Disusun Oleh :
Nurlaela 1910631210012
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 ......................................................................................................
1.2 .....................................................................................................
1.3 ......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Firman Allah Swt, Artinya:” Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(Q.S. An-
Nur: 55).
Ada dua sisi yang dapat dipahami dari pemberian kekuasaan oleh Allah Swt,
di satu sisi harus dipahami pula bahwa Allah memberikan kekuasaan kepada
seseorang tidak serta merta Allah memberikan kemuliaan-kemuliaan. Di sisi lain,
kekuasaan yang diberikan Allah kepada seseorang bisa juga akan membawa pada
ketinggian dan kemuliaan derajatnya di mata rakyat dan di hadapan Allah
sekaligus, seperti yang dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah serta para
Khulafaur Rasyidin.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah
risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang
pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan
terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di
dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Maka dari itu AlQuran telah menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi
diantara umat harus diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada AlQuran
dan Sunnah. Firman Allah Swt, artinya:
”…Kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan RasulNya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Itu adalah pilihan yang baik dan penyelesaian yang bagus” (Q.S. An Nissa : 59).
Kekuasaan sebagai amanah dipahami sebagai sesuatu yang diserahkan kepada
pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta
oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat, maka ia tidak diberikan
kepada orang yang dinilai oleh pemberinya tidak dapat memelihara amanah itu
dengan baik.
Menurut Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah, amanah itu sesuatu yang berat.
Begitu penting dan beratnya amanah, Ibn Taimiyyah memberi garis dalam
memberikan amanah kepada seseorang, yaitu: mengangkat yang ashlah (yang
paling layak), memilih yang terbaik, pemilihan harus dilakukan dengan prioritas
dan proporsionalitas serta memilih jika tujuan dan sarana penunjang telah
terpenuhi dengan baik, maka sempurnalah masalah itu artinya masalah telah
terselesaikan.
Di tempat lain ada pula yang meminta kembali uang bantuan yang diberikan
saat kampanye, karena dirinya tidak terpilih. Fenomena seperti ini sering kita
temui di musim pemilu. Jika kita tarik benang merahnya, maka fenomena seperti
itu erat kaitannya dengan ambisi mencari kekuasaan. Bagaimana ambisi terhadap
kekuasaan di dalam Islam?
Pernah suatu ketika, dengan niat ingin memberi kontribusi yang lebih
besar kepada umat, Abu Dzar al-Ghifari datang kepada Rasulullah SAW dan
meminta agar dilantik menjadi pejabat.
Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu
Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat.
Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang
yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan
dalam kepemimpinan tersebut,” (HR Muslim)
Di lain kesempatan, Rasulullah SAW juga pernah memberi nasihat kepada
Abdurrahman bin Samurah,
الرحْ من َع ْبدَ َياَّ س ُم َرة َ بن َ إ ْن َو َعلَ ْي َها أُع ْنتَ َم ْسأَلَة َغيْر َع ْن أُعْط ْيت َها إ ْن فَإنَّكَ اإل َم
َ َارة َ تَسْأل ل
إلَيْها ُوك ْلتَ َم ْسأَلَة َع ْن أُعْط ْيتَ َها
وثَا ِلث ُ َها َعذَابٌ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ِإال َم ْن َعدَ َل،ٌ َوثَانِي َها نَدَا َمة،ٌِي؟ أ َ َّولُ َها َمال َمة
َ ارةِ َو َما ه ِ ِإ ْن ِشئْت ُ ْم أ َ ْنبَأْت ُ ُك ْم َع ِن
َ اإل َم
“Jika kalian mau, aku akan memberitahu kalian tentang kepemimpinan (al-
imârah), apakah itu? Awalnya adalah celaan. Yang kedua adalah penyesalan Yang
ketiganya adalah azab pada Hari Kiamat kecuali orang yang berlaku adil,” (HR.
al-Bazar dan ath-Thabrani)
Namun fitnah seperti ini memang sudah menjadi bagian dari nubuwat
Nabi SAW sepeninngal beliau, bahwa akan ada kondisi di mana kepemimpinan
menjadi ajang rebutan banyak orang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi
SAW bersabda:
Masih dalam pembahasan yang sama, Ibnu Hajar juga menukil perkataan
Al Muhallab, dimana ia berkata, “Meminta kepemimpinan di sini tidak
dibolehkan ketika seseorang tidak punya kapabilitas di dalamnya. Termasuk pula
tidak dibolehkan jika saat masuk dalam kekuasaan, ia malah terjerumus dalam
larangan-larangan agama. Namun siapa saja yang berusaha tawadhu’ (rendah
hati), maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Fathul Bari, 13: 125)
Kedua: merasa diri paling mampu dan lupa memohon pertolongan kepada
Allah.
Sedangkan bagi mereka yang tidak berambisi terhadapnya, dan jabatan itu
diberikan kepadanya tanpa meminta bahkan ia merasa dirinya tidak mampu
memikulnya, maka Allah akan menolongnya dan tidak membiarkan beban
tersebut dipikulnya sendiri. Sebab, urusan kepemimpinan duniawi itu mencakup
dua hal: memperbaiki kemaslahatan agama dan kesejahteraan dunia rakyatnya.
Dari penjelasan Ibnu Qayyim di atas, kita mampu memahami kisah Nabi
Yusuf yang meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat,