Anda di halaman 1dari 23

POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal.

- 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

BAB V
SUMBER HUKUM ISLAM

Pendahuluan

Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ 4:105


ِ ِ‫ِ ِئ‬ ‫ك الْ ِكتَاب بِاحْل ِّق لِتَح ُكم ب الن ِ مِب‬
َ ‫ِإنَّا َأْنَزلْنَا ِإلَْي‬
)105( ‫يما‬ َ ‫َّاس َا ََأر َاك اللَّهُ َواَل تَ ُك ْن ل ْل َخا ن‬
ً ‫ني َخص‬ َ ‫َ َ ْ َ َنْي‬
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau men gadaili antara manusia dengan apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang-
orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat (QS. An-nisa’
4:105)”

Hasil Pembelajaran

Setelah berhasil menyelesaikan tugas dan melengkapi tugas tugas dalam bab ini,
saudara dapat memahami dan mengamalkan sumber-sumber hukum islam yang mana
merupakan pegangan hidup bagi umat islam itu sendiri.

Kriteria Penilaian

Keberhasilan Saudara dalam menguasai bab ini dapat diukur dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Dapat menjelaskan mengenai pengertian hukum Islam
2. Dapat menjelaskan dan memahami sumber apa saja yang dijadikan pegangan hidup
bagi umat Islam
3. Dapat memahami dan memberikan penalaran yang dikaitkan dengan konteks
sekarang.

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

resmi, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut akan di tindak dengan hukuman


tertentu.
Dalam Islam, hukum islam disebut syariat. Kata syari’ah, secara etimologi,
mempunyai banyak arti sesuai dengan ushlub kalimatnya itu sendiri. Seringkali syari’ah
berarti “ketetapan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya”. Kadang-kadang juga berarti
“jalan yang ditempuh oleh manusia atau jalan yang menuju ke air” atau berarti “jelas”.1
Dalam surah al-Jatsiyah ayat 18 disebutkan:

‫اَألم ِرفَاتَّبِ ْع َها َواَل َتتَّبِ ْع َْأه َواءَ الَّ ِذيْ َن اَل َي ْعلَ ُم ْو َن‬ ٍِ
ْ ‫اك َعلَى َش ِر ْي َعة م َن‬
َ َ‫مُثَّ َج َع ْلن‬
“Kemudian Kami jadikan engkau di atas perkara yang di-syari’atkan, maka
ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”

Dari ayat tersebut setidaknya ada tiga tangkai pengertian yang dapat kita petik,
yaitu: (a) syari’ah itu datangnya dari Allah; (b) syari’ah merupakan sesuatu yang harus
diikuti; (c) syari’ah tidaklah memperturutkan keinginan hawa nafsu.
Sementara secara terminologi, kebanyakan ulama’ mengartikan bahwa syari’ah
adalah berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya yang
dibawa oleh orang-orang tertentu yang Ia pilih sebagai utusan-Nya, baik hukum-hukum
tersebut berhubungan dengan tata cara manusia dalam melaksanakan aktivitasnya, yang
pada gilirannya dikenal sebagai hukum fiqh2, maupun berhubungan dengan cara-cara
beri’tikad yang benar, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum I’tiqodiyah. Dalam
definisi lain Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa syari’ah adalah peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh Allah atau pokok-pokok yang digariskan Allah agar manusia
bepegang kepadanya di dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya sesama
manusia, dengan alam semesta serta dalam hubungannya dengan kehidupan.3
Namun demikian, ada satu hal penting yang mesti diperhatikan bahwa para
ulama’ seringkali memberi pengertian yang berbeda dalam memaknai syari’ah. Ada yang
menganggap syari’ah itu sama dengan fiqh, dan ada pula yang menganggap bahwa
1
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Prenada
Media, Jakarta, 2005, hal. 01
2
Tujuan akhir dari ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridloan Allah Swt dengan melaksanakan
syari’ah-Nya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup baik secara individual, hidup berkeluarga, maupun
dalam bermasyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang menjadi ‘puncak destinasi’ dari fiqh adalah adanya
kesesuaian antara tingkah laku manusia dengan idealitas ketuhanan yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah
3
Ibid, hal. 02

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan pada dalil qat’i saja. Bahkan ada yang
menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama. Dengan demikian,
syari’ah bisa diartikan dengan arti luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit.
Syari’ah Islam memiliki ciri khas yang merupakan ketentuan- ketentuan yang
tidak akan pernah berubah. Ciri khas tersebut antara lain:
a. Komprehensif
Syari’ah Islam membentuk umat dalam satu kesatuan yang bulat walaupun umat
Islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Dalam menghadapi asas-asas yang
umum, umat Islam bersatu padu meskipun dalam segi-segi kebudayaan berbeda-beda.
b. Wasathiyah (Moderat)
Syari’ah Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang imbang, tidak terlalu berat ke
kanan dengan mementingkan dimensi ruhaniah, dan tidak pula berat ke kiri dengan
mementingkan dimensi jasmaniah. Inilah yang diistilahkan dengan teori wasathiyah,
yakni menyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita. Hal ini
tergambar di banyak tempat dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surah al-Baqarah
ayat 143 berikut ini:
ً‫الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْيدا‬ ِ ‫ك َج َعْلنَا ُك ْم َُّأمةً َو َسطاً لِتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬
َّ ‫َّاس َويَ ُك ْو َن‬ ِ
َ ‫َو َكذل‬
Artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. 4

c. Harakah (Dinamis)
Syari’ah Islam memiliki kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai
daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Syari’ah Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yaitu Islam yang
memberikan kepada manusia sejumlah hukum positif yang dapat dipergunakan untuk
segenap masa dan tempat.
d. Universal
Syari’ah Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu,
melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang diemban oleh
Rasulullah SAW. Syari’ah Islam diturunkan Allah untuk dijadikan pedoman hidup

4
(Komplek Percetakan al-Qur’an Khadim al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd, al-Qur’an dan
Terjemahnya, Madinah, 1411 H,) hal. 36

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

oleh seluruh umat manusia yang berujuan meraih kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat. Dengan demikian, Syari’ah Islam bersifat universal untuk seluruh umat
manusia di muka bumi serta dapat diberlakukan di setiap bangsa dan negara.
e. Elastis atau Fleksibel
Syari’ah Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan kepada setiap individu.
Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan dan berdosa bagi yang melanggarnya.
Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun dalam keadaan tertentu terdapat
rukhshoh atau keringanan. Hal ini menunjukkan bahwa Syari’ah Islam itu bersifat
elastis, luwes, dan manusiawi.
f. Tidak memberatkan
Syari’ah Islam tidak membebani seseorang sampai melampaui kadar
kemampuannya. Sebab sebagaimana diyakini bahwa manusia adalah makhluk dha’if
(lemah). Maka sebagai agama yang penuh dengan kasih sayang, Islam datang untuk
membebaskan manusia dari segala sesuatu yang memberatkannya. Hal ini ditegaskan
pula dalam al-Qur’an seperti dalam surah al-Baqarah ayat 286 berikut ini:

‫ت‬ ْ َ‫ف اهللُ َن ْفساً ِإالَّ ُو ْس َعهاَ هَل اَ ماَ َك َسب‬


ْ َ‫ت َو َعلَْيهاَ ماَ ا ْكتَ َسب‬ ُ ِّ‫الَيُ َكل‬
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (atas kejahatan) yang dikerjakannya.

Selain itu, dalam surah al-Haj ayat 78 juga ditegaskan:

‫َوماَ َج َع َل َعلَْي ُك ْم ِىف الدِّيْ ِن ِم ْن َحَر ٍج‬


Artinya: … dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ibid, hal. 72 dan 523).
g. Gradual (Berangsur-angsur)
Allah sebagai pembuat hukum adalah Mahabijaksana. Hukum yang diberikan
kepada manusia secara psikologis sesuai dengan fitrahnya. Maka akan sangat sulit
dilaksanakan bila hukum itu datang secara sekaligus. Oleh karena itu, Allah
memberikannya secara bertahap atau berangsur-angsur, tidak sekaligus secara radikal

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

dan revolusioner. Seperti dalam perintah untuk meninggalkan minuman keras, berjudi,
poligami, dan yang lainnya.5
Tujuan Allah dalam mensyari’atkan hukumnya adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan bagi umat manusia dengan memenuhi segala bentuk kebutuhan mereka,
baik yang bersifat dlaruri, haaji, maupun tahsini,6 sekaligus untuk menghindari
kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai
melalui perintah dan larangan (taklif), yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman
sumber hukum yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.

Tujuan Syari’ah Islam perlu diketahui oleh seorang mujtahid (Mujtahid adalah
seseorang yang mengerahkan seluruh kemampuan intelektualnya dengan merenungkan
dalil-dalil syar’i untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syar’i yang terkandung
dalam dalil-dalil tersebut). 7
dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-
kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Lebih dari itu,
tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat
diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial.
Untuk dapat menangkap tujuan hukum yang terdapat dalam sumber hukum, maka
diperlukan sebuah keterampilan ilmu Ushul Fiqh dengan berbagai spktrum kaidah yang
terkandung di dalamnya, yang kemudian dari sini dapat diidentifikasi apa yang disebut
dengan istilah Maqashid al-Syari’ah.
Pencarian para ahli Ushul Fiqh tersebut pada dasarnya bermuara pada upaya
penemuan mashlahah dan menjadikannya sebagai pijakan dalam menetapkan suatu
hukum untuk kasus tertentu yang secara eksplisit tidak disinggung dalam al-Qur’an
maupun al-Sunnah. Mashlahah yang dimaksud dapat terwujud manakala lima pokok
yang biasa disebut dengan Maqashid al-Syari’ah al-Khamsah dapat dilestarikan dan
dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah: memelihara kelestarian agama, jiwa
(hidup), keturunan, intelektualitas (akal), dan harta. Dalam upaya mewujudkan
mashlahah tersebut, para ulama’ fiqh mengklasifikasi tingkatan mashlahah ke dalam tiga
kategori, yaitu:
5
Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M.Si., Studi Agama Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal. 154-157
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushuli al-Fiqh, Daar al-Qalam, Kairo, 1978, hal. 197
7
(Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qawa’id Asasiyah fi Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Malik al-
Fahd al-Wathaniyah, Jeddah, 1419 H) hal. 97

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

a. Dlaruriyyat, yaitu segala hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk menjaga
kelestarian hidupnya, baik dalam ruang lingkup keagamaan maupun keduniaan, yang
kemudian kita kenal dengan istilah kebutuhan primer.
b. Hajiyyat, yaitu segala hal yang dapat digunakan oleh manusia dalam
memenuhi kebutuhan kesehariannya untuk menghindari kesukaran dan kesulitan dalam
hidupnya, yang kemudian kita kenal dengan kebutuhan sekunder.
c. Tahsiniyyat, yaitu beberapa hal yang dibutuhkan manusia dalam rangka meraih
kenyamanan dalam hidupnya namun secara fungsional tidak terlalu vital. Artinya hanya
sekedar kebutuhan tambahan yang seandainya tidak terpenuhi, tidaka akan sampai
merusak kehidupan seseorang. Hal ini kemudian kita kenal dengan kebutuhan tersier.8

B. Sumber Hukum Islam


Dalam definisi fiqh telah dikemukakan bahwa fiqh identik dengan hukum Islam.
Dengan demikian, secera idiil suatu hukum tentu memiliki sumber pijakan yang menjadi
barometer nilai otentisitasnya. Maka dalam hal ini, fiqh sebagai sebuah sistem hukum
memiliki beberapa pijakan yang menjadi sumber dalam proses pembentukannya.
Secara umum, sumber utama fiqh adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun
kemudian para ulama’ membagi sumber fiqh ke dalam beberapa macam, yang mana hal
tersebut diperoleh melalui proses penelaahan mendalam terhadap al-Qur’an dan al-
Sunnah sebagai sumber utamanya. Berikut kami sajikan secara singkat mengenai al-
Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama fiqh, serta beberapa infrastruktur
metodologis yang secara umum dijadikan sebagai sumber pijakan oleh para ulama’ dalam
proses pembentukan fiqh.
1. Al-Qur’an
Firman Allah dalam surat Al-Isra’ :17: 9

‫َأجًرا َكبِ ًريا‬ ِ ‫الصاحِل‬


َّ ‫ات‬ ِ َّ ِ‫ِإ َّن ه َذا الْ ُقرآَ َن يه ِدي لِلَّيِت ِهي َأْقوم ويبشِّر الْم ِمن‬
)9( ْ ‫َأن هَلُ ْم‬ َ َّ ‫ين َي ْع َملُو َن‬
َ ‫ني الذ‬
َ ‫َ َ ُ َ َُ ُ ُ ْؤ‬ َْ ْ َ
Artinya : Sesungguhnya al-Qur'ân memberikan petunjuk kepada manusia
menuju jalan yang paling lurus dan selamat untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki
di dunia. Al-Qur'ân juga memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, yang tunduk kepada kebenaran dan melakukan
perbuatan yang saleh berupa pahala yang besar pada hari kiamat.

a) Arti, isi, dan Sifat Al-Qur’an


8
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Juz II, Dar al-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 35-36

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

Yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan


kepada Nabi Muhammad Saw, tertulis dalam mushhaf berbahasa arab, yang
sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai
ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1) Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada
para Rasulullah, dan kepada hari akhir.
2) Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
akhlak. Yaitu ketentuan yang mengatur tentang bagaimana seseorang harus
melakukan perilaku yang positif dan manjauhi perilaku yang negatif.
3) Hukum-hukum ‘Amaliah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia. Hukum-hukum ‘amaliah ini ada dua macam, yaitu hukum
mengenai ibadah dan hukum mengenai mu’amalah dalam arti luas.

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

b) Kedudukan Al-Qur’an
1) Sebagai sumber hukum yang pertama dan utama
2) Sebagai petunjuk bagi orang beriman
3) Sebagai syifa’ (penawar) dan rahmat
4) Sebagai mukjizat
5) Sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil
Jika dalam penetapan hukum terdapat perbedaan pendapat dan perselisihan
mengenai hukum suatu masalah, jawabnya kembali kepada al-Qur’an dan
Hadist. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ 4: 59
ٍ ِ ِ ‫َأطيعوا اللَّه و‬
ِ ِ َّ
ُ‫اَأْلم ِر مْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف َش ْيء َف ُر ُّدوه‬
ْ ‫ول َوُأويِل‬
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َأطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين آَ َمنُوا‬
َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
ِ ِ
)59( ‫َأح َس ُن تَْأ ِوياًل‬ َ ‫ول ِإ ْن ُكْنتُ ْم تُْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل َ ِخ ِر ذَل‬
ْ ‫ك َخْيٌر َو‬
ِ ‫الرس‬ ِ ‫ِإ‬
ُ َّ ‫ىَل اللَّه َو‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman kepada ajaran yang
dibawa Muhammad, taatilah Allah, rasul-rasul-Nya dan penguasa umat Islam
yang mengurus urusan kalian dengan menegakkan kebenaran, keadilan dan
melaksanakan syariat. Jika terjadi perselisihan di antara kalian,
kembalikanlah kepada al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya agar kalian
mengetahui hukumnya. Karena, Allah telah menurunkan al-Qur'ân kepada
kalian yang telah dijelaskan oleh Rasul-Nya. Di dalamnya terdapat hukum
tentang apa yang kalian perselisihkan. Ini adalah konsekwensi keimanan
kalian kepada Allah dan hari kiamat. Al-Qur'ân itu merupakan kebaikan bagi
kalian, karena, dengan al- Qur'ân itu, kalian dapat berlaku adil dalam
memutuskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Selain itu, akibat
yang akan kalian terima setelah memutuskan perkara dengan al-Qur'ân,
adalah yang terbaik, karena mencegah perselisihan yang menjurus kepada
pertengkaran dan kesesatan.

2. Hadist

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

Hadist diturunkan melalui beberapa generasi alim ulama. Beberapa generasii


yang menyampaikan ajaran Rasulullah tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Sahabat : Orang yang hidup pada jaman Rasulullah, bergaul dengan
Rasulullah, menerima kebenaran dan ajaran beliau.
Tabiin : Orang islam yang hidup setelah zaman Rasulullah, bergaul dengan
para sahabat, dan menerima ajaran rasulullah melalui para sahabat tersebut.
Tabit-tabiin: Orang Islam yang hidup setelah Zaman sahabat, menerima ajaran
Rasulullah melalui tabiin.
a. Arti, Kedudukan, dan fungsi Hadist
Yang dimaksud al-Sunnah di sini adalah berupa Ucapan (Aqwal) yakni
hadist yang di dasarkan atas segenap perkataan dan ucapan nabi, Perbuatan
(Af’al) yakni hadist yang di dasarkan atas segenap prilaku dan perbuatan nabi
muhammad SAW dan ketetapan (Takrir) yakni hadist yang di sandarkan pada
persetujuan nabi atas apa yang dilakukan para sahabatnya.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ 4 :80

)80( ‫ح ِفيظًا‬
َ ‫اك َعلَْي ِه ْم‬
َ َ‫اع اللَّهَ َو َم ْن َت َوىَّل فَ َما َْأر َس ْلن‬
َ َ‫ول َف َق ْد َأط‬ َّ ‫َم ْن يُ ِط ِع‬
َ ‫الر ُس‬
Artinya : Barangsiapa mematuhi rasul berarti telah mematuhi Allah.
Sebab, Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu, kecuali sesuai
dengan perintah dan larangan Allah. Oleh karena itu, orang yang menaati
Rasulullah saw. dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya,
berarti juga menaati Allah. Sedangkan orang yang tidak mematuhimu,
Muhammad, ketahuilah bahwa Kami mengutusmu sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, bukan untuk menguasai dan memelihara amal
perbuatan mereka, yang merupakan tanggung jawab Kami, bukan tanggung
jawabmu.

Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr : 59: 7


ِ ِ‫ول ولِ ِذي الْ ُق رىَب والْيَتَ َامى والْمس اك‬
ِ ِ ِِ ِ ِِ
‫ني َوابْ ِن‬ ََ َ َ ْ َ ‫َم ا َأفَ اءَ اللَّهُ َعلَى َر ُس وله م ْن َْأه ِل الْ ُق َرى فَللَّه َول َّلر ُس‬
‫ول فَ ُخ ُذوهُ َو َم ا َن َه ا ُك ْم َعْن هُ فَا ْنَت ُهوا‬ َّ ‫السبِ ِيل َك ْي اَل يَ ُكو َن ُدولَةً َبنْي َ اَأْل ْغنِيَ ِاء ِمْن ُك ْم َو َم ا آَتَا ُك ُم‬
ُ ‫الر ُس‬ َّ
ِ ‫الْعِ َق‬
)7( ‫اب‬ ُ ‫َو َّات ُقوا اللَّهَ ِإ َّن اللَّهَ َش ِد‬
‫يد‬
Artinya : Harta penduduk kampung yang Allah serahkan kepada Rasul-
Nya tanpa mencepatkan kuda atau unta adalah milik Allah, Rasul-Nya, kerabat

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di jalan Allah). Hal itu
dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya di antara
kalian saja. Hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu harus kalian pegang,
dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan. Hindarkanlah diri
kalian dari murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam siksa-Nya.

b. Fungsi hadist antara Lain:


Secara fungsional, jika dikaitkan dengan al-Qur’an maka al-Sunnah
memiliki tiga peranan penting, yaitu:
1. Sebagai penguat atau penegas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an. Seperti sunnah rasul yang menjelaskan tentang kewajiban shalat,
kewajiban puasa, keharaman membunuh, serta beberapa hukum lain yang
sebenarnya telah dijelaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya Allah melarang manusia berdusta, nabi memperkuat larangan
tersebut dengan sabdanya “dan jauhilah perkatan-perkataan dusta (QS. Al-Hajj
22:30)”

‫ت لَ ُك ُم اَأْلْن َع ُام ِإاَّل َم ا يُْتلَى َعلَْي ُك ْم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


ْ َّ‫ك َو َم ْن يُ َعظِّ ْم ُحُر َم ات اللَّه َف ُه َو َخْي ٌر لَ هُ عْن َد َربِّه َوُأحل‬
َ ‫َذل‬

)30( ُّ ‫اجتَنِبُوا َق ْو َل‬


‫الزو ِر‬ ِ
ْ ‫اَأْلوثَان َو‬
ِ ‫الرج‬
ْ ‫س م َن‬
ِ َ‫ف‬
َ ْ ِّ ‫اجتَنبُوا‬
ْ
Artinya: (30) Barangsiapa mematuhi perintah dan larangan Allah
dalam ibadah haji, maka ia telah melakukan sesuatu yang mendatangkan
kebaikan di dunia dan di akhirat. Allah telah menghalalkan daging unta, sapi
dan kambing kepada kalian, kecuali pada situasi-situasi tertentu seperti
apabila mati tanpa disembelih dan lain sebagainya yang telah disebutkan
dalam al-Qur'ân. Dari itu, hindarkanlah diri kalian dari penyembahan
berhala, karena hal itu merupakan kotoran akal dan jiwa yang tidak pantas
untuk disandang manusia. Hindari juga berkata bohong, baik yang berkenaan
dengan Allah maupun manusia.

Diperkuat dengan “Dan sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan


pada kejahatan, dan kejahatan akan mengiring ke neraka (HR. Bukhori
Muslim)”
2. Sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yang
sifatnya masih umum dan butuh perincian secara konkrit. Seperti sunnah rasul
yang menjelaskan tentang bagaiamana tata cara melaksanakan shalat,

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

ketentuan-ketentuan dalam pembagian harta zakat, serta ketentuan-ketentuan


lain yang dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara terperinci.
Misalnya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (QS. Al-
maidah, 5:3)

ُ‫َّم َوحَلْ ُم اخْلِْن ِزي ِر َو َما ُِأه َّل لِغَرْيِ اللَّ ِه بِ ِه َوالْ ُمْن َخنِ َق ةُ َوالْ َم ْوقُوذَةُ َوالْ ُمَتَر ِّديَة‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةُ َوالد‬
ْ ‫ُحِّر َم‬
‫اَأْلزاَل ِم َذلِ ُك ْم‬
ْ ِ‫ب َوَأ ْن تَ ْسَت ْق ِس ُموا ب‬ ُ ‫الس بُ ُع ِإاَّل َم ا ذَ َّكْيتُ ْم َو َم ا ذُبِ َح َعلَى الن‬
ِ ‫ُّص‬ َّ ‫يح ةُ َو َم ا َأ َك َل‬ ِ
َ ‫َوالنَّط‬
‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬ ِ ِِ ِ ِ َّ ‫فِس ق الْي وم يِئ‬
ُ ‫اخ َش ْون الَْي ْو َم َأ ْك َم ْل‬
ْ ‫ين َك َف ُروا م ْن دين ُك ْم فَاَل خَت ْ َش ْو ُه ْم َو‬
َ ‫س الذ‬َ َ َْ َ ٌ ْ
ٍ‫ف ِإِل مْث‬ َ ُ َ َ َ ْ ‫يت لَ ُك ُم اِإْل ْس اَل َم ِدينً ا فَ َم ِن‬
ٍ ِ‫اض طَُّر يِف خَمْمص ٍة َغْي ر متَج ان‬ ِ ِ
ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َميِت َو َرض‬
ُ ‫َوَأمْتَ ْم‬

‫يم‬ ِ ‫فَِإ َّن اللَّه َغ ُف‬


)3( ٌ ‫ور َرح‬
ٌ َ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diharamkan bagi kalian
memakan daging bangkai (binatang yang mati dengan tidak disembelih),
darah yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut
nama selain Allah, binatang yang mati tercekik, binatang yang mati dipukul,
binatang yang mati karena jatuh, binatang yang mati ditanduk oleh binatang
lain, dan binatang yang mati dimakan binatang buas. Tetapi jika binatang itu
masih hidup dan halal untuk dimakan, lalu kamu menyembelihnya, maka
binatang itu halal. Allah mengharamkan kepada kalian binatang yang
disembelih untuk mendekatkan diri kepada berhala, mengetahui sesuatu yang
telah ditentukan di alam gaib dengan cara undian dengan melempar anak
panah. Memakan makanan yang telah diharamkan Allah itu adalah dosa besar
dan merupakan sikap tidak patuh kepada Allah. Mulai sekarang telah pupus
harapan orang kafir untuk menghapus agama kalian. Maka, jangan khawatir
mereka akan dapat menguasai kalian, dan jangan berani melanggar perintah-
Ku. Hari ini Aku sempurnakan hukum-hukum agama, Aku sempurnakan
nikmat-Ku kepada kalian dengan memberikan kejayaan dan menguatkan
pendirian kalian, dan Aku jadikan Islam sebagai agama kalian. Barangsiapa
terpaksa memakan makanan yang diharamkan Allah karena alasan lapar dan
demi mempertahankan diri dari kematian, dengan tidak cenderung berbuat
maksiat, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni orang yang terpaksa
atas makanan yang dimakannya demi mempertahankan hidup. Allah Maha
Penyayang kepadanya dalam hal-hal lain yang dibolehkan.

Lalu dijelaskan oleh Rasulullah bahwa telah di halalkan bagi kita 2


bangkai (ikan dan belalang) dan 2 darah (hati dan limpa) HR. Ahmad”

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

3. Sebagai pencetus hukum baru yang sama sekali tidak tercantum dalam al-
Qur’an. Seperti sunnah rasul yang menjelaskan tentang keharaman memakai
pakaian sutra bagi para kaum laki-laki, serta hukum-hukum lain yang
sebelumnya tidak pernah tercantum dalam al-Qur’an.9
Misalnya : dalam al-Qur’an belum ada ketentuan dan cara mencuci
bejana yang dijilat anjing. Lalu Rasulullah berkata “sucinya bejana salah
seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah mencucinya sebanyak 7 kali yang
permulaannya dengan menggunakan tanah (HR. Muslim)”.
c. Kualitas Hadist
Kualitas hadist dapat diketahui dengan berpedoman pada 3 unsur hadist
sebagai berikut :
1) Matan (Materi hadist) tidak bertentangan dengan al-qur’an, hadist yang lebih
shoheh, realitas, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
2) Sanad (jalan penghubung antara pembawa dan penerima hadist) benar-benar
bertemu atau berguru dalam batas-batas tertentu.
3) Rawi (Orang yang meriwayatkan hadist) harus Adil (jujur tidak memihak,
tidak pernah berdusta, dan membiasakan dosa) serta Dabit (kuat dalam
menghafal atau mempunyai catatan pribadi yang dapat di pertanggung
jawabkan).
d. Tingkatan Hadist
Ditinjau dari jumlah rawinya pertama Mutawatir, (diriwayatkan oleh banyak
rawi yakni para sahabat, tabiin, tabiit tabiin), kedua Ahad (Tidak menacapi
mutawatir dan kebenarannya harus di selidiki).
Ditinjau dari Sanadnya pertama Hadist Sahih (diriwayatkan oleh rawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak janggal
pada matannya). Kedua Hadist Hasan (diriwayatkan seorang rawi adil tetapi
tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak janggal
muatan matannya, hadist ini tidak bertentangan dengan al-qur’an dan hadist
mutawatir). Ketiga Hadist Dhaif (Hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih
dari syarat hadist shahih atau hadist hasan), hadist daif tidak dapat dijadikan
pedoman hukum.
9
Abdul Wahhab Khallaf, Op. cit., hal. 39-40

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

3. Ijtihad
Ijtihad adalah Menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hokum
syari’at berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
a. Arti, tujuan, dan kedudukan ijtihad
Ijma’ adalah kebulatan pendapat para ulama’ mujtahid tentang suatu
masalah yang berhubungan dengan syari’at. Dimana para ulama tersebut
berijtihad (menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum tertentu
yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadist) dengan
mengikuti zaman yang terus berkembang. Ijtihad menempati posisi ketiga dalam
penetapan hukum setelah Al-Qur’an dan Hadist.
b. Ketentuan ijtihad dan syarat mujtahid

c. Bentuk ijtihad bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut :


1) IJMA’ adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atau
suatu masalah yang berkaitan dengan syariat. Karena sulitnya dilakukan ijma’
pada masa sahabat. Imam hambali sampai mengatakan “siapa yang
mengatakan adanya ijma’ (maksudnya, selain ijma’ sahabat) ia berdusta” ijma’
ini terjadi misalnya sewaktu pengangkatan khalifah setelah nabi wafat.

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

2) QIYAS Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ mengenai qiyas
sesuai dengan pengamatan dan tinjauannya masing-masing. Namun secara
umum definisi qiyas adalah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak
ada nash-nya dengan hukum kasus lain yang ada nash-nya karena adanya
persamaan illat hukumnya. Dari definisi qiyas tersebut, maka dapat kita
ketahui beberapa unsur yang harus terpenuhi dalam qiyas, yaitu:
a) Ashal, yaitu suatu kasus yang status hukumnya dijelaskan dalam nash al-
Qur’an maupun al-Sunnah.
b) Fara’ atau cabang, yaitu suatu kasus yang status hukumnya tidak dijelaskan
dalam nash al-Qur’an maupun al-Sunnah, akan tetapi ia memiliki kesamaan
illat dengan ashal.
c) Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang dinash-kan pada ashal yang
kemudian akan menjadi hukum pada fara’. Dalam hal ini ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dalam hukum ashal. Pertama; hukum ashal
harus merupakan hukum yang bersifat amaliah. Kedua, hukum ashal harus
Ma’qul al-Ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional. Ketiga, hukum
ashal bukan hukum yang khusus, artinya hukum tersebut bisa juga
diberlakukan pada kasus lain yang memiliki kesamaan illat. Keempat,
hokum ashal masih tetap berlaku. Apabila hukum ashal sudah tidak berlaku
lagi, misalnya sudah dimansukh, maka hukum tersebut tidak bisa dijadikan
hukum ashal.
d) Illat hukum, yaitu suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau
bermunasabah dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum ini harus
memenuhi beberapa syarat tertentu. Pertama, illat itu harus merupakan sifat
yang nyata dan dapat diindera. Kedua, illat harus merupakan sifat yang
memiliki wujud standar yang pasti. Ketiga, illat hukum harus mempunyai
kaitan dengan hikmah hukum, artinya penerapan hukum yang didasarkan
pada illat tersebut dapat mencapai Maqashid al-Syari’ah. Keempat, illat
bukanlah sifat yang hanya terdapat dalam ashal, sebab apabila sifat tersebut
hanya terdapat dalam ashal tidak mungkin untuk dianalogkan.

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

3) ISTIHSAN, Imam Abu Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi bahwa


istihsan adalah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. Namun perlu diketahui bahwa
kedudukan istihsan sebagai sumber hukum hanya berlaku pada madzhab
Hanafi dan Maliki.
4) MASHLAHAH MURSALAH, Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah
adalah sebuah kemashlahatan yang oleh Syari’ tidak dijadikan sebagai pijakan
orientatif dalam menetapkan hukum, namun tidak pula ada penegasan dari
Syari’ untuk menafikan kemashlahatan tersebut. Konsep mashlahah dalam
Islam dapat dikatagorikan menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
Berdasarkan segi kualitas dan kepentinngan kemaslahahtan, mereka
membaginya dalam tiga bentuk sebagai berikut :
1) Ad-dloruriyyah adalah kemaslahatan mendasar yang harus ada atau
kebutuhan primer. Kebutuhan ini menyangkut dalam mewujudkan dan
melindungi eksistensi kelima sektor diatas. Apabila kemaslahatan ini
hilang, maka kehidupan manusia bisa hancur, tidak selamat, baik didunia
maupun diakhirat.
2). Al-hajjiyyat adalah kebutuhan sekunder atau perwujudan dan perlindungan
yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok sektor diatas. Tidak
terpeliharanya kebutuhan ini tidak akan membawa terancamnya
eksistensinya lima pokok diatas, tetapi membawa kepada kesempitan dan
kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksananya.
3). At-tahsiniyyat adalah mewujudkan dan memelihara hal-hal yang
menunjang peningkatan kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar
manusia dan menyangkut hal-hal yang yang terkait dengan makarim al-
akhlaq. Tidak terwujud dan terpeliharanya kebutuhan at-tahsiniyyah
tidaklah membawa terancamnya eksistensinya agama, jiwa, akal, keturunan
dan akal, serta tidak pula membawa kepada kesulitan kelima pokok

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

tersebut, melainkan dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat


pribadi dan masyarakat.
Berdasarkan kandungan maslahat, ulama ushul fikih membagainya
sebagai berikut:
1). Al-maslahah al-ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas
umat. Misalnya, ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang
dapat merusak akkidah umat, karena menyangkut kepentingan orang
banyak.
2). Maslahah al-khasah, yaitu kemaslahatan pribadi. Kemaslahatan ini jarang
terjadi. Seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas
yang harus didahuukan apabila kemasahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Jika bertentangan, Islam mendahulukan kemaslahatan
umum daripada kemaslahatan pribadi.
Berdasarkan segi perubahan maslahah, Mustafa asy-Syalabi membaginya
dalam dua bentuk :
1). Al-maslahah as-tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akahir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah,
seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
2). Al-maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan
ini biasanya berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan,
seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Perlunya pembagian ini menurut Mustafa asy-Syalabi dimaksudkan
untuk memberikan batasan kemaslahatan yang bisa berubah dan yang
tidak berubah.
a. Berdasarkan keberadaan maslahah menurut syarak

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

1). Kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya, ada dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya
tentang hukuman atas orang yang minum-minuman keras. Kemaslahatan
yang didukung oeh syarak, baik jenis maupun bentuknya, disebut al-
maslahah al-mu’tabarah. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan
seperti ini dapat dijadikan landasan hukum.
2). Kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertentangan dengan
ketentuan syarak. Misalnya, syarak menentukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual disiang hari dalam bulan Ramadhan
dikenakan hukuman memerdekakan budak atau puasa selama dua bulan
berturut-turut, atau memberikan makan bagi 60 orang fakir miskin. Al-
Lais bin Saad, ahli fikih mazhab Maliki di Spanyol, menetapkan
hukuman puasa dua bulan berturut- turut bagi seseorang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari da bulan Ramadhan. Ulama
memanadanag hukum ini bertentangan denagn hadits Rasulullah SAW
dia atas karena bentuk bentuk hukuman itu harus diterapkan secara
berurut.
3). Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula
di tolak syarak melalui dalil yang rinci. Kemaslatan dalam bentuk ini
terbagi menjadi dua:
a). Al-maslahah al-garibah ( kemaslahatn yang asing), yakni
kemaslahatan yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari
syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Imam asy-Syatibi
mengatakan bahwa kemaslahatan seperti ini hanya ada ditingkat teori
tidak dalam praktek.
b). Al-maslahah al-mursalah, kemaslahatan ini didukung oleh
sekumpulan makna nas (ayats atau hadis), bukan oleh nas yang rinci.
Oleh golongan ulama’ yang menjadikan mashlahah mursalah
sebagai salah satu sumber hukum, kenyataan kenyataan tersebut
dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab al-Qur’an tidak
sepenuhnya menampung dinamika kehidupan umat manusia yang

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

terus berkembang secara keseluruhan. Oleh karena itu, pada saat-saat


tertentu perlu adanya improvisasi dari para mujtahid dalam
merumuskan suatu hukum yang berlandaskan pada tendensi
kemashlahatan manusia dengan mengikuti arus perkembangannya.
Namun demikian, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi agar mashlahah mursalah tersebut dapat dijadikan sebagai
pijakan dalam menetapkan suatu hukum, yaitu:
1) Mashlahah tersebut haruslah merupakan kemashlahatan yang
sebenarnya, yakni yang didalamnya terkadung upaya untuk
menarik manfaat dan menolak bahaya. Jadi bukan sekedar
mashlahah yang didasarkan pada dugaan belaka.
2) Mashlahah tersebut harus merupakan kemashlahatan umum,
bukan hanya bagi kelompok tertentu.
3) Produk hukum yang didasarkan pada mashlahah tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Syari’
serta tidak bertentangan pula dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Misalnya surat Nikah, penjara
5) ‘URF, ‘Urf adalah perkataan atau perbuatan yang mentradisi dalam kehidupan
manusia dan telah menjadi sesutu yang lumrah dalam keseharian mereka.
Dalam hal ini ‘urf dapat dijadikan sebagai sumber hukum jika ia tidak
bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam nash-nash syari’ah.
Sebagai salah satu pengikut setia Imam Malik, al-Shatibi berpendapat
bahwa kebiasaan yang 'tidak bertentangan dengan nass dapat diadopsi
sebagai yang include dalam sistem hukum mereka. Tetapi, dalam
membincang tentang kebiasaan, al-Shatibi tidak memakai 'urf sebagaimana
layaknya ulama-ulama ushul al-Fiqh lainnya. Dia lebih memilih istilah `adat
atau `awaid sebagai kata plural dari kata `adah, dari pada istilah 'urf. Tetapi
term `adah menurut Al-Shatibi ternyata mempunyai pengertian yang tidak
berbeda dengan 'urf.' Istilah `adah dan `urfhanya berbeda secara lafziyyah
semata; a/-khulf lafziyyun. al-Shatibi memaknai `adah dengan perbuatan-
perbuatan tertentu, apabila diandaikan perbuatan tersebut terjadi tanpa

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

halangan maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan cara
tertentu yang diketahui melalui perbuatan lain yang sepadan. 
Istilah `adah menurut al-Shatibi diarahkan pada kebiasaan dan tingkah
laku manusia. Seperti makan, minum, kebahagiaan, tidur, cara berpakaian,
berkarakter keras dan sebagainya merupakan ilustrasi `adah yang
ditampilkan al-Shatibi. Istilah `adah juga dihadapkan pada kata ibadah, yang
kemudian di dalam kitab-kitab fiqh dikenal dengan istilah mu'amalah
(interaksi antar sesama manusia). Bahwa ada dua macam yang
dikehendaki oleh shara’, pertama, kebiasaan yang telah berlangsung lumrah
dalam sebuah komunitas masyarakat, misalnya dalam berbagai bentuk
usaha dan kegiatan keduniaan yang sudah menjadi satu cara tertentu untuk
mewujudkan keinginannya. Hak ini bisa berbentuk transaksi dalam segala
jenisnya dan penditribusian harta dengan segala macamnya. Kedua, ibadah
yang wajib bagi orang mukallaf dari aspek ketundukannya pada Allah SWT.
Hikmah yang diambil dari pembagian ini adalah ketika satu kebiasaan
tertentu pada seorang mukallaf, maka dia tidak menerima perubahan apapun.
Demikian sebaliknya, kebiasaan yang tidak tertentu pada mukallaf akan
mengalami perubahan. Dan hal ini tidak butuh pada dalil, oleh sebab
persoalannya sudah jelas. Dengan begitu, dalam pandangan al-Shatibi, ada
dua syarat keberlakuan 'adah yaitu 1). Istiqrar (ketetapan), bahwa kebiasaan
yang terjadi dalam alam nyata mnerupakan sesuatu yang sudah diketahui
(ma'lurn) bukan sesuatu yang masih menjadi praduga. 2). Istimrar
(kontinuitas), bahwa kebiasaan tersebut berlaku secara terus menerus,
bukan sementara. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal , yaitu: 
1. Bahwa berdasarkan penelitian shari'iah dicanangkan karena adanya
ketetapan dan kontinuitas tersebut. Bahwa pembebanan universal yang
dinisbatkan pada orang mukallaf adalah ditetapkan dalam timbangan,
ukuran dan klasifikasi yang sama. Tidak ada perbedaan yang
didasarkan pada tempo dulu, sekarang dan masa mendatang. Sementara
perbuatan mukallaf sebagai obyek taklif hanya akan berlaku menurut
klasifikasinya. Jika kebiasaan-kebiasaan dalam dunia nyata ini

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

berbeda, niscaya hal itu akan menghendaki perbedaan perundang-


undangan dan klasifikasi taklif. Dan hal semacam itu batil adanya.
2. Bahwa berita-berita yang dibawa Aid' (al-akhbar al-shari) datang sesuai
dengan kenyataan yang ada. Oleh sebab itu, berita tersebut selamanya
tidak akan berubah. Seperti, kabar tentang langit, bumi, hal-hal yang
berada diantara langit dan bumi, serta segala sesuatu yang berlaku di langit
dan bumi berupa segala kemanfaatan, perubahan dan keadaan. dan apa
yang telah digariskan oleh Allah (sunnatullah) itu tidak akan pernah
berubah. Demikian juga makhluk-nya. Sebagaimana shan'ah juga akan
tetap selamanya.
3. Andaikan keberlangsungan kebiasaan tidak diketahui, niscaya agama
tidak akan diketahui dari asalnya. Lebih-lebih untuk mengetahui cabang--
cabangnya. Hal itu disebabkan bahwa agama hanya bisa diketahui
setclah mengenal kenabian (al-nubuwwah). Jalannya tiada lain adalah
dengan perantaraan mukjizat, yakni perbuatan yang menyimpang dari
kcbiasaan (khariq li al-`adah). Dan sebuah perbuatan dianggap
menyimpang dari kebiasaan kalau kebeilakuan kebiasaan tersebut sudah
pasti, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang, sebagaimana
yang telah terjadi pada masa lampau.
6) ISTISHHAB, Ibnu Hazm mengemukakan definisi bahwa istishhab adalah
memberlangsung teruskan hukum yang telah ditetapkan dalam nash syari’ah
pada masa yang lalu sampai masa sekarang sehingga ada dalil yang
menunjukkan perubahan hukum tersebut. Dengan demikian, jika seorang
mujtahid ditanya tentang hukum sesuatu, sementara ia tidak menemukan dalil
yang menjelaskan tentang hukum sesuatu tersebut, maka ia dapat
menghukumi dengan kebolehan sesuatu tersebut. Hal ini didasarkan pada satu
kaidah umum yang berbunyi bahwa “pada dasarnya segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini adalah halal bagi manusia sehingga ada dalil yang
mengharamkannya. Misalnya apa yang di yakini telah ada tidak akan hilang
karena adanya keragu-raguan. Seperti orang yang yakin telah berwudhu, lalu
ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka wudhunya tetap sah.”

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

7) SYAR’U MAN QOBLANA, Yang dimaksud dengan syar’u man qablana


adalah suatu rumusan hukum yang berlaku pada generasi umat sebelum kita
yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya, dan terdapat dalil dari nash-
nash syari’ah bahwa hukum tersebut juga berlaku bagi kita.
MADZHAB AL-SOHABI, Madzhab al-Sohabi adalah pendapat seorang
sahabat mengenai sebuah hukum yang tidak terdapat dalam nash-nash syari’ah.
Hal ini oleh beberapa sebagian ulama’ diperbolehkan untuk dijadikan hujjah
dalam merumuskan hukum selama masih berkisar pada masalah yang bersifat
ijtihadiyah.

Rangkuman
Hukum adalah ketetapan Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (dewasa, balig, berakal sehat) berupa perintah untuk mengerjakan atau
meninggalkan suatu pekerjaan atau larangan, serta membolehkan mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu.
Sumber hukum Islam terdiri dari Al-Qur’an, Hadist, ijtihad. Al-Qur’an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Jibril. AlQur’an memiliki kedudukan
yang sangat tinggi, disamping sebagai sumber hokum yang pertama dan utama, juga sebagai
petunjuk bagi orang yang beriman., sebagai penawar dan rahmat, sebagai mukjizat, serta
sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil. Sedangkan Sunnah atau hadist adalah
ucapan, perbuatan dan ketetapan nabi Muhammad. Fungsinya untuk memperkuat hokum-
hukum al-Qur’an, menjelaskan dan menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum,
serta menetapkan hokum yang belum ada dalam al-Qur’an.
Kualitas hadist dapat diketahui dengan berpedoman pada 3 unsur hadist yaitu matan
(materi hadist), sanad (jalan penghubung antara pembawa dan penerima), dan rawi (orang
yang membawakan hadist). Sedangkan Tingkatan hadist dapat dilihat berdasarkan
kualitasnya, yaitu jumlah rawi dan nilai sanadnya. Berdasarkan jumlah rawinya terdiri dari
mutawatir dan ahad. Berdasarkan nilai sanadnya terdiri dari hadist shoheh, hadist hasan, dan
hadist dhaif.
Ijtihad adalah Menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hokum syari’at
berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM


POLITEKNIK NEGERI AGAMA ISLAM Hal. - 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan

Pertanyaan
1. Jelaskan bagaimana yang di sebut hukum islam dan apa saja yang menjadi sumber hukum
Islam?
2. Sebut dan jelaskan ketentuan ijtihad dan syarat menjadi mujtahid?
3. Diskusikan secara berkelompok, telaah dan carilah salah satu contoh masalah dengan
metode Qiyas, dan maslahah mursalah.

FARIDA ASY’ARI BAB V – SUMBER HUKUM ISLAM

Anda mungkin juga menyukai