Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PEMIKIRAN IMMANUEL KANT TENTANG FILSAFAT AKHLAK


Dosen : Syaiful Mujab M.Ag.
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ETIKA

Disusun oleh:
Maula Miftahul Ulum (1904016078)
Miftahur Rohman Aufa (1904016090)

JURUSAN AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Immanuel Kant?


2. Bagaimana etika dalam pandangan Immanuel Kant?
3. Apa gagasan Immanuel Kant dalam Etika?
1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Immanuel Kant


Immanuel Kant lahir di Konigsberg, Prusia Timur (sekarang Kalininggrad) pada
tahun 1724, dan meninggal di kota sama pada 1804. Dia mengajar filsafat di Universitas
Konisberg dari tahun 1755. Dia menjadi pendiri sekaligus pemuka madzhab filsafat baru,
yang di sebut Filsafat kritis (Critical Philosophy).1

Kant di besarkan dalam rumah taangga Peits yang menekankan ketaatan agama,
kerendahan hati pribadi dan interpretasi literpretasi dari Al kitab. Pendidikan dasarnya di
tempuh di Saint Geoge’s Hospital School, lalu di lanjutkan ke Collegium Fredecianum
sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist.Keluarga Kant memang penganut a
gama Pietist, yaitu agama di jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman
religius dan studi kitab suci.

.
B. Konsep dalam Etika Immanuel Kant

Di dalam mengembangkan etikanya, Kant bertolak belakang dalam pendekatan


dengan filsuf sebelumnya. Ia menolak pola etika sebelumnya yang berpusat pada
pertanyaan mengenai “kebahagiaan”. Dan etika sebelumnya berkepentingan untuk
mengajak manusia cara hidup yang harus dilalui agar bahagia. Hal tersebut bagi Kant
bukan mendasar yang menentukan dalam moralitas, melainkan pertanyaan: “apa yang
membuat manusia baik?” Pertanyaan ini kemudian dirumuskan dalam inti etikanya
menjadi: “apa yang baik pada dirinya sendiri?” Wujud dari yang baik pada dirinya sendiri
ini bukanlah benda atau keadaan di dunia, maupun sifat atau kualitas manusia. Bagi Kant,
hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya sendiri, yaitu
“Kehendak Baik”. Inilah titik tolak pemikiran etika Kant. Kehendak itu baru baik apabila
mau memenuhi kewajibannya. Kita bersedia melakukan sesuatu sebab kita memang
harus melakukan sesuatu tersebut, tanpa memperhitungkan rasa senang atau tidak senang
terhadap perbuatan tersebut.

1
H.B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral. (Surabaya: Pustaka Eureka. 2003)h.3
Pada tahun 1781,Kant menerbitkan Critique of Pure Reason (Kritik Atas Rasio
Murni) yang secara umum di anggap sebagai karya besarnya. 2 Ia setuju dengan Hume
dan para empirisme lain tentang tidak adanya gagasan-gagasan yang sudah ada dari
“sananya”; tetapi ia menolak pernyataan Hume bahwa segala pengetahuan berasal dari
pengalaman. Kaum empiris berpendapat bahwa semua pengetahuan harus bersesuaian
dengan pengalaman, dan dengan cemerlang Kant membalikkan pernyataan ini dengan
menyatakan bahwa Semua pengelaman harus sesuai dengan pengetahuan. Bagi Kant
bahwa prinsip –prinsip seperti “ setiap peristiwa mempunyai sebab” merupakan prinsi-
prinsip formal yang membawa keteraturan (order) dan kejelasan (intelligibility) kepada
kesan-kesan inderawai tetapi tidak mempunyai signifikansi obyektif yang terlepas dari
kesan inderawi. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang subjektif. Ruang dan waktu
itu bisa di ibaratkan seperti kaca mata yang tidak bisa berpindah-pindah. Tanpa ruang dan
waktu, kita tidak bisa membuat pengalaman kita masuk akal. Tetapi unsur-unsur subjektif
yang membantu kita memahami pengalaman bukan hanya ruang dan waktu belaka. Kant
menjelaskan adanya berbagai “kategori”yang kita mengerti melalui pengalaman kita
tanpa bergantung pada pengalaman. Kategori-kategori ini mencangkup berbagai hal
seperti kualitas (quality), kuantitas (quantity) dan hubungan (relation). Semua ini adalah
kaca mata yang tidak bisa dipindahkan. Hanya adasatu cara untuk menemukan dunia,,
yaitu dengan menginfestigasinya melalui metode-metode ekperimental ilmu alam.Kita
tidak bisa memandang dunia dengan cara lain selain menggunakan kategori kualitas,
kuantitas tersebut.Meskipun begitu, melalui kaca mata yang tidak bisa digerakkan ini,kita
hanya bisa menyaksikan fenomenna dunia; kita sama sekali tidak akan mampu
mempersoalkan fenomena, yakni sesuatu yang merupakan realitas sebenarnya yang
mendukung atau membuat munculnya fenomena.

C. Gagasan-gagasan Pemikiran Immanuel Kant


2
Sutrisno,Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, 64
1.Imperatif Kategoris dan Deontologi

Kant membagi bahwa perintah (imperatif) dalam dua macam: (1) imperatif
hipotesis, yaitu perintah yang mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk
mencapai sesuatu. Misalnya, jika anda ingin pandai, harus rajin belajar. (2) imperatif
kategoris, yaitu perintah yang tidak mengenal pertanyaan “untuk apa?” Perintah tidak ada
hubungannya dengan suatu tujuan yang harus dicapai.3 Imperatif kategoris mewajibkan
kita begitu saja, tak tergantung dari syarat apapun. Misalnya, barang yang dipinjam harus
dikembalikan. Keharusan ini berlaku begitu saja, tanpa syarat.

Dalam deontologi Kant memberikan pendasaran filosofis, yakni teori yang


melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan dan menolak
utilitarianisme (teori yang menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensinya).
Dalam teori deontologi, kriteria baik atas perbuatan muncul karena adanya perintah dan
kewajiban atasnya, dan kriteria buruk muncul karena adanya larangan atasnya.
Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan hanya
karena wajib dilakukan. Oleh karena itu dalam deontologi, perbuatan menjadi boleh
dilakukan hanya karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu
baik. Kita tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang jahat supaya dihasilkan sesuatu
yang baik. Misalnya, kita tidak boleh mencuri untuk membantu orang lain.4
2. Moralitas dan Legalitas

Legalitas (legalität) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian


semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. Kesesuaian atau
ketidaksesuaian model ini, bagi Kant belum bernilai moral, sebab dorongan batin sama
sekali tidak diperhatikan. Sedangkan moralitas (moralität) yang dimaksud Kant adalah
kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah; yakni apa yang kita
pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai bila ketaatan atas hukum lahiriah
bukan lantara hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau sebab takut pada kuasa
sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan
3
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1980), hlm. 74.
4
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta, Kanisius, 2000), hlm. 70
kewajiban. Nilai moral, baru diperoleh di dalam moralitas ini. Itulah Kant kemudian
membedakan moralitas menjadi dua: (1)moralitas heteronom, yakni sikap di mana
kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena
sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri; dan (2)moralitas otonom, yakni
kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya
sendiri karena diyakininya sebagai baik. Dalam moralitas otonom ini, orang mengikuti
dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya
atau sebab takut terhadap penguasa pemberi hukum itu, melainkan karena itu dijadikan
kewajibannya sendiri berkait nilainya yang baik. Dari sini bisa ditarik simpulan, bahwa
untuk mengukur moralitas seseorang, bagi Kant, tidak boleh melihat pada hasil
perbuatan. Bahwa hasil perbuatanadalah baik tidak membuktikan adanya kehendak yang
baik. Karena itu, Kant menolak “etika sukses”. Yang membuat perbuatan manusia
menjadi baik dalam arti moral bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau
yang mau dicapai oleh si pelaku, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-
mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajibannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika Kant, pada hakikatnya memberikan landasan agar manusia berbuat baik atas dasar
kesadaran sendiri sesuai dengan otonomi kehendak yang dimilikinya. Hal ini merupakan
kesadaran tertinggi dari manusia untuk mencapai moral yang luhur.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih membutuhkan penyempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1980)


H.B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral. (Surabaya: Pustaka Eureka. 2003)
Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta, Kanisius, 2000)

Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat


Diterbitkan oleh Jurusan Tafsir Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta Vol. XI, No. 2, Juli –
Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai