DOSEN PEMBIMBING:
Imam Fikri S.H., M.Ag
Di susun oleh:
Revy Maria Pratiwi (2221132005)
2023/2024
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya.Makalah dengan judul islam sebagai sumber
ajaran, dapat diselesaikan tepat waktu. Adapun maksud makalah ini kami susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama islam.
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dari sumber sumber
yang akurat, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu,kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik
dari segi bahasa maupun susunan kalimatnya . Dengan terbuka tangan kami akan
menerima saran dan kritik dari berbagai pihak sebagai bahan perbaikan dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dan materi yang
kami sampaikan dapat diterima.
Kelompok 4
Daftar isi
BAB I
Pendahuluan
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber – sumber ajaran Agama Islam?
2. Apa ciri – ciri dan kelebihan dari Al – Qur’an?
3. Apa fungsi Al – Qur’an?
4. Apa saja isi kandungan yang terdalam Al – Qur’an?
5. Apa fungsi Al – Sunnah?
6. Apa saja bagian – bagian dari Al – Sunnah?
7. Apa hubungan Al – Qur’an dan Al – Sunnah?
8. Apa yang membedakan antara Al – Qur’an dengan Al – Sunnah?
9. Apa itu ijtihad
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memamparkan dan menjelaskan sumber-sumber ajaran islam
2. Sebagai penambah pengetahuan dan wawasan akan sumber – sumber ajaran
Agama Islam
BAB II
Pembahasan
Sumber Ajaran Islam
Sumber Ajaran Islam, sumber ajaran Islam adalah sumber nilai dan norma-norma
yang terkandung didalam agama Islam, bukan hanya “sumber hukum dalam Islam” saja.
Hukum hanyalah sebuah sebagian dari norma-norma atau kaidah-kaidah yang terkandung
didalam agama Islam selain kaidah yang lainnya seperti norma sosial dan masyarakat. Agama
Islam pun juga mengandung nilai-nilai asasi (fundamental values), seperti akidah dan
tasawuf.
Sumber nilai dan norma yang terkandung di dalam agama Islam ada dua, yakni
sumber yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di samping dari kedua hal tersebut, ada
pula sumber tambahan, yaitu Ijtihad. Ijtihad adalah sebuah usaha yang bersungguh-sungguh
yang sebenarnya usaha ini bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari
ilmu yang tidak dibahas didalam Al-Qur’an maupun Hadits dengan menggunakan akal yang
sehat dan pertimbangan yang matang. Sumber nilai dan norma yang terkandung didalam
Islam tersebut dapat kita pahami dari firman Allah Subhanahu wata'ala. dalam QS. An-Nisa’
(4) ayat 59 berikut.
ٓ
ك ْم َفا ِْن ُ اطیْعوُ ا ال َّ رس ُْو ْ َل َواوُ لِىْ ااْل َ َ ْم ِم ْن َْ یْٰ ایَُّ َھا ا َّل ِذی ْ َْن ٰا َم ُْْٓنوا ا َِطیْعوُ ا
َِ ﷲ َو
ت َنا َ َزعْ ت ُْْم
ِْر
ِنو ْ َن باِ¾ ِْ َو ْال َی ْو ِ ْم ااْٰل ِخ ِْر ُْ ﷲ َوال َّ رس ُْو ِ ْل ا ِْن ُك ْنت ُْْم تُْؤ م
ِْ دوهُْ ِا َلى ْ ُّ فر َُ ف ِْي َشيْ ْء
ك َ ْ ِٰذل
ْْ ْ
٩٥ْ-ْ واح َس ْ ُنتَأ ْ ِو ْیاًل
َْ َّ َخیْ ْر
Artinya:” Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Dari lampiran ayat tersebut, kita mendapatkan bahwa sistematika sumber nilai dan
norma yang berada didalam agama Islam sebagai berikut.
1. Al-Qur’an ialah undang-undang dasar agama Islam yang bersumber dari Allah
Subhanahu wata'ala.
2. As-Sunnah ialah undang-undang agama Islam yang bersumber dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3. Ijtihad ialah peraturan agama Islam atau kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan oleh
muslim yang berilmu.
Sistematika yang sama juga diperoleh dari riwayat Hadits dari Mu’adz bin jabal yang
hendak diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menanggung jabatan
Qadli (hakim) di Yaman. Pada saat itu, terjadi percakapan antara Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan Mu’adz.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ”Bagaimana cara kamu
memecahkan masalah di Yaman ?” Mu’adz pun menjawab: aku akan memutus
dengan kitabullah (Al-Qur’an). Rasul bertanya kembali: ”jika tidak terdapat
(ketentuannya) dalam kitabullah?" Mu’adz menjawab: maka menjawab dengan
Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya kembali: “jika tidak terdapat dalam Sunnah
Rasul?” Mu’adz menjawab: aku akan berijtihad (berusaha keras) dengan pendapatku
dan aku tidak akan berlebihan. Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah merestui utusan Rasulullah untuk sesuatu yang
telah diridhai Allah dan Rasulnya”.
Komposisi-komposisi sumber nilai dan norma yang di atas dapat dikategorikan
menjadi dua jenis, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli adalah dalil yang bersumberkan
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan Dalil aqli adalah pemikiran yang berasal dari akal
manusia atau Ijtihad.
Dan definisi Al-Qur’an secara istilah yang lengkap dikemukakan oleh Khalaf (1980:
46), yaitu
Firman Allah Subhanahu wata'ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril, ke dalam
hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan menggunakan bahasa
Arab, disertai dengan kebenaran dan dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai Rasul, agar dijadikan sebagai petunjuk di samping merupakan
ibadah bagi pembacanya.
Dari definisi yang di atas, ada beberapa hal penting yang dapat kita diambil. Pertama,
Al-Qur’an sebagai hujjah (argumentasi) tentang kerasulan Muhammad. Al-Qu’an juga
berfungsi sebagai mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan melemahkan
argumentasi para penentang kerasulan Muhammad dan kebenaran Islam. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah Subhanahu wata'ala didalam QS. Al-Isra’ (17) ayat 88 berikut.
Qur’an. Allah Subhanahu wata'ala berfiman pada QS. Al-Hijr (15) ayat 9 sebagai berikut. َِّا٩
ْ َّ ناْ َنحْ ْ ُن َن-ْ
ُ زل َناْ ا ِّل ذ ْك ْ َر َواِنَّ ْا َل ْٗھ َل ٰحف
ِظ ْو ْ َن
Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya.
Sejarah mencatat ada du acara yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dalam memelihara Al-Qur’an, yaitu dengan cara melalui “hafalan” dan
melalui “catatan”. Artinya, ketika ada sebuah ayat yang turun, ayat itu langsung “dicatat” oleh
penulis wahyu dan “dihafal” oleh para sahabat, dan pada masa pemerintahan khalifah
pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dikarenakan banyaknya penghafal A-Qur’an yang mati
syahid, atas saran dari Umar bin Khattab, Al-Qur;an yang ditulis pada masa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikumpulkan kembali dalam satu mushaf. Tugas itu pun
diberikan kepada Zaid bin Tsabit. Pada zaman khalifah ketiga, khalifah Utsman bin Affan
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menyatukan Al-Qur’an ke dalam dialek Quraisy dan
diperbanyak untuk dikirim ke berbagai wilaya yang sudha dikuasai Islam dikarenakan hampis
munculnya pertikaian dalam bacaan Al-Qur’an.
Dalam menyimpulkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai sumber nilai dan
norma termasuk hukum-hukum, muncullah metode-metode penafsiran yang berkembang
sebagai berikut.
1. Metode tafsir tahlili, yang mengkaji Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya,
dalam metode ini ada tujuh corak pendekatan, sebagai berikut.
a. Tafsir bi al-ma’sur
Tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
b. Tafsir bi al-ra’yi
Tafsir ini menafsirkan Al-Qur’an dengan rasio (akal).
c. Tafsir sufi
Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya yang dipengaruhi
oleh mistisme atau tasawuf.
d. Tafsir fiqhi
Penafsiran yang dilakukan oleh para tokoh suatu mazhab fikih untuk dijadikan
dalil atas kebenaran mazhabnya.
e. Tafsir falsafi
Menafsirkan Al-Qur’an menggunakan teori-teori filsafat.
f. Tafsir ‘ilmi
Penafsiran ayat yang terkait dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern.
g. Tafsir adabi ijtima’i
Penafsiran yang mengungkapkan segi balaghah dan kemukjizatan dari Al-
Qur’an.
2. Metode tafsir ijmali, penafsiran yang secara singkat dan global tanpa uraian
panjang lebar sehingga penjelasan dari tafsir ini dapat mudah dipahami.
3. Metode tafsir muqaran, penafsiran yang memilih ayat Al-Qur’an kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama dengan membandingkan penafsirannya
dari segala segi.
4. Metode tafsir maushu’I, yang menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang berbicara
suatu masalah lalu mengkajinya dari berbagai segi hingga masalah yang dibahas
itu terjawab dengan tuntas.
Pada zama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadits pada dasarnya tidak
diperintahkan untuk ditulis, bahkan pernah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam agar tulisan hadits dan Al-Qur’an itu tak bercampur. Tetapi, seletah para sahabat
memahami, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun membiarkannya saja. Pada saat itu,
yang menuliskan hadits masih sangatlah sedikit, dan kumpulan tulisan-tulisan hadits tersebut
dinamakan sebagai shahifah. Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 dari dinasti
bani umayyah timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan (tadwin) hadits.
Dengan demikian, pemeliharaan hadits sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para sahabatnya adalah dengan menggerakkan penghafalan, penulisan, serta
pengumpulan. Dan kemudian ditingkatkan dengan adanya pembukuan (tadwin).
Pembukuan hadits mencapai puncaknya pada fase perawi, usaha ini dipelopori oleh
Ishaq bin Rahawaih dan kemudian disempurnakan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits-
hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun dibagi menjadi beberapa kategori
yang terpenting, yaitu pembagian hadits yang ditinjau dari perawi dan pembagian hadits yang
ditinjau dari kualitas hadits. Pembagian hadits yang ditinjau dari perawi terbagi menjadi dua,
sebagai berikut.
1. Hadits mutawatir
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat mustahil
mereka bermufakat dusta (4-40 perawi hadits).
2. Hadits ahad
Hadits ini pun terbagi menjadi tiga pula sebagai berikut.
a. Hadits masyhur
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih. Tetapi belum mencapai
tingkatan mutawatir.
b. Hadits ‘aziz
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang
c. Hadits gharib
Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi saja
Kemudian pembagian hadits yang ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ini terbagi
menjadi tiga bagian. Yakni shahih, hasan, da’if.
1. Hadits shahih
Hadits yang tingkatnya tertinggi dari penerimaan suatu hadits, hadits shahih ini
juga harus memenuhi beberapa syarat seperti sanadnya harus bersambung,
perawinya bersifat adil dan tidak lupa ingatan (dhabith), tidak ada illat, dan tidak
janggal (syaz).
2. Hadits hasan
Hadits ini hampir sama tingkatannya dengan shahih. Tetapi perbedaannya hanya
ditingkat dhabith dari perawinya. Yang dimana hadits shahih itu tam dhabith atau
sempurna. Sedangkan hadits hasan itu qalil dhabith atau kurang dhabithnya.
3. Hadits dha’if
Hadits ini bahkan tidak menyamai tingkatan hadits hasan.
Al-Qur’an menekankan bahwa fungsi Rasul itu adalah untuk menjelaskan (bayaan)
maksud dari firma Allah Subhanahu wata'ala (QS. An-Nahl(16): 44). Keterangan Al-Qur’an
seringkali bersifat mujmal dan mutlaq. Dan dalam kaitannya Al-Qur’an tersebut, fungsi
Sunnah disini ada dua, yaitu bayaan ta’kiid dan bayaan tafsir. Fungsi pertama Sunnah
hanyalah menguatkan atau menggarisbawahi apa yang terdapat didalam Al-Qur’an.
Sedangkan fungsi yang kedua adalah untuk memperjelas, merinci kembali, bahkan membatasi
lahir dari ayat-ayat tersebut. Tetapi ada persoalan yang masih diperselisihkan, yakni fungsi
ketiga, yaitu bayaan tasyri’ yang menyangkut penetapan hukum menyangkut perkara-perkara
yang tidak disinggungkan didalam Al-Qur’an.
Sangat sulit dibayangkan jika umat Islam tidak mengamalkan ajaran agamanya jika
ketika memahami Al-Qur’an tidak dibenarkan melirik kitab-kitab hadits. Tata cara shalat
fardhu ataupun manasik haji yang didalam Al-Qur’an hanya disebut secara mujmal. Lalu
setelah itu diperinci lagi dan diperjelas lebih dalam ke praktik ibadah yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang kemudian lazimnya dikenal sebagai
istilah sunnah fi’liyah. Penjelasan tersebut tak hanya tampak di dalam lapangan ibadah
mahdhah, tetapi juga perkara yang berada di bidang muamalah walau hanya menyangkut
perkara-perkara tertentu saja.
Kalau tidak berdalil dengan Sunnah atau hadits dan hanya berpegang pada dalil yang
berada di Al-Qur’an saja, maka akan timbul banyak sekali kericuhan-kericuhan di kalangan
umat muslim. Kebutuhan Al-Qur;an terhadap hadits jauh lebih besar daripada hajat hadits
terhadap Al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, “Hadits tanpa Al-Qur’an dapat diamalkan,
tetapi Al-Qur’an tanpa hadits agak mustahil untuk dapat dipraktikkan”. Itulah sebab Al-
Qur’an dan hadits ditetapkan sebagai dua sumber syariat umat muslim yang saling
ketergantungan.
Munculnya sebuah golongan yang menolak hadits secara keseluruhan biasanya
mereka menggunakan alasan-alasan, ataralain Al-Qur’an telah mencakup dan menyediakan
segala hal yang manusia butuhkan seperti ayat dari QS. An-Nahl(16) ayat 89 yang berbunyi
“… dan kami turunkan kepadamu al-kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” Dan dari QS. Al-
An’am (6) ayat 38 yang berbunyi “tiadalah kami luputkan sesuatu didalam al-kitab…”.
Namun hal tersebut langsung dibantah dengan keras oleh Imam Syafi’I yang menurutnya,
yang dimaksud dengan kalimat Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu adalah
penjelasan secara global dan penjelasan yang lebih lanjut atau rinci ditugaskan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Golongan yang menolak hadits ahad sebagai hujjah karena hadits ahad tingkatannya
zannity al-wurud pada hakikatnya penolakan itu masihlah bersifat sementara sebelum
diadakannya penelitian terhadap hadits tersebut, baik dari segi sanad maupun matan-nya. Dan
setelah diteliti, kualitas hadits ahad tersebut dapat dibedakan mana hadits yang dapat diterima
sebagai hujjah dan mana yang tidak diterima. Dan akhirnya disimpulkan bahwa Al- Qur’an
dan hadits merupakan dua sumber yang saling melengkapi dan integrated, tidak terpisahkan
satu sama lain, bahkan dwitunggal.
D. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa merupakan bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala
dayanya dalam berusaha. Dan secara istilah atau secara terminologi, ijtihad berarti
pengerahan segenap kemampuan oleh mujtahid dalam memutuskan sesuatu perkara yang
tidak dibahas di didalam Al-Qur’an dengan menggunakan pemikiran yang sehat dan
pertimbangan yang matang.
Dan dari definisi tersebut, dapat diambil sebuah tiga kesimpulan sebagai berikut.
1. Sesorang pelaku ijtihad adalah seorang ahli fikih atau hukum islam (faqih).
2. Hal-hal yang ingin dicapai oleh pelaku ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum islam yang
benar-benar berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang dewasa.
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah zany.
Para ulama bersepakat ahwa ijtihad dibenarkan jika dilakukan oleh yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan di medannya, yakni majadul ijtihad. Medan ijtihad meliputi hal-
hal sebagai berikut ini.
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Qur’an
dan Sunnah secara jelas.
2. Nash-nash zany dan dalil-dalil hukum yang masih diperselisihkan.
3. Hukum Islam yang ta’aqquly atau yang kausalitas hukumnya atau illat-nya
diketahui mujtahid.
Ijtihad hanyalah diperbolehkan bagi orang-orang yang telah memenuhi syarata sebagai
seorang mujtahid. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut.
1. Telah menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami Al-Qur’an dan hadits yang
bertuliskan bahasa Arab.
2. Sudah mengetahui isi dan sistem dari hukum Al-Qur’an serta ilmu-ilmu ubtuk
memahami Al-Qur’an.
3. Mengetahui hadits-hadits dan ilmu hadits yang berkenaan dengan pembentukan
hukum.
4. Telah menguasai sumber-sumber hukum islam dan cara menarik garis-garis
hukum dari sumber hukum islam.
5. Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fikih (qawa’id al fiqhiyyah).
6. Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan dari hukum Islam.
7. Menjadi seseorang yang jujur dan ikhlas.
Dalam berijtihad, metode-metode yang disepkati oleh kebanyakan para ulama adalah
ijmak dan qiyas. Ijmak atau consensus/kesepakatan adalah kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat tertentu masa, sedangkan qiyas dari segi bahasa
adalah menyamakan sesuatu dengan hal yang lain. Dan secara istilah berarti menyamakan
hukum suatu hal yang tidak disebut oleh nash dengan sesuatu yang sudah disebut karena
persamaan illat-nya.
Metode ijtihad yang masih diperselisihkan adalah istihsan atau memandang dan
meyakini baik sesuatu, istishab atau membandingkan sesuatu, al-mashlahahal-musrsalah atau
mencapai kebaikan menolak kerusakan, urf atau kebiasaan mayoritas umat, dan sebagainya.
Disamping istilah ijtihad, ada juga beberapa istilah yang terkait dengan ijtihad, sebagai
berikut ini.
1. Taqlid
Taqlid adalah beramal bedasarkan pendapat orang lain tanpa bedasarkan dalil atau
mengetahui dalil tersebut.
2. Ittiba’
Ittiba’ adalah mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui daililnya.
Menurut beberapa ulama, istilah ini termasuk dikategori Taqlid.
3. Talfiq
Talfiq adalah beramal dalam suatu maslah yang atas berdasarkan hukum yang
terdiri atas gabungan dua mazhab atau lebih. Menurut sebagian ulama, kategori ini
diperbolehkan karena tidak ada nash atau Al-Qur’an dan hadits.
Hanya saja, didalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan, hukum yang berlaku
hanyalah mazhab pemerintah atau pendapat yang diundangan pemerintah melalui perundang-
undangan. Hal ini pun dimaksudkan untuk keseragamaan dan demi menghindari adanya
kesimpangsiuran. Hal ini pun sejalan dengan kaidah-kaidah keputusan oleh pemerintah yang
mengikat atau wajib dipatuhi dan akan menyelesaikan persengketaan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam,
yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber hukum Islam yang pertama yaitu
Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan,
akhlak yang murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam.
Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan
kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan
sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman
pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan
menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama.
Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan
didapatkan ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa
sumber ajaran islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita
melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
Daftar Pustaka
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm
106.
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana, 2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013