Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH SYARIAT ISLAM DI ACEH

BAB I
PENGERTIAN DAN PELAKSANAAN
SYARIAT ISLAM DI ACEH

A.    PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM 

Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan
islam  artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-
quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.

     Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab
suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an,
pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman
tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah akidah,
syar’iyah dan  akhlak.Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber
pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkansyar’iyah, sebagai jalan berupa
ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada
makhluk ciptaan-Nya yang lain.
    
            Menurut M. Daud  Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti
teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan
benda dan alam lingkungan hidupnya.
    
     Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi
atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama
makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat,
serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni
tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
    
     Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis,
syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan
benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal,
sehat, dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala
masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah
bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah
mengalami datang bulan (menstruasi).
    
     Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam
firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan)
dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang
tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).

B.     SYARIAT ISLAM DAN QANUN

      Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek


kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas
Syari’at Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti
terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan
Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan
dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar
Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.

       Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam


di Aceh,didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at
Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31
disebutkan:

1.      Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan


dengan Peraturan Pemerintah.
2.      Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitandengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

C.    TUJUAN SYARI’AT ISLAM

            Tujuan Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia,
baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.

            Taklif   itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian
tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa
nafsunya, menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang
menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia
yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

           Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan
dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib
dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan,
dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.

             Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya


dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu
kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud dan
terpelihara. Memelihara kebutuhandaruriyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan
terhadap lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya.
Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap hal-hal yang
diperlukan dalam kelestarian lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas
kepentingan daruriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya
eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam
usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan kesempitan itu di
dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan
melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah SWT menurunkan hukum-Nya.
Melaksanakan taklif hukum-Nya itu, maka kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia
mukallaf akan terwujud dan terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau
yang biasa disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.     PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM di ACEH
           
        Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia,
maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan
menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh
mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran,
dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para
ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan
bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota
Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala
negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.
        
       Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan
dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal
tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi
perjuangan Syariat.
   
         Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor UIN Ar-
Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan membawa kepada
pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa
sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia.
Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di
dunia maupun di akhirat.

                                                                         BAB II
SEJARAH SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH.

1.      Masa kerajaan Aceh.


       Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah
satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan
portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar
kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama.
Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta
persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat
kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
        
        Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika
ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari
kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
        
        Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh.
Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh
Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun
1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang
membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf
disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-
ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa
pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim
dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri
dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab
syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja.
Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya
sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja
ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh
qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh
dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya
adalah:

A.    datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu
sangat       besar.
B.      Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada              
keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
C.     Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di    
tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul
adil).
D.    Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi    
pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.

2.      Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.

Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum
menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji
soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan
syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan
moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan
syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.

Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak
500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran
pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta.
Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua
pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.

Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan
provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah
rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda
dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam
Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah
karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim
“untold history”. ]  30 September 2009 jam 22:35)

Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan
pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat.
Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda,
colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat
agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi
pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya
kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966
tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai
lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan
sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup
keseharian dan keagamaanya.

Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu
pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari
cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah
nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika
peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak
dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah
yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama,
peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti
dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-
39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru.
Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.

      Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk
mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah
di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di
pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat
namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam
Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran
menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di
laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang
berlaku di seluruh Indonesia.

3.   Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).

     Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan
syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai
dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat
islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum
yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999
dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai
semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah
syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu.
Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat
islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:

1.      Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi
muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2.       Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani
dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata
hati mereka sendiri.
3.      Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran
hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4.      Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta
kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau
kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.

B. LEMBAGA YANG TERKAIT PENERAPAN SYARIAT ISLAM.


a.       Dinas syariat islam.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
c.       Wilayatul hisbah (WH)

C. SISTEM PENYUSUNAN HUKUM SYARIAT ISLAM DI NAD


Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih
dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung
dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk
disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu
dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.

Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD.
Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.       Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.       Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau
terhukum melarikan diri.
g.      Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum
menyerahkan diri atau tertangkap.

BAB III

A.  SEJARAH DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM


Sejarah pemikiran Islam selalu sejalan dengan perkembangan peradaban Islam, mulai dari
masa Rasulullah sampai masa sekarang ini. Karena semua hasil pemikiran manusia adalah
sebuah budaya dan menjadi sebuah peradaban. Oleh sebab itu dalam perjalanannya selama lebih
dari 14 abad, pemikiran Islam mengalami perkembangan dan dinamika. Para ahli berbeda dalam
membagi priodeisasi perkembangan  pemikiran dan peradaban Islam. Khudhary Beyk, dalam
karyanya membagi ke dalam enam periode, yaitu:
1.    Periode Rasulullah saw.
2.    Periode Sahabat Besar hingga berakhir masa Khulafaurrasyidin
3.    Periode sahabat kecil hingga tabi’in yang berakhir pada akhir abad pertama Hijriah
4.    Periode perkembangan pemikiran hukum Islam menjadi satu disiplin ilmu keIslaman yang
ditandai dengan lahirnya imam-imam mujtahid yang berakhir hingga abad ke 13 Hijriah
5.    Periode perkembangan diskusi tentang pemikiran hukum Islam dan lahirnya penulis-penulis
besar yang berlangsung hingga kejatuhan Dinasti Bani Abbas 1258 M/756 H.
6.    Periode taklid sejak runtuhnya Bani Abbasiyah.
Asaf A.A. Fyzee membagi perkembangan hukum Islam menjadi lima periode, yaitu:
1.    Periode tahun pertama hijriah hingga wafatnya Rasulullah (10 Hijriah).
2.    Periode khulafaurrasyidin (10-40 Hijriah)
3.    Periode abad ke tiga Hijriah
4.    Periode panjang kemunduran hukum Islam secara merata di dunia Islam hingga jatuhnya Dinasti
Usmani 1924 M.
5.    Periode modern sejak kejatuhan Dinasti Usmani dimana hukum Islam kehilangan sanksi dan
hanya menjadi hukum moral.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution periodisasi sejarah peradaban Islam terbagi pada 3 periode:

1.    Periode Klasik (650-1250 M)


Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah,
dan masa-masa permulaan Daulah Abbasiyah.
2.    Periode Pertengahan (1250-1800 M.)
Pada periode ini terjadi dua masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar. Turki Utsmani,
Dawlah Shafawiyah, dan Dawlah Mongoliyah di India. Fase Tga Kerajaan Besar mengalami
kemajuan pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran kembali pada 1700-1800 M.
3.    Peridoe Modern (1800- sekarang)
Pada periode ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat dalam rangka mengembalikan
keseimbangan kekuatan antara barat dan dunia Islam. Dalam era ini Islam mulai bangkit kembali
dengan melakukan pembaharuan (tajdid).

B.  PERKEMBANGAN AWAL PEMIKIRAN ISLAM

Kajian modern tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya berakhir dengan Ibn khaldun,
kebetulan atau tidak, kenyataannya bahwa Dunia Islam, tidak seberapa lama sesudah kepergian
pemikir besar itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntukan dengan dunia luar Islam,
khususnya Eropa barat. Kehebatan prestasi Ibn Khaldun dikontraskan dengan situasi Dunia Islam
dalam konteks global yang kurang beruntung tersebut memang dapat menimbulkan kesan amat
kuat tentang mendekatnya kegiatan Intelektual Umat sesudah pemikir besar itu.

C.  MODE PEMIKIRAN ISLAM


1.    Kelompok Neo-Tradisionalisme

Kelompok ini lebih cendrung kepada sufisme yang kental bercampur dengan filsafat.
Mereka lahir dan berkembang setelah Perang Dunia II, F. Schuon, Hossein Nasr, Hamid Algar,
Roger Garaudy, Martin Lings, Muhammad Naquib Al-Attas, barang kali dapat digolongkan
kelompok ini. Kecuali Nasr dan Al-Attas yang memang berasal dari kultur Islam, yang lain
adalah sarjana-sarjana barat yang menyebrang menjadi muslim setelah mereka dewasa.

2.    Kelompok Modernis dan Penerusnya Neo-Modernis Islam

Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan,
Syibli, Nu’mani, Namik Kemal, H.Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Fazlur
Rahman dan Ali Syariati. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok pembela ijdtihad sebagai
metode  utama untuk meretas kebekuan berfikir umat Islam. Mereka sadar sepenuhnya bahwa
kejatuhan umat Islam sama sekali bukan karena agamanya, tapi semata-mata karena keasalah
pahaman dan ketidak cerdasan meraka dalam membaca ajaran Islam.

3.    Kelompok Sekularis atau Islam Liberal

Tokoh-tokoh utama kelompok ini, diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal Atturk,
Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H. Khalid. Mungkin juga Abu Kalam Azad
dapat pula dimasukkan dalam kelompok ini. Atribut sekularis disini hendaklah dibatsi dalam
pandangan mereka tentang hubungan Islam dan politik. Bagi mereka, agama (termasuk Islam)
harus dipisahkan menjadi sistem etika belaka. Bassam Tibi, misalnya, melalui karya-karyanya
dalam bahasa Jerman (sebagian telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris), telah mengangkat
kembali masalah hubungan Islam dengan kekuasaan.

4.    Kelompok Post Tradisionalisme


Kelompok ini adalah kelompok yang serba eksklusif Islam atau katakanlah mereka sebagai
Islamis, yang menjadikan Islam terutama sebagai ideologi politik. Mereka ini sangat anti barat.
Mereka hendak menawarkan Islam yang katanya belum tercemar oleh noda peradaban lain.
Tokoh-tokohnya adalah seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayid Quthb, dan sampai batas yang jauh
Ayatullah Khomeini, bapak spiritual Revolusi Iran yang spektakuler itu. Dari ketiganya hanyalah
Khomeini yang berhasil meraih kemenangan politik dengan meruntuhkan rezim Syah yang
disokong mati-matian oleh Amerika Serikat.
Karena muatan politik begitu menyarati pemikiran kelompok ini, maka formulasi Islamnya
tidak jarang terlalu dicoraki oleh ekspediensi politik semasa. Maka tidaklah mengherankan kalau
fondasi intelektualismenya sulit sekali mencapai kestabilan. Dengan cara ini, rona wajah Islam
akan sangat ditentukan oleh penafsiran mereka terhadap fluktuasi politik dari masa kemasa.

D. FARIASI PEMIKIRAN ISLAM


1. Bidang Kalam (Teologi)
Munculnya teologi pada pertengahan abad kedelapan merupakan hasil dari suatu semangat
penyelidikan baru  yang dikobarkan dalam dunia muslim oleh perkenalan dengan filsafatYunani.
Namun dalam beberapa hal interaksi antara filsafat dan dogma menghasilkan suatu perpecahan
antara keduanya.
2. Bidang Fiqih
Bidang fiqih atau lebih dikenal dengan syariat mempunyai perkembangan fiqih pada masa
itu merupakan pemahaman ilmu agama secara keseluruhan, termasuk tauhid, akhlak, dan hukum
tanpa ada pemisahan pemahaman. .

BAB IV
POKOK PEMBAHASAN DAN JINAYAT  

A.    POKOK – POKOK  PEMBAHASAN SYARIAT ISLAM


            Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
Pelaksanaan syariat Islam diatur dalam peraturan Daerah Istimewa Aceh tahun 2000 tentang
pelaksanaan syariat islam (Dinas syariat islam 2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan
syariat islam adalah seperti terdapat dalam perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000
tentang pelaksanaan Syariat Islam. Bab IV pasal 5 ayat 2, yaitu: aqidah, ibadah, muamalah,
akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah/amar makruf nahi mungkar, baitul mal,
kemasyarakatan syiar islam, pembelaan islam, Qadha,jinayah, munakahat, dan mawaris

Pengertian pokok-pokok syariat Islam  tersebut di atas adalah sebagai berikut :


1.      Aqidah adalah aqidah ahlussunah wal jamaah berdasarkan Alquran dan Hadis yang menjadi
keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktifitas,
sikap, pandangan, dan pegangan hidupnya.
            Setiap orang berkewajiban untuk menjaga dan memelihara aqidah dari pengaruh
paham atau aliran sesat .setiap orang juga di larang untuk menyebarkan paham atau aliran
sesat,barang siapa yang menyebarkan suatu paham atau aliran sesat maka akan dihukum dengan
ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum 
paling anyak 12 kali.
2.      Ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan
cara melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya sebagaimana yang
dituntun dalam syariatNya.
     Salah satunya ialah ibadah salat jum’at.setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha,
dan atau institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat
menghalangi/mengganggu oramg Islam melaksanakan salat jum’at.setiap orang wajib
melaksanakan ibadah salat jum’at selama tidak ada uzur syar’i. Apabila ada yang melanggar
ketentuan ini maka akan dihukum dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 6
bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 kali.
3.       Muamalah adalah ketentuan hukum tentang kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, transaksi (ijab qabul),
perserikatan dan segala jenis usaha perekonomian.
4.      Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya
bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
5.      Munakahat adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan
suami istri.
6.      Mawaris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris
serta jumlahnya.
7.      Syi'ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakkan
dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
     Salah satu cara penyelenggaraan syi’ar Islam ialah dengan adanya peraturan wajib
berbusana muslim. setiap orang Islam wajib berbusana Islami, pimpinan instansi pemerintah,
lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarkat wajib membudayakan busana
Islami di langkungannya.barang siapa tidak berbusana yang Islami maka akan dipidna dengan
hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh wilayatul hisbah.
8.      Akhlak adalah prilaku dan tata pergaulan hidup sehari- hari umat muslim yang menetap kuat
dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari
dirinya secara mudah dan ringan tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
9.      Tarbiyah (pendidikan) adalah sistem pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai syariat Islam untuk
membentuk kepribadian muslim yang shalih dan mushlih.
10.  Dakwah islamiyah adalah semua kegiatan yang mengajak orang lain untuk berbuat kepada
kebaikan dan melarang berbuat kejahatan atau amar ma'ruf nahi mungkar.

B.     Jinayat
     Secara teoritis, jinayat atau hukum pidana Islam didefinisikan sebagai hukum syara’
yang berkaitan dengan  masalah perbuatan yang dilarang yang lazimnya disebut dengan
jarimahatau  tindak pidana dan ancaman hukumannya(uqubah). Uqubah adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara’.dalam hukum pidana Islam dikenal tiga macam ketentuan pidana yaituhudud,
qishash/diyat, dan ta’zir.
1.      Hudud
     Hudud atau alhudud adalah bentuk jamak dari kata hadd yang berarti batas, rintangan,
halangan dan pagar. Dalam Al-qur’an, hudud sering kali diartikan sebagai hukum atau ketetapan
Allah SWT.  Dalam ilmu fiqh, hudud atau hadd ialah hukuman atas perbuatan pidana
tertentu(jarimah hudud)  yang jenis dan bentuk hukumannya telah ditentukan syar’i .yang
termasuk ke dalam hudud adalah sebagai berikut :

a.       Zina ,adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan perempuan diluar akad
nikah. hukuman bagi pezina ghairu muhsan ialah dicambuk seratus kali.
b.      Qadhaf ,adalah tuduhan berzina terhadap seseorang tanpa menghadirkan saksi yang memenuhi
syarat. Hukuman bagi penuduh zina ini aalah didera delapan puluh kali.
c.       Pencurian (sariqa), seseorang  yang secara  sengaja diam-diam mencuri harta orang lain . si
pencuri dikenakan had potong tangan.
d.      Perampokan(qat’ul al thariq), merupakan suatu perbuatan yang sangat di benci dalam Islam
karena dapat merusak keamanan masyarakat. Pemberontakan(al-bughyi), suatu perbuatan yang
berusaha untuk menghancurkan negara islam dan imamnya yang adil dengan tujuan menjadikan
negara tersebut sebagai negara kafir.orang-orang atau kelompok yang melakukan pemberontakan
tersebut disebut dengan bughat.
e.    Al riddah atau murtad,berarti keluar dari agama Islam . hukumannya tidak disebutkan secara
jelas.
f.  Minum khamar(syurb),merupakan salah satu kesalahan jinayah dalam Islam .hukumannya
biasanya ialah disebat dengan tali atau di cambuk.

2.      Qishash
 Qishash merupakan suatu ketentuan Allah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja
dimana pelakunya dikenakan hukuman mati.akan tetapi keluarga si korban dapat menurunkan
hukuman mati menjadi hukuman denda atau diyat.diyat ialah denda yang harus di bayarkan oleh
seseorang dikarenakan telah melakukan pembunuhan, jumhur ulama sepakat bahwa jumlah diyat
yang harus dibayarkan kepada keluarga terbunuh ialah 100 ekor unta. qisash/diyat, meliputi :
pembunuhan dan penganiayaan.

3.      Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain
hudud dan qishash/diyat.ta’zir adalah perbuatan pidana yang jenis dan hukumannya tidak
ditentukan lebih dahulu dalam nash. Seperti: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan,
khalwat(mesum),dan meniggalkan salat fardhu dan puasa Ramadhan.
a.    Maisir atau perjudian, Pada tanggal 15 juli 2003,Gubernur provinsi NAD mengesahkan qanun
provinsi nomor 13 tentang maisir dengan persetujuan DPRD Provinsi NAD . khasus pertama
yang sampai ke pengadilan terjadi di Aceh Tenggara , di ajukan ke mahkamah syariah Kutacane
serta diputuskan tanggal 19 Januari dengan putusan nomor:01/JN.S/2005/MSY-KC.
b.    Khalwat/mesum, adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau
lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yantg sepi yang
memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada
terjadinya perbuatan perzinaan .

C.    Petunjuk Pelaksanaan Uqubat Cambuk


          Pelaksanaan uqubat cambuk dilakukan dengan semena-mena, akan tetapi ada cara-
cara tertentu yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan.
Diantaranya adalah :
         Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh banyak orang
         Pencambukan dilakukan pada bagian punggung(bahu sampai pinggul) terhukum
         Sebelum pelaksanaan pencambukan terhukum diperiksa kesehatannya terlebih dahulu
         Apabila kondisi kesehatan terhukum menurut hasil pemeriksaan dokter tidak dapat menjalani
uqubat cambuk, maka pelqksanaan pencambukan ditunda sampai yang bersangkutan donyatakan
sehat untuk menjalani uqubat cambuk.
         Cambuk dilakukan oleh seorang pencambuk dengan memakai penutup wajah yang terbuat dari
kain
         Pada saat pencambukan,terhukum mengenakan pakaian tipis yang menutup aurat yang telah
disedikan
         Posisi terhukum pada saat pencambukan dalam kondisi berdiri bagi laki-laki dan posisi duduk
bagi perempuan

Pencambukan akan dihentikan, apabila:


a.       Terhukum terluka akibat pencambukan
b.      Diperintahkan oleh Dokter yang bertugas berdasarkan pertimbangan medis

c.      Terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai
dilaksanakan.
BAB  V
QANUN, EKSITENSI DAN ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH

   A.    DEFINISI QANUN
Kata Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-Undang. Qanun dapat juga
bermakna kumpulan materi hukum yang tersusun secara sistematis dalam suatu lembaga yang
dikenal dengan Undang-Undang. Jadi, Qanun adalah hukum materil yang menghimpun
ketentuan-ketentuan pidana.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan
otonomi kuhus (pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001). Dari pengertian
tersebut, dapat dipahami bahwa isi muatan Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang
bersifat delegasi suatu Undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata
lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang
dalam penyelenggaraan otonomi khusus.

    B.     QANUN SYARIAT ISLAM DI ACEH


 Lima  Qanun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam di Aceh.
Yaitu :

1.      PERDA No. 5 tahun 2000. Peraturan tersebut masih disebut sebagai PERDA, seperti di provinsi
lainnya, sebelum kemudian disebut sebagai Qanun semenjak UU otonomi khusus disahkan pada
tahun 2001.

            PERDA tersebut menyebutkan bahwa seluruh elemen pelaksanaan syariat islam
akan dilaksanakan termasuk didalamnya hal-hal yang berhuungan dengan aqidah, ibadah,
mua’amalah, akhlak, pembelaan islam, qadha, pendidikan, masalah perdata dan pidana, dan
perayaan hari besar islam, pendidikan dan dakwah, dan baitulmal. Peraturan tersebut juga
menyiapkan/mengatur sebuah lembaga pengawas pelaksanaan syariat islam di masyarakat, yang
kemudian disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH).

2.  Qanun yang kedua berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam adalah qanun No.
10 tahun 2002 tentang pembentukan makahma syar’iyah yang kewenangannya tidak hanya
sebatas permasalahan keluarga dan perwarisan. Kewenangan lebih luas yang diberikan ke sistem
pengadilan yang baru di Indonesia ini adalah kewenangan terhadap kriminal (jinayah).

Hukum jinayah tersebut di bagi ke dalam 3 kategori, yaitu :


1)  Hudud, yaitu yang mengatur permasalahan zina, pemerkosaan dan kejahatn lainnya yang
disebutkan dalam al-quran seperti mencuri, minum-minumn barakohol, murtad, dan
pemberontakan.
2)     Qishas dan Diyat, yaitu yang mencakup kejahatan pembunuhan dan pemukulan dimana pelaku
di hukum dengan cara yang sama, pembunuh akan dibunuh atau pelaku pemukulan dihukum
dengan pukulan atau denagn memberikan kompensasi setelah pelaku dimaafkan oleh sepupu
atau saudara korban.
3)   Ta’zir. Yaitu yang mencakup perjudian, penipuan, pemalsuan dokumeen, hubungan yang tidak
sah, tidak melakukan puasa di bulan ramadhan, dan shalat jum’at.
3.   Qanun yang ketiga adalah No. 11 tahun 20026 tentang pelaksanaan syariat islam dalam bidang
aqidah, ibadah, dan penerapan simbo-simbol islam.

4.   Qanun keempat yang mengatur langsung pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 12 tahun
2003 tentang khamar. yang melarang semua jenis minuman yang dapat mengganggu kesehatan,
kesadaran, dan pikiran.

5.      Qanun kelima adalah qanun No. 7 tahun 2004 tentang manajemen zakat.
Qanun tersebut memberikan mandate pembentukan baitul mal, yang diatur untuk dapat
menerima/menyimpan denda dari para pelanggar syariat Islam.

    C.    EKSITENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH


Eksistensi Syariat Islam di Aceh dikarenakan dalam sejarahnya yang cukup panjang,
masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian
dari kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat
tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang
menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya   Aceh
yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut lahir dari renungan para ulama,     
kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat (hidup
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat), yang kemudian diakumulasikan lalu
disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak Putro
Phang, Reusam bak Laksamana”, yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan
hukum syariat ada di tangan ulama”. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan
Syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Kemudian Aceh dikenal
sebagai Serambih Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum muslimin dari wilayah
lain di Nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Untuk itu, maka perlu dibentuknya suatu dinas yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan
Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam.

    D.    ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH


            syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah
menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di Aceh. Syariat
Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Dalam penerapannya Ulama
merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa..
Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat
menjalankan Syariat Islam. Penerapan  Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-
Qur’an dan Hadist yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan
dilarang Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul-karimah,
membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu melecehkan agama Islam.
Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh, minum-minuman keras, mencuri, yang
bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti
hukuman rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku
pembunuhan.        
             Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang
bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi
wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta
menghukum pelaku yang melanggar syariat.
BAB VI
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
A.    PILAR PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai
kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam
yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat
islam di Aceh. Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah :
1.     MenghidupkanMeunasah
2.     Pemberdayaan Zakat
3.     Lingkungan Kantor danSekolah yang Islami
4.     PengawasanPelaksanaanSyariat Islam, dan
5.     PerluasanKewenanganMahkamahSyar’iyah

1.      Menghidupkan meunasah
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan pilar budaya,terdapat satu
lembaga yang di namakan dengan meunasah,sebagai simbol masyarakat Aceh. pada setiap
kampung  atau lingkungan yang berdekatan senantiasa dijumpai uatu bangunan meunasah yang
bentuknya sama dengan rumah kediaman biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan
jendela,lorong,atau sekatan-sekatan. Bentuk dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun
sekarang ini mungkin sudah sedikit dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan
zaman.

2.      Pemberdayaan zakat
Wujud dari  pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat
Kampung,Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di fokuskan pada
hasil pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung, sedang sumber zakat Baitul
mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan
untuk sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah dari perusahaan  yang bergerak pada level
provinsi.

3.      Lingkungan kantor dan sekolah yang islami


semenjak adanya program ini setiap kantor atau sekolah sudah memiliki tempat shalat zuhur
berjamaah. Program yang berhubungan dengan kantor dan sekolah ini, termasuk pada kewajiban
memakai pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam qanun : setiap kepala kantor atau pemimpin
bertanggung jawab terhadap pakaian yang di gunakan pegawainya. Demikian juga halnya
dengan sekolah, setiap orang yang terlibat dalam proses belajar mengajar berkewajiban memakai
pakaian islami,mungkin juga bisa kita katakan bahwa adanya ‘’ kantin kejujuran’’ pada saat ini
sekolah-sekolah adalah dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.
Implementasi beberapa qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan di nyatakan
secara tertulis atau tidak tertulis di antaranya yaitu :      
a.       Budaya Shalat Berjamaah
b.      Budaya berpakaian islami
c.       Budaya menggalakkan syari’at islam
d.      Budaya baca doa dan surat-surat pendek
e.       Budaya shalat sunat khusuf dan kusuf
f.       Budayashalat sunah istisqa’
g.      Budaya shalat sunah tasbih
h.      Budaya sujud syukur dan sujud tilawah (sujud sajadah)
i.        Budaya salam dan berjabat tangan
j.        Budaya libur sekolah

4.      Pengawasan pelaksanaan syariat islam


                Di bentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berfungsi untuk
mensosialisasikan dan mengawasi pelaksanaan syariat islam. Pada awalnya lembaga ini berada
di bawah Dinas Syariat Islam,tetapi sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan lembaga Satpol PP,kedua lembaga yang
sekarang sudah bergabung menjadi satu dan mempunyai kewenangan yang berbeda.
                Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun
Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi perda atau qanun non Syariat.

5.      Kewenangan Mahkamah Syar’iyah


     Berlakunya syariat islam di Aceh di tandai dengan perubahan nama Peradilan Agama
menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama itu turut memperluas kewenangannya,yang
selama ini hanya berhubungan dengan pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi
lebih luas dengan cakupan hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di
Indonesia perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan
kewenangan mahkamah syar’iyah,berarti membatasi kewenangan  Pengadilan Negeri.

B.   Fungsi pilar pelaksanaan syari’at islam di Aceh

  Sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat
  Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia.
  Alat mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan membimbing
manusia untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti sebuah kehidupan. Karena
itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh manusia yang bersih.

BAB VII

A.    KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG DINAS SYARIAT ISLAM DALAM


PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk
meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang
Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun
1999.
Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah
Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah.
Tugas dari Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Aceh Nomor 33 tahun 2001 pada Pasal 3.Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan
tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di
bidang pelaksanaan Syariat islam.
Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi,
yakni :
    1.      Perencanaan dan penyiapan qanun yan berhubungan dengan Syariat Islam;
    2.    Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan
syariat           Islam;
    3.   Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan
peribadatan        dan  penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam;
    4.      Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam;
    5.      Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.

Sedangkan kewenangan Dinas Syariat Islam diterangkan pada Pasal 5, yaitu:


a.       Merencanakan Program, Penelitian dan Pengembangan unsur – unsur syariat Islam
b.    Melestarikan Nilai – nilai Islam
c.    Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan islam yang meliputi bidang – bidang aqidah,
ibadah, muamalat, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah, ammar makruf nahi mungkar,
baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, Qadha, jinayat, munakahat, dan
mawans
 d.       Mengawasi terhadapa pelaksanaan syariat Islam
e.       Membina dan mengawas terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ)
Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah :
pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah
( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah
Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah
pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat
Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.

B.     EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYYAH DALAM


PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

1.Eksistensi Mahkamah Syar’iyah


            Eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dikuatkan dengan Keputusan
Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember 1947. Setelah itu
Mahkamah Syar’iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikuatkan pula dengan Peraturan
Pemerintah No.29 tahun 1957 setelah melalui Perjuangan panjang masyarakat Aceh terutama
para ulama dan tokoh masyarakat.
            Peradilan Syari’at Islam juga dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang
disebut Mahkamah Syar’iyah. Hal ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU
No.18/2001 pasal 128 ayat (4) UU No. 11 tahun 2006 yang menentukan kewenangan Mahkamah
Syar’iyah didasarkan atas syariat Islam dalam hukum Nasional yang di atur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi Aceh.
Mahkamah Syar’iyyah merupakan salah satu pengadilan khusus yang berdasarkan
Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama. Kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah Syar’iyyah selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang
ibadah dan Syariat islam yang ditetapkan dalam Qanun.
2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah antara lain ialah memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara – perkara pada tingkat pertama tertera pada pasal 49 Qanun
No. 10 Tahun 2002,dalam bidang ahwal al – syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Selain itu
Mahkamah Syar’iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang
menjadi kewenangannya dalam tingkat banding juga tertera pada Pasal 50 ayat (1) : mengadili
dalam tingkat pertama dan terahir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Aceh.[1]
Adapun Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 mengenai
kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 3, yaitu :
1.      Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah provinsi adalah
kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan
kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar islam
yang ditetapkan dalam Qanun.
2.      Kekuasaan dan Kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam
kerangka sistem Peradilan Nasional.[2]

Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan


perkaraperkara jarimah (tindak pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak
shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan
fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa (bidang ibadah),
makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana
Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-
perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat.
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat
palsu atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.
Mahkamah Syar’iyyah tidak memulai dari yang baru tetapi menyempurnakan apa yang
sudah ada selama ini (baik tentang materi hukum maupun hukum acaranya).[3]

[1] Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.

2003. hlm XXXVI


[2] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah /

Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40


[3] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh : Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm 21

BAB VIII
Fungsi, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan
Ulama (Mpu) dan Baitul Mal

A.    Fungsi MPU
Fungsi MPU sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan
daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah,
baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan
hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
Meskipun secara yuridis MPU kedudukannya sebagai mitra sejajar pemerintah daerah
dan DPRD, tetapi dalam prakteknya belum berjalan secara maksimal, hanya sebatas hubungan
konsultatif. Sebagai badan konsultatif maka produk utama MPU adalah berupa saran.
MPU mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan
DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya
tersebut, MPU mempunyai hak dan kewajiban yaitu:

pertama, MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan
legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan
kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas pertanyaan
kepala daerah. 
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MPU bersifat pasif dalam memberikan
pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa
tapi pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai
aparat yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan
sejalan dengan pertimbangan yang telah diberikan.
 Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya
diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi
tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatikan.
 Secara normatif  pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah
tidak terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan
pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang
layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala
deaerah tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya. 
B. Tuagas MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
 a. Tugas MPU ditingkat Propinsi
1.  Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam
menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
2.  Melakukan pengawasn  terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah
berdasarkan  syari’at Islam.
3.  Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan  pendokumentasian
terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam
4.   Melakukan pengkaderan ulama.

 b. Tugas MPU ditingkat Kabupaten/kota


    1.      Memberi masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK
dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at islam .
   2.      Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah
berdasarkan syari’at islam.
    3.      Melakukan pengkaderan ulama.
   4.      Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya penyimpangan kegiatan
Keagamaan yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada MPU.     

C. Kedudukan MPU 
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat
Independen dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan
MPU di Aceh merujuk pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:
1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

D. Kewenangan MPU di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota 

 a. kewenangan MPU di tingkat Propinsi


   1.  Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan,  pembangunan,ekonomi, sosial budaya dan
kemasyarakatan.
   2.  Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah  keagamaan baik sesama
umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.
    3.   Dalam hal Badan Legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan
kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum Islam, wajib meminta dan mempertimbangkan
Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).Badan Legislatif dapat
menerima Rancangan Qanun di bidang Syari?at Islam yang diajukan MPU sebagai Rancangan
Qanun hak inisiatif anggota DPRD. Dalam rangka pembentukan Komisi independen Pemilihan
dan Komisi Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Badan Legislatif wajib
meminta pertimbangan MPU.
   b. kewenangan MPU ditingkat Kabupaten/Kota
    1.      Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU. 
   2.  Memberikan pertimbangan  dan masukan kepada pemerintahan    Kabupaten/Kotayang meliputi
bidang pemerintahan, pembangunan,  kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

E.     Pengertian Baitul Mal

 Secara etimologis baitul mal terdiri dari dua kata, yaitu Bait, artinya rumah dan mal yang
berarti harta. Jadi kalau digabungkan kedua kata itu maka baitul mal dapat berarti satu rumah
yang di dalamnya berupa harta. Sedangkan menurut terminologis, sebagaiman diajelaskan dalam
Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1),
bahwa Badan Baitul Mal merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat dan harta agama lainnyadi provinsi NAD, dan juga dalam Bab I Ketentuan
umum oleh Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal adalah lembaga daerah non
struktural yang diberi kmewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta
agama dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap
anak yati piatu dan/atau hartanya serta mengelola terhadap harta warisan yang tidak ada wali
berdasarkan syari’at Islam.
 
F.     Kedudukan Dan Kewenangan Baitul Mal di Propinsi Aceh

Didalam literatur fiqh Islam, Baitul Mal adalah suatu badan atau lembaga yang bertugas
mengurusi kekayaan negara, terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan pemasukan
maupun pengelolaan, namun terhadap pembentukan lembaga Baitul Mal ini tidak disebutkan
secara tegas didalam Al-quran maupun Al-hadist, akan tetapi karena manfaatnya dirasakan
sangat besar maka Baitul Mal tetap dipertahankan didalam pemerintahan Islam semenjak Umar
bin Khattab. Namun bagaimana bentuk dan tatacara pengelolaannya juga tidak ada pengaturan
yang tegas didalam sumber-sumber hukum Islam sama halnya seperti pembentukan lembaga
Baitul Mal itu sendiri. Hukum Islam dalam hal ini memberikan kebebasan kepada pemerintah
untuk membuat aturan-aturan yang dianggap sesuai dan memberi manfaat bagi negara dan
rakyat, dengan demikian maka bentuk dan sistem pengelolaan Baitul Mal dapat saja berubah
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya disamping dapat pula berbeda-beda antara
negara satu dengan yang lainnya.
Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak
terlepas dari perkembangan pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu
sejak agama Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum
terlembaga dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan
dan penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.
Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber pendapatan Asli
daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (UUPA) yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan
tersebut terdapat di dalam 3 pasal,yaitu, Pasal 180 ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 192.

Khusus di propinsi Aceh, pengurusan dan pengelolaan zakat ini merupakan kewenangan dari
Baitul Mal, dasar hukumnya adalah qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. sedangkan
pajak dikenakan kepada penduduk yang non muslim, untuk menghindari dari kewajiban
pembayaran double duties (kewajiban rangkap) berupa zakat dan pajak.

G.    Dasar Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum Baitul Mal di Provinsi Aceh adalah sebagai berikut:
1.      U.U. No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur masalah Zakat dan Baitul Mal.
2.      Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal, menetapkan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah 
non struktural dan bersifat Independen.
3.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18/2008 tentang Pedoman  Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD (termasuk Baitul Mal) menetapkan Sekretariat Baitul
Mal Aceh   (BMA) sebagai Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dalam jabatan struktural
(Eselon II.b, III.b dan IV.a)
4.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Keistimewaan Kabupaten/Kota Prov.Aceh menetapkan sekretariat Baitul Mal
Kabupaten/Kota (BMK) sebagai Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota SKPK dalam jabatan
struktural eselon III.a  dan IV.a
5.      Peraturan Gubernur NAD No.33/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Lembaga Keistimewaan Aceh.
6.      Keputusan MPU Aceh No.451.12/15/SK/2009 tanggal 5 Januari 2009 (Diperbaiki tanggal 29
April 2009) tentang Pengangkatan/Penetapan Tim Pembina Baitul Mal Aceh.
Dan masih banyak lagi.

H.    Unit Pengumpul Zakat (UPZ)         


            Sesuai Qanun Aceh nomor 10 tahun 2007 tentang baitul Mal, maka unit pengumpul
zakat yang selanjutnya disebut dengan UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Baitul
Mal Aceh dan Kabupaten/Kota  dengantugas mengumpulkan zakat para muzakki pada instansi
Pemerintah  dan lingkungan swasta.
Di sisni terlihat bahwa kewenangan UPZ hanya sebatas melakukan pengumpulan pada
unit-unit masing dan tidak dibeerikan kewenangan untuk melakukan pengembangan dan
pendistribusian kepada mustahik.

I.       Macam-macam Tingkatan Baitul Mal


            Adapun tingkatan Baitul Mal yang berlaku di Aceh setelah Qanun nomor 10 tahun
2007 adalah:
1.      Baitul Aceh, adalah lembaga daerah Non Strutural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat
independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
2.      Baitul Mal Kabupaten/Kota, bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
3.      Baitul Mal Mukim, bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
4.      Baitul Mal Gampong, bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.

Setiap tingkat Baitul Mal empunyai struktur organisasi masing-massing, semakin tinggi
tingkat organisasi Baitul Mal semakin besar pula komponen struktur oranosasinya, sebagiama
disebutkan  berikut:
a)      Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang
Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pedistribusian dan Pendayagunaan Bidang
Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub
Bagian.
b)      Badan Pelaksana Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara,
Bagin Pengumpulan, Bagian Pedistribusian dan Pendayagunaan Bagian Sosialisasi dan
Pembinaan dan Bagian Perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan Seksi.
c)      Badan Pelaksana Baitul Kemukiman adalah terdiri dari: Ketua yang karena jabatannya
dilaksanakan oleh Imuem Mesjid kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi
Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pewngawasan yang ditetapkan oleh
Imuem Mukim atau nama lain.
d)     Badan Pelaksana Baitul Gampong atau nama lain, yang terdiri atas Ketua yang karena
jabatannya dilaksanakan oleh Imuem Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris,
Bendahara, Urusan Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran  yang ditetapkan
oleh Geuchik atau nama lain.

J.      Harta Objek Zakat


         Zakat yang wajib dibayar menurut Qanunm nomor 10 tahun 2007 adalah zakat fitrah, zakat
maal, dan zakat penghasilan. Dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
1.      Emas, perak, logam mulia lainnya dan uang;
2.      Perdagangan dan perusahaan;
3.      Perindustrian;
4.      Pertanian, perkebunan dan perikanan;
5.      Peternakan;
6.      Pertambangan;
7.      Pendapatan dan jasa; dan
8.      rikaz, serta jenis harta lainnya yang ditetapkan oleh fatwa MPU Aceh.

BAB IX
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF

A.Pengertian Eksekutif dan Legislatif


1.Eksekutif
            Esekutif adalah suatu pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam sistem kabinet presidensial,
presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.
2.Legislatif
Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki
kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh
disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa. Istilah lembaga legislative dalam Islam
lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd
berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat.
 Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-
Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara
masyarakat. Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd
perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan
pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.

BAB X
SYARIAT DAN ADAT ACEH

A.    Pengertian Adat Aceh


            Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat
istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat
di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha
menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan
berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan
mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam
kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat
yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga
adat yang sudah terbentuk.
            Adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku antar generasi dalam satu
masyarakat, dimana keberadaannya berfungsi sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak
dimasyarakat pemangku adat tersebut.
B.     Jenis jenis adat aceh :
3 jenis adat aceh :
         Adat meukuta alam yaitu adat yang diwarisi dari sultan-sultan terdahulu yang telah disesuaikan
menurut keadaan.
         Adat mahkamah  yaitu adat yang berbentuk undang-undang yang dibuat oleh majelis kerajaan.
         Adat tunah yaitu adat yng dibuat oleh penguasa atau panglima negeri di daerah masing-masing
didalam kerajaan, yang keadaannya bergantung pada situasi dan kebiasaan dalam daerah yang
brkenaan.
C.    Adat istiadat di Aceh dalam kehidupan sehari-hari :
1.      Adat perkawinan
              Menurut adat aceh, upacara-upacara yang berlangsung dalam suatu proses perkawinan terjadi
atas  4 tahap yaitu: Meresek, melamar, pesta pernikahan dan antar pengantin perempuan.  Dalam
kaedah syariat Islam jika seseorang ingin menikahi haruslah ada mahar bagi perempuan dan pada
saat resepsi seharusnya  tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik laki-laki maupun
perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah atau dapat membangkitkan syahwat
mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff
(rebana).
2.      Adat turun kesawah
                Pelaksanaan upacara tron u blang dipimpin oleh keujreuen blang dan dihadiri tokoh-tokoh
masyarakat ditempat.
3.      Adat tron u laot.
                 Dilakukan setahun sekali dalam bentuk upacara adat dengan tujuan bersyukur kepada
Allah SWT.
4.      Adat bercocok tanam
                 Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada
lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima Uteuen yang dibawahi beberapa struktur
adat lainnya seperti Petua Seuneubôk, Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.Sistem
pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan.
Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya
berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan
seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk
menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blang.

A.       Lembaga Adat Aceh


 Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban
lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian
masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
D.    Lembaga adat Aceh meliputi:

1.     Majelis Adat Aceh


            Majelis Adat Aceh adalah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang
struktur kelembagaannya sampai ke tingkat gampong.
2.     Imeum Mukim
            Imeum mukim adalah orang yang dipercayakan sebagai pemangku adat di
kemukiman atau sering disebut juga dengan kepala mukim. Ke-mukim-an merupakan bentuk
pemerintahan yang berada di atas  gampong dan juga sebagai badan federal dari beberapa
gampong. Seorang imeum mukim bertugas mengawasi pelaksanaan adat di tiap-tiap kemukiman,
dan mempunyai kewenangan dalam menindak tegas masyarakat yang melanggar adat di wilayah
ke-mukim-an. Selain itu, dia juga bertugas menyelesaikan sengketa tapal batas antar  gampong
dan masalah-masalah perselisihan yang terjadi antar masyarakat gampong dalam ke-mukim-
annya.
3.     Imeum Chik 
           Imeum chik adalah imeum masjid pada tingkat ke-mukim-an. Imeum chikbertugas
untuk memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama
Islam dan pelaksanaan Syari'at Islam. 

4.     Keuchik
            Keuchik/geuchik adalah kepala persekutuan masyarakat adat gampong. Keuchik
tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang pemerintahan, seperti penyelenggara pemerintahan
gampong, tetapi juga bertugas untuk melestarikan adat istiadat dan hukum adat. Selain itu
Keuchik juga bertugas untuk menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban
masyarakat. Ibrahim Alfian menganalogikan  keuchik sebagai “bapak/ayah  gampong” karena
besamya tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya untuk pengendalian dan pemeliharaan
pemerintahan serta adat di tingkat gampong.
5.     Tuha Peut 
            Tuha peut adalah suatu lembaga permusyawaratan di tingkat gampong. Badan ini
berfungsi untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Keuchik pada setiap pengambilan
keputusan dalam rangka menjalankan pemerintahan  gampong.Lembaga ini disebut dengan 
Tuha peut karena jumlah mereka sebanyak empat orang yang terdiri dari unsur pemerintahan,
agama, tokoh adat dan cerdik pandai yang berada di gampong.
6.     Tuha Lapan
            Tuha lapan adalah lembaga adat yang terdapat pada tingkat mukim dan gampong
dan bertugas sebagai penasihat imeum mukim dan keuchik dalam menjalankan pemerintahannya
dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Agama, tokoh Adat,
tokoh masyarakat, cerdik pandai, pemuda, perempuan dan kelompok organisasi masyarakat
7.     Imeum Meunasah 
            Imeum meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di 
gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari'at
Islam. Hubungan antara  keuchik dan imeum meunasah sangat erat. Sehingga imeum meunasah
dapat dianalogikan sebagai “ibu gampong”. 
8.     Keujreun Blang
            Keujruen blang adalah orang yang membantu keuchik dan imeum mukimdi bidang
pengaturan dan penggunaan air irigasi untuk persawahan. Lembaga ini bertuugas
mempertahankan Hukum Adat di bidang pertanian. Selain bertugas mengelola lingkungan di
wilayah persawahan, keujruen blang juga bertugas untuk menindak pelanggaran hukum adat dan 
menyelesaikan sengketa yang timbul di wilayah kewenangannya.
             9.      Panglima Laot 
            Panglima laot adalah orang yang memimpin adat istiadat atau kebiasaan yang
berlaku di bidang penangkapan ikan di laut. Selain itu lembaga ini juga bertugas mengatur
tempat/areal penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa bagi hasil.
Kekuasaan panglima laot hanya berlaku di wilayah laut meliputi semua aspek kehidupan di laut.
Tugas panglimat laot tidak hanya sekedar melakukan pengaturan tetapi juga memberikan
sanksipada setiap pelanggaran adat dan sebagai hakim perdamaian ketika terjadi persengketaan
di wilayahnya bertugas.
            10.   Pawang Glee/Uteun 
            Pawang glee/uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang
berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan. 
            11.   Petua Seuneubok 
            Peutua seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Dalam hal ini,
lazimnya pelopor yang membuka tanah mati untuk menjadi lahan pertanian langsung diangkat
sebagai peutua seuneubok.
           12.   Haria Pekan 
            Haria pekan adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan, dan kebersihan
pasar serta mengutip retribusi pasar  gampong. Keberadaan lembaga haria pekan sangat penting
karena dapat menumbuhkan pasar-pasar strategis bagi perkembangan lalu lintas jual beli barang-
barang ekonomi rakyat. Selain itu lembaga ini dibutuhkan dalam rangka mengatur kehidupan
ekonomi pasar, mengawas penipuan yang terjadi di pasar dan menetramkan para konsumen dari
segala bentuk kejahatan di pasar.
             13.   Syahbanda 
            Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengurus tambatan perahu lalu lintas
keluar dan masuk perahu di bidang angkutan laut dan sungai. Pada masa lalu tugas syahbanda
tidak hanya terbatas pada manajemen pelabuhan, tetapi juga bertugas untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran di pelabuhan.

Hubungan syariat Islam dan Adat Aceh, dalam adat pernikahan adanya KUA (penghulu)
yang mana tugas KUA mempersiapkan kartu nikah bagi kedua membelai. Seperti yang kita
ketahui dalam syariat Islam seperti itu cara pelaksanaannya, ketika memulai ijab kabul membelai
wanita tidak diharuskan mendampingi membelai pria, tetapi setelah dikatakan sah, maka
membelai wanita datang menghampiri membelai pria. Mahkamah Syar’iyah juga ikut berwenang
dalam Adat perkawinan.
 Kemudian dalam adat bercocok tanam, adanya silaturahim antara masyarakat
dengan Keujruen Blang dan Petua Seuneubôk yang mengurus adat bercocok tanam. Dalam
syariat Islam mengharuskan adanya silaturahin agar terciptanya umat yang berbahagia.
 Adat tron u laot, upacara dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT. Dalam syariat
Islam kita diwajibkan untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita
hamba-Nya.
Adat turun kesawah, Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya
adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya
akan mendatangkan hama wereng (geusong).  

BAB XI
ISU-ISU DALAM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH
1.    Syari’at Islam Dan Non Muslim Di Aceh
PLURALISME
 Pengertian Pluralisme
Secara etimologi pluralisme berasal dari kata “plural” (inggris) yang berarti lebih dari satu
atau banyak dan berkenaan dengan keanekaragaman dan “ isme” yang berarti paham.Dengan
demikian pluralisme berarti paham kemajemukan Ada dua perspektif dalam memahami pluralisme.

 Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Pluralisme


Hubungan sosial antara umat manusia membuka dua pilihan yaitu harmoni atau konflik.
Harmoni terbangun ketika masing-masing berusaha untuk saling memahami, saling toleransi dan
menghilangkan berbagai prasangka negatif terhadap orang lain.Dengan cara tersebut, akan tercipta
suatu kehidupan yang rukun, nyaman, tentram dan penuh kedamaian. Sebaliknya, konflik terjadi
ketika masing-masing pihak memegang dengan teguh kebenaran yang diyakininya. Melihat pihak
lain sebagai lawan yang harus dikuasai dan ditundukkan. Sikap itulah yang merupakan penyebab
suatu konflik yang tidak dapat dihindari. Perbenturan kepentingan, hasrat yang menguasai dan sikap
arogan menjadi sebab  lahir dan berkembangnya sebuah konflik pluralisme.
pluralisme dinilai sebagai hal yang membahayakan aqidah. Padahal makna pluralisme
tidaklah sama dengan relativisme.

Setiap agama mempunyai dua wilayah ajaran,yaitu :


a.  Wilayah agama dan Aqidah.
Di wilayah inilah tidak boleh ada kerja sama antar pemeluk agama,karena akan
menyebabakan kemurtadan.

b.    Wilayah sosial.


Hampir setiap agama mengajarkan hal yang sama. Tiap pemeluk agama diharuskan untuk
dapat menghargai antar pemeluk agama.

 Solusi Pluralisme
Bahwa perbedaan agama diantara mereka bukanlah penghalang untuk menjalin sebuah
kerjasama dan kedamaian dunia ini. Islam sendiri mengajarkan bahwa kebebasan memilih agama
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati.
Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap
dan pandangan yang jelas, yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan
pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan menghilanghkan identitas
agama-agama selain Islam.

2.    Syari’at Islam dan Hak Asasi Manusi (HAM)


 
 Definisi HAM
HAM merupakan upaya untuk mendudukkan manusia sebagaimana mestinya dengan
memberikan hak- haknya tanpa ada diskriminasi.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antara salah satu asasnya adalah
asas kebebasan/kemerdekaan (al-Hurriyah). Kebebasan ini meliputi kebebasan berfikir, kebebasan
menyatakan pendapat,

Sikap dan Pemahaman Islam tentang HAM


Sebenarnya ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan
prinsip kebebasan,karena sebuah paksaan itu menyebabkan jiwa tidak damai. Namun sisi
lain,sebagian besar ulama mengkategorikan sikap mengkonversi agama tidak dilihat dari perspektif
kebebasan melainkan dipandang sebagai tindak kriminal  yang masuk dalam katagori tindak pidana
berat sehingga sanksi hukumnya berupa hudud yaitu suatu bentuk hukuman yang pasti dan telah
ditetapkan syari ̓ah. Hukuman itu tidak lain adalah hukuman mati. Penetapan hudud bagi pelaku
murtad  dengan hukuman mati ini  berdasarkan kepada hadits Nabi,“Siapa saja yang mengganti
agamanya (Islam), maka mati (bunuh) dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan).”
Akan tetapi, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan jika orang murtad itu telah bertaubat.
 Solusi Konversi Agama HAM.
Sebenarnya Islam mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama
dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada
awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama
lain untuk memeluk Islam.Allah tidak memberikan ancaman duniawi bagi siapapun yang memeluk
agama sesuai dengan kepercayaannya,apakah dia memeluk agama Islam atau selain Islam.Begitu
pula dengan konversi agama.Hak semua orang diberikan kebebasan untuk memiliki keyakinan
masing-masing tanpa harus dipaksakan dan tanpa harus memaksa orang lain.

3.    Syari’at Islam dan Gender


    
FEMINISME
 Pengertian Feminisme.
Feminisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gerakan wanita yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Sedangkan menurut dua orang
feminis dari Asia Selatan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan,feminisme harus didefinisikan secara
jelas agar tidak terjadi kesalah pahaman.Mereka mendefinisikan feminisme secara lebih luas,yaitu
sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat
, ditempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk
mengubah kedaan tersebut.
  
 Sikap dan Pemahaman Islam terhadap Feminisme
Secara umum,feminisme Islam adalah gerakan yang berkembang dalam menjawab
masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran.
Agenda feminis mainstream,semenjak awal abad ke 20 sampai sekarang ini adalah
bagaimana mewujudkan kesetaraan gender antara pria dan wanita.
Di dalam Islam sendiri memiliki karakteristik tentang nilai-nilai filosofis,diantaranya yaitu
keadilan (al-‘adalah), persamaan (al-musawah),dan persaudaraan (al-ukhuwwah). Dalam konteks ini
karakteristik Islam tentang perempuan dapat dilihat sebagai berikut.

Pertama,agama Islam sangat menekankan persamaan derajat. Kedua,Seluruh ajaran Islam


identik dengan kemajuan. Ajaran Islam berjalan seiring dengan sejarah dan dalam sejumlah
hal,bahkan mendahului sejarah.

 Solusi Feminisme
Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran ganda dalam konteks
kemerdekaan hidupnya.Ia dapat berkiprah dalam kehidupan rumah tangga,namun ia juga dapat
berkiprah di luar rumah dengan tetap menyeimbangkan kegiatannya pada ketentuan-ketentuan
syari’ah. Perempuan juga menjadi tokoh penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang di
dalamnya akan melahirkan generasi penerus kehidupan mendatang. 

4.    Syari’at Islam dan Penguatan Aqidah

FUNDA MENTALISME

 Pengertian Fundamentalisme
Kata “fundamental” adalah kata sifat yang berarti “bersikap mendasar/pokok” diambil dari
kata fundamen yang artinya “dasar, asas ,alas, fondasi”. Jika diartikan Sebagai sebuah gerakan
keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat
dalam kitab suci.

 Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Fundamentalisme


Melihat perkembangan fundamentalisme sekarang ini, maka fundamentalisme dapat di
bagi menjadi 2 macam : Fundamentalisme Positif. Fundamentalisme yang sifatnya positif diartikan
sebagai suatu gerakan sosial, bukan sebagai gerakan keagamaan. Intinya mereka ingin
memurnikan ajaran Islam di tengah bahayanya ancaman dari Barat yang ingin menghancurkan
Islam.
Banyak para sarjana muslim mengakui bahwa fundamentalisme sangat menjadi
problem.Fundamentalisme menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem,hitam putih, tidak toleran dan
tidak kompromi. Agama dijadikan alat untuk mengintimidasi dan menindas sekelompok orang yang
bertentangan dengan pahamnya. Padahal, agama manapun tidak mengajarkan demikian.
 Solusi Fundamentalisme
Fundamentalisme merupakan sebuah fenomena secara sepintas dapat dirasakan
menakutkan dan mengganggu kehidupan masyarakat.Tetapi jika diperhatikan dengan seksama
akan kelihatan bahwa sebenarnya ia hadir sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan
masyarakat. Sikap memusuhinya tidak akan menyelesaikan masalah, yang diperlukan adalah usaha
memahaminya dengan baik dan membawanya kepada dialog dan kebersamaan.

Anda mungkin juga menyukai