- 81
PO N TIANAK
Budidaya Pertanian Dan Perkebunan
BAB V
SUMBER HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Hasil Pembelajaran
Setelah berhasil menyelesaikan tugas dan melengkapi tugas tugas dalam bab ini,
saudara dapat memahami dan mengamalkan sumber-sumber hukum islam yang mana
merupakan pegangan hidup bagi umat islam itu sendiri.
Kriteria Penilaian
Keberhasilan Saudara dalam menguasai bab ini dapat diukur dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Dapat menjelaskan mengenai pengertian hukum Islam
2. Dapat menjelaskan dan memahami sumber apa saja yang dijadikan pegangan hidup
bagi umat Islam
3. Dapat memahami dan memberikan penalaran yang dikaitkan dengan konteks
sekarang.
اَألم ِرفَاتَّبِ ْع َها َواَل َتتَّبِ ْع َْأه َواءَ الَّ ِذيْ َن اَل َي ْعلَ ُم ْو َن ٍِ
ْ اك َعلَى َش ِر ْي َعة م َن
َ َمُثَّ َج َع ْلن
“Kemudian Kami jadikan engkau di atas perkara yang di-syari’atkan, maka
ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Dari ayat tersebut setidaknya ada tiga tangkai pengertian yang dapat kita petik,
yaitu: (a) syari’ah itu datangnya dari Allah; (b) syari’ah merupakan sesuatu yang harus
diikuti; (c) syari’ah tidaklah memperturutkan keinginan hawa nafsu.
Sementara secara terminologi, kebanyakan ulama’ mengartikan bahwa syari’ah
adalah berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya yang
dibawa oleh orang-orang tertentu yang Ia pilih sebagai utusan-Nya, baik hukum-hukum
tersebut berhubungan dengan tata cara manusia dalam melaksanakan aktivitasnya, yang
pada gilirannya dikenal sebagai hukum fiqh2, maupun berhubungan dengan cara-cara
beri’tikad yang benar, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum I’tiqodiyah. Dalam
definisi lain Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa syari’ah adalah peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh Allah atau pokok-pokok yang digariskan Allah agar manusia
bepegang kepadanya di dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya sesama
manusia, dengan alam semesta serta dalam hubungannya dengan kehidupan.3
Namun demikian, ada satu hal penting yang mesti diperhatikan bahwa para
ulama’ seringkali memberi pengertian yang berbeda dalam memaknai syari’ah. Ada yang
menganggap syari’ah itu sama dengan fiqh, dan ada pula yang menganggap bahwa
1
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Prenada
Media, Jakarta, 2005, hal. 01
2
Tujuan akhir dari ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridloan Allah Swt dengan melaksanakan
syari’ah-Nya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup baik secara individual, hidup berkeluarga, maupun
dalam bermasyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang menjadi ‘puncak destinasi’ dari fiqh adalah adanya
kesesuaian antara tingkah laku manusia dengan idealitas ketuhanan yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah
3
Ibid, hal. 02
syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan pada dalil qat’i saja. Bahkan ada yang
menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama. Dengan demikian,
syari’ah bisa diartikan dengan arti luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit.
Syari’ah Islam memiliki ciri khas yang merupakan ketentuan- ketentuan yang
tidak akan pernah berubah. Ciri khas tersebut antara lain:
a. Komprehensif
Syari’ah Islam membentuk umat dalam satu kesatuan yang bulat walaupun umat
Islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Dalam menghadapi asas-asas yang
umum, umat Islam bersatu padu meskipun dalam segi-segi kebudayaan berbeda-beda.
b. Wasathiyah (Moderat)
Syari’ah Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang imbang, tidak terlalu berat ke
kanan dengan mementingkan dimensi ruhaniah, dan tidak pula berat ke kiri dengan
mementingkan dimensi jasmaniah. Inilah yang diistilahkan dengan teori wasathiyah,
yakni menyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita. Hal ini
tergambar di banyak tempat dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surah al-Baqarah
ayat 143 berikut ini:
ًالر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْيدا ِ ك َج َعْلنَا ُك ْم َُّأمةً َو َسطاً لِتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن
َّ َّاس َويَ ُك ْو َن ِ
َ َو َكذل
Artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. 4
c. Harakah (Dinamis)
Syari’ah Islam memiliki kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai
daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Syari’ah Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yaitu Islam yang
memberikan kepada manusia sejumlah hukum positif yang dapat dipergunakan untuk
segenap masa dan tempat.
d. Universal
Syari’ah Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu,
melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang diemban oleh
Rasulullah SAW. Syari’ah Islam diturunkan Allah untuk dijadikan pedoman hidup
4
(Komplek Percetakan al-Qur’an Khadim al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd, al-Qur’an dan
Terjemahnya, Madinah, 1411 H,) hal. 36
oleh seluruh umat manusia yang berujuan meraih kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat. Dengan demikian, Syari’ah Islam bersifat universal untuk seluruh umat
manusia di muka bumi serta dapat diberlakukan di setiap bangsa dan negara.
e. Elastis atau Fleksibel
Syari’ah Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan kepada setiap individu.
Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan dan berdosa bagi yang melanggarnya.
Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun dalam keadaan tertentu terdapat
rukhshoh atau keringanan. Hal ini menunjukkan bahwa Syari’ah Islam itu bersifat
elastis, luwes, dan manusiawi.
f. Tidak memberatkan
Syari’ah Islam tidak membebani seseorang sampai melampaui kadar
kemampuannya. Sebab sebagaimana diyakini bahwa manusia adalah makhluk dha’if
(lemah). Maka sebagai agama yang penuh dengan kasih sayang, Islam datang untuk
membebaskan manusia dari segala sesuatu yang memberatkannya. Hal ini ditegaskan
pula dalam al-Qur’an seperti dalam surah al-Baqarah ayat 286 berikut ini:
dan revolusioner. Seperti dalam perintah untuk meninggalkan minuman keras, berjudi,
poligami, dan yang lainnya.5
Tujuan Allah dalam mensyari’atkan hukumnya adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan bagi umat manusia dengan memenuhi segala bentuk kebutuhan mereka,
baik yang bersifat dlaruri, haaji, maupun tahsini,6 sekaligus untuk menghindari
kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai
melalui perintah dan larangan (taklif), yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman
sumber hukum yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.
Tujuan Syari’ah Islam perlu diketahui oleh seorang mujtahid (Mujtahid adalah
seseorang yang mengerahkan seluruh kemampuan intelektualnya dengan merenungkan
dalil-dalil syar’i untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syar’i yang terkandung
dalam dalil-dalil tersebut). 7
dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-
kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Lebih dari itu,
tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat
diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial.
Untuk dapat menangkap tujuan hukum yang terdapat dalam sumber hukum, maka
diperlukan sebuah keterampilan ilmu Ushul Fiqh dengan berbagai spktrum kaidah yang
terkandung di dalamnya, yang kemudian dari sini dapat diidentifikasi apa yang disebut
dengan istilah Maqashid al-Syari’ah.
Pencarian para ahli Ushul Fiqh tersebut pada dasarnya bermuara pada upaya
penemuan mashlahah dan menjadikannya sebagai pijakan dalam menetapkan suatu
hukum untuk kasus tertentu yang secara eksplisit tidak disinggung dalam al-Qur’an
maupun al-Sunnah. Mashlahah yang dimaksud dapat terwujud manakala lima pokok
yang biasa disebut dengan Maqashid al-Syari’ah al-Khamsah dapat dilestarikan dan
dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah: memelihara kelestarian agama, jiwa
(hidup), keturunan, intelektualitas (akal), dan harta. Dalam upaya mewujudkan
mashlahah tersebut, para ulama’ fiqh mengklasifikasi tingkatan mashlahah ke dalam tiga
kategori, yaitu:
5
Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M.Si., Studi Agama Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal. 154-157
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushuli al-Fiqh, Daar al-Qalam, Kairo, 1978, hal. 197
7
(Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qawa’id Asasiyah fi Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Malik al-
Fahd al-Wathaniyah, Jeddah, 1419 H) hal. 97
a. Dlaruriyyat, yaitu segala hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk menjaga
kelestarian hidupnya, baik dalam ruang lingkup keagamaan maupun keduniaan, yang
kemudian kita kenal dengan istilah kebutuhan primer.
b. Hajiyyat, yaitu segala hal yang dapat digunakan oleh manusia dalam
memenuhi kebutuhan kesehariannya untuk menghindari kesukaran dan kesulitan dalam
hidupnya, yang kemudian kita kenal dengan kebutuhan sekunder.
c. Tahsiniyyat, yaitu beberapa hal yang dibutuhkan manusia dalam rangka meraih
kenyamanan dalam hidupnya namun secara fungsional tidak terlalu vital. Artinya hanya
sekedar kebutuhan tambahan yang seandainya tidak terpenuhi, tidaka akan sampai
merusak kehidupan seseorang. Hal ini kemudian kita kenal dengan kebutuhan tersier.8
b) Kedudukan Al-Qur’an
1) Sebagai sumber hukum yang pertama dan utama
2) Sebagai petunjuk bagi orang beriman
3) Sebagai syifa’ (penawar) dan rahmat
4) Sebagai mukjizat
5) Sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil
Jika dalam penetapan hukum terdapat perbedaan pendapat dan perselisihan
mengenai hukum suatu masalah, jawabnya kembali kepada al-Qur’an dan
Hadist. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ 4: 59
ٍ ِ ِ َأطيعوا اللَّه و
ِ ِ َّ
ُاَأْلم ِر مْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف َش ْيء َف ُر ُّدوه
ْ ول َوُأويِل
َ الر ُس
َّ َأطيعُوا َ َ ُ ين آَ َمنُوا
َ يَا َأيُّ َها الذ
ِ ِ
)59( َأح َس ُن تَْأ ِوياًل َ ول ِإ ْن ُكْنتُ ْم تُْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل َ ِخ ِر ذَل
ْ ك َخْيٌر َو
ِ الرس ِ ِإ
ُ َّ ىَل اللَّه َو
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman kepada ajaran yang
dibawa Muhammad, taatilah Allah, rasul-rasul-Nya dan penguasa umat Islam
yang mengurus urusan kalian dengan menegakkan kebenaran, keadilan dan
melaksanakan syariat. Jika terjadi perselisihan di antara kalian,
kembalikanlah kepada al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya agar kalian
mengetahui hukumnya. Karena, Allah telah menurunkan al-Qur'ân kepada
kalian yang telah dijelaskan oleh Rasul-Nya. Di dalamnya terdapat hukum
tentang apa yang kalian perselisihkan. Ini adalah konsekwensi keimanan
kalian kepada Allah dan hari kiamat. Al-Qur'ân itu merupakan kebaikan bagi
kalian, karena, dengan al- Qur'ân itu, kalian dapat berlaku adil dalam
memutuskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Selain itu, akibat
yang akan kalian terima setelah memutuskan perkara dengan al-Qur'ân,
adalah yang terbaik, karena mencegah perselisihan yang menjurus kepada
pertengkaran dan kesesatan.
2. Hadist
)80( ح ِفيظًا
َ اك َعلَْي ِه ْم
َ َاع اللَّهَ َو َم ْن َت َوىَّل فَ َما َْأر َس ْلن
َ َول َف َق ْد َأط َّ َم ْن يُ ِط ِع
َ الر ُس
Artinya : Barangsiapa mematuhi rasul berarti telah mematuhi Allah.
Sebab, Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu, kecuali sesuai
dengan perintah dan larangan Allah. Oleh karena itu, orang yang menaati
Rasulullah saw. dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya,
berarti juga menaati Allah. Sedangkan orang yang tidak mematuhimu,
Muhammad, ketahuilah bahwa Kami mengutusmu sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, bukan untuk menguasai dan memelihara amal
perbuatan mereka, yang merupakan tanggung jawab Kami, bukan tanggung
jawabmu.
Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di jalan Allah). Hal itu
dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya di antara
kalian saja. Hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu harus kalian pegang,
dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan. Hindarkanlah diri
kalian dari murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam siksa-Nya.
َُّم َوحَلْ ُم اخْلِْن ِزي ِر َو َما ُِأه َّل لِغَرْيِ اللَّ ِه بِ ِه َوالْ ُمْن َخنِ َق ةُ َوالْ َم ْوقُوذَةُ َوالْ ُمَتَر ِّديَة
ُ ت َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةُ َوالد
ْ ُحِّر َم
اَأْلزاَل ِم َذلِ ُك ْم
ْ ِب َوَأ ْن تَ ْسَت ْق ِس ُموا ب ُ الس بُ ُع ِإاَّل َم ا ذَ َّكْيتُ ْم َو َم ا ذُبِ َح َعلَى الن
ِ ُّص َّ يح ةُ َو َم ا َأ َك َل ِ
َ َوالنَّط
ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم ِ ِِ ِ ِ َّ فِس ق الْي وم يِئ
ُ اخ َش ْون الَْي ْو َم َأ ْك َم ْل
ْ ين َك َف ُروا م ْن دين ُك ْم فَاَل خَت ْ َش ْو ُه ْم َو
َ س الذَ َ َْ َ ٌ ْ
ٍف ِإِل مْث َ ُ َ َ َ ْ يت لَ ُك ُم اِإْل ْس اَل َم ِدينً ا فَ َم ِن
ٍ ِاض طَُّر يِف خَمْمص ٍة َغْي ر متَج ان ِ ِ
ُ ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َميِت َو َرض
ُ َوَأمْتَ ْم
3. Sebagai pencetus hukum baru yang sama sekali tidak tercantum dalam al-
Qur’an. Seperti sunnah rasul yang menjelaskan tentang keharaman memakai
pakaian sutra bagi para kaum laki-laki, serta hukum-hukum lain yang
sebelumnya tidak pernah tercantum dalam al-Qur’an.9
Misalnya : dalam al-Qur’an belum ada ketentuan dan cara mencuci
bejana yang dijilat anjing. Lalu Rasulullah berkata “sucinya bejana salah
seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah mencucinya sebanyak 7 kali yang
permulaannya dengan menggunakan tanah (HR. Muslim)”.
c. Kualitas Hadist
Kualitas hadist dapat diketahui dengan berpedoman pada 3 unsur hadist
sebagai berikut :
1) Matan (Materi hadist) tidak bertentangan dengan al-qur’an, hadist yang lebih
shoheh, realitas, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
2) Sanad (jalan penghubung antara pembawa dan penerima hadist) benar-benar
bertemu atau berguru dalam batas-batas tertentu.
3) Rawi (Orang yang meriwayatkan hadist) harus Adil (jujur tidak memihak,
tidak pernah berdusta, dan membiasakan dosa) serta Dabit (kuat dalam
menghafal atau mempunyai catatan pribadi yang dapat di pertanggung
jawabkan).
d. Tingkatan Hadist
Ditinjau dari jumlah rawinya pertama Mutawatir, (diriwayatkan oleh banyak
rawi yakni para sahabat, tabiin, tabiit tabiin), kedua Ahad (Tidak menacapi
mutawatir dan kebenarannya harus di selidiki).
Ditinjau dari Sanadnya pertama Hadist Sahih (diriwayatkan oleh rawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak janggal
pada matannya). Kedua Hadist Hasan (diriwayatkan seorang rawi adil tetapi
tidak begitu kuat ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak janggal
muatan matannya, hadist ini tidak bertentangan dengan al-qur’an dan hadist
mutawatir). Ketiga Hadist Dhaif (Hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih
dari syarat hadist shahih atau hadist hasan), hadist daif tidak dapat dijadikan
pedoman hukum.
9
Abdul Wahhab Khallaf, Op. cit., hal. 39-40
3. Ijtihad
Ijtihad adalah Menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hokum
syari’at berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
a. Arti, tujuan, dan kedudukan ijtihad
Ijma’ adalah kebulatan pendapat para ulama’ mujtahid tentang suatu
masalah yang berhubungan dengan syari’at. Dimana para ulama tersebut
berijtihad (menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum tertentu
yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadist) dengan
mengikuti zaman yang terus berkembang. Ijtihad menempati posisi ketiga dalam
penetapan hukum setelah Al-Qur’an dan Hadist.
b. Ketentuan ijtihad dan syarat mujtahid
2) QIYAS Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ mengenai qiyas
sesuai dengan pengamatan dan tinjauannya masing-masing. Namun secara
umum definisi qiyas adalah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak
ada nash-nya dengan hukum kasus lain yang ada nash-nya karena adanya
persamaan illat hukumnya. Dari definisi qiyas tersebut, maka dapat kita
ketahui beberapa unsur yang harus terpenuhi dalam qiyas, yaitu:
a) Ashal, yaitu suatu kasus yang status hukumnya dijelaskan dalam nash al-
Qur’an maupun al-Sunnah.
b) Fara’ atau cabang, yaitu suatu kasus yang status hukumnya tidak dijelaskan
dalam nash al-Qur’an maupun al-Sunnah, akan tetapi ia memiliki kesamaan
illat dengan ashal.
c) Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang dinash-kan pada ashal yang
kemudian akan menjadi hukum pada fara’. Dalam hal ini ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dalam hukum ashal. Pertama; hukum ashal
harus merupakan hukum yang bersifat amaliah. Kedua, hukum ashal harus
Ma’qul al-Ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional. Ketiga, hukum
ashal bukan hukum yang khusus, artinya hukum tersebut bisa juga
diberlakukan pada kasus lain yang memiliki kesamaan illat. Keempat,
hokum ashal masih tetap berlaku. Apabila hukum ashal sudah tidak berlaku
lagi, misalnya sudah dimansukh, maka hukum tersebut tidak bisa dijadikan
hukum ashal.
d) Illat hukum, yaitu suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau
bermunasabah dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum ini harus
memenuhi beberapa syarat tertentu. Pertama, illat itu harus merupakan sifat
yang nyata dan dapat diindera. Kedua, illat harus merupakan sifat yang
memiliki wujud standar yang pasti. Ketiga, illat hukum harus mempunyai
kaitan dengan hikmah hukum, artinya penerapan hukum yang didasarkan
pada illat tersebut dapat mencapai Maqashid al-Syari’ah. Keempat, illat
bukanlah sifat yang hanya terdapat dalam ashal, sebab apabila sifat tersebut
hanya terdapat dalam ashal tidak mungkin untuk dianalogkan.
1). Kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya, ada dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya
tentang hukuman atas orang yang minum-minuman keras. Kemaslahatan
yang didukung oeh syarak, baik jenis maupun bentuknya, disebut al-
maslahah al-mu’tabarah. Menurut kesepakatan ulama, kemaslahatan
seperti ini dapat dijadikan landasan hukum.
2). Kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertentangan dengan
ketentuan syarak. Misalnya, syarak menentukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual disiang hari dalam bulan Ramadhan
dikenakan hukuman memerdekakan budak atau puasa selama dua bulan
berturut-turut, atau memberikan makan bagi 60 orang fakir miskin. Al-
Lais bin Saad, ahli fikih mazhab Maliki di Spanyol, menetapkan
hukuman puasa dua bulan berturut- turut bagi seseorang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari da bulan Ramadhan. Ulama
memanadanag hukum ini bertentangan denagn hadits Rasulullah SAW
dia atas karena bentuk bentuk hukuman itu harus diterapkan secara
berurut.
3). Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula
di tolak syarak melalui dalil yang rinci. Kemaslatan dalam bentuk ini
terbagi menjadi dua:
a). Al-maslahah al-garibah ( kemaslahatn yang asing), yakni
kemaslahatan yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari
syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Imam asy-Syatibi
mengatakan bahwa kemaslahatan seperti ini hanya ada ditingkat teori
tidak dalam praktek.
b). Al-maslahah al-mursalah, kemaslahatan ini didukung oleh
sekumpulan makna nas (ayats atau hadis), bukan oleh nas yang rinci.
Oleh golongan ulama’ yang menjadikan mashlahah mursalah
sebagai salah satu sumber hukum, kenyataan kenyataan tersebut
dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab al-Qur’an tidak
sepenuhnya menampung dinamika kehidupan umat manusia yang
halangan maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan cara
tertentu yang diketahui melalui perbuatan lain yang sepadan.
Istilah `adah menurut al-Shatibi diarahkan pada kebiasaan dan tingkah
laku manusia. Seperti makan, minum, kebahagiaan, tidur, cara berpakaian,
berkarakter keras dan sebagainya merupakan ilustrasi `adah yang
ditampilkan al-Shatibi. Istilah `adah juga dihadapkan pada kata ibadah, yang
kemudian di dalam kitab-kitab fiqh dikenal dengan istilah mu'amalah
(interaksi antar sesama manusia). Bahwa ada dua macam yang
dikehendaki oleh shara’, pertama, kebiasaan yang telah berlangsung lumrah
dalam sebuah komunitas masyarakat, misalnya dalam berbagai bentuk
usaha dan kegiatan keduniaan yang sudah menjadi satu cara tertentu untuk
mewujudkan keinginannya. Hak ini bisa berbentuk transaksi dalam segala
jenisnya dan penditribusian harta dengan segala macamnya. Kedua, ibadah
yang wajib bagi orang mukallaf dari aspek ketundukannya pada Allah SWT.
Hikmah yang diambil dari pembagian ini adalah ketika satu kebiasaan
tertentu pada seorang mukallaf, maka dia tidak menerima perubahan apapun.
Demikian sebaliknya, kebiasaan yang tidak tertentu pada mukallaf akan
mengalami perubahan. Dan hal ini tidak butuh pada dalil, oleh sebab
persoalannya sudah jelas. Dengan begitu, dalam pandangan al-Shatibi, ada
dua syarat keberlakuan 'adah yaitu 1). Istiqrar (ketetapan), bahwa kebiasaan
yang terjadi dalam alam nyata mnerupakan sesuatu yang sudah diketahui
(ma'lurn) bukan sesuatu yang masih menjadi praduga. 2). Istimrar
(kontinuitas), bahwa kebiasaan tersebut berlaku secara terus menerus,
bukan sementara. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal , yaitu:
1. Bahwa berdasarkan penelitian shari'iah dicanangkan karena adanya
ketetapan dan kontinuitas tersebut. Bahwa pembebanan universal yang
dinisbatkan pada orang mukallaf adalah ditetapkan dalam timbangan,
ukuran dan klasifikasi yang sama. Tidak ada perbedaan yang
didasarkan pada tempo dulu, sekarang dan masa mendatang. Sementara
perbuatan mukallaf sebagai obyek taklif hanya akan berlaku menurut
klasifikasinya. Jika kebiasaan-kebiasaan dalam dunia nyata ini
Rangkuman
Hukum adalah ketetapan Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (dewasa, balig, berakal sehat) berupa perintah untuk mengerjakan atau
meninggalkan suatu pekerjaan atau larangan, serta membolehkan mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu.
Sumber hukum Islam terdiri dari Al-Qur’an, Hadist, ijtihad. Al-Qur’an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Jibril. AlQur’an memiliki kedudukan
yang sangat tinggi, disamping sebagai sumber hokum yang pertama dan utama, juga sebagai
petunjuk bagi orang yang beriman., sebagai penawar dan rahmat, sebagai mukjizat, serta
sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil. Sedangkan Sunnah atau hadist adalah
ucapan, perbuatan dan ketetapan nabi Muhammad. Fungsinya untuk memperkuat hokum-
hukum al-Qur’an, menjelaskan dan menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum,
serta menetapkan hokum yang belum ada dalam al-Qur’an.
Kualitas hadist dapat diketahui dengan berpedoman pada 3 unsur hadist yaitu matan
(materi hadist), sanad (jalan penghubung antara pembawa dan penerima), dan rawi (orang
yang membawakan hadist). Sedangkan Tingkatan hadist dapat dilihat berdasarkan
kualitasnya, yaitu jumlah rawi dan nilai sanadnya. Berdasarkan jumlah rawinya terdiri dari
mutawatir dan ahad. Berdasarkan nilai sanadnya terdiri dari hadist shoheh, hadist hasan, dan
hadist dhaif.
Ijtihad adalah Menggunakan seluruh kemampuan untuk menetapkan hokum syari’at
berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Pertanyaan
1. Jelaskan bagaimana yang di sebut hukum islam dan apa saja yang menjadi sumber hukum
Islam?
2. Sebut dan jelaskan ketentuan ijtihad dan syarat menjadi mujtahid?
3. Diskusikan secara berkelompok, telaah dan carilah salah satu contoh masalah dengan
metode Qiyas, dan maslahah mursalah.