Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Dasar Hukum Pelaksanaan Ibadatullah

Dosen Pengampu
Redi Zulpianto,M.Pd

Di Susun Oleh
Soewidon

Program Studi Ekonomi Syariah


STI Mambaul Ulum

PENDAHULUAN
A.         Latar belakang masalah

Keberadaan kitab suci umat Islam yaitu Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
sering diabaikan terutama mengenai nilai dan norma, banyak diantara kita yang
mendahulukan As-Sunnah dibanding Al-Qur’an sebagai pedoman hidupyang telah
ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Sudah sepatutnya kita kembali bersumber
pada hukum yang paling utama, yaitu Al-Qur’an  barulah diikuti dengan As-Sunnah lalu
adapula Ijtihad. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan agama khususnya untuk penulis sendiri dan umumnya untuk semua yang
membaca makalah ini dan kemudian dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.

Islam merupakan agama pemyempurna dari agama-agama lain,  yang mana segala
permasalahan semisal Fiqih didasarkan pada empat “akar” (Usul al-Fiqh) : Al-Qur’an,
Hadist, Ijma’ dan Qiyas, keempat “sumber” ini dianggap lengkap (exhaustive). [1] [1]

B.           Latar belakang masalah

            Dari latar belakang  yang  telah diuraikan di atas, teridentifikasi masalah sebagai
berikut

1.             Apa saja yang menjadi sumber hukum pelaksanaan ibadah ?

2.             Apa yang dimaksud dengan al Qur’an ?

3.             Apa yang dimaksud dengan al hadis ?

4.             Apa yang dimaksud dengan ajmal ?

C.           Tujuan pembahasan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
diharapkan bermanfaat bagi kita semua.

1.             Untuk mengetahui sumber hukum pelaksanaan ibadah.

2.             Untuk mengetahui pengerti an al Qur’an.

3.             Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan hadis.

4.             Untuk mengetahui pengerti an ijmak

BAB II
PEMBAHASAN
A.         Al Qur’an

Ø     Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz Al-Qur’an
berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya
dapat dilihat pada Firman Alloh pada Surat Al-Qiyamah : 17, 18  [2] [2]

)17 : ‫ القيامة‬-75 ( ‫ِإ نَّ َع َل ْي َن ا َج مْ َع ُه َو قُ رْ َآن ُه‬

Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya .

)18 : ‫ القسامة‬- 75 ( ‫َف ِإ َذ ا َق َر ْأ َن اهُ َف َّات بِعْ قُ رْ َآن ُه‬

Artinya : “Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. [3] [3]

Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi Sholih, Al-
Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata Qara’a (fiil madli) dengan
arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca-baca. [4] [4]

Bertolak dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-
Qur’an secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh
yang mu’jiz, yang turunnya kepada Nabi Besar  Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam ,
dengan  melalui Malaikat Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam Mushaf yang
membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara Mutawatir. [5] [5]

Adapun yang dipindahkan tidak secara mutawatir, tidak dinamakan Al Qur’an,karena


Al-Qur’an se3sempurna-sempurna seruan dan keadaannya perkataan Allog Shubhanahu Wa
Ta’ala, yang mengandung hukum-hukum syara’ dan menjadi Mu’jizat bagi Nabi, maka
mustahil kalau Al-Qur’an itu dipindahkan tidak secara Mutawatir.

Ø     Isi atau Kandungan Al-Qur’an

Seluruh umat Islam sepakat bahwa Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
Sholallohu ‘Alahi Wa Sallam, adalah agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna .
atas dasar ini kemudian ada sebagian pemikir Islam yang berpandangan bahwa Al-Qur’an
telah menjelaskan segala-galanya, tidak ada sesuatupun yang aifa darinya. Relevannya
dengan pandangan seperti ini Rosyid Ridlo pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an
mengandung semua Ilmu Pengetahuan yang ada di Alam Kosmis ini. Dengan kata lain, Al-
Qur’an merupakan kitab Suci yang didalamnya sudah si jelaskan sistem perekonomian,
Politik, Sosial, Budaya, Ilmu Pengetahuan dan seterusny, sehingga tidak ada suatupun yang
terlupakan olehnya. Hal ini di dasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3 :
ِ‫هِل ل َِغ ْي رِ هَّللا ِ بِه‬ َّ ‫ت َع َل ْي ُك ُم ْال َم ْي َت ُة َو ال َّد ُم َو َل حْ ُم ْال خ ِْن زِ ي رِ َو َم ا ُأ‬ ْ ‫ُح رِّ َم‬
‫الس ُب ُع ِإ اَّل َم ا‬ َّ ‫يح ُة َو َم ا َأ َك َل‬ َ ِ‫الن ط‬َّ ‫وذ ةُ َو ْال ُم َت َر ِّد َي ُة َو‬
َ ُ‫َو ْال ُم ْن َخ ن َِق ُة َو ْال َم ْو ق‬
‫ب َو َأ ْن َت سْ َت ْق ِس ُم وا بِا َأْل ْز اَل ِم َذ ل ُِك ْم فِسْ ٌق ْال َي ْو َم‬ِ ‫ص‬ ُّ ‫ِح َع َل ى‬
ُ ‫الن‬ َ ‫َذ َّك ْي ُت ْم َو َم ا ُذ ب‬
‫ت َل ُك ْم‬ُ ‫اخ َش ْو ِن ْال َي ْو َم َأ ْك َم ْل‬ْ ‫ين َك َف ُر وا ِم ْن ِد ين ُِك ْم َف اَل َت ْخ َش ْو ُه ْم َو‬ َ ‫ِئس الَّ ِذ‬ َ ‫َي‬
ُ ‫اض‬
‫ط َّر‬ ْ ‫يت َل ُك ُم ا ِإْل ْس اَل َم ِد ًين ا َف َم ِن‬ ُ ‫ض‬ ِ ‫ت َع َل ْي ُك ْم نِعْ َم تِي َو َر‬ ُ ْ‫ِد َين ُك ْم َو َأ ْت َم م‬
)3 : ‫ المائدة‬-    5 ( ‫ِيم‬ ٌ ‫ف ِإِل ْث ٍم َف ِإ نَّ هَّللا َ َغ فُ و ٌر َر ح‬ ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُم َت َج ان‬ َ ‫فِي َم ْخ َم‬

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnyadan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [6] [6]

Ayat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa Al-Qur’an
adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan dan
segala-segalanya telah dijelaskan dalam isinya.

Berikut ini adalah perkiraan komposisi ayat Al-Qur’an dan isinya. Al-Qur’an-Al-Qur’an
yang memuat ketentuan tentang Iman, Ibadah, dan hidup kemasyarakatan kurang lebih
hanya ada 500 buah ayat atau 8 prosen dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Dari sejumlah itu,
ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan
kemudian sisanya berisi tentang keimanan.

Ø     Posisi Al-Qur’an Dalam Studi Keislaman

Dikalangan umat Islam, bahwa Al-Qur’an adalah landasan pokok bagi Syari’ah Islam.
Darinya diambil segala pokok-pokok Syari’ah dan cabang-cabangnya, dari padanya di
ambil dalil-dalil syar’i. Dengan demikian Al-Qur’an adalah landasan pokok (kully) bagi
Syari’ah islam dan pengumpul segala hukumnya sebagaimana firman Alloh dalam Surat Al-
An’am ayat 38 :

Imam Ibnu Hazm berkata : “segala pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya
melainkan mempunyai pokok dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakannya. Karena Al-
Qur’an adalah mengandung dasar-dasar pokok (kully) dalam penerapannya bersifat ijma’i
yang memerlukan perincian (tafshil) dan bersifat kully yang memerlukan penjelasan
(tabyin). Dengan demikian, untuk bisa mengambil hukum dari padanya kita memerlukan
pertolongan As-Sunnah.
Selanjutnya karena Al-Qur’an merupakan sumber utama , makan para Ulama harus terus
mernerus berusaha untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan
melakukan ijtihad untuk mengeluarkan hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat, isyarat-isyarat,
dzahir, dan nash Al-Qur’an. Sebagaimana mereka bersungguh-sungguh mencari jalan
menakwilkan ayat-ayat mutasyabih, mentafsilkan ayat-ayat yang mujmal, menerangakan
yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am, nasikh, mansukh  dan
sebagainnya.

Karena Al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasa arab, maka walaupun dalam
susunan bahasa yang tidak dapat di tansingi oleh bahasa Arab, namun kita memerlukan
adanya pemahaman terhadap segala uslub Arab di dalam mengistimbatkan hukum dari Al-
Qur’an. Adapun penjelasan Al-Qur’an yang pertama kali adalah As-Sunnah dan ini sudah
merupakan kesepakatan para Ulama’.

Dalam hal ini, Al-Qur’an berarti mempunyai kedudukan tertinggi dalam hujjah, dan
mutlak bersifat pasti. Dengan demikian, Al-Qur’an dalam kerangka urutan dalil-dalil atau
hukum atau sumber ajaran islam adalah menempati kedudukan yang paling tinggi. Dalam
kaitan ini, maka Al-Qur’an mempunyai fungsi dasar pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau
alat ukur menganahi apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah sesuia atau tidak dengan
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an ?. Apabila ternyata ditemukan adanya ketidak sesuaian atau
bahwa bertentanga, maka kekuatan hukum ini tidak sah dan tidak diberlakukan. [7] [7]

Ø     Fungsi Al-Qur’an

Dari sudut isi atau subsitansinya, funsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya
adalah sebagai berikut : [8] [8]

a.               Al-Huda (petunjuk)

b.             Al-Furqon (pemisah)

c.               Al-Syifa’ (obat)

d.             Al-Mu’izhah (nasihat)

      B.     Hadist

Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua setelah Al-Qur’an, telah
menjadi perhatian khusus dikalangan para intelektual Muslim ataupun Barat (Orientalis)
terutama perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist-hadist nabi yang menyebabkan
timbulnya kelompok-kelompok penentang Hadist (Inkarussunah). Untuk memahami lebih
jelas dan lebih memahamkan maka dalam makalah ini perihal Hadist, ada beberapa sub
bagian yang insya alloh akan kami jelaskan secara rinci sebagaimana berikut.

1.             Ilmu Hadist
Ilmu Hadits merupakan ilmu pengetahuan yang ke-dua setelah ilmu al-Qur’an yang
mesti diketaui oleh setiap insan muslim. Berpegang kepada kedua sumber ilmu
pengetahuan islam yang paling mendasar ini merupakan cara islam menyelamatkan diri
dari tersesat yang salah.

Mempelajari al-Qur’an tidak bisa terlepas dari perhatian terhadap Ilmu Al-Hadist   sekali
tentang ayat-ayat tasy-ri’ dan Qodho. Mempelajari Al-Hadist memelukan perhatian yang
sangat teliti. Hal ini disebabkan berbagai asalan :

a. Al-Hadist sebagai sumber Syari’ah yang kedua merupakan sumber ajaran yang lahir
dari seseorang manusia, tidak lahir seperti Al-Qur’an, yang selalu dicatat oleh sahabat
rosul setiap kali muncul.

b.             Al-hadist sampai kepada kita melalui proses periwayatan para sahabat, tabi’in dan
seterusnya, dalam kadar keperibadian yang berbeda-beda ditinjau dari kriteria para ahli
ilmu hadist.

c.               Al-Hadist sampai kepada kita lewat kurun waktu yang tidak terlepas dari sejarah
peradapan manusai yang tidak punya jaminan untuk tegaknya kebenaran.

2.  Pengertian Hadist

Ø     Untuk memahami pengertian hadist dapat dilakukan melalui dua cara yaitu Melalui
pendekatan kebahasaan (Linguistik)

Melalui pendekatan kebahasaan hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan- wa


hadi-tsan” kata tersebut mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :

1.             Aljadid minal Asya : artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata  al-
qodim artinya sesuatu yang telah lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti demikian kita
temukan dalam ungkapan hadits albina dengan arti jadid al bina artinya bangunan baru.

2. Al-khobar : artinya maa ya kaddasa bihi wayaqol , artinya sesauatu yang dibicarakan


atau diberitakan dialihkan dari seseorang ke orang lain. [9] [11]

3.             Al-Qorib artinya pada waktu yang dekat, pada waktu yang singkat, pengertian ini
digunakan pada ungkapan qorib al-‘ahd bi a- islam  yang artinya orang yang baru masuk
islam.

Ada sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam


kata hadits  kemudian mereka menggunakan kata tersebut sebagai lawan kata qodim (lama)
dengan maksud qodim sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang
didasarkan kepada belia nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam . Syaikh islam ibnu
hajar berkata : “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ adalah apa yang
disandarkan kepada nabi sholalloohu ‘alaihi wa sallam , dan hal itu seakan-akan sebagai
bandingan al qur’an adalah qodim yang dimana terdapat di dalam syarah al bukhori.
Para Muahadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya dalam
menta’rifkan al hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh
terbatas dan luasnya obyek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat
peninjauan mereka itu melahirkan dua macam ta’rif al hadits, yaitu : pengertian yang
terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain. [10] [14]

1.             Ta’rif atau pengertian yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhurul


muahadditsin, yaitu :

‫ للنبى صلى هللا عليه وسلم قوال أوفعال أوتقريرا أونحوها‬    ‫ما أضيف‬.

“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”. [11] [15]

Dari pengertian diatas terdapat empat macam unsur yakni ;  [12] [16]

a. Perkataan yaitu perkataan yang pernah beliau Nabi Muhammad Sholalloohu ‘Alaihi


Wa Sallam ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (Syari’ah), akhlaq,
‘aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana contoh perkataan beliau yang
mengandung hukum Syari’ah, misalnya sabda beliau :

)‫ (متفق عليه‬.‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى‬

“hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh
apa yang ai niatkan .... Dan seterusnya”. [13] [17]

b. Perbuaatan yaitu perbuatan Nabi Muhammad Sholllaooohu ‘Alaihi Wa Sallam ,


merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan  Syari’ah yang belum jelas cara
pelaskanaannya.
Perbuatan beliau dalam masalah cara bersholat dan cara berhadap kiblat dalam sholat di
atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh nabi dengan perbuatan beliau
di hadapan para sahabat. Dapat kita ketahui berdasarkan berita dari sohabat Jabir RA.
Yaitu :

‫ يص لى على راحلت ه حيث ت وجهت‬: ‫كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ أراد الفريض ة ن زل فاس تقل‬                                                                              ‫به ف إذا‬
)‫ (البحارى‬.‫القبلة‬.
“Dulu rodululloh sholalloohu ‘aliahi wa sallam bersabda di atas kendaraan (dengan
menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sholat fardu,
beliau sebentar, terus mengahdap kiblat”.
c. Taqrir ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau
menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan
beliau.
Contoh taqrir nabi tentang perbuatan sahabat dalam acara jamuan makan, menyajikan
makanan daging biawak dan mempersilahkan kepada nabi untuk menikmatinya bersama
para undangan. Beliau menjawab :

(‫ فأجدنى أعافه‬,‫ ولكن لم يكن بأرض قومى‬,‫ )! ال‬,‫ فاجتززت ه‬: ‫قال خالد‬
)‫(متفق عليه‬.‫ ورسول هللا صلى هللا عليه وسلم ينظر إلي‬,‫فأكلته‬

“Tidak (maaf) berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik
padanya !”

Kata  kholid : “segera aku memotongnya dan memakannya sedang rosulullooh sholalloohu
‘alaihi wa sallam, melihat kepadaku”.

3.              Hadist Berdasarkan Jumlah Perawi

a. Hadist Mutawatir

Hadist Mutawatir adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta. Dengan adanya pengertian ini dapat difahami bahwa
syarat untuk menentukan hadist mutawatir yaitu hadist diterima berdasarkan tanggapan
panca indra, jumlah perowinya harus mencapai ketentuan yang tidak mungkin mereka
bersepakat bohong. Mengenahi ketentuan jumlah perowi untuk memenuhi syarat tersebut
para muhadditsin berselisih pendapat. [14] [20] Adanya keseimbangan jumlah rawi-rawi
pada thobaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh berikutnya.

Pendapat lain Hadits Mutawatir secara terminologi hadits yang diriwayatkan oleh rowi
yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat
banyaknya jumlah mereka. [15] [21]

b.             Hadist Ahad

Hadist Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang. Haidts Ahad yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad ini tidak memenuhi hadits
mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada jumlah periwayatan hadits
mashur. Imam syafi’I menyebut hasits ini dengan istilah khusus, yaitu khobar al khas. [16]
[22] Yang mana hadist ini dikelompokkan oleh ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist
Masyhur, Hadist ‘Aziz dan Hadist Ghorib.

c. Hadits Masyhur yaitu hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua perowi namun
tidak mencapai batas mutawatir.

4.             Pembagian Hadist berdasarkan Dasar Alasan Berhujjah

a.               Hadits Shohih yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal. [17] [23] Maksud
dari adil yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa kecil, tidak melakukan perkara
yang menggugurkan iman.

b.             Hadits Hasan, yaitu hadits yang dibnukikan oleh orang adil (tapi) tidak begitu kokoh
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang tidak terdapat ilat serta kejanggalan
dalam matannya. [18] [24]

c.               Hadits Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih ataupun syarat-
syarat hasan. [19] [25]

Hadits Qutsiy sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap hadits yang mengandung sandaran
Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan antara hadits Qudsiy dan nabawi yaitu bahwa
hadits Nabawi yang terakhir dinisbatkan kepada Rosul saw. dan diriwayatkan dari beliu,
sedangkan hadits Qudsiy dinisbatkan kepada Alloh swt.

Beliau menulis surat ke Wilikota Masinah Abi Bakar bin Muhammad bin Umar
bin Hazmin (ibnu Haszmin) untuk meneliti hadist-hadist Rosululloh dan menuliskannya.
[20] [26] Dan dari mereka muncul Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhry (Ibnu
Zuhry wafat 124 H.) sebagai pentadwin hadist yang tidak mencampurkannya dengan fatwa
sahabat maupun Tabi’in.

7.             Unsur-Unsur Hadist

Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam hadits diantaranya yaitu :

a.               Rowi yaitu orang yang menyampiakan menuliskan suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari seorang gurunya.

b.             Matnu’l Hadits yaitu pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over oleh sanad
yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rosululloh saw. sahabat ataupun tabi’in.

c.               Sanad yaitu jalan yang dapat menghubungkan materi hadits kepada Junjungan kita Nabi
Muhammad saw

C.           IJTIHAD

1.             Pengertian Ijtihad

‫بذل الوسع لتحصيل حكم شرعي‬


“Ijtihad adalah mengerahkan segala daya kemampuan untuk menghasilkan hukum”

‫استفراغ الوسع لتحصيل حكم رعيبطريقالظن‬


“Atau menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan
dlonn”.

Di dalam putusan Hakim atau pengadilan ijtihad adalah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum baik yang berhubungan dengan nash ataupun UUD, dengan
mengistimbathkan hukum yang wajib diterapkan diwaktu  tidak ada nash. Juga bisa
diartikan meluangkan kesempatan dan mencurahkan kesungguhan.

Ijtihad itu terbagi menjadi dua :

a.               Mengambil hukum dari dalil nash, yaitu ketika masalah yang ditangani tersebur sudah
diatur oleh nash.

b.             Mengeluarkan hukum dari memahami nash umpamanya, ada suatu masalah yang
mempunyai illat dan illat tersebut sama dengan yang ditunjukkan dalam nash, maka
seorang mujtahid atau hakim boleh menyamakan hukum masalah tersebut dengan hukum
yang sudah ada dalam nash.

2.             Tujuan ijtihad

Sedangkan ijtihad dilihat dari tujuannya adalah untuk mendapatkan hukum yang
belum ada aturanya dalam nash maupun undang-undang.

3.             Hal-hal yang boleh jadi obyek ijtihad

Sudah diterangkan dimuka bahwasanya tidak boleh melakukan ijtihad dalam segala
sesuatu yang sudah ada aturannya dalam nash. Maka, jika peristiwa yang hendak diketahui
hukumnya itu, harus tahu hukum syara’nya dan dalil yang jelas dan pasti, sehingga tidak
ada tempat untuk ijtihad disana, maka yang wajib dilaksanakan adalah yang sudah ditunjuk
oleh nash tadi, karena selama dalil itu masih dating , maka ketetapan dan ketentuan
Allohdan Rosul-Nya itu layak menjadi pembahasan dan pencurahan daya namun tak pasti,
tidak ada jalan untuk ijtihad kepada masalah yang ada kemampuan untuk mengoreksi.

Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek ijtihad, atas
dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung
ta’wil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada
hukumnya dalam nash:

‫الزانية والزاني فاجلدواكل واحد ماة جلدة‬


Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
masing-masing seratus kali dera.  (QS.An-Nuur: 22).

Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berzina,
masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.

Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah:

‫ا قيمو الصلوة واتوالزكوة‬

Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat…  (QS.Al-Baqoroh:43)

Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia diperintahkan untuk
melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara melakukannya belum diterangkan
dalam ayat tersebut, jadi masih perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat
perdagangan, zakat profesi, dan seterusnya.

4. Macam-macam ijtihad.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu:

a.               Ijtihad Fardi adalah :

‫االجتهاد الفردي هو كل اجتهاد ولم يثبت اتفاق المجته دين في ه على راي‬
‫في المسالة‬
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang dalam suatu
perkara, namun tidak ada indikasi bahwa semua mujtahid menyetujuinya”.

b.             Ijtihad Jami’ adalah semua ijtihad dalam berbagai macam persoalan dan ijtihad itu
disetujui oleh semua mujtahid. Ijtihad kedua inilah yang dimaksudkan oleh Sayyidina ‘Ali
karromallohu wajhahu, pada waktu beliau menanyakan kepada Rosul tentang suatu masalah
yang menimpa masyarakat dan belum diketahui hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah, Rosululloh kemudian bersabda

‫اجمعواله العالمين من المؤمنين فاجعلوه شورى بينكم فيه براي واحد‬

“Kumpullah orang-orang berilmu dari orang-orang mu’min untuk memecahkan masalah


itu, dan jadikanlah hal itu masalah yang dimasyarakatkan diantara kamu, dan janganlah
kamu mamutuskan hal itu dengan pendapat seorang saja” . (HR.Ibnu Abdil Barr).
Contoh dari ijtihad jami’ ini ialah: kesepakatan para sahabat ketika mendukung
dan mengangkat Sayyidina Abu Bakar sebagai kholifah (kepala negara) serta kesepakatan
mereka terhadap tindakan Abu Bakar yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Begitu
juga kesepakatan mereka atas usulan Umar dalam pengkodifikasian Al-Qur’an. Padahal
hal-hal yang demikian ini belum pernah terjadi dimasa Rosul, namun ini dibenarkan oleh
syara’.

Sesungguhnya hukum-hukum yang telah diatur dalam nash itu sudah banyak,
namun tetap mengandung katerbatasan, dalam artian tidak akan ada tambahan lagi,
sedangkan kejadian atau peristiwa yang dihadapi manusia tidak berkesudahan, maka untuk
menghadapi hal seperti itu perlu kembali pada ijtihad terhadap satu hal yang dapat kita
hindari didalam menghadapi setiap perkembangannya.

Dengan demikian sesuailah dengan apa yang dikatakan oleh para ulama’ Hambali,
bahwa tak ada satu masapun yang berlalu di dunia ini kecuali di dalamnya ada orang-orang
yang mampu berijtihad. Dengan adanya orang-orang yang berijtihad seperti inilah agama
akan terjaga dan upaya pengacauan pun dapat dihindarkan.

5. Syarat-syarat orang yang boleh malakukan ijtihad.


Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad)
adalah sebagai berikut :

a.               Menguasai bahasa Arab

b.             Mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kandungan Al-


Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui hukum-hukum syara’ yang terkandung di dalamnya.

c.               Mempunyai pengatahuan yang luas di bidang Sunnah, hal ini akan memudahkan
Mujtahid dalam mencari hadits terhadap segala peristiwa yang dihadapinya.

d.             Memahami ushul fiqh

e.               Memahami nasikh-mansukh

f.               Memiliki pengathauan tentang qias (analogi)

Mujtahid diklasifikasikan menjadi empat macam:

a.               Mujtahid muthlaq / mujtahid fis-syar’ii

Mujtahid muthlaq / mujtahid fis-syar’ii yaitu orang yang melakukan ijtihad langsung
secara keseluruhan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan ia mendirikan madzhab tersendiri
dengan hasil ijtihadnya tersebut. Seperti: madzhab empat.

b.             Mujtahid madzhab / mujtahid fil-madzhab


Yaitu para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak mendirikan madzhab sendiri,
tetapi dalam berijtihad mereka mengikuti salah satu madzhab dan sering kali terjadi
kontroversi antara mereka dan gurunya.

c.               Mujtahid fil-masaail (ijtihad parsial dalam cabang-cabang tertentu)

Yaitu orang yang berijtihad dalam suatu masalah saja, tidak keseluruhan, dan mereka tidak
hanya mengikuti satu madzhab saja. Seperti ; Hadzairin berijtihad tentang hukum
kewarisan islam.

d.             Mujtahid muqoyyad

Yakni mujtahid yang mengikat diri dan mengikuti pendapat ulama’ salaf, dengan
kemampuan menentukan mana yang lebih utama dan menentukan pendapat mana yang
riwayatnya lebih kuat. Pemahaman ini menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

            I.                 KESIMPULAN

            Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan dasar hukum pelaksanaan


ibadah ada tiga yaitu :

Ø     Al-Qur’an

Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz Al-Qur’an
berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan,

Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi Sholih, Al-
Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata Qara’a (fiil madli) dengan
arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca-baca. [21] [4]

Bertolak dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-Qur’an
secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh
yang mu’jiz, yang turunnya kepada Nabi Besar  Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam ,
dengan  melalui Malaikat Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis

Ø     Hadist

Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua setelah Al-Qur’an, telah menjadi
perhatian khusus dikalangan para intelektual Muslim ataupun Barat (Orientalis) terutama
perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist-hadist nabi yang menyebabkan timbulnya
kelompok-kelompok penentang Hadist (Inkarussunah).

Ø       Ijtihad

‫بذل الوسع لتحصيل حكم شرعي‬


“Ijtihad adalah mengerahkan segala daya kemampuan untuk menghasilkan hukum”

‫استفراغ الوسع لتحصيل حكم رعيبطريقالظن‬


“Atau menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan
dlonn”.
Di dalam putusan Hakim atau pengadilan ijtihad adalah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum baik yang berhubungan dengan nash ataupun UUD, dengan
mengistimbathkan hukum yang wajib diterapkan diwaktu  tidak ada nash. Juga bisa
diartikan meluangkan kesempatan dan mencurahkan kesungguhan.

Ijtihad itu terbagi menjadi dua :

                                        II.                 SARAN

Ø     Makalah ini hanya sebagai tambahan ilmu bagi kita khususnya mahasiswa/I STAI
Pringsewu. Oleh karena itu kami mengharapkan bagi pembaca untuk bisa mengkaji lebih
dalam lagi tentang pembahasan yang telah diuraikan dalam makalah ini dari sumber-
sumber yanglain.

Ø     Kita harus dapat mengetahui dasar hukum ibadah yang telah dipaparkan dalam makalah ini .
Semoga makalah ini dapat menjadi bahan pelajaran dan tambahan ilmu untuk pembaca
semua,kritik dan saran yang membangun kami butuhkan untuk dapat lebih baik lagi.

.DAFTAR PUSTAKA
1.             Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya . Gema Risalah Press Banduung
Jakarta Barat

2.             Dr. Muniron, DKK, Studi Islam STAIN jember Press : Jember. 2010

3.             Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok,  Metodologi Studi Islam , Bandung :
PT Remaja Pesdakarya, 2000.

4.             Drs. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993.

5.             Amin Abdulloah, Falsafat Kalam Di Era Post Modernisme , (Yogyakarta : Pustaka


Pelajar, 1997).

[1] [1]  Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Imam dan Sejarah Dalam
Peradapan Islam Masa Klasik Islam   (Paramadina  Jakarta Selatan 2002)  hal. 132

[2] [2]  Dr. Muniron, DKK, Studi Islam STAIN jember Press : Jember. 2010, hal. 51
[3] [3]  Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya  Gema Risalah Press Bandung
Jakarta Barat, hal.1196-1197

[4] [4]  Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok, Metodologi Studi Islam,
Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000. hal. 69

[5] [5]  Drs. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993.
hal. 32

[6] [6]  Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya  Gema Risalah Press
Bandung Jakarta Barat, hal. 200-201

[7] [7]  Dr. Muniron, DKK. Loc. Cit. hal. 79


[8] [8]  Drs. Atang ABD dan Dr. Jaih Mubarok, Op. Cit. hal. 71
[9] [11]  Hasbi As Siddiqy Prof. TM, Ulumul Hadist, Sumbangsih, Yogyakarta.
[10] [14]  Drs. Fatchur Rohman, Mustholahu’l Hadits. Bandung, PT Alma’arif 1974.
hal. 20

[11] [15]  Muh. Mahfudh At Tarmusy. Manhaj Dzawil’n Nadhaf, hal. 7


[12] [16]  Drs. Fatchur Rohman, Mustholahu’l Hadits. Bandung, PT Alma’arif 1974.
hal. 21.

[13] [17]  Abi Abdulloh bin Ismail Al Bukhoriy Surabaya Hidayah. Juz 1 hal. 5-6
[14] [20]  ‘Abdul Qodir, Tasyii’ul Jinail Islami, Maktabah Darul Audah, Kaero
[15] [21]  Drs. Nazar Bakry, fiqh dan Usul Fiqh. (Jakarta Utara, PT Raja Gravindo
Persada). hal : 30
[16] [22]  Prof. Dr. Amir Syarifudin, Usul Fiqh. (Jakarta Timur, Zikrul Hakim :
2004)  hal. 38

[17] [23]  Drs. Fathur Rahman, Mushthalahul Hadits (Bandung, PT Al ma’arif) cet 10
hal : 117

[18] [24]   Ibid hlm. 135


[19] [25]  Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khotib, Ushul Al Hadits (Jakarta, GNP. 2007) Cet
1 hal. 303

[20] [26]  Muhammad Ahmad Syakir, Sunan Tirmidzi


[21] [4]  Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok, Metodologi Studi Islam ,
Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000. hal

Anda mungkin juga menyukai