Anda di halaman 1dari 13

Karakteristik dan Sifat Hukum Islam

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu:

Drs. Abdul Wahab Ahmad Khalil M.A

Disusun Oleh:

La Nando Ucu Prayogo (931216717)

M. Firman Ibrahim (93121??17)

Cindy (93121??17)

Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Institut Agama Islam Negeri Kediri
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang berwatak, ia mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan ilmu hukum lainnya, Karakter tersebut
merupakan ketentuan ketentuan yang tidak berubah-ubah, yaitu di mana
hukum Islam bersifat takamul (sempurna), al-Wasthiyyah (seimbang,
harmonis), harakah (bergerak dan berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman). al-Qur'an memperkenalkan satu konsepsi hukum
yang bersifat integra1, Di dalamnya terpadu antara Sunatullah dengan
Sunnah. Sebagaimana terpadu antara akidah dan moral, terpadunya dengan
hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an. Dengan sifatnya yang
demikian, maka hukum Islam memiliki kekuatan sendiri yang tidak
tergantung pada adanya sesuatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari
luar hukum tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja karakteristik hukum Islam?
2. Apa saja sifat hukum Islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Hukum Islam


1. Ketuhanan (Rabbaniyah) 1
Hukum Islam memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua
undang-undang buatan manusia dalam berbagai segi dan makna.
Hukum buatan manusia hanya seperangkat peraturan yang bersifat
materiil dan keduniawian semata. Hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya terbatas kepada memelihara hal-hal yang bersifat zahir saja,
tidak ada pemikiran halal haram, tidak ada hal-hal yang bersifat batin
dalam hubungannya dengan Khaliq (Sang Pencipta).
Hukum Islam adalah hukum yang diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Dalam
pelaksanaannya sangat tergantung pada iman dan akhlak, di samping
tergantung pada kekuatan dan kekuasaan. Hukum Islam memberikan
balasan akhirat di samping balasan dunia.
Hukum Islam dalam pelaksanaannya sangat memperhatikan akhlak
dan moral dalam seluruh aspeknya yang merupakan akibat dari
karakteristik rabbaniyah ini. Dengan demikian, hukum Islam memiliki
peran untuk memajukan umat manusai, menyelamatkan dari tekanan
egoistis dan hawa nafsu, melepaskan manusia dari adat istiadat yang
menyimpang dan menjaga keamanan dan ketertiban dengan hal-hal
baik dan bermanfaat dengan berpedoman pada akhlak yang mulia.
2. Harmonis (al-Wasthiyyah)
Karakteristik harmonis mempunyai arti yang sama dengan
keseimbangan (at-tawazun) yang memiliki arti keseimbangan di antara
dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan, di
aman salah satunya tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya dan
1
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Depok: Kencana, 2017), 64.

2
mengabaikan yang lain serta tidak dapat mengambil hak yang lebih
banyak melampaui yang lain. Contoh dua arah yang berlawanan adalah
nuhhiyyah (spiritualisme) dengan maddiyah (materialisme), fardhiyah
(individu) dengan jama’iyah (kolektif), waqi’iyah (kontekstual)
dengan mitsaliyyah (idealisme), dan satbat (konsisten) dengan
taqhayyun (perubahan).
Hukum Islam selalu menyelaraskan antara fakta yang ideal dan
cita-cita seperti tersebut dalam al-Qur’an dan Hadis. Hukum Islam
posisinya di tengah-tengah antara kecenderungan maddiyah dan
kecenderungan rohaniah. Hukum Islam senantiasa mempertautkan
manusia dengan Allah dan mempertautkan manusia sesama manusia
serta mengarahkan kedua pertautan tersebut. Hukum Islam tidak
memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Hukum Islam memberikan kepada manusia harapan memperoleh
sukses dalam kehidupan dunia dan sukses di alam akhirat. Hukum
Islam juga mempertemukan antara dua arah yang bertentangan, yaitu
arah materialisme dan arah idealisme, sebagaimana yang difirmankan
dalam al-Qur’an surah al-Qasas [28]: 77;2

‫ك ِم َن‬ ِ َ‫اك اللَّ ه ال َّد ار ا آْل ِخ ر َة ۖ> و اَل َت ْن س ن‬ ِ‫و اب ت ِغ ف‬


َ َ‫ص يب‬ َ َ َ َ ُ َ ‫آت‬
َ ‫ا‬ ‫يم‬
َ َْ َ
‫اد يِف‬ َ ‫َأح َس َن اللَّ هُ ِإ لَ ْي‬ ِ ‫ال ُّد ْن ي ا ۖ> و‬
َ ‫ك ۖ> َو اَل َت ْب ِغ الْ َف َس‬ ْ ‫َأح س ْن َك َم ا‬
ْ َ َ
‫ين‬ ِِ ُّ ِ‫ضۖ> ِإ َّن اللَّ هَ اَل حُي‬
ِ ‫اَأْل ْر‬
َ ‫ب الْ ُم ْف س د‬
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

2
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, 69.

3
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
3. Manusiawi (Insaniah)
Hukum Islam tidak membedakan suku bangsa, agama, warna kulit,
antar yang berpendidikan dan yang tidak, antara yang jahat dan yang
‘alim. Sehubungan dengan ini, hukum Islam tidak pernah
melaksanakan setiap keputusan hukum didasarkan pada pemaksaan,
apalagi melanggar HAM dan membatasi manusia tersebut.
Makna karakteristik manusiawi adalah bahwa hukum Islam
diperuntukkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing
dan memelihara sifat-sifat humanistisnya serta menjaga dari sifat jahat
hewani agar tidak mengalahkan sifat kemanusiaannya. Agar hal ini
dapat terlaksana, hukum Islam memformulasikan dirinya dalam bentuk
ibadah bagi manusia untuk memenuhi keperluan rohaninya. Hukum
Islam memotivasi manusia untuk berjalan di muka bumi mencari
karunia Allah Swt. dan berusaha untuk memakmurkan bumi ini dengan
menganjurkan manusia agar berbuat baik kepada sesamanya dan tidak
bermusuh-musuhan.
Habib ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa karakteristik insaniah
adalah pengakuan Allah Swt. terhadap kemuliaan manusai karena
kemanusiaannya. Hukum Islam tidak mendahulukan sesuatu pun atas
manusia, manusialah yang menjadi jauhar dan asasnya,
daripadanyalah bercabang segala khususiyah dan sifat, segala maziyah
dan fadhilah.3
4. Sempurna (takamul)
Syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak
berubah-ubah lantaran berubahnya masa dan berlainannya tempat.
Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menerapkan

3
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, 69.

4
kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rincinya
diserahkan pada ijtihad pemuka masyarakat (ulama). 4
Dengan penetapan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam
dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di
semua tempat dan setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat
menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-
Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng. Kecuali hal-hal yang
bersifat langgeng, nash memuat prinsip-prinsip hukum terperinci,
konkret dan teknis. Misalnya, masalah peribadatan, perkawinan,
perceraian dan warisan diterangkan secara terperinci. Hal ini mencegah
bid’ah dan pembaharuan yang menyesatkan. Bentuk yang umum dan
mengglobal dalam penetapan.
Syariah Islam benar-benar menjadi petunjuk yang universal dengan
adanya bentuk yang umum dan global tersebut. Syariat Islam juga
dapat diterima di semua tempat dan setiap saat, juga diharapkan hukum
Islam dapat berlaku sepanjang masa.
5. Elastis
Elastis (mudah diubah bentuknya , dan mudah kembali ke bentuk
asal, lentur dan luwes). Keelastisannya mencakup di segala bidang
kehidupan manusia baik jasmani dan rohani. Hukum Islam
memperhatikan segala aspek kehidupan manusia, baik dibidang
muamalah, ibadah, jinayah, siyasah, dan di bidang-bidang lainnya.
Namun, segala aturan yang diatur oleh hukum Islam itu tidak berarti
pula menjadikan hukum Islam memiliki dogma yang kaku (beku),
keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang
mesti dijalankan oleh umat manusia. Dengan demikian, yang
diharapkan dari umat Islam adalah tumbuh dan berkembangnya proses
ijtihad, yang menurut Iqbal disebut “Prinsip gerak dalam Islam”.
Ijtihad merupakan suatu teori yang aktif, produktif, dan konstruktif. 5

4
Fathurrah Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 46.
5
Fathurrah Djamil, Filsafat Hukum Islam, 48

5
Allah Swt. tidak menghendaki syariat yang diturunkan-Nya
menjadi petunjuk pelaksanaan tugas yang terperinci. Tuhan
menghendaki nash menjadi petunjuk. Nash hanya mencantumkan
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan pelaksanaan kewajiban secara garis
besar. Kecuali untuk masalah dan kaitan tertentu, nash tidak memuat
cara dan pengaturan pelaksanaan kewajiban. Dengan demikian, nash
membuka peluang untuk memanfaatkan akal guna berijtihad dan
memilih cara-cara yang paling sesuai bagi pelaksana dan sesaui pula
dengan keadaan.
Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis, dapat dilihat
dalam kasus jual beli. Kita hanya mendapati empat ayat hukum yang
berhubungan dengan jual beli yang tertuang dalam al-Qur’an yaitu:
QS. Al-Baqarah[2]: 275, QS. An-Nisa’[4]: 29, QS. Al-Baqarah[2]:
282, dan QS. Al-Jum’ah[62]: 9. Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan
hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah
pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jumat.
Kemudian rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim
berlaku pada masa beliau. Selebihnya tradisi atau adat masyarakat
tertentu dapat dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
Berijtihad bukan saja hak para imam-imam mujtahid, ia juga
merupakan hak setiap Muslim yang dituntut untuk terus berusaha
meningkatkan kualitas dirinya untuk mencapai ke jenjang mujtahid.
Adanya proses ijtihad ini mengidentifikasikan bahwa hukum Islam ini
bersifat elastis.6
6. Universal (syummul)
Fakta menunjukkan bahwa hukum Islam telah berlaku pada hampir
di seluruh dunia dengan kelebihannya dan kekurangannya, keragaman
bangsa dan peradabannya, sesuai dengan perubahan waktu dan
zamannya.

6
Muhammad Sukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2014), 41.

6
Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik karena hukum Islam di
samping memiliki keteguhan dasar dan akar yang kuat terhadap akal
dan keluhuran fitrah, pemeliharaan realitas, tawazun antara hak dan
kewajiban, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat yang dibangun atas
fondasi keadilan. Hukum Islam ampu mengatasi masalah-masalah
modern. Universal meliputi semua zaman dalam kehidupan dan
eksistensi manusia. Berguna bagi seluruh zaman dan generasi, tidak
terbatas masa dan tempat yang implementasinya berakhir seiring
dengan berakhirnya zaman tersebut, seperti yang terjadi pada para nabi
pembawa hukum sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul.
As-Syahid Hassan al-Banna mengungkapkan bahwa jangkauan
syumul dalam risalah Islam (termasuk hukum-hukum di dalamnya)
adalah risalah yang menyeluruh yang meliputi abad sepanjang zaman,
terhampar luas sehingga meliputi semua cakrawala umat, begitu
mendalam dan mendetail sehingga memuat semua urusan dunia dan
akhirat dalam mengatur hidup manusia di dunia ini.
Sejalan dengan ketentuan di atas, Yusuf al-Qardhawi
mengemukakan bahwa makna syumul dalam syariat Islam adalah
memberikan pengertian kepada seluruh umat manusia bahwa Islam
adalah risalah bagi umat manusia dalam semua aspek sektor kehidupan
dan aktivitasnya, kecuali di dalamnya ada sikap yang harus
dilakukannya. Selain dari itu Hukum Islam juga mencakup hal-hal
yang berkaitan dengan kewajiban negara terhadap rakyat dan
sebaliknya serta pengaturan komunikasi antar-keduanya, termasuk juga
hukum internasional dan politik negara.7
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam itu mempunyai sifat
universal atau tidak, harus dikembalikan kepada Al-Qur’an. Universal
hukum Islam ini dinyatakan oleh Al-Qur’an sendiri yang berbunyi:
ِ ِ
َ ‫اك ِإاَّل َرمْح َةً ل ْل َعالَم‬
‫ني‬ َ َ‫َو َما َْأر َس ْلن‬

7
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, 67.

7
“Dan tidaklah Kami (Allah) mengutus Kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs
Al-Anbiya’: 107)

ِ ‫َّاس بَ ِش ًريا َونَ ِذ ًيرا َوٰلَ ِك َّن َأ ْكَثَر الن‬


‫َّاس اَل َي ْعلَ ُمو َن‬ ِ ‫اك ِإاَّل َكافَّةً لِلن‬
َ َ‫َو َما َْأر َس ْلن‬
“Dan kami (Allah) tidak mengutus Kamu (Muhammad),
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Qs Al-
Saba’:28)
7. Dinamis
Dinamis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan makna
dari kata dinamis adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat
bergerak dan mudah menyesuaikan diri dalam keadaan dan
sebagainya.
Kedinamisan hukum Islam terletak pada dasar-dasar yang menjadi
dasar dan tiang pokok bagi hukum. Dasar-dasar dan pokok-pokok
itulah yang menjadi sumbu kekuatan, kelemahan, kemudahan, dan
kesukaran dalam menetapkan hukum Islam.
Dalam syariat Islam, jika ada situasi-situasi khusus, di mana
hukum-hukum yang telah ditetapkan ternyata mengandung kesulitan,
maka sudah pasti disyaratkan rukhsah (keringanan), maka dihalalkan
apa yang semula haram, manakala timbul keadaan yang memaksa.
Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan
dalam melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa,
ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap uzur
yang menuntut adanya keringanan.8

8. Sistematis

8
Muhammad Sukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, 44.

8
Syariat Islam bersifat sistematis artinya mencerminkan sejumlah
doktrin bertalian dan berhubungan di antara satu dengan lainnya secara
logis. Beberapa lembaga saling berhubungan satu dengan lainnya.
Perintah shalat di dalam Al-Qur’an selalu diiringi dengan perintah
menunaikan zakat. Perintah untuk makan dan minum diiringi dengan
kalimat “tetapi jangan berlebih lebihan”. Islam tidak mengajarkan
spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam seseorang dilarang hanya
“bermuamalah” dengan Allah Swt. dan melupakan dunia. Dalam
hukum Islam manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum
Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki
tersebut.
Demikian pula dengan lembaganya, pengadilan dalam Islam tidak
akan memberikan hukum potong tangan bagi pencuri bila keadaan
masyarakat sedang kacau dan terjadi kelaparan, tidak akan memberi
hukuman bagi penzina dan kebiasaan berpakaian yang belum
diterapkan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam itu
sendiri.
Hukum Islam dengan lembaganya dengan demikian saling
berhubungan satu sama lainnya. Hukum Islam tidak akan bisa
dilaksanakan apabila diterapkan sebagian dan ditinggalkan sebagian
lainnya.9
B. Sifat Hukum Islam

Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang


mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai
ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia tidak boleh
beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam bidang ini, tidak
ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang muamalah, di
dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na (rasional). Artinya,

9
Muhammad Sukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, 46.

9
umat Islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan
syari'at tersebut.10

Al-Syabiti menyatakan bahwa ta’abbudi adalah suatu di mana tujuan


hukum dalam melembagakan hukum untuk membebaskan mukallah dari
perintah-perintah hawa nafsunya (hawa) agar dia menjadi hamba Tuhan
dengan suka rela (ikhtiyaran) sebagaimana dia juga hamba Tuhan secara
alamiah (idhtiraran, secara terpaksa). Sedangkan ta’aqqul adalah sebaliknya.

Lebih jelasnya ta’abbudi adalah suatu bentuk idabah yang bertujuan


utamanya untuk mendekati diri kepada Allah, yakni beriman kepada-Nya dan
segala konsenkuensinya berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abbudi
murni, artinya maka (ide dan konsep) yang terkandng didalamnya tidak dapat
dinalar (ghairu ma’qulah al-ma’na) ataupun supra-rasional. Manusia harus
menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh syariat.

Kedua, (yakni ta’aqquli) berbentuk dalam bidang muamalah.


Ta’aqquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar
(ma’qulah al-ma’na) atau rasional, maka manusia dapat melakukan dengan
bantuan nalar dan pemikiran manusia. “illat dari mu’amalah yang bersifat
ta’aqquli dapat terkandung didalamnya. Sesuatu dilarang karena ada
kemudharatan di dalamnya, dan diperhatikan karena ada maslahat di
dalamnya.11

10
Sya’ban Mauluddin, “Karakteristik Hukum Islam (Konsep dan Implementasinya)”. Jurnal
Ilmiah al-Syir’ah. Vol. 2 No.1, 2004, 7.
11
Muhammad Sukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, 47.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Karakteristik hukum Islam adalah rabbaniyah, al-watshiyah,
insaniah, takamul, elastis, syumul, dinamis, sistematis. Keseluruhan
karakteristik tersebut menggambarkan betapa istimewanya hukum Islam,
ia adalah hukum yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan
zaman. Manusia pun diberi kebebasan untuk berijtihad dalam melakukan
penetapan hukum demi terciptanya kemudahan bagi manusia sendiri, ia
mengatur kehidupan manusia baik dari sisi lahir dan batinnya yaitu untuk
mencapai kesuksesan dunia dan akhirat.
Terdapat dua sifat hukum Islam yaitu ta’abuddi dan ta’aqquli, di
mana ta’abuddi yaitu sifat hukum Islam di mana ia tidak dapat di nalar
atau tidak dapat diterima secara logis yaitu seperti tentang keimanan dan
ibadah dan manusia harus menerima semua yang telah digariskan syariat.
Sedangkan ta’aqquli yaitu sifat hukum Islam di mana ia dapat di nalar atau
dapat dipahami secara rasional yaitu urusan duniawi seperti tentang
muamalah atau hubungan manusia dengan manusia, tentang hala haram
karena manfaat atau mudarat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Manan, Abdul. 2017. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Depok: Kencana.

Djamil, Fathurrah. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Albani Nasution, Muhammad Sukri. 2014. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Jurnal:
Mauluddin, Sya’ban. 2004. “Karakteristik Hukum Islam (Konsep dan
Implementasinya)”. Jurnal Ilmiah al-Syir’ah. Vol. 2 No.1.

12

Anda mungkin juga menyukai