Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Penjabaran Konsep atau Doktrin Tauhid

Menurut Pandangan Buya HAMKA

Dosen Pengampu : Izza Rohman Dr.MA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Anggota Kelompok :

1. Revi Afifah / 2001105033


2. Vinka Reviansa / 2001105078
3. Ainur Ayu Maulina / 2001105054
4. Aliffia Salfa Nabila / 2001105009

Kelas 1A

Prodi Pendidikan Matematika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kelompok kuning panjatkan kehadirat Allah Shubahannahu Wata’ala, Tuhan
semesta alam. Atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada
waktunya. Tak lupa pula kelompok kuning haturkan shalawat serta salam kepada junjungan
Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di
hari akhir kelak.Aamiin.

Penulisan makalah berjudul ‘Penjabaran Konsep atau Doktrin Tauhid Menurut Buya Hamka’
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Pada Makalah ini
diuraikan tentang bagaimana pandangan Buya HAMKA perihal arti dari tauhid dan segala
bentuk penjabaran dari permasalahannya.

Akhirul kalam, kelompok kuning menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta,13 November2020

Kelompok Kuning
Tauhid Menurut Persfektif Buya Hamka

1
Buya Hamka menempatkan tauhid sebagai bagian yang paling penting bagi kehidupan
seorang Muslim. Menurut Buya Hamka, tauhid adalah ajaran yang sangat besar
pengaruhnya bagi menggembleng jiwa sehingga kuat dan teguh. Kebebasan jiwa,
kemerdekaan, pribadi, dan hilangnya rasa takut menghadapi segala kesukaran hidup, keberanian
menghadapi segala kesulitan, sehingga tidak berbeda di antara hidup dengan mati, asal untuk
mencari ridha Allah, adalah bekas ajaran tauhid yang jarang taranya dalam perjuangan hidup
manusia. Bahkan boleh dikatakan bahwa tauhid itu adalah pembentuk tujuan hidup yang sejati
bagi manusia.

2 Hamka juga menegaskan bahwa tauhid adalah roh agama Islam dan jauhar
intisarinya dan pusat dari seluruh peribadatannya. Lebih jauh Hamka menulis, Sehingga
boleh dikatakan bahwasanya tauhid telah memberi cahaya sinar-seminar dalam hati pemeluknya,
dan memberi cahaya dalam otak sehingga segala hasil yang timbul daripada amal dan usahanya
mendapat cap ‘Tauhid”. Hapuslah segala perasaan terhadap kepada yang lain, yang bermaksud
mensucikan dan mengagumkannya.

Konsekuensi terpenting tauhid yang murni ialah pemutusan sikap pasrah sepenuhnya
hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa itu, tanpa kemungkinan memberi peluang untuk
melakukan sikap mendasar serupa sesuatu apapun selain daripada-Nya.Inilah al-islām, yang
menjadi inti sari semua agama yang benar

Oleh karena itu ditegaskan dalam Kitab Suci bahwa tugas para rasul atau utusan Allah
tidak lain ialah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa atau tauhid, serta ajaran
tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja: “Dan Kami (Tuhan) tidaklah
pernah mengutus seorangrasul pun sebelum engkau (wahai Muhammad) melainkanKami
wahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan selain Aku, oleh karena itu sembahlah olehmu semua
(wahai manusia) akan Daku (saja)”(QS. al-Anbiyā [21]: 92). Demi menjaga kemurnian tauhid ini,
Hamka mengkritik kebiasaan sebagian umat Islam yang melakukan pemujaan berlebihan kepada

1
Hamka, Pelajaran Agama Islam, 1992, h. 63
2
Hamka, Pelajaran Agama Islam, 1992, h. 63
makam-makam wali. Pemujaan wali adalah ritual yang berlaku sejak lama di kalangan dunia
Islam. Sejak pengaruh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim, ritual ini mendapat tantangan
serius. Di Indonesia, kaum modernis yang terpengaruh Ibnu Taimiyah juga mengecam pemujaan
wali, menziarahi makam-makam mereka dan berwasilah kepada mereka.

Seorang tokoh modernis terkenal, Hamka, dalam bukunya Pelajaran Agama Islam
mengecam kebiasaan ini. Katanya: “Tetapi dari masa ke masa timbullah dalam Dunia Islam
penghormatan yang sangat berlebih-lebih kepada kubur orang yang telah mati. Berduyunlah
orang awam pergi ziarah ke kubur kubur yang dipandang keramat. Di sana mengadakan apa
yang dinamai haul. Apabila ada yang sakit atau mengandung cita dan hajat, lalu bernazarlah dia,
apabila citanya tercapai dia akan ziarah ke kubur itu membawa hadiah bahkan ada juga yang
beri’tikaf dalam pekarangan kubur itu, sehingga di negeri Mesir adalah beberapa kubur yang
ditentukan setiap tahun orang berkumpul ke sana beramai-ramai, persis seperti pasar malam.
Bukan saja di Mesir, bahkan rata-rata di seluruh negeri Islam pergi ke kubur syekh Fulan tujuh
kali berturut-turut, niscaya akan samalah pahalanya dengan naik haji satu kali. Kubur-kubur
seperti itu banyak di Turki, banyak di India, tidak kurang di Indonesia”

Prinsip di atas bagi Hamka dijelaskannya dengan lebih menekankan pada sikap
pemurnian tauhid. “Apa berhala, apa keris, apa bendera. Demikian pun apa raja dan adikara,
semuanya tidak ada. Semuanya kecil belaka pada matanya seorang yang bertauhid,” tulis Hamka.
Tauhid yang telah mendalam, tambah Hamka, menimbulkan rasa cinta akan keadilan dan
kebenaran. Sebab seorang yang bertauhid itu melihat alam dengan penuh perhatian dan tafakur.
Matahari beredar tidak boleh mengejar bulan, dan malam tidak boleh mendahului siang.
Keseimbangan dan tenaga tarik menarik, turun ke bawah mana yang berat, merapung ke atas
mana yang ringan, semuanya itu adalah keadilan. Sebab itu benar. Semuanya itu adalah
kebenaram sebab itu dia adil.Makanya tidak benar, ialah karena tidak adil. Bertambah halus
perasaan tauhid itu bertambah penuhlah jiwa dengan keinginan akan yang lebih sempurna.
Konsep tauhid yang dikedepankan Hamka, tidak hanya diposisikan sebagai teori belaka, tetapi ia
mengaplikasikannya dalam kehidupan bernegara, ekonomi, masyarakat. Baginya, penjajahan
yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain bertentangan dengan tauhid. Karena
tauhid tidak menyukai kekacauan.
Dalam sebuah Negara yang demokratis, apabila tidak menerapkan tauhid, maka akan
terjadi penyalahgunaan. Suatu masyarakat dan negara yang mempunyai pemerintahan haruslah
menegakkan keadilan, sebab keadilan adalah amanah Tuhan. Apabila tauhid tidak diindahkan
dalam negara demokrasi, maka yang terjadi adalah “dia mau korsi”, orientasinya adalah mencari
kekuasaan. Padahal tauhid dengan sendirnya menghindarkan perebutan yang tidak jujur.
Pemerintahan yang jauh dari keadilan, yang hanya berdasar pada kekuatan dan kekuasaan, ini
merupakan tunas syirik yang amat berbahaya.

Bertolak dari pandangannya di atas, Hamka mengingatkan bahwa dalam Negara diktator,
lazimnya pemimpin menganggap dirinya “selalu benar”, tidak pernah salah. Namanya dijadikan
momok menakut-nakuti orang. Padahal sebenarnya yang mendapat keuntungan hanyalah
beberapa gelintir manusia yang ada di sekelilingnya belaka. Demikian juga pemerintah-
pemerintah feudal lama. Tegasnya, tauhid dalam pandangan Hamka bertujuan untuk
menciptakan persamaan, solidaritas dan kebebasan.Seseorang tidak boleh merasa takut kepada
siapa pun kecuali kepada Allah.3

Di dalam buku “Hanya Allah”, terdapat beberapa poin-poin yang mengindikasikan


konsep ketauhidan dalam pandangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Dr. H. Abdul Karim
Amrullah juga menjelaskan bahwa ‘Ilm at-Tauhid (Ilmu Keesaan atau Teologi) menurutnya
merupakan ilmu penting dan besar dalam Islam. Oleh karena pentingnya ilmu ini, maka
pembahasan tentang permasalahan-permasalahan keimanan tidak bisa dilepaskan dari ilmu
tersebut. Di lain pihak, Abdul Karim Amrullah juga ingin menunjukkan kepada sesama
Muslimin di Indonesia bahwa, dari sudut pandangan agama, bangsa Jepang dan bangsa Indonesia
dipisahkan oleh lembah yang tak dapat dijembatani. Pembahasannya adalah sebagai berikut:

1. Predikat Tuhan

Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik kepercayaan masyarakat Jepang yang mencoba
melakukan penyematan predikat Tuhan pada dzat yang memiliki sifat-sifat makhluk. Padahal
sifatsifat makhluk memiliki keterbatasan dan ketergantungan, sedangkan Tuhan tidak. Maka
penyematan predikat Tuhan yang benar seharusnya adalah pada Dzat lain yang wajibul wujud

3
Indra Gunawan, https://www.harianhaluan.com/news/detail/107542/buya-hamka-sang-pahlawan-tauhid-dari-
tanah-minangkabau
(wajib adanya) yang tidak mempunyai sifat-sifat makhluk. Dalam pandangan Dr. H. Abdul
Karim Amrullah, penyematan predikat Tuhan pada makhluk yang dilahirkan, memiliki sifat-sifat
tua dan sakit, serta akan menemui ajal merupakan upaya meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya, sekalipun mereka mengaku sebagai sebuah bangsa yang beragama.4

2. Keesaan hanya milik Allah SWT.

Dalam buku “Hanya Allah”, Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik pemaknaan ‘Yang
Maha Esa’ dalam konsep keagamaan Jepang yang menyematkan ke-maha Esa-an tersebut
kepada Tenno Heika. Pada saat yang sama kepercayaan Jepang ini juga menganggap bahwa
Tenno Heika adalah pusat dari seluruh Asia Raya.5 28 Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik
kepercayaan Jepang, dalam membicarakan sifat Keesaan Tuhan ia mengambil satu ayat Qur’an
dari Surah al-Ikhlas, surah ke-112. Allahu Ahad dalam surah ini harus ditafsirkan sebagai Allah,
yang Maha Esa.

3. Konsep Keagungan Tuhan

6
Masyarakat Jepang secara umum telah salah mengartikan tentang makna Tuhan dan
keesaan itu sendiri, sehingga kesalahan ini berimplikasi pada kesalahan dalam menetapkan
keagungan atau ketinggian sesuatu hal. Dalam konteks keislaman, segala sesuatu yang memiliki
sifat makhluk (yaitu berawal dan berakhir, serta bergantung pada sesuatu yang lain) tidak
mungkin menyandang predikat sebagai Tuhan. Maka Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik
kepercayaan masyarakat Jepang yang menyatakan bahwa Tenno Heika menyandang predikat
sebagai Maha Esa dan Maha Tinggi di dalam cakrawala, dan menguasai cakrawala tersebut.

4. Konsep Keimanan dan Pengorbanan

Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik konsep keikhlasan bangsa Jepang yang (harus)
memberikan nyawa untuk negeri dan Tenno Heika. Pemahaman tersebut tidak tepat jika
dibandingkan dengan konsep keikhlasan dalam agama Islam. Sekalipun terlihat konseptual,
namun jika dibandingkan dengan pengorbanan dalam Islam belumlah seberapa, karena Islam

4
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Ajahku: Riwayat Hidup ..., p. 350
5
Ibid., p. 289.
6
Ibid., p. 349-350.
mensyaratkan semua pemeluknya untuk mengikhlaskan segala sesuatu yang diberikan oleh Allah
SWT kepadanya. Padahal dalam konsep keislaman, karunia/pemberian dari Allah SWT, tidak
hanya berupa nyawa saja, namun juga harta dan semua pemberian darinya. Dr. H. Abdul Karim
Amrullah menjawab bahwa dalam Islam semua pengorbanan, baik material maupun spiritual
hendaknya dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Dia merupakan Yang
Tunggal, yang memberi imbalan atas pengorbanan para pengikut-Nya di akhirat. Ia menyarankan
bangsa Jepang untuk mematuhi semua perintah Kaisar Tenno Heika, tetapi di lain pihak ia juga
menginginkan mereka untuk membersihkan hati dari semua kepercayaan yang salah dan praktek
yang tidak benar, yang bisa mengalihkan kepercayaan kepada Tuhan.

5. Penghambaan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada pemimpin

7
Bangsa Jepang yang telah salah dalam meletakkan keesaan dan ke-Agung-an pada
Tenno Heika, walhasil berimplikasi pula pada kesalahan terhadap kepada penghambaan terhadap
yang Esa tersebut. Bangsa Jepang meletakkan panghambaan hanya kepada Tenno Heika yang
tentu tidak sepaham dengan konsep penghambaan dalam Islam. Bagi Dr. H. Abdul Karim
Amrullah penghambaan hanya boleh diberikan kepada Tuhan Yang Tunggal (Esa), yang kepada-
Nya-lah manusia harus menyerahkan seluruh hidupnya, tidak kepada raja, presiden, atau kaisar
dari segala kaisar.

6. Pemberian Salam yang tepat

Seikeirei menurut kebudayaan bangsa Jepang disebut sebagai sebuah cara untuk memberi
salam dengan membungkukkan diri yang juga disambut dengan membungkukkan diri pula.
Dalam pandangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah, membungkukkan diri tidak bisa disebut
sebagai memberi salam, karena esensi dari salam adalah penghormatan seseorang kepada orang
lain yang melambangkan persaudaraan, persatuan sesama manusia, kejujuran hati, dan kesetiaan
dengan cara saling memperlihatkan mukanya dengan terang-terangan. Hal inilah yang
nampaknya menjadi dasar teoritis dari pemberian salam dalam pandangan Dr. H. Abdul Karim
Amrullah. Beliau juga mengemukakan bahwa tidak membungkuk bukan berarti tidak
memberikan penghormatan kepada yang bersangkutan.

7
Ibid., p. 351-352
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/download/384/350

https://www.harianhaluan.com/news/detail/107542/buya-hamka-sang-pahlawan-tauhid-dari-
tanah-minangkabau

https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/779/661

Anda mungkin juga menyukai