Anda di halaman 1dari 17

KONSEP KEKUASAAN DALAM PERSFEKTIF ISLAM

Disusun Oleh :

Anisa Fauziah 1910631210003

Hasna’ Nisrina 1910631210007

Hermin Marlian 1910631210008

Nurlaela 1910631210012

Dhavina Maharani 1910631210028

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan


jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam
ciptaan-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan
kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus
berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang


menjadi tugas pendidikan agama dengan judul “KONSEP KEKUASAAN
DALAM PERSFEKTIF ISLAM”. Disamping itu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.

Karawang, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................

Daftar Isi ............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 ......................................................................................................

1.2 .....................................................................................................

1.3 ......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Umum Kekuasaan ........................................................

2.2 Tujuan Kekuasaan dalam Islam ..................................................

2.3 Kekuasaan dalam Perspektif Islam .............................................

2.4 Ambisi Kekuasaan dalam Perspektif Islam .................................

2.5 Beratnya Tanggung Jawab Pemimpin .........................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh
generasi pertama umat Islam sesudah Nabi Muhammad SAW wafat adalah
masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat,
atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur’an sebagai acuan utama di
samping Sunnah Nabi tidak sedikit pun menyirat petunjuk tentang
penggantian Nabi atau tentang system dan bentuk pemerintahan serta
pembentukannya.
Pemahaman dan pengertian terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan
politik dan pemerintahan terdapat tiga pemikiran. Pertama, golongan yang
menyangkut hubungkan manusia dengan Tuhan, tetapi sesuatu system ajaran
lengkap yangmengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bernegara. Penganut pola ini merasa tidak perlu meniru system
politik dari luar, tetapi praktek Nabi SAW dan para sahabatnya sudah cukup
untuk menjadi pedoman bagi umat Islam. Kedua, yaitu golongan yang
berpendapat sebaliknya bahwa Islam sama sekali tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan, Nabi Muhammad SAW hanya Rasul biasa seperti
halnya Rasul-rasul sebelumnya yang tidak mempunyai misi politik, dan
golongan ketiga yaitu golongan yang menolak pertama dan kedua dan
berpendapat bahwa Islam tidak terdapat system kenegaraan, tetapi di
dalamnya terdapat prinsip-prinsip nilai etika dalam kehidupan bernegara.

1.2 Rumusan Masalah


Sehubungan dengan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan di dalam islam?
2. Adakah dalil tentang kekuasaan dan kepemimpinan?
3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban seorang pemimpin yang
memegang kekuasaan dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini di buat adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep kekuasaan dalam perspektif Islam.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab seorang pemimpin yang memegang
kekuasaan dalam perspektif Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Umum Kekuasaan


Istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa. Dalam kamus, kata kekuasaan
diberi arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah), kemampuan,
kesanggupan, kekuatan. Sedangkan kata kuasa sendiri diberi arti dengan
kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu). Kekuasaan secara umum
dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang terdapat dalam diri manusia atau
sekelompok manusia yang dapat mempengaruhi tingkah laku orang atau
sekelompok orang lain dalam interaksinya sehingga hasil dari interaksi yang
dilakukan secara aktif ini dapat menimbulkan hasil yang sesuai dengan tujuan dan
keinginan yang terdapat pada orang atau sekelompok orang yang berkuasa itu.

2.2 Tujuan Kekuasaan dalam Islam

1. Memelihara agama. Negara, terutama khalifah, bertanggung jawab untuk


memelihara akidah Islam. Dalam hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan
wewenang yang telah diberikan oleh syara’ kepadanya.
2. Mengatur urusan masyarakat dengan cara menerapkan hukum syara’ kepada
mereka tanpa membeda-bedakan antara satu individu dengan yang lainnya.
3. Menjaga negara dan umat dari orang-orang yang merongrong negara. Caranya
dengan melindungi batas-batas negara, mempersiapkan pasukan militer yang
kuat dan senjata yang canggih untuk melawan musuh.
4. Menyebarkan dakwah Islam kepada manusia, yaitu dengan cara menjalankan
jihad sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW pada beberapa
peperangan, misalnya penaklukkan Mekkah dan perang tabuk.
5. Menghilangkan pertentangan dan perselisihan diantara anggota masyarakat
dengan penuh keadilan. Hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan sanksi
kepada mereka yang berbuat dzalim, memperlihatkan keadilan terhadap orang
yang di dzalimi sesuai dengan hukum yang disyariatkan Allah SWT.
2.3 Kekuasaan dalam Perspektif Islam

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang


diperselisihkan pada hari-hari pertama setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah
persoalan kekuasaan politik atau yang juga disebut persoalan imamat (imamah).
Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar
sebagai Khalifah.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya perebutan kekuasaan politik masih


mewarnai sejarah umat Islam. Sementara, pandangan Islam tentang kekuasaan ini
telah jelas disebutkan dalam AlQuran. Firman Allah Swt, artinya: Katakanlah:
“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan
orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran [3]: 26).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kekuasaan adalah hak prerogatif Allah


Swt. Sehingga siapa pun yang dikehendaki oleh Allah pastilah akan
mendapatkannya, begitu juga sebaliknya meskipun orang tersebut sudah berusaha
semaksimal mungkin dengan berbagai daya dan upayanya. Suatu hal yang pasti
bahwa Allah Swt akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang
beriman dan beramal shalih dalam bentuk kekuasaan.

Dengan kekuasaan itulah kemudian Islam mentransformasikan kehidupan


masyarakat dengan tingkat moral, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya yang
rendah (jahiliyah) menuju masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang
berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan,
menghormati perbedaan, bersikap terbuka dan demokratis serta bergotong-
royong menjaga kedaulatan negara.

Firman Allah Swt, Artinya:” Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(Q.S. An-
Nur: 55).

Ada dua sisi yang dapat dipahami dari pemberian kekuasaan oleh Allah Swt,
di satu sisi harus dipahami pula bahwa Allah memberikan kekuasaan kepada
seseorang tidak serta merta Allah memberikan kemuliaan-kemuliaan. Di sisi lain,
kekuasaan yang diberikan Allah kepada seseorang bisa juga akan membawa pada
ketinggian dan kemuliaan derajatnya di mata rakyat dan di hadapan Allah
sekaligus, seperti yang dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah serta para
Khulafaur Rasyidin.

Kekuasaan seperti ini biasanya menjadikan seseorang semakin dekat dengan


Allah dan juga dekat dengan rakyatnya, serta selalu tunduk pada kekuasaan-Nya.
Ia melaksanakan kekuasaannya secara adil dan memberikan kemaslahatan yang
banyak bagi rakyatnya. Ia menyintai rakyatnya dan juga dicintai oleh rakyatnya.

Kekuasaan seperti inilah yang akhirnya akan mengangkat derajat seseorang di


dunia dan tentu akhirnya memperoleh derajat tinggi di hadapan Allah kelak di
akhirat.

Dalam pandangan Islam, kekuasaan bukan semata memperoleh jabatan dan


dukungan rakyat, akan tetapi lebih dari itu, bahwa Allah memberikan tata cara
menggunakan amanah tersebut dalam formulasi perbaikan dan pembangunan,
serta merealisasikan hukum Allah bagi seluruh umat manusia.

Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah
risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang
pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan
terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di
dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.

Kedudukan manusia sebagai khalifatul fil ardhi sebagaimana di jelaskan


dalam AlQuran mengandung konsekuensi bahwa manusia merupakan pemegang
otoritas kekuasaan baik kekuasaan politik maupun kekuasaan sosial di dunia.
Maka, manusia memegang kewajiban untuk menegakan dan melaksanakan
hukum-hukum Allah Swt bersumber pada AlQuran dan Sunnah.

Namun persoalannya adalah pada tataran implementasi, konsep tersebut sering


tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penggunakan kekuasaan sering
disalahgunakan (abuse of power). Tuntunan Islam sangat jelas bahwa amanah
jabatan publik harus diberikan kepada yang ahlinya dan tidak sembarangan.
Rasulullah saw telah memperingatkan dalam sabdanya: “Bila amanah disia-
siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-
nyiannya?. Beliau bersabda: bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak
berkompeten, maka tunggulah kehancurannya” (H.R. Bukhari).

Meskipun AlQuran tidak secara eksplisit menyatakan tentang wujud sistem


politik, tetapi di dalamnya di jelaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada
orang-orang beriman dan beramal saleh. Di sisi lain kenyataan sejarah mencatat
bahwa kekuasaan politik telah menyebabkan diferensiasi pemikiran yang
berkembang dalam umat, yang berakibat pada terpecah belahnya umat kedalam
beberapa aliran politik yang kemudian sangat rentan terhadap terjadinya
pertentangan satu sama lain.

Maka dari itu AlQuran telah menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi
diantara umat harus diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada AlQuran
dan Sunnah. Firman Allah Swt, artinya:
”…Kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan RasulNya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Itu adalah pilihan yang baik dan penyelesaian yang bagus” (Q.S. An Nissa : 59).
Kekuasaan sebagai amanah dipahami sebagai sesuatu yang diserahkan kepada
pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta
oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat, maka ia tidak diberikan
kepada orang yang dinilai oleh pemberinya tidak dapat memelihara amanah itu
dengan baik.

Menurut Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah, amanah itu sesuatu yang berat.
Begitu penting dan beratnya amanah, Ibn Taimiyyah memberi garis dalam
memberikan amanah kepada seseorang, yaitu: mengangkat yang ashlah (yang
paling layak), memilih yang terbaik, pemilihan harus dilakukan dengan prioritas
dan proporsionalitas serta memilih jika tujuan dan sarana penunjang telah
terpenuhi dengan baik, maka sempurnalah masalah itu artinya masalah telah
terselesaikan.

2.4 Ambisi Kekuasaan dalam Perspektif Islam

Di tempat lain ada pula yang meminta kembali uang bantuan yang diberikan
saat kampanye, karena dirinya tidak terpilih. Fenomena seperti ini sering kita
temui di musim pemilu. Jika kita tarik benang merahnya, maka fenomena seperti
itu erat kaitannya dengan ambisi mencari kekuasaan. Bagaimana ambisi terhadap
kekuasaan di dalam Islam?

Pernah suatu ketika, dengan niat ingin memberi kontribusi yang lebih
besar kepada umat, Abu Dzar al-Ghifari datang kepada Rasulullah SAW dan
meminta agar dilantik menjadi pejabat.

Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu
Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat.
Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang
yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan
dalam kepemimpinan tersebut,” (HR Muslim)
Di lain kesempatan, Rasulullah SAW juga pernah memberi nasihat kepada
Abdurrahman bin Samurah,

‫الرحْ من َع ْبدَ َيا‬َّ ‫س ُم َرة َ بن‬ َ ‫إ ْن َو َعلَ ْي َها أُع ْنتَ َم ْسأَلَة َغيْر َع ْن أُعْط ْيت َها إ ْن فَإنَّكَ اإل َم‬
َ َ‫ارة َ تَسْأل ل‬
‫إلَيْها ُوك ْلتَ َم ْسأَلَة َع ْن أُعْط ْيتَ َها‬

“Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta untuk


menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu
karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika
kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan
dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Masih dalam makna yang sama, Abu Musa al-Asy’ari pernah


meriwayatkan bahwa suatu ketika aku dan dua orang dari kaumku datang
menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, “Ya Rasulullah angkatlah
kami sebagai pejabatmu!” Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama.
Lalu Rasulullah SAW bersabda:

‫أ َ َرادَه ُ َم ْن َع َملنَا َعلَى نَ ْست َ ْعم ُل لَ أ َ ْو لَ ْن‬

“Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang


yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya,” (HR. Bukhari-Muslim)

2.5 Beratnya Tanggungjawab Pemimpin

Ya, dalam Islam memimpin atau menjadi pemimpin bukanlah perkara


yang ringan. Tanggung jawabnya berat. Tidak hanya mengatur kesejahteraan
hidup rakyat saja, tapi lebih daripada itu, seorang pemimpin juga harus
memastikan tegaknya syariat Allah Ta’ala dalam aturan hidup rakyatnya.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama bahwa secara umum ada dua tugas
utama seorang pemimpin, yaitu: menjaga agama dan mengatur urusan dunia
dengan aturan agama. Karena itu, tanggungjawab seorang pemimpin terhadap
rakyatnya cukuplah besar. Tidak hanya ditanya tentang kesejahteraan hidup
rakyatnya tapi juga bertanggungjawab terhadap tegaknya agama di tengah-tengah
mereka. (Lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)

Karena kesulitan itu, seorang Muslim tidak diperkenankan meminta


jabatan atau amanah apapun pada orang lain. Dulu, para Sahabat dan orang-orang
shaleh setelahnya selalu menghindar dan merasa keberatan menjadi seorang
pemimpin. Mereka merasa potensi yang dimiliki sangat jauh dari kriteria seorang
pemimpin. Tak sedikit bahkan harus disiksa oleh penguasa zhalim karena
menolak tawaran tersebut. Semua itu tidak lain karena mereka paham konsekuensi
yang harus ditanggung ketika menjadi seorang pemimpin. Terutama ketika
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di akhirat.

Hakikat pemimpin itu sendiri dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan


sabdanya:

‫ وثَا ِلث ُ َها َعذَابٌ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ِإال َم ْن َعدَ َل‬،ٌ‫ َوثَانِي َها نَدَا َمة‬،ٌ‫ِي؟ أ َ َّولُ َها َمال َمة‬
َ ‫ارةِ َو َما ه‬ ِ ‫ِإ ْن ِشئْت ُ ْم أ َ ْنبَأْت ُ ُك ْم َع ِن‬
َ ‫اإل َم‬

“Jika kalian mau, aku akan memberitahu kalian tentang kepemimpinan (al-
imârah), apakah itu? Awalnya adalah celaan. Yang kedua adalah penyesalan Yang
ketiganya adalah azab pada Hari Kiamat kecuali orang yang berlaku adil,” (HR.
al-Bazar dan ath-Thabrani)

Tampaknya, apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW di atas


sudah banyak dilupakan oleh banyak umat Islam hari ini. Kepemimpinan menjadi
ajang rebutan banyak orang. Ia menjadi sesuatu yang cukup menggiurkan. Dengan
menjadi seorang pemimpin, siapapun akan mudah memenuhi tuntutan hawa
nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau
status sosial yang tinggi di mata manusia.

Tidak mengherankan bila kemudian untuk mewujudkan ambisi tersebut,


banyak elit politik yang tidak segan-segan melakukan politik uang dengan
membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’
uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya
kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menjegal
siapapun yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan
tersebut. Bahkan tali persaudaraan pun tidak lagi dihiraukan. Mayat yang sudah
dalam liang kubur sekalipun, ketika keluarganya yang berbeda pilihan politik
dengan sang pemilik tanah, mayat tersebut disuruh bongkar dan dipindahkan dari
tanah miliknya. Nasalullaha al‘afiah!

Karena itu, Rasulullah SAW menggambarkan kerakusan terhadap jabatan


melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan
kambing. Beliau bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di
tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang
terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan
yang tinggi (HR. Tirmidzi)

Namun fitnah seperti ini memang sudah menjadi bagian dari nubuwat
Nabi SAW sepeninngal beliau, bahwa akan ada kondisi di mana kepemimpinan
menjadi ajang rebutan banyak orang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi
SAW bersabda:

‫ير نَدَا َمةً َو َحس َْرةً َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة‬


ُ ‫َص‬
ِ ‫ست‬
َ ‫ َو‬،‫ار ِة‬ ِ ْ ‫صونَ َعلَى‬
َ ‫اإل َم‬ َ ‫ِإنَّ ُك ْم‬
ُ ‫ستَحْ ِر‬

“Sesungguhnya kalian akan berambisi akan jabatan kepempimpinan.


Padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari)

Maka Rasulullah SAW menasihati—terutama bagi yang tidak mampu—


agar tidak meminta-minta diangkat menjadi pejabat. “Janganlah kamu meminta
untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu
karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika
kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan
dibantu untuk menanggungnya,” (HR. Bukhari-Muslim)

Menjelaskan hadis tersebut, Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari


kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul
Bari, 13: 124)

Masih dalam pembahasan yang sama, Ibnu Hajar juga menukil perkataan
Al Muhallab, dimana ia berkata, “Meminta kepemimpinan di sini tidak
dibolehkan ketika seseorang tidak punya kapabilitas di dalamnya. Termasuk pula
tidak dibolehkan jika saat masuk dalam kekuasaan, ia malah terjerumus dalam
larangan-larangan agama. Namun siapa saja yang berusaha tawadhu’ (rendah
hati), maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Fathul Bari, 13: 125)

Syaikh As-Sa’di juga berkata, “Kepemimpinan atau bentuk penguasaan


(kedudukan) apapun terhadap makhluk, tidak sepantasnya diminta oleh seorang
hamba atau menjadi ambisi yang terus dikejar-kejar. Justru yang harus
dilakukannya adalah memohon keselamatan kepada Allah. Sebab, dia tidak tahu
apakah kekuasaan itu berujung baik atau buruk baginya? apakah dia mampu atau
tidak mengembannya? maka ketika ia meminta atau berambisi untuk
memperolehnya maka dia akan memikul sendiri beban tersebut, dan dalam
keadaan tersebut Allah tidak akan memberi taufiq dan pertolongan dalam setiap
urusannya. Sebab ambisinya dibangun atas dua hal yang harus dihindari:

Pertama: Tamak terhadap dunia dan kedudukan. Ketamakan tersebut akan


menjadikannya terus menumpuk harta serta merasa tinggi di atas manusia yang
lain.

Kedua: merasa diri paling mampu dan lupa memohon pertolongan kepada
Allah.

Sedangkan bagi mereka yang tidak berambisi terhadapnya, dan jabatan itu
diberikan kepadanya tanpa meminta bahkan ia merasa dirinya tidak mampu
memikulnya, maka Allah akan menolongnya dan tidak membiarkan beban
tersebut dipikulnya sendiri. Sebab, urusan kepemimpinan duniawi itu mencakup
dua hal: memperbaiki kemaslahatan agama dan kesejahteraan dunia rakyatnya.

Maka kekuasaan itu bertanggungjawab bagaimana rakyatnya mau


melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan agama. memenuhi segala
hak rakyatnya, mengatur bagaimana amalan jihad bisa terus dijalankan, karena itu
dia merupakan fadhu kifayah yang membebani banyak tanggungjawab.” (As-
Sa’di, Bahjah Qulubil Abrar, 106)

Semakna dengan penjelasan di atas, Ibnu Qayim menerangkan lebih lanjut


bahwa, “Perbedaan antara orang yang berambisi dengan kekuasaan dengan orang
yang cinta menjadi pemimpin demi dakwah kepada Allah seperti antara orang
yang mengangungkan perintah Allah dan menyeru kepada-Nya dengan orang
yang mengangungkan hawa nafsu dan menuruti keinginannya. orang yang
menyeru kepada Allah, mencintai dan mengagungkan-Nya wajib baginya menaati
perintah-Nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Meninggikan kalimat Allah dan
menjadikan agama seluruhnya hanya milik Allah. Orang seperti ini mencintai
kepemimpinan dalam agama. bahkan dia memohon kepada Allah agar menjagi
imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan ini sangat berlawanan dengan orang-
orang yang meminta jabatan, mereka hanya berambisi untuk mendapatkan
kedudukan dan kekuasaan di dunia. Sehingga orang-orang mengagumi dan
mengidolakan mereka, melayani setiap kepentingan mereka sebagai pejabat tinggi
yang punya kekuasaan atas rakyatnya. Dari sini awal terjadinya berbagai macam
kerusakan. (Ibnu Qayyim, Ar–Ruh, 202-203)

Dari penjelasan Ibnu Qayyim di atas, kita mampu memahami kisah Nabi
Yusuf yang meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat,

ِ ‫اجْ َع ْلنِي َعلَى خَزَ ائِ ِن ْاْل َ ْر‬


‫ض‬

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).” (QS. Yusuf: 55).

Begitu pula dengan doa Nabi Sulaiman,

‫َوهَبْ ِلي ُم ْلكا‬

“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shad: 35).


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang


diperselisihkan pada hari-hari pertama setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah
persoalan kekuasaan politik atau yang juga disebut persoalan imamat (imamah).
Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar
sebagai Khalifah.

Tampaknya, apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW di atas


sudah banyak dilupakan oleh banyak umat Islam hari ini. Kepemimpinan menjadi
ajang rebutan banyak orang. Ia menjadi sesuatu yang cukup menggiurkan. Dengan
menjadi seorang pemimpin, siapapun akan mudah memenuhi tuntutan hawa
nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau
status sosial yang tinggi di mata manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Marhamah. 2016. Kekuasaan dalam Perspektif Islam.


https://layarberita.com/2016/09/15/kekuasaan-dalam-perspektif-islam/. 2019
Fakhruddin. 2019. Ambisi Kekuasaan dalam Perspektif Islam.
https://www.kiblat.net/2019/01/19/ambisi-kekuasaan-dalam-perspektif-islam/ .
2019
Komariyah Siti. 2006. Konsep Kekuasaan Dalam Islam.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/15419/1/SITI%20KOM
ARIYAH-FSH.pdf. 2019

Anda mungkin juga menyukai