Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH SYAR’UN MAN QABLANA

DOSEN PENGAMPU

Ust NOR KHOLIS BIN NAFSAH, L,C. M. Pd.

DISUSUN OLEH

1. Muhammad Bahrul Ula, S.Pd.


2. Muhammad Ali Tajuddin

MA’HAD ALY ASSUNNIYYAH


KENCONG – JEMBER
FEBRUARI 2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i,
yang di syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-
nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat
dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa
peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i,
ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak
disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah
jema’ah Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu
mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul.
Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa
dalam bermacam-macam masalah yang terjadi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat syar’u man qablana
dan mazhab sahabat, yang mencakup pengertian, macam-macam, kehujjahan, dan lain
sebagainya.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.  Bagaimana Definisi dari  Syar’u Man Qablana 
2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana?
3.  Apa contoh-contoh dari Syar’u Man Qablana ?
4.  Apa macam - macam dari Syar’u Man Qablana ?
5.  Bagaimana Kehujjahan dari Mazhab Sahabat ?
                        
BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA


Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.1
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
ِّ ‫ياَاَيُّ َها الَّ ِذينَ َأ َمنُوا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم ال‬                                             
َ‫صيَا ُم َكما َ ُكتِ َب َعلَى الَّ ِذيْنَ ِمنْ قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu  berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).

                                                 
B.  PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYAR’U MAN QABLANA
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama
Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila
hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu,
yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak
ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Alasan yang di kemukakan adalah:2
1.      Menurut mayoritas ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, juga sebagian ulama Safi’iyyah,
dan menurut Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, bahwa Syara’ Man Qablana adalah
syariat bagi kita (umat Islam), selama terdapat dalam Syariat kita (syariat Islam) tanpa dukungan
atau pengingkaran.
Dalil pendapat mereka adalah:
َٔ‍ۡ ‫م ۡٱقتَ ِدهۡۗ قُل ٓاَّل َأ‬dُ ُ‫ُأوْ ٰلَِٓئكَ ٱلَّ ِذينَ هَدَى ٱهَّلل ۖ ُ فَبِهُد َٰىه‬
٩٠ َ‫سلُ ُكمۡ َعلَ ۡي ِه َأ ۡجر ًۖا ِإ ۡن هُ َو ِإاَّل ِذ ۡك َر ٰى لِ ۡل ٰ َعلَ ِمين‬
Artinya: “Mereka Itulah orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-
Quran)." AlQuran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”
(QS. Al An’am : 90) Dan dalam QS. As Syuura : 13.
‫وا‬d ْ d‫ك َو َما َوص َّۡينَا بِ ِٓۦه ِإ ۡب ٰ َر ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰۖ ٓى َأ ۡن َأقِي ُم‬
ْ dُ‫ ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرق‬d ‫وا ٱل‬d َ ‫ي َأ ۡو َح ۡينَٓا ِإلَ ۡي‬
ٓ ‫وحا َوٱلَّ ِذ‬
ٗ ُ‫ِّين َما َوص َّٰى بِِۦه ن‬ ِ ‫۞ َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ ٱلد‬
١٣ ُ‫ي ِإلَ ۡي ِه َمن يُنِيب‬ ٓ ‫فِي ۚ ِه َكب َُر َعلَى ۡٱل ُم ۡش ِر ِكينَ َما ت َۡدعُوهُمۡ ِإلَ ۡي ۚ ِه ٱهَّلل ُ يَ ۡجتَبِ ٓي ِإلَ ۡي ِه َمن يَ َشٓا ُء َويَ ۡه ِد‬
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya...”.

1 Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 162-163.

2 Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
2.      Menurut ulama al Asyaa’irah (penganut Al Asy’ari), Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Ahmad
dalam riwayatnya yang lain, Imam Ibnu Hazm, sebagian ulama Hanafiyyah,  dan mayoritas
ulama Syafi’iyyah (spt Imam Ghazali, Amidi, Razi), syara’ man qablana bukanlah syariat untuk
kita (umat Muhammad ‫ )ﷺ‬meskipun terdapat dalam Al Qur`an. Dalil mereka adalah.
ِ َ‫ه ِمنَ ۡٱل ِك ٰت‬dِ ‫صد ِّٗقا لِّ َما بَ ۡينَ يَد َۡي‬
  ‫ب َو ُمهَ ۡي ِمنًا َعلَ ۡي ۖ ِه‬ َ َ‫َوَأن َز ۡلنَٓا ِإلَ ۡيكَ ۡٱل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬
َ ‫ق ُم‬
Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan
penghapus (muhaimin) terhadap kitab-kitab yang yang lain itu..”
[QS. Al Maidah : 48]
C.  Contoh syara’ man qoblana di dalam Al Qur’an.
 Dalam syari’at Nabi Sulaiman AS, kalau binatang seperti burung berbuat kerusakan,
maka binatang tersebut dijatuhi sanksi. (QS An Naml : 20-21).
b.  Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara selama 3 hari. (QS Maryam : 10).
c.  Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang yang berkuku, juga lemak dari sapi
dan domba (QS Al An’am : 146).
d.  Dalam syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri adalah dijadikan budak (QS Yusuf :
75).
e.  Dalam syariat Nabi Ya’kub AS, makanan yang diharamkan oleh Nabi Ya’kub adalah haram
bagi kaumnya (Bani Israil) (QS Ali ‘Imran : 93).

Dan masih banyak contoh di dalam Al Qur’an yang dijelaskan dalam kisah-kisah umat terdahulu
yang ada sebagian di-nasakh (diganti/dihapus) oleh syariat Nabi Muhammad ‫ﷺ‬ dan sebagian
ada yang diperbaharui oleh syariat Islam, seperti syariat shalat 5 waktu yang menjadi kewajiban
umat Islam sekarang tentunya berbeda dari umat terdahulu, baik dari gerakannya dan waktu
shalalatnya

D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana


Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam
pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu
namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga,
yaitu:
1.  Di-nasakh syariat kita (Syariat Islam). Syari’at hukum terdahulu yang terdapat dalam Al-
Qur’an maupun hadist Nabi  dan penjelasannya disyari’atkan untuk umat sebelum Nabi
Muhammd ‫ ﷺ‬yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬.  Firman Allah dalam Al Quran.
‫ا‬dd‫ٓا َأ ۡو َم‬ddَ‫ٓا َأ ِو ۡٱل َح َواي‬dd‫ا َح َملَ ۡت ظُهُو ُرهُ َم‬dd‫حُو َمهُ َمٓا ِإاَّل َم‬d‫ا َعلَ ۡي ِهمۡ ُش‬ddَ‫ر َو ۡٱل َغن َِم َحرَّمۡ ن‬d ۡ
ِ dَ‫ُوا َحرَّمۡ نَا ُك َّل ِذي ظُفُ ۖ ٖر َو ِمنَ ٱلبَق‬ ْ ‫َو َعلَى ٱلَّ ِذينَ هَاد‬
١٤٦ َ‫ص ِدقُون‬ َ ٰ َ‫ك َجز َۡي ٰنَهُم بِبَ ۡغيِ ِهمۡۖ َوِإنَّا ل‬َ ِ‫ٱختَلَطَ بِ َع ۡظ ٖ ۚم ٰ َذل‬
ۡ
“Kami haraman atas orang-orang yahudi setiap (binatang) yang punya kuku, dan dari sapi
dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.” (QS. Al An ‘am: 146)
Contoh : Pada syari’at Nabi Musa a.s, pakaian yang terkena najis tidak suci kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
2.  Dianggap syariat kita melalui alQur’an dan aSSunnah. Syari’at hukum terdahulu yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist Nabi, disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan
dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan selanjutnya.
Hanya saja, ada syariat yang diperbaharui oleh syariat Islam, seperti syariat berpuasa pada
bulan Ramadhan dengan batasan waktu dari terbit fajar sampai terbenam matahari dan adanya
sahur. Atau tentang gerakan shalat misalnya. Firman Allah dalam surat Al Qur’an:
١٨٣ َ‫ب َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُون‬
َ ِ‫ب َعلَ ۡي ُك ُم ٱلصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ِ‫وا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Q.S. Al Baqarah: 183)
Contoh : Perintah menjalankan puasa yang juga disyariatkan bagi sebelum umat
Muhammad ‫ﷺ‬, hanya saja kalau kita lihat kelanjutan ayat diatas dengan dipertegas lagi
bahwa berpuasanya di bulan Ramadhan (QS. Al Baqarah: 185). Tidak hanya perintah puasa
saja, tapi tentang rukhsoh (keringanan) terhadap orang-orang yang diringankan berpuasa (QS.
Al Baqarah: 184). Berarti ada pembaharuan dalam tatacara pelaksanaanya atau lama
pelaksanaanya (30 hari) dalam syariat Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Ada juga syariat yang diperselisihkan karna belum ada penggantinya/nasakh-nya,
sebagai contoh tentang qishash. Sebagaimana dijelaskan di dalam poin ke 3.

3.  Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah di-nasakh atau dianggap sebagai syariat
kita (umat Islam). Syari’at hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist Nabi ,
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa
hukum tersebut telah di-nasakh. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 45 :
ۚٞ ‫ص‬
َ ِ‫نف َوٱُأۡل ُذنَ بِٱُأۡل ُذ ِن َوٱلس َِّّن بِٱل ِّسنِّ َو ۡٱل ُجرُو َح ق‬
ِ ‫س َو ۡٱل َع ۡينَ بِ ۡٱل َع ۡي ِن َوٱَأۡلنفَ بِٱَأۡل‬
َ ‫اص فَ َمن ت‬
َ ‫َص َّد‬
‫ق بِِۦه‬ ِ ‫س بِٱلنَّ ۡف‬َ ‫َو َكت َۡبنَا َعلَ ۡي ِهمۡ فِيهَٓا َأ َّن ٱلنَّ ۡف‬
ٰ ٓ
٤٥ َ‫ك هُ ُم ٱلظَّلِ ُمون‬َ ‫ة لَّ ۚۥهُ َو َمن لَّمۡ يَ ۡح ُكم بِ َمٓا َأن َز َل ٱهَّلل ُ فَُأوْ ٰلَِئ‬ٞ ‫فَهُ َو َكفَّا َر‬ 
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishas-nya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.” (Q.S.Al Maidah: 45)
Hukum qishas pada syariat Nabi Musa as dalam kitab Taurat, masih berlaku pada saat ini
sebagai hukum peradilan Islam untuk pelaku tindak kriminal pembunuhan dan pencederaan
terhadap sesama manusia, baik yang merdeka maupun sebagai budak.
Sebagaimana pernah dijalankan pada masa Rasul ‫ﷺ‬, Khulafur Rasyidin maupun pada masa
Khilafahan Islam setelahnya (Umayyah, Abasiyah dan Utsmaniyah).
Pendapat yang ketiga inilah yang menjadi pembahasan pada makalah ini, karena para ulama
Ushul Fiqh memperselisihkannya. Apakah ini bisa dijadikan dalil ataukah ditinggalkan?
Cukup dengan Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas saja?

E.  KEHUJJAHAN SYAR’U MAN QABLANA 


yari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan
sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang
sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika
seandainya  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di
nasakh       (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum
kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang
berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang
terkena  najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua
syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan
bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi
umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita
dengan syari’at kita seperti format ibadah.3
Menurut Abu Zahrah berapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam   melihat syari’at
orang. Sebelum kita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man qablana itu layak
untuk diikuti atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi
pertimbangan :
1.  Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang
menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat
di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2.  Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak boleh di amalkan.
Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka
syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi
orang bani Israil.
3.  Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu di
dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa
Ramadhan.

3 Musnad Rozin.Usul Fiqih.Stain Jurai Siwo Metro Lampung. Hal159


Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan
dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak  diharamkan untuk umat nabi Muhammad
selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an
dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1.  Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang         shahih, maka ia
termasuk dalam syari’at samawi
2.  Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh
menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad
3.  Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man
Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu
namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau
kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau
keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat
tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat
mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan
alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang
tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).
DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009)

Daibal Musthofa Bugho, Atsarul Adillah Al Mukhtalafiha (Damaskus: Darul Imam Al Bukhori, ..)

Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)

A. Hanafie, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1980)

 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011)

Muhyiddin Darwisy, I`rab al-Qur’an alKarim Wa Bayanuh, (Suriah: Dar al-Irsyad, 1412 H.)

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002.)

Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Jail, 1408 H.)

Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir AlManar, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420 H.)

Tafsir al-Thabari Juhaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam. (Bandung: Yayasan Piara, 1997.)

Hasbi Ash-Shiediqie, Falsafah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993.)

Anda mungkin juga menyukai