebut, selain meneliti muatan dan kandungan akan makna
tentang suatu ayat, dan perlu dikembangkannya prinsip hukum terhadap ayat

1
Khallaf, Ijtihad dalam Syariat Islam.
ataupun Sunnah Nabi2. Usaha untuk penelitian terhadap muatan dan cakupan atau
kandungan ayat al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan pengembangan
prinsip dasar untuk penelitian dan pencarian dimaksud yang dikenal dengan istilah
ijtihad. Tanpa adanya sebuah usaha ijtihad maka dapat dipastikan bahwa terdapat
kesulitan dan kesukaran dalam membuktikan kepercayaan bahwa agam Islam
dalam setiap dimensinya tetap sesuai dan relevan terhadap segala tempat dan
waktu.3
Secara terminologi, ijtihad mempunyai makna "pengerahan seluruh
kemampuan dan usaha untuk mengerjakan perihal yang sulit." Maka Atas dasar
inilah kurang tepat bila kata "ijtihad" digunakan untuk melakukan perihal yang
ringan/mudah. Makna ijtihad sendiri menurut istilah syari`ah ialah mencurahkan
seluruh tenaga (memeras isi pikiran) untuk mendapatkan hukum agama (syariat)
melalui beberapa dalil syara’, dan tanpa melalui cara-cara yang ditentukan.Usaha
itu merupakan hasil pemikiran dan kemampuan individu semata-mata.4
Menurut Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani mengunkgkapkan
bahwa ijtihad ialah mengerahkan seluruh pemikiran dalam mentelaah dan
mengkaji dalil - dalil shar’iyyah dalam al-Qur`an untuk menentukan hukum-
hukum syari’at. Berdasarkan beberapa defenisi tersebut diatas mengandung
ketentuan sebagai berikut, yaitu:
1. Sesungguhnya ijtihad ialah merupakan mengerahkan seluruh pemikiran
dalam mengkaji dan mentelaah dallil-dalil, dan ini lebih umum daripada
qiyas. bila qiyas menyamakan antara far’ dan asl, maka berbeda dengan
ijtihad yang mengandung qiyas.
2. Ijtihad ini dilakukan oleh seorang faqih, yaitu seorang yang mengetahui
dan memahami dalil-dalil serta cara mengambil isntinbath (istinbat al-
hukm).
3. Ijtihad diperlukan terhadap sesuatu masalah yang belum ada dan belum
jelas hukumnya atau bersifat zhanni (dalam perkiraan) dan menghasilkan
hukum yang zhanni.
2
M.H Et Al., Pengantar Hukum Islam Di Indonesia.
3
Safe’i, “REDEFINISI IJTIHAD DAN TAQLID.”
4
Suheli, “Ijtihad.”
4. Dengan adanya sebuah batasan dalam “istinbath”, maka ijtihad tersebut
merupakan pemikiran seorang mujtahid dan hasil ijtihadnya.
Umar bin Khattab ialah merupakan seorang khalifah yang kedua dari
kalangan Khulafa’ al-Rosyidin al-Mahdhiyin setelah Abu Bakar al-Shiddiq. Ia
sangat dikenal sebagai sosok khalifah yang tegas, jujur, dan berani.
Keberaniannya tidak hanya beliau nampakkan di medan pertempuran lewta
beberapa aksi ekspansi yang sudah dilakukannya ke berbagai wilayah semisal
Persia, Afrika Syiria, dan beberapa negeri lainnya5. Namun selain dari itu beliau
pun berani melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu permasalahan hukum
yang kerap oleh ulama dianggap bersebrangan dengan konsep yang ada dalam al-
Quran maupun Hadis. Beberapa hasil putusan hukum seperti masalah ghanìmah,
kasus muallaf, jumlah thalak, hukuman pemotongan tangan, dan lain-lain adalah
sederetan contoh dari ijtihad progresif Umar bin Khattab yang pernah
diputuskannya. Keputusan tersebut beliau lakukan disebabkan atas landasan
perubahan kondisi dan situasi masyarakat pada zaman tersebut. Selain hal tersebut
pertimbangan maslahat dan illat yang termuat dalam substansi6
Ijtihad mempunyai dasar dan landasan yang cukup kuat dalam al-Qur’an
maupun Hadis. Di antara ayat al-Qur’an yang menjadikan dasar ijtihad oleh para
ahli usul fiqih ialah firman Allah swt. Dalam surat al- Nisa’ ayat 105, yaitu:

َ‫ك ٱهَّلل ۚ ُ َواَل تَ ُكن لِّ ۡلخَٓائِنِين‬


َ ‫اس بِ َمٓا أَ َر ٰى‬
ِ َّ‫ق لِت َۡح ُك َم بَ ۡينَ ٱلن‬ َ َ‫ك ۡٱل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬ ۡ َ‫إِنَّٓا أ‬
َ ‫نزَلنَٓا إِلَ ۡي‬
١٠٥ ‫ص ٗيما‬ ِ ‫َخ‬
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat,

Pendapat Imam al-Bazdawi (ulam ushul fiqih mazhab Hanafi), Imam al


Satiby dan Imam al-Amidi, ayat ini mempunyai makna pengakuan atas eksistensi
ijtihad lewat qiyas (analogi). Dan dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah berfirman:

5 ّ ‫الجذور التّاريّخيّة لل‬.”


Abdul Karim, “ ‫شريعة اإلسالميّة‬
6
Abdad, “IJTIHAD UMAR IBN AL–KHATTÀB: TELAAH SOSIO–HISTORIS ATAS
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM.”
ۡ َ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوأُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَإِن تَ ٰن‬
ِ ‫زَعتُمۡ فِي َش ۡي ٖء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى ٱهَّلل‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَ ِطيع‬
ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬
ۡ َ
٥٩ ‫ر َوأ ۡح َسنُ تَأ ِوياًل‬ٞ ‫خَي‬ ۡ ‫ك‬ ٰ ٓ ‫أۡل‬ ۡ
َ ِ‫َوٱل َّرسُو ِل إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱليَ ۡو ِم ٱ ِخ ۚ ِر َذل‬

Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.7

Umar bin Khattab adalah seorang shabat Nabi dan merupakan Pemimpin
yang sukses dan seorang mujtahid ulung dan terkenal dengan sikap dan sifatnya
yang tegas terhadap penegakkan keadilan. Umar bin khattab mempunyai firasat
yang amat tajam, ilmunya luas serta cerdas dalam memahami keadaan zaman.
Dalam khazanah ilmu Islam, terkhusus dalam sesuatu yang kemudian dikenal
masyhur sebagai `ulumul Qur’an, dikenal dengan adanya sebuah pembahasan
tentang al-muwafaqat umar yaitu mrupakan persetujuan Allah SWT kepadanya
dalam bermacam kasus yang pernah terjadi lalu kemudian ditetapkan menjadi
hukum Islam. Kecocokan pendapat Umar dan ketetapan wahyu Allah menunjukan
bahwa pemikiran hukum Umar bin Khattab sangatlah istimewa. Umar bin Khattab
dan pemahaman terhadap agama secara keseluruhan sudah mendapatkan legalitas
langsung dari sang pemberi syariat, yaitu Allah Swt.8 Karekteristik kejeniusan dan
kemahiran Umar bin Khattab dapat terlihat dengan jelas bila melihat nalar hukum
yang diaplikasikannya. Beliau memahami dengan jelas konteks sosial masyarakat
yang menjadi asbab turunnya wahyu dan keadaan masyarakat pada zamannya
serta memahami tujuan (maqashid) syariat dengan sangat tepat. Inilah yang
menjadikan Umar bin Khattab sebagai sosok sahabat yang mempunyai corak
pemahaman nalar hukum tersendiri, ia mempunyai keistimewaan didalam luasnya
cakrawala imu pengetahuan serta keberaniannya dalam memperluas wilayah kerja
akal (ra’yu). Indikasinya adalah Umar bin Khattab tidak cukup melakukan ijtihad
terhadap masalah yang tidak mmeempunyai ketetapan nash, akan tetapi ia juga
berusaha dan mencurahkan pemikiranya untuk mengidentifikasi tentang
7
Kementrian Agama RI, Al-Qur`an Dan Terjemahnya.
8
SOPYAN, TARIKH TSYRI`.
kemaslahatan yang menjadi tujuan dan motivasi ketetapan Syariat, lalu
menjadikan kemaslahatan tersebut terindentifikasi sebagai pedoman untuk
menetapkan hukum, yang kemudian mensinergikan antara memegang erat tashri’
dan usaha untuk menuju sebuah kemaslahatan9

RIWAYAT HIDUP UMAR BIN KHATTAB


Nama beliau adalah Umar bin Al Khattab bin Naufil bin Abd Al-‘Uzza bin
Rabbah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adiy bin Ka’ab bin Luay’ bin
Ghalib Al-Quraisy Al-Adawi. Nasab Umar bertemu dengan Rasulullah Saw pada
Ka’ab bin Luay bin Ghalib. Umar bin Khattab lahir pada tahun 13 pasca tahun
gajah. Warna kulit Umar putih kemerah-merahan, wajahnya tampan, tangan dan
kakinya berotot, posur tubuhnya tinggi besar seolah-olah Umar sedang
mengendarai kendaraan karena terlalu tinggi, tubuhnya kuat dan tidak lemah.
Umar suka menyemir rambut dan jenggotnya dengan bahan pewarna al-hinna.10
Umar ikut memelihara ternak ayahnya dan berdagang hingga ke syiria. Ia juga
dipercaya oleh suku Quraisy untuk berunding dengan suku-suku lain apabila ada
masalah. Semasa anak-anak Umar bin Khattab dibesarkan seperti layaknya anak-
anak Quraisy, yang membedakannya dengan anak lain, Umar bin Khattab sempat
belajar baca tulis, jarang sekali terjadi di kalangan Quraisy. Semuan suku Quraisy
ketika Nabi Muhammad Saw diutus hanya 17 (tujuh belas) orang yang pandai
baca tulis. Orang Arab masa itu tidak menganggap pandai baca tulis sebagai
keistimewaan, mereka malah menghindarinya dan menghindarkan anak-anak dari
belajar.11
Jika dirunut, garis keturunan Umar bin Khattab bertemu dengan Nabi
dalam leluhur kakek Nabi generasi ke delapan yang bertemu pada moyang mereka
yang bernama Ka’ab. Berdasarkan garis nasab di atas, jelas bahwa Umar bin
Khattab memiliki garis keturunan yang terhormat di kalangan Quraisy. Oleh
karena itu, wajar jika kemudian kelak beliau “Umar bin Khatthab” menjadi orang

9
Rachman, “PEMIKIRAN FIKIH UMAR DALAM PERSPEKTIF HUMANISME MODERN.”
10
Ash-Shallabi, “Biografi Umar Bin Al Khattab, Diterjemahkan : Khoirul Amru Harahap Dan
Akhmad.”
11
“SKRIPSI RIKA RATNASARI NPM. 13106276.Pdf.”
yang terpandang dan berpengaruh dalam masyarakatnya. Ia juga dikenal karena
fisiknya yang kuat dimana perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot
yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat, berkumis tebal,
rambut terurai dari kedua sisi kepalanya. Ketangguhan fisiknya menghantarkan ia
menjadi juara gulat di kota Makkah. Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang
yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Makkah. Sebagaimana tradisi
yang dijalankan oleh kaum jahiliyah Makkah saat itu, Umar juga mengubur
putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari pelaksanaan adat Makkah yang masih
barbar. Keluarga Umar mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar yang
keturunannya berasal dari suku Quraisy. Oleh karena itu kebesaran Umar bin
Khatthab pada hakekatnya mewarisi keturunannya. Umar bin Khatthab, sebelum
memeluk Islam merupakan orang yang sangat benci dengan ajaran yang dibawa
Nabi Muhammmad. Namun di antara keluarganya ada yang simpati bahkan sudah
memeluk ajaran Islam, seperti Sa’ad bin Zaid yang merupakan saudara ipar Umar
yang menikahi adik kandungnya Fatimah bin Khatthab, yang juga memeluk
Islam. Nu’am bin Abdullah, juga merupakan salah seorang anggota keluarga
Umar yang cukup kharismatik telah menyatakan keislamannya. Kondisi demikian
membuat Umar bin Khatthab sangat marah dan merasa geram dengan anggota
keluarganya yang telah meninggalkan ajaran nenek moyang mereka.12
Tentang pengetahuan ‘Umar dalam ilmu agama dan sosial, Mahmoud al-
Akkad menjelaskan bahwa ‘Umar adalah seorang laki-laki yang cukup terpandang
memiliki pengetahuan pada zamannya. ‘Umar adalah seorang sastrawan,
sejarawan, dan ahli fiqh, terlatih dalam gerak badan dan memiliki kemampuan
dalam pidato dan berorasi. Oleh Sebab itu, ‘Umar merupakan seorang yang
istimewa dalam hal pengetahuan yang dimilikinya Muhammad ‘Alī al-Sāys
mengatakan bahwa ‘Umar adalah orang yang paling terampil dan berani diantara
para sahabat Rasūluḷah dalam menggunakan pikiran (berijtihad) dan orang yang
paling luas pandangannya. Hal ini karena ia diberi daya pandang dan akal yang
luar biasa. Lebih lanjut, al-Sāys menganggap ‘Umar sebagai filosof hukum Islam.
Hal ini dikarenakan ‘Umar tidak selalu berhenti pada zahir naṣ, namun beliau juga

12
Fahlefi, “KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTHAB.”
mendalami jiwanya, kemudian dilaksanakan ketentuan hukum sesuai dengan jiwa
yang mendasarinya13
Di masa kekhalifahannya, ‘Umar tidak hanya berhasil melakukan
perluasan daerah kekuasaan Islam, namun juga mampu menjalankan
pemerintahan yang teratur, melalui kecerdasannya. ‘Umar terkenal dalam
menyumbangkan pemikiran yang cemerlang dalam perkembangan hukum Islam.
Pemikiran-pemikiran ‘Umar tertuang dalam ijtihadnya2 terhadap berbagai
permasalahan yang muncul. Ia memiliki kemampuan untuk tetap memegang teguh
tashrī’ ketika situasi menginginkan terwujudnya sebuah kemaslahatan.
Kemampuan untuk mensinergikan tashrī’ dan maslahat ini menjadi keunggulan
tersendiri dari ijtihad ‘Umar.14

LANDASAN IJTIHAD
Sebenarnya ikhtilaf sudah ada sejak masa sahabat. Sebab antara lain adalah
karena perbedaan pemahaman diantara mereka dan perbedaan nash (sunah) yang
datang kepada mereka. Selain itu pula karena pemahaman mereka tentang
masalah hadits berbeda pandangan tentang asas penetapan atau pemutusan
hukum serta perbedaan tempat. Tatkala agama islam sudah merebak ke seleuh
penjuru negeri, banyak dari sahabat Nabi SAW yang telah berpindah tempat dan
berpencar ke berbagai nagara baru tersebut. Dengan demikian, memiliki
kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dan bermusyawarah untuk
memecahkan dan menemukan sesuatu masalah yang sukar dilaksanakan. sesuai
dengan pendapat itu, Qasim ‘Abd al-‘Aziz Khamisi memeberi penjelasan bahwa
faktor yang menjadi peneyebabab adanya ikhtilaf di kalangan para sahabat
setidaknya ada tiga poin yakni:
1. “ikhtilaf para sahabat tentang pemahaman atas nash-nash dalam al-Qur`an
2. ikhtilaf para sahabat yang disebabkan karena perbedaan riwayat
3. ikhtilaf para sahabat yang disebabkan karena perbedaan rakyu.15

13
Abbas Mahmoud, “Kecemerlangan Khalifah ‘Umar Bin Khathab, Terj. Bustani A. Gani Dan
Zainal Abidin Ahmad.”
14
Muhammad Baltaji, “Metodologi Ijtihad Umar BinKhattab.”
15
Ali Hasan, “Perbandingan Madzhab Fikih.”
Umar bin khattab sendiri adalah sahabat yang mempunyai kualitas
keilmuan sangat baik. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, pendapat ‘Umar bin
Khattab sering dibenarkan langsung Allah SWT lewat firman-Nya. Contohnya
tatkala orang munafik bernama ‘Ubay ibn Salūl meninggal dunia, Rasulullah
SAW hendak menyalatkan jenazahnya, ‘Umar bin khattab pun berdiri dan
kemudian menyatakan pandangannya tentang ketidak layakan untuk menyalatkan
atas jenazah orang-orang munafik yang jelas-jelas adalah musuh Allah SWT.
Maka ketika itu pula turun wahyu untuk membenarkan apa yang telah
disampaikan oleh ‘Umar bin khattab 16.
Kendati demikian, ijtihad ‘Umar dalam menjalankan syariat Islam dimulai
setelah Rasulullah SAW wafat. Secara teoritis, konsep ijtihad ala ‘Umar dapat
dilihat dalam pesan yang dikirimkannya kepada hakim –hakim yang diangkatnya
dan ditugaskan di berbagai wilayah. Terdapat dua surat bila dilihat secara
historis dinisbatkan atas ‘Umar, yakni surat yang ditujukan kepada Shurayḥ yang
menjadi hakim di wilayah Kuffah dan Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi hakim
di wilayah Bashrah. Dari dua surat diatas menggambarkan buah pemikiran dari
‘Umar bin khattab dalam berijtihad tentang sebuah permasalahan. Di sisi lain
‘Umar tetap berpendirian kokoh terhadap naṣh yang ada, akan tetapi di sisi yang
berbeda, umar juga tetap menjadikan mashlahat sebagai pertimbangan yang
penting dalam ijtihadnya.17
Ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar bin khattab juga sering dipersamakan
dengan kontekstualitasnya terhadap pemahaman naṣh, bahkan ijtihad yang
dilakukan ‘Umar bin khattab sering dianggap bersebrangan dengan naṣh itu
sendiri. Contoh kecil permasalahan tentang penghapusan hukuman potong tangan
(hadd) bagi pencuri dengan mempertimbangkan keadaan kelaparan dan keadaan
keterpaksaan. Hal ini dianggap bertolak belakang dengan al-Qur’an dalam surat
al-Maidah ayat 38. Ijtihad yang bertujuan kepada mashlahat dan pemahaman non
tekstual terhadap naṣ hal ini membuat banyak pengkajian yang menarik terhadap
methode ijtihad ‘Umar bin khattab tersebut.
Fahmi Jawwas, “Posisi Naṣ Dalam Ijtihad ‘Umar Ibn Khaṭṭāb.”
16

17
Fitra, “IJTIHAD ‘UMAR IBN AL-KHAṬṬĀB DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PROGRESIF.”
IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB DALAM PEMBENTUKAN HUKUM
ISLAM
Dalam perjalanan sejarah Islam, Umar Ibn al-Khattàb terkenal sebagai
tokoh pemikir ulung yang cerdas, dan pemberani. Saat menjabat khalifah ke II
masa al-khulafà’ al-Ràsyidûn, beliau sudah banyak mengeluarkan ide-ide yang
kreatif. Sangat sering dari pemikiran dan ide-ide tersebut secara tekstual Nampak
berbeda, bahkan 'bertolak belakang' dengan ketentuan umum yang sudah mapan
dan diterima dengan baik di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, pemikiran yang
Nampak berbeda ini kerap menimbulkan pro dan juga kontra di antara para
sahabat serta cendekiawan muslim kala itu. ada di antara mereka yang bisa
memahami dan menyetujui pemikiran dari Umar, tetapi ada juga sebagian lain
sukar menerima dan bahkan menolak keras hasil pemikirannya. Mereka yang jelas
menolak, menganggap Umar bin khattab keluar dari garis hidup beragama
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi saw.
Pada masanya juga, perluasan wilayah negara Islam dipenuh dengan
keberhasilan serta kegemilangan di berbagai wilayah. Itulah peneyebab dimana-
mana banyak terjadu suatu perubahan kebijakan yang diakibatkan timbulnya
beberapa kepentingan baru dan perubahan adat-adat kebiasaan lama. Oleh karena
tidak heran bila beberapa perubahan diatas akan berakibat juga terhadap
perubahan fatawa dan hukum dari yang sebelumnya sudah berjalan sejak zaman
Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq. Bukan pula hanya itu,
perubahan atas penafsiran dengan cara kontekstual pada zamannya sering terjadi
seakan sudah keluar dari teks aslinya. Beberapa perubahan dari hasil ijtihad beliau
tersebut adalah yang berkaitan dengan berbagai persoalan berikut:
1. Ghanimah
Didalam al-Qur`an18 masalah ghanìmah atau harta hasil rampasan
perang sudah diatur secara jelas. Secara tekstual dalam ayat tersebut
dinyatakan bahwa pembagian terhadap harta hasil rampasan perang yaitu
dibagi atas dasar ketentuan menurut al-Qur`an dengan istilah khumusahu
yang artinya seperlima. Seperlima itu cocok dengan makna teksnya untuk
memenuhi keperluan amal sosial dan ibadah. Sedangkan seluruh sisanya
diporsikan untuk pasukan perang yaitu mereka yang berhasil mendapatkan
harta rampasan tersebut seperti pernah dilakukan oleh Nabi SAW,
termasuk juga cara ini diikuti hingga masa Abu Bakar al–Shiddiq ra.
Tatkala khalifah berganti kepada Umar, penafsiran ayat di atas
mengalami perubahan yang begitu drastis, ditambah lagi setelah
ditaklukannya kota Iraq. Pandanganya tentang ghanimah ini dilandasi atas
paradigma pemikiran, bahwasanya kemaslahatan umat adalah prioritas
utam ketimbang kemaslahatan individu. Pandangan ini, dipandang kuat
oleh beliau untuk dijadikan sebagi hujjah dalam mereformulasi dan
merumuskan praktik pembagian ghanimah atau harta rampasan seperti
yang telah dilakukan sebelumnya oleh baginda Nabi dan Abu Bakar as-
Sidiq. Sehingga cara yang dilakukan selanjutnya, oleh Umar ghanimah
tersebut diberikan kembali kepada masyarakat yang berhak memilikinya,
disanalah kemudian dipungut pajak atau upeti tertentu yang kemudian
disebut dengan kharaj dan dimasukkan ke dalam keuangan negara untuk
kepentingan umat.19
Bila kita mencermati kasus ini secara jauh, proses adanya
perubahan penafsiran tekstual yang dilakukan Umar bin khattab di atas,

18

‫ٓا‬°°‫يل إِن ُكنتُمۡ َءا َمنتُم ِبٱهَّلل ِ َو َم‬ ِ ‫ ِك‬°‫ربَ ٰى َو ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى َو ۡٱل َم ٰ َس‬°ۡ °ُ‫ ِذي ۡٱلق‬°‫ول َو ِل‬
َّ ‫ين َو ۡٱب ِن‬
ِ ‫ ِب‬°‫ٱلس‬ ُ ‫ ۥهُ َو ِللر‬°‫أَنَّ هَّلِل ِ ُخ ُم َس‬°°َ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ َما َغ ِنمۡ تُم ِّمن ش َۡي ٖء ف‬
ِ °‫َّس‬ ۡ ‫۞و‬
َ
َ ُ َ
٤١ ‫ان َوٱ ُ َعل ٰى كلِّ ش َۡي ٖء ق ِدي ٌر‬ ‫هَّلل‬ ۗ ۡ َ ۡ
ِ ‫ان يَ ۡو َم ٱلتَقى ٱل َجمۡ َع‬ ِ ‫أَنزَ ۡلنَا َعل ٰى عَب ِدنَا يَ ۡو َم ٱلفرق‬
َ ۡ ُ ۡ ۡ َ
41. Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.

19
Abdullah, “Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam.”
banyak disebabkan oleh kondisi dan situasi perang kala itu, baik secara
materi maupun non materi. Secara materi, agama Islam kala itu sudah
mengalami kemenangan dan kejayaan, oleh karenanya secara psikis beliau
ingin menampakan bahwa agama Islam adalah agama yang penuh moral
dan sosial. Sementara praktik ghanimah yang terjadi zaman Rasulullah
SAW dan Abu Bakar as-Sidiq bukanlah demikian, hal ini banyak
disandarkan atas pertimbangan kondisi agama Islam saat itu, yakni
keadaan yang belum kuat kemudian disusul lagi dengan keadaan jumlah
pasukannya yang begitu minim.20
2. Talak
Di era Rasulullah SAW dan sahabat Abu Bakar as-Shidiq, bila
seorang pria menjatuhkan talak untuk isterinya di suatu majelis, maka
talak semacam ini dianggap telah jatuh sekali talak atau disebut dengan
istilah talak raj’ì. Beginilah ketentuan sesuai sunnah dan kesepakatan
sahabat setelah itu. Meskipun ketentuan yang ada di masa Nabi SAW dan
sahabat demikian, di zaman Umar saat menjabat menjadi khalifah ke–II
pernah memberikan perintah agar talak seperti itu dianggap sebagai talak
bà’in, mengingat tradisi seperti itu dalam masyarakat Arab telah dijadikan
sebagai sebuah adat. Maksud dibalik perintah Umar tersebut tiada lain
ialah sebagai hukuman atas mereka yang dengan mudah mempermainkan
hukum selain itu juga untuk mencegah adat-adat yang terkutuk itu. Maka
dengan demikian, kehati-hatian masyarakat untuk mengucapkan talak
sekaligus 3 dapat dimaknai. Apalagi mengingat betapa beratnya akibat
daripada talak tersebut yang amat besar, sebagaimana Allah telah nyatakan
melalui firmanya dalam al-Quran21.
20
Abdad, “Ijtihad Umar Ibn Al–Khattàb: Telaah Sosio–Historis Atas Pemikiran Hukum Islam.”
21

‫ دُو ُد‬°ُ‫اج َعٓا ِإن ظَنَّٓا أَن يُ ِقي َما ُحدُو َد ٱهَّلل ۗ ِ َو ِت ۡلكَ ح‬
َ ‫َاح َعلَ ۡي ِه َمٓا أَن يَت ََر‬
َ ‫زَوجً ا غ َۡي َر ۗهۥُ فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬
ۡ ‫فَإِن طَلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَ ۥهُ ِم ۢن بَ ۡع ُد َحتَّ ٰى تَن ِك َح‬
٢٣٠ َ‫ ِلقَ ۡو ٖم يَ ۡعلَ ُمون‬°‫ٱهَّلل ِ يُبَيِّنُهَا‬
230. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
3. Potong Tangan
Pidana yang diancamkan atas pencurian menurut padangan hukum
Islam adalah hàd (potong tangan). Pandangan ini berdasarkan atas dalil al-
Quran pada surat al-Maidah: 38
ٰ ۡ
ِ ‫ا أَ ۡي ِديَهُ َما َجزَ ٓا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َكاٗل ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ ع‬°ْ‫َّارقَةُ فَٱقطَع ُٓو‬
٣٨ ‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
Terjemahnya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
Selain dalam al-Quran, didasarkan pula atas dalil Sunnah ucapan
(qawliy), maupun perbuatan (fi`li) yang pernah diperbuat oleh nabi SAW.
Namun, Umar Ibn Khattàb suatu ketika pernah meniadakan hukuman
seperti itu pada tahun terjadinya masa paceklik kelaparan. Argumentasi
lain menyebutkan bahwa pidana tersebut ditiadakan karena pencurian yang
dilakukan oleh oknum masyarakat yang terhimpit dan kesusahan mencari
makan. Ini dikandung maksud dalam menentukan sebuah sanksi pidana,
Umar bin khattab selalu melihat kedepan atas setiap persoalan yang
menjadi penyebabnya atau yang melatar belakinginya. Hal ini juga berarti
menjadi dasar atas alasan kedaruratan, alasan kepentingan serta yang
terpenting alasan menghidupi jiwa manusia.22
4. Hukum pezina
Terkait dengan pidana bagi seorang pezina yang masih perawan
atau belum melakukan perkawinan yang sah, maka Nabi SAW dan
kemudian disetujui oleh para ulama’ adalah hukumannnya dicambuk
seratus kali dan diasingkan ke luar dari kampungnya. Pengasingan ke luar
daerah ini adalah tambahan dari Nabi SAW yang dicocokkan atas hukum
Allah SWT pada surat al–Nur (24) ayat 2. Ketentuan pidana menjadi
ketetapan atas dasar Sunnah masyhur.23

22
Suheli, “Ijtihad.”
‫ين ٱهَّلل ِ إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۖ ِر َو ۡليَ ۡشهَ ۡد‬ ۡ ۡ
ِ ‫ة فِي ِد‬ٞ َ‫ُوا ُك َّل ٰ َو ِح ٖد ِّم ۡنهُ َما ِماْئَةَ َج ۡلد ٖ َۖة َواَل تَأ ُخ ۡذ ُكم بِ ِه َما َرأف‬
ْ ‫ٱجلِد‬ ۡ َ‫ ٱل َّزانِيَةُ َوٱل َّزانِي ف‬23
٢ ‫ين‬ °َ ِ‫ة ِّمنَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬ٞ َ‫َع َذابَهُ َما طَٓائِف‬
Umar berpendapat bahwasanya pada zamannya ia pernah
mengasingkan seseorang yang bernama Ruba’iah binti Umayyah bin
Khallaf yang setelah itu pergi ke Romawi, tetapi belajar dari
pengalamannya ini, menurutnya tak ada kebaikan mengenai alasan
pengasingan ke luar negri tersebut. Bahkan paling dikhawatirkan bila
orang yang diasingkan tersebut akan berkumpul menjadi musuh kaum
muslimin. Maka beliau berkata:”Saya tak akan mengusir lagi seorang pun
setelah dia”. Dari pernyataan terakhir ini, bisa disimpulkan yaitu
berubahnya penafsiran pidana Islam di atas, disebabkan oleh
keprihatinanya pada keadaan negara kala saat itu. Atau dengan ibarat lain
keadaan kemanan dan politik masyarakat turut mempengaruhi terhadap
munculnya penggalain pencarian hukum Islam.24
5. Muallaf
Dalam masalah tentang mu’allaf ini, al-Quran telah
menuliskannya. Istilah mu’allaf dihubungkan dengan sedekah. Maksudnya
istilah al–mu’allafatu qulubuhum yaitu orang yang dari Nabi diberi porsi
sedekah dengan tujuan untuk menjinakkan dan menarik hatinya terhadap
Islam. Selain dari pada itu juga disebabkan imannya masih lemah atau
agar tujuan menghilangkan keinginan buruk mereka yang masih
tersimpan. Walaupun keterangan dalam al-Quran demikian nampak
menyangkut masalah mu’allaf ini, akan tetapi Umar bin khattab ketika ia
menduduki jabatan khalifah dengan segala upaya dapat memetik pesan
tekstual yang berbeda dengan yang dimaksud oleh Nabi SAW25.
Pandangan Umar bin khattab tentang mua’allaf ini ialah mereka yang
statusnya dimenangkan dan posisinya ditinggikan oleh Allah SWT
disebabkan keislamannya. Dalam rentan masa yang bersamaan menurut
24

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Yusuf and Wekke, “Menelusuri Historisitas Pembentukan Hukum Islam:”
25
Fikri, “Urgensi Memahami Tarikh Tasyri’ Periode Rasulallah Untuk Memperkuat Pemahaman
Tentang Hukum Islam.”
Umar mereka tidak harus berhadapan dengan hunusan pedang Umar ibn
Khattàb. Dalam kecerdikan pemikiran Umar, siapa saja yang beretekad
inigin memeluk Islam, maka disilahkan berimanlah dan barang siapa yang
berkeinginan untuk kufur, maka silahkanlah kufurlah. Logika Umar
tersebut, nampaknya cukup dan dapat diterima oleh akal sehat, sebab
ketentuan tekstual dalam ayat tersebut memang didasarkan terhadap
keadaan dan kondisi darurat, dalam rangka memperluas dakwah Islamiyah
serta berusaha untuk meraih kemenangan agama Islam, namun tatkala
keadaan Islam telah menjadi kuat, maka hal tersebut diatas sudah kurang
relevan atau tidak cocok lagi. Oleh sebab itu Umar Ibn Khattàb sudah
menghapus nàsh tersebut, sebab berdasarkan alasan kondisi dan realitas
umat yang telah mejadi kuat pada waktu itu.26

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
ijtihad Umar tentang hukum Islam dalam berbagai kasus adalah beliau
mendasarkan pada pemahaman dan penangkapan yang terpadu, integral, dan juga
otentik demi terwujudnya kemashlahatan umat, yang merupakan bagian terpenting
dari tujuan disyari`atkannya hukum Islam. Umar bin Khattab menjalankan
kebijakan-kebijakan hukum Islam dengan sangat memperhatikan perubahan
kondisi sosial yang tengah berkembang begitu cepat. walaupun yang
dilakukannya seakan bertolak belakang dengan ketetapan wahyu, akan tetapi
sebenarnya beliau dapat disebut mampu mencermati prinsip umum (al–ushul al-
kulliyàt) dalam al-Quran.
Pemikiran Umar bin khattab melalui ijtihadyang dilakukannya, tidak saja
diterima dan diaplikasikan secara menyeluruh oleh umat Islam pada masa itu,
akan tetapi telah memberikan suatu alternatif yang baru dalam kesanggupannya
menafsirkan al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah saw, dan kemudian ternyata sudah
sangat memberikan konstribusi dan cukup signifikan bagi kemajuan hukum Islam
pada era sesudahnya.

26
Fahmi Jawwas, “Posisi Naṣ Dalam Ijtihad ‘Umar Ibn Khaṭṭāb.”
Ketika zaman sahabat, konstribusi ini dapat kita lihat dengan diterima dan
dijalankannya praktek ijtihad Umar bin khattab oleh banyak sahabat. Di masa
Tabi’in, konstribusi itu terlihat dengan munculnya ahl al-Ra’yu. Ketika masa
imam-imam mazhab, dikembangkannya model pemikiran berdasarkan atas
realitas sosial yang tengah berkembang, kecuali imam Ahmad Ibn Hanbal. Dari
hal ini dapat difahami bahwa munculnya pemikiran pada zaman tertentu tersebut
ialah akibat dari pengaruh pemikiran Umar Ibn al–Khattàb yang didasarkan atas
sosio–kultural dan kondisi masyarakat.
Maka dengan begitu, hukum Islam kaitannya terhadap konteks kesejarahan
hingga masa kini, tidak pernah menunjukkan sifatnya yang jumud. Dengan istilah
lain, tatkala manusia mengalami yang namanya perubahan dan perkembangan
dalam tatanan sosial masyarakat, maka ketika itu pula terdapat kemudahan untuk
mengaplikasikan hukum tersebut. Maka tidak perlu diherankan bila dalam kaidah
fiqhiyah tidak sedikit yang saling bersinggungan terhadap argumentasi di atas.
Sebagai contoh misalnya, al–hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ’adaman
(hukum itu senantiasa mengikuti ada atau tidak adanya suatu illat). Al–Dharurat
tubìhu al-mahzhurat (kepentingan itu membolehkan sesuatu yang dilarang). Al–
Muhàfazah ’ala al-qadìm al–shalih wa al–akhzu bi al–jadìd al–ashlah ( tetap
memelihara budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik).
Melalui beberapa kaidah ini, nampak jelas bahwa agama Islam selalu senada
dengan prinsip dan tujuan perkembangan serta dinamika masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mahmoud, l-’Akkad. “Kecemerlangan Khalifah ‘Umar Bin Khathab, Terj.
Bustani A. Gani Dan Zainal Abidin Ahmad.” In Kecemerlangan Khalifah
‘Umar Bin Khathab. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Abdad, M Zaidi. “IJTIHAD UMAR IBN AL–KHATTÀB: TELAAH SOSIO–
HISTORIS ATAS PEMIKIRAN HUKUM ISLAM.” Jurnal Hukum Islam
13, no. 1 (2014): 14.
Abdul Karim, Khalil. “1990 ”,‫الجذور التّاريّخيّة لل ّشريعة اإلسالميّة‬th ed. 1. Mesir: Sina li an-
Nasyri, n.d.
Abdullah, Muhammad Husain. “STUDI DASAR-DASAR PEMIKIRAN
ISLAM,” n.d., 213.
Ali Hasan, M. “Perbandingan Madzhab Fikih.” In Perbandingan Mazhab Fiki, 1st
ed. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. “Biografi Umar Bin Al Khattab, Diterjemahkan :
Khoirul Amru Harahap Dan Akhmad.” Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2016.
Fahlefi, Rizal. “KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTHAB” 13 (2014):
13.
Fahmi Jawwas. “Posisi Naṣ Dalam Ijtihad ‘Umar Ibn Khaṭṭāb.” Palu : STAIN
Datokarama Jurnal Studia Islamika vol. 10, nos. 2, ( (2013).
Fikri, Muhammad. “URGENSI MEMAHAMI TARIKH TASYRI’ PERIODE
RASULALLAH UNTUK MEMPERKUAT PEMAHAMAN TENTANG
HUKUM ISLAM,” April 30, 2021.
Fitra, Tasnim Rahman. “IJTIHAD ‘UMAR IBN AL-KHAṬṬĀB DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF.” Al-Ahkam 26, no. 1 (April 14,
2016): 49–64. https://doi.org/10.21580/ahkam.2016.26.1.705.
Kementrian Agama RI. Al-Qur`an Dan Terjemahnya. I. Garut: CV Penerbit J-Art,
2011.
Khallaf, Syaikh Abdul Wahhab. Ijtihad dalam Syariat Islam. Pustaka Al-Kautsar,
2015.
M.H, Ulva Hiliyatur Rosida, S. H., Baiq Ismiati M.E S. E. I. , M. H., Umi
Salamah M.H.I, A. Yuli Tauvani M.H S. H., Asman M.Ag, and Rasdiana
M.H S. H. I. PENGANTAR HUKUM ISLAM DI INDONESIA. EDU
PUBLISHER, 2021.
Muhammad Baltaji. “Metodologi Ijtihad Umar BinKhattab.” Jakarta: Khalifa, n.d.
Rachman, Auliya. “PEMIKIRAN FIKIH UMAR DALAM PERSPEKTIF
HUMANISME MODERN.” Borneo Journal of Islamic Education 1, no. 1
(March 23, 2021): 93–103.
Safe’i, Abdulah. “REDEFINISI IJTIHAD DAN TAQLID: Upaya Reaktualisasi
dan Revitalisasi Perspektif Sosio-Historis.” ADLIYA: Jurnal Hukum dan
Kemanusiaan 11, no. 1 (June 13, 2019): 25–40.
https://doi.org/10.15575/adliya.v11i1.4850.
“SKRIPSI RIKA RATNASARI NPM. 13106276.Pdf.” Accessed June 28, 2021.
https://repository.metrouniv.ac.id/id/eprint/1034/1/SKRIPSI%20RIKA
%20RATNASARI%20NPM.%2013106276.pdf#page=31.
SOPYAN, YAYAN. TARIKH TASYRI` SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM
ISLAM. 1st ed. DEPOK: RAJAWALI PERS, 2018.
Suheli, Ahmad. “Ijtihad.” OSF Preprints, February 1, 2021.
https://doi.org/10.31219/osf.io/427b3.
Yusuf, Muhammad, and Ismail Suardi Wekke. “Menelusuri Historisitas
Pembentukan Hukum Islam:” 8, no. 2 (2012): 24.

Anda mungkin juga menyukai