Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Hukum Islam, Zakat dan Baitul Mal


“Al-Qiyas, Al-Ijma’, Metode-metode Perumusan Hukum Islam
yang Tidak Disepakati, dan Asas-asas Hukum Islam”

Disusun oleh :
- ZAENAL ABIDIN
- SOVIA OKTARINA KUSDIANTI
- RATU ZAHRO
- MELIANA
Dosen : Dr. Yusuf Hidayat, S.Ag., M.H

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Ijma’ dan Qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits), ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an
dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya Ijma’ dan Qiyas itu sendiri yang
mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihad dengan
sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).

Ijma’ dan Qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan
bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia
menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Secara global, Ijma’ merupakan dalil paling terpuji di antara dalil-dalil yang disepakati boleh
dijadikan hujjah.

Penggunaan Qiyas untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap oleh Nash (Al-qur’an
dan Hadist) merupakan hal yang tidak terelakkan pasa masa pembentukan Islam.

Problem dan permasalahan kehidupan manusia semakin hari kian bertambah kompleks dan
beragam. Permasalahan-permasalah yang awalnya dapat dicover secara eksplisit oleh kedua
sumber pokok ajaran islam tersebut, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin kompleksnya
permasalahan manusia, mulai bermunculan permasalahan-permasalan yang belum ditemukan di
dalam kedua sumber tersebut.

Kondisi obyektif yang berkaitan dengan permasalah manusia yang setiap saat bertambah banyak
yang memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang belum
tercover secara eksplisit dalam teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah, mewajibkan bagi orang-orang
yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (usaha sungguh-sungguh untuk
penggalian hokum) sebagai respon terhadap permasalahan yang baru muncul. Anugerah akal yang
diberikan Allah SWT kepada manusia menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu,
berkembang dan berinovasi. Melalui pranata ijtihad ini manusia dapat mengekplorasi akal
pikirangnnya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-
kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qiyas ?
2. Sebutkan dalil qiyas ?
3. Apa saja rukun dan syarat qiyas ?
4. Berikan contoh qiyas ?
5. Apa yang dimaksud dengan Ijma’ ?
6. Bagaimana kedudukan Ijma’ diantara dalil-dalil syar’i ?
7. Apa saja syarat dan rukun ijma’ ?
8. Apa objek, dasar dan kekuatan ijma’ ?
9. Sebutkan macam-macam ijma’ ?
10. Apa metode perumusan hukum Islam ?
11. Apa saja asas-asas hukum Islam
C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar penulis dan pembaca khususnya teman-teman
mahasiswa Universitas Al-Azhar dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami
landasan hukum islam seperti ijma’ dan qiyas, metode perumusan hukum Islam, dan asas-asas
hokum Islam yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam
setelah Al-Qur’an dan Hadits.

BAB II
PEMBAHASAN
QIYAS dan IJMA’
A. Pengertian Qiyas

Qiyas adalah bentuk penalaran yang sistematis dalam hukum. Sebelum berkembang menjadi
ajaran yang kompleks pada masa pasca-Syafi’i, qiyas hanya digunakan untuk menunjukkan
kesamaan antara dua kasus yang serupa. Ia berawal dari penggunaan pendapat pribadi (ra’y) dalam
kasus-kasus yang tak terungkap oleh nash yang jelas.

Qiyas menurut bahasa artinya perumpamaan atau mengukur dan menyamakan. Adapun
menurut istilah ulama ushul fiqih yaitu menyandarkan dan menyamakan hukum suatu perkara
yang belum ada ketentuan hukumnya dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan perkara yang
sudah ada ketetapan hukumnya dari nash, dikarenakan keduanya memiliki ‘illat hukum yang sama.

Pengertian qiyas menurut Imam Syafi’i akan diketahui apabila ditelusuri beberapa keterangannya
di tempat terpisah yang menyangkut AL-Qiyas antara lain :

“Al-Qiyas dapat ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara’) sama betul
dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa suatu
peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan lebih banyak
kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku qiyas”

“Al-Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum peristiwa)
yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Qur’an maupun AL-sunnah karena
keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.”

“Maka ijtihad selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari suatu (hukum suatu peristiwa).
Mencari sesuatu itu hanyalah data ditemukan dengan menggunakan berbagai argumentasi dan
argumentasi itu adalah Al-Qiyas”.

“ … Salah satu caranya ialah: Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tersurat (sarih
eksplisit) atau menghalalkannya karena mana (‘llah) tertentu, kemudian jumpai suatu peristiwa
yang tidak disebutkan dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serupa dengan makna pada peristiwa
yang disebutkan dalam AL-Qur’an atau Al-sunnah, maka kita tetapkan hukum halal atau
haramnya peristiwa yang tidak disebutkan nash karena ia semakna dengan makna halal atau
haram”.

A.1 Dalil yang Menjadikan Qiyas Sebagai Salah Satu Dasar Hukum

 Friman Allah SWT :


‫الرسُو ِل ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم‬ ِ ‫ش ْيءٍ فَ ُردوهُ ِإلَى ه‬
‫َّللا َو ه‬ َ ‫الرسُو َل َوأُولِي ْاْل َ ْم ِر مِ ْنكُ ْم ۖ فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
‫َّللا َوأَطِ يعُوا ه‬
َ ‫َيا أَي َها الهذِينَ آ َمنُوا أَطِ يعُوا ه‬
‫يل‬ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬ َ ْ‫اَّلل َو ْال َي ْو ِم ْاْلخِ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ِ ‫تُؤْ ِمنُونَ ِب ه‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ayat ini memerintahkan kita untuk mengembalikan atau merujuk suatu perkara yang
diperselisihkan kepada apa yang ada pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya, dan penggunaan metode
qiyas merupakan salah satu bentuk pengembalian suatu perkara yang diperselisihkan hukumya
kemudian dirujuklah perkara itu itu kepada perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah dan rasul-
Nya dengan cara persamaan illat pada perkara tersebut.

Metode pengambilan dalil dengan ayat di atas adalah karena Allah memerintahkan kepada
kaum beriman jika berselisih pendapat dan berlawanan terhadap sesuatu yang tidak terdapat
hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-sunnah dan kesepakatan Ulil Amri, agar mengembalikan
persoalan kepada Al-Qur’an dan Al-sunnah dengan bagaimana juga. Dengan demikian dapat
diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yang tak ada nashnya, yang mengandung arti taat
kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

 Firman Allah SWT :

‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫……فَا ْعتَ ِب ُروا َيا أُولِي ْاْل َ ْب‬

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
wawasan”. (QS Al-Hasyr : 2)

Para ulama ushul fiqih menafsirkan menafsrikan ayat tersebut dengan makna “ambillah olehmu
perumpamaan/pengqiyasan wahai orang diberi penglihatan/wawasan”.

 Hadist Rasulullah ‫ ﷺ‬:

Sayyidina Mu’adz bin Jabal diutus ke Yaman untuk menjadi gubernur disana, ketika ia ditanyakan
oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬mengenai cara memutuskan suatu perkara yang tidak ia dapatkan dari Al-Qur’an
dan Sunnah, ia menjawab “aku berijtihad dengan pandanganku / pendapatku”. Dan Rasulullah ‫ﷺ‬
merestui jawabannya tersebut.
Dari Sahl bin Abi Hatmah, beliau mengatakan: “Diantara kalangan para sahabat yang
sudah memberi fatwa pada zaman Rasulallah ‫ ﷺ‬ada tiga dari kalangan Muhajirin yaitu Umar,
Utsman dan Ali, dan tiga dari kalangan Anshar yaitu Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal dan Zaid”

Sebagaimana qiyas merupakan salah satu cara berijtihad dengan metode pandangan atau
pendapat seorang yang ‘alim, maka itu berarti bahwa berijtihad seorang ‘alim dengan qiyas
merupakan salah satu cara yang direstui Allah dan rasul-Nya.

A.2. Pembenaran Qiyas

Penggunaan qiyas untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap oleh nash
merupakan hal yang tak terelakkan pada masa pembentukan Islam. Selama masa tersebut, orang-
orang mengambil jalan menggunakan akal dan ra’y (pendapat) untuk mencari jawaban atas
masalah-masalah baru yang timbul dalam masyarakat mereka. Proses ini pada akhirnya
menimbulkan penggunaan akal dan ra’y secara bebas dalam penyelesaian masalah-masalah
hukum. Dalam kondisi tidak adanya ketetapan hukum yang pasti dan eksplisit yang didasarkan
pada nash, selalu ada bahaya bahwa dengan penggunaan akal dan ra’y yang bebas, masalah-
masalah hukum akan ditetapkan menurut keinginan dan kecenderungan pribadi. Karena itu,
kebutuhan akan sandaran keagamaan akal dan ra’y dalam hukum sangat dirasakan.

Imam Syafi’i mengajukan salah satu ayat berikut ini untuk mendukung qiyas :

‫ض ۚ َولَئ ِِن اتهبَعْتَ أ َ ْه َوا َءهُ ْم‬ َ ‫َولَئ ِْن أَتَيْتَ الهذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ُ ‫َاب ِبكُ ِل آيَ ٍة َما ت َ ِبعُوا قِ ْبلَتَكَ ۚ َو َما أ َ ْنتَ ِبت َا ِب ٍع قِ ْبلَت َ ُه ْم ۚ َو َما بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم ِبت َا ِب ٍع قِ ْبلَةَ بَ ْع‬
‫م ِْن َب ْع ِد َما َجا َءكَ مِنَ ْالع ِْل ِم ۙ ِإنهكَ ِإذًا َلمِنَ ه‬
َ‫الظا ِلمِين‬
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak
akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -- kalau begitu -- termasuk
golongan orang-orang yang zalim”. (QS Albaqarah : 145)

Dalam ayat ini Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang harus menghadap Ka’bah dalam
shalat ketika ia terlihat. Tetapi jika seseorang jauh darinya atau Ka’bah tak terlihat, maka ia harus
menghadap ke arah Ka’bah dan tidak ke Ka’bah itu sendiri. Untuk menentukan arah Ka’bah
seseorang harus bergantung pada tanda-tanda yang menunjukkan arah, meliputi matahari, bulan,
bintang-bintang, laut, gunung-gunung, dan angina. Orang menggunakan kekuatan nalar mereka
untuk mengetahui arah Ka’bah yang tepat melalui tanda-tanda tertentu. Tetapi mereka kadang-
kadang benar dan kadang-kadang salah dalam usaha mereka mengahadap kea rah Ka’bah.
Seseorang mengahap Ka’bah dengan penuh kepastian ketika Ka’bah terlihat, tetapi tidak ada
kepastian ketika ia menghadap ke arah Ka’bah melalui tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk.
Namaun ayat Al-Qur’an tersebut secara tegas menegaskan bahwa bukan suatu keharusan untuk
menghadap ke Ka’ bah itu sendiri ketika ia tidak terlihat. Dalam hal ini, menghadap ke arahnya
dapat memenuhi syarat yang seharunya. Arah akan ditentukan oleh tanda-tanda tertentu. Seseorang
dapat dianggap telah memenuhi kewajiban menghadap Ka’bah dalam shalat jika ia melakukan
usaha dan menggunakan akalnya dalam mencari arah yang benar. Metode yang sama dapat
diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah dalam hukum yang tidak mempunyai preseden.
Jawaban terhadap masalah-masalah tersebut dapat ditemukan dengan melakukan usaha dan
menggunakan akal untuk mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari nash. Pengetahuan yang
diperoleh melalui proses qiyas tidak sama kepastiannya dengan pengetahuan yang diperoleh
melalui kata-kata zhahir nash. Bisa jadi terdapat pertentangan pendapat; yang satu bisa benar dan
yang lain bisa salah. Tingkat kepastian di sini sama dengan tingkat kepastian menghadap Ka’bah,
ketika ia terlihat dan tidak terlihat.

Ini yang ditekankan oleh Imam Syafi’i dengan mengutip ayat tersebut adaslah bahwa kepastian
tidak dapat diklaim dalam masalah-masalah yang diselesaikan berdasarkan akal dan penilaian
pribadi. Al-Qur’an mengajak menggunakan akal dan ra’y dalam kasus-kasus yang tidak memiliki
preseden. Namun, tanda-tandanya sangat diperlukan sebagai petunjuk.

A.3. Rukun Qiyas

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan, rukun qiyas terdiri dari empat hal :

1. Al-Ashlu (pokok).

Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat
sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha
mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu diqiaskan
kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai
pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.

Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang,
yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman
keras adalah keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan
Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya.

2. Al-Far’u (cabang).

Al-Far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul
(yang dibandingkan).

3. Al-Hukum

Al-Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’
(cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang
akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya.

4. Al-‘Illat (sifat)

Illat adalah alasan serupa antara asal dan far’ ( cabang)., yaitu suatu sifat yang terdapat pada
ashl, dengan adanya sifat itulah , ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat
cabang disamakan dengan hukum ashl.

A.4. Syarat Qiyas

Abdul Wahhab Khallaf dalam ushul fiqih menjelaskan syarat-syarat qiyas, yaitu:

Syarat asal adalah hukumnya ditetapkan dengan nash. Sedangkan syarat cabang adalah hukumnya
tidak ditetapkan dengan nash dan tidak dengan ijma’. Sedangkan rukun ketiga, yaitu hukum asal
disyaratkan beberapa hal; Pertama, hukumnya adalah hukum syara’ amali yang ditetapkan dengan
nash. Kedua, hukum asal termasuk hukum yang ‘illatnya bisa ditemukan akal. Jika ‘illatnya tidak
mampu ditemukan dengan akal, maka tidak mungkin dikembangkan dengan qiyas karena dasar
qiyas adalah menemukan illat hukum asal dan menemukan adanya ‘illat tersebut dalam cabang.

Secara luas dijelaskan, bahwa semua hukum syara’ amali disyariatkan untuk kemaslahatan
manusia dan dibangun berdasarkan ‘illat. Tidak ada satu hukum yang disyariatkan tanpa illat.
Dalam hal ini, hukum dibagi dua:

1. Hukum-hukum yang Allah merahasiakan ‘illatnya dan hanya Allah yang tahu dan tidak
ada jalan untuk mengetahui illat ini. Tujuannya adalah menguji hamba-hamba Allah
apakah mereka tunduk dan melaksanakan perintah atau tidak. Hukum ini dinamakan
hukum yang sifatnya dogmatik atau supra rasional. Contohnya adalah: batasan rakaat
shalat, batasan kadar nishab dalam harta zakat, batasan pidana dan kafarah, dan bagian
warisan.

2. Hukum-hukum Allah yang tidak hanya Allah yang tahu, tapi Allah membimbing akal
manusia untuk mengetahui illatnya dengan nash atau dalil lain yang dijadikan sebagai
petunjuk. Hukum ini dinamakan dengan hukum yang rasional.

Hukum inilah yang bisa dikembangkan dari asal kepada cabang dengan metode qiyas. Hukum
yang bisa dikembangkan dua; Pertama, hukum yang utama yang tidak termasuk pengecualian dari
hukum umum, seperti haramnya minum khamr, yang digunakan untuk menyamakan status hukum
semua minuman yang memabukkan.

Kedua, hukum yang sifatnya pengecualian dari hukum umum, seperti memberikan kemurahan
dalam kasus jual beli kurma basah yang dijual dengan kurma kering yang merupakan pengecualian
menjual satu jenis dengan sejenisnya secara tidak imbang yang bisa dikembangkan dalam kasus
menjual anggur basah dan anggur kering. Contoh lainnya adalah tetapnya puasa orang yang makan
dalam keadaan lupa yang merupakan pengecualian dari batalnya puasa sebab kemasukan makanan
ke dalam perut yang dikembangkan kepada tetapnya orang puasa yang makan dalam keadaan salah
atau dipaksa dan tetapnya shalat yang berbicara dalam keadaan lupa.

A.5. Contoh Qiyas


 Dalam surah Al-Maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum khamar. Khamar minuman
keras yang dibuat dari anggur. Mengapa dilarang ? dan bagaimana bila minuman keras itu
dibuat dari bahan lainnya, seperti dari beras kentan, ketela dan sebagainya ? Dalam hal ini,
kita perlu meneliti illat hukumnya (sebab adanya larangan keras minuman itu) ialah karena
bisa memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu
diterdapat di semua minuman keras. Karena itu, dengan qiyas, semua jenis minuman keras
diharamkan.
 Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang mewariskan hartanya itu
gugur hak warisnya. Illat hukumnya (sebabnya), bahwa pembunuhannya di maksudkan
untuk mempercepat hak warisnya. Tetapi justru hak warisnya gugur, sebagai hukuman atas
kejahatannya. Demikian pula pembunuh orang orang yang memberi wasiat, gugur hak
wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang mewariskan hartanya, karena
persamaan illatnya.
 Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu sudah
dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa mengelahkan sholatnya.
Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan haram, tetapi makruh. Demikian pula
semua kegiatan bisnis dan nonbisnis diqiyaskan hukumnya dengan jual beli, karena sama-
sama bisa melengahkan sholat.

Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul fiqhi, karena menyamakan
suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah yang telah ada nash hukumnya
berdasarkan persamaan illat hukumnya (motif hukumnya) yakni :

 Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur yang sama, ialah
memabukkan dan merusak saraf otak/akal.
 Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang sama, ialah
mempercepat waktu untuk menerima warisan.
 Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat jum'at dapat
melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang wajib itu.
B. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut Bahasa adalah mengumpulkan atau kesepakatan. Menurut istilah para ulama ushul
fiqih, ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Islam pada satu masa/generasi
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ijma’ juga mengandung dua arti; pertama, ijma’ dengan makna al-‘azm ‘alasysyai’, yaitu ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu, atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam arti pengambilan
keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala berikut :

….‫وشركاءكم امركم فاجمعوا‬

“… Karena itu bulatkanah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu untuk


membinasakanku..” (QS. Yunus : 71).

Juga dapat dilihat dalam hadist Nabi ‫ ﷺ‬berbunyi :

......‫من لم يجمع الصيام قبل الفجر فل صيام له‬

“Barangsiapa tidak membulatkan niat memutuskan berpuasa sebelum matahari terbit, maka tidak
ada puasa baginya.” (HR. Tirmidzi).

Kedua, ijma’ dengan arti sepakat. Ijma’ dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-qur’an berikut :

...‫فلما ذهبوابه واجمعوا ن يجعلوه في غيبت الجب‬

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur..” (QS. Yusuf
: 15)

Landasan mengapa ijma’ menjadi dasar hokum setelah Al-Qur’an dan Sunnah, firman Allah SWT:

......‫اطيعوا هللا واطيع الرسول واولي االمر منكم‬

“Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan para pemimpin diantara kalian..” (QS. An-Nisa : 59)

Dalam ayat tersebut terdapat perintah taat kepada ulil amri (pemimpin/pengemban urusan agama).
Dalam satu riwayat bahwa Sayyidina Abdullah bin Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud “ulil
amri” tersebut adalah pengemban urusan agama, yaitu ulama. Sehingga menjadi salah satu
kewajiban umat untuk taat pada keputusan para ulama.
Firman Allah SWT :

.....‫ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).

Rasullulah ‫ ﷺ‬bersabda :

....‫لم يكن هللا ليجمع امتي على الضللة‬

“Allah tidak akan menjadikan umat ini bersepakat dalam kesesatan”

Hadist diatas menjelaskan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat kecuali dalam hal yang
benar, dengan demikian wajib pula bagi umat mengikuti dan mentaati yang benar.

B.1. Dasar dan Kekuatan Hukum Ijma’

Ijma’ adalah sumber dasar dari sumber-sumber fikih Islam yang memiliki kekuatan hukum
dalam tasyri’ Islami, juga dalam perubahan hukum-hukum sesuai dengan keadaan, adat, kondisi
dan domisili umat tersebut. Dan hukum-hukum ini berlaku hanya pada masalah-masalah yang
tidak ada nashnya, baik Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ada dasar dari sunnah tetapi masih
samar, atau meyelisihi takwil. Oleh karena itu ijma’ adalah jalur penghubung keberjalanan fikih
pada lapangan perkembangan dan kemajuan di masa sekarang dan yang akan datang.

Dasar hukum ijma’ berupa Al-Qur’an, Hadits, dan Rasional ;

a. Al-Qur’an

Dasar hukum dari Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :

.......‫ياايها الذين ءامنوا اطيعوا هللا واطيع الرسول واولي االمر منكم‬

“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu..”(QS. An-Nisa : 59).

Kata “amri” yang terdapat pada ayat diatas berarti hal. Keadaan atau urusan yang bersifat umum,
meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa, sedangkan ulil amri dalam urusan agama ialah para ulama dan mujtahid.
Ibnu Abbas R.A dan sebagian ahli tafsir menafsirkannya dengan ulama, sedangkan yang lain
menafsirkannya dengan pemimpin dan penguasa.

Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan
atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.

Friman Allah SWT :

...‫واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا‬

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai
berai.. (Ali ‘Imran : 103).

Ayat ini memerintahkan kamu muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk
dalam pengertian Bersatu ialah berijma’ bersepakat dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan
menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

b. Al-Hadits

Dasar hukum dari Al-Hadits, bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari
suatu persitiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti. Karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan, apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana
sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬:

‫ان امتي ال تجمع على ضللة‬

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.” (HR: Ibnu Majah)

Demikian itu karena kesepakatan satu hukum atas suatu kasus oleh seluruh mujtahid padahal
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang mereka, lingkungan yang melingkupi mereka
dan banyaknya factor penyebab perbedaan mereka menjadi bukti kebenaran yang satu saja yang
dapat mengumpulkan pendapat mereka.

c. Rasional

Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibangun atas asa-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar
ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah
ditetapkan. Bila berijtihad dan dalam ijtihad tersebut menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak
boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika
dalam berijtihad tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka
dalam berijtihad tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu boleh
menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.

B.2. Kedudukan Ijma’ di antara Dalil-Dalil Syar’i

Kedudukan ijma’ menjadi jelas dengan hal-hal berikut :

i. Secara global, ijma’ merupakan dalil paling terpuji di antara dalil-dalil yang disepakati
boleh dijadikan hujjah.
ii. Ijma’ diutamakan atas Kitab dan As-sunnah ketika keduanya saling bertentangan. Hal itu
karena kekuatannya dihasilkan dari sandarannya, yaitu dalil-dalil syar’i yang dianggap
sekalipun terkadang tidak banyak kita ketahui, akan tetapi harus diyakini kebakuannya
terlebih dahulu. Hal tersebut mengingat betapa banyak ijma’ berkenaan dengan masalah-
masalah yang tidak baku.
iii. Ijma’ adalah dalil yang menunjukkan adanya dalil syar’i yang menjadi sandarannya
sekalipun tidak kita ketahui. Karena ijma’ menurut jumhurul ulama harus memiliki
sandaran. Sandaran itu jika dari Kitab dan As-Sunnah, disepakati boleh. Jika sandaran itu
dari qiyas atau semacamnya, juga dibolehkan menurut kebanyakan ulama.
iv. Ijma’ adalah hujjah mutlak yang tidak berlaku nasakh (penghapusan) padanya.
v. Ijma’sejalan dengan Kitab dan As-Sunnah; kafir orang yang mengingkari ijma’ secara
mutlak.

Dengan semua ini, jelaslah kedudukan ijma’ di antara dalil-dalil syar’i. Ijma’ menempati posisi
yang mulia di antara keduanya dan ia memiliki bobot ketika disebutkan sehingga harus diberi
perhatian besar sesuai dengan posisi serta kedudukannya (Al-Bushi, 2012).

B.3. Rukun dan Syarat Ijma’

Dari beberapa definisi di atas, ada point penting bisa diambil sebagai unsur pokok ijma’, juga
merupakan rukun ijma’ itu sendiri, yaitu; adanya sejumlah orang yang berkualitas mujtahid dan
diakui sebagai mujtahid ketika ada masalah yang memerlukan ijma’. Karena kesepakatan itu tidak
dianggap jika hanya orang biasa bukan mujtahid. Bila pada suatu masa tidak ada mujtahid sama
sekali, atau ada, namun hanya orang biasa, kamu muslimin tidak mengakuinya sebagai mujtahid,
maka ijma’ tidak terlaksana secara hukum.

Semua mujtahid sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal,
jenis, dan golongan mujtahid. Jika yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid
kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka itu tidak dapat disebut ijma’,
karena ijma’ hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.

Kesepakatn tercapai setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya, sebagai hasil


dari usaha ijtihadnya secara terang-terangan, baik pendapatnya dikemukakan dalam bentuk ucapan
dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengan
memutuskan hukum dalam pengadilan, dengan posisinya sebagai hakim qadhi. Penyampaian
pendapat itu mungkin dalam bentuk perorangan, yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau
secara Bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat
kesamaan pendapat.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, bahwa rukun ijma’ hanya satu, yaitu adanya kesepakatan
dari seluruh mujtahid. Jika belum menghasilkan kesepakatan di antara mujtahid maka tidak bisa
disebut ijma’. Dan syarat ijma’ menurut beliau ada enam :

1) Terdiri dari seluruh mujtahid yang ada, maka ijma’ tidak bisa hanya ditetapkan oleh satu
mujtahid saja.
2) Kesepakatan atas suatu hukum syar’i harus disepakati oleh seluruh mujtahid.
3) Kesepakatan terpenuhi dari seluruh mujtahid dari negeri Islam pada masa itu, maka tidak
dikatakan ijma’ bila dalam satu negeri tertentu saja.
4) Hendaknya kesepakatan diawali dari setiap mujtahid untuk mengemukakan pendapatnya
secara lugas dan jelas sesuai kondisi, baik dengan perkataan atau perbuatan, secara
individua tau jamaah.
5) Kesepakatan terjadi dari mujtahid yang memiliki sifat adil dan mejahui bid’ah.
6) Bersandar kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah atau qiyas, karena fatwa tanpa sandaran dan
bicara masalah agama tanpa ilmu merupakan sebuah kekeliruan dan merupakan sebuah
larangan.
B.4. Kemungkinan Terjaidnya Ijma’

Sekelompok ulama, termasuk di antaranya kelompok An-Nazham dan sebagian Syi’ah berkata;
“ijma’, dengan unsur-unsur jelas yang jelas, menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, karena
sulit untuk memenuhi semua unsur-unsurnya.” Hal itu karena tidak ada ukuran yang pasti
seseorang telah mencapai ijtihad atau belum. Juga tidak ada patokan hokum seseorang telah
disebut mujtahid atau belum.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sangat mungkin diadakan, menurut kebiasaan. Mereka
berkata; “apa yang dikatakan penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti, karena meragukan
masalah yang terjadi.” Mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan
sebagai hasil ijma’, seperti pengangkatan Abu Bakr Assidiq sebagai khalifah, keharaman minyak
babi, dan di antara hokum global dan yang terperinci lainnya.

Yang lebih kuat adalah ijma’ tidak dapat dilaksanakan, menurut kebiasaan, bila diserahkan kepada
masing-masing umat Islam dan kelompok lainnya, ijma’ mungkin dapat diadakan bila dikuasai
oleh pemerintah Islam dimana saja. Masing-masing pemerintah dapat menentukan syarat
seseorang dianggap mencapai tingkatan mujtahid dan memeberikan gelar mujtahid kepada orang
yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Dengan demikian setiap pemerintah dapat mengetahui
para mujtahid dan pendapat-pendapatnya mengenai peristiwa apa saja. Bila masing-masing
pemerintah menegetahui seluruh para mujtahidnya tentang suatu peristiwa kemudian ditemukan
kesepakatan para mujtahid di seluruh pemerintahan Islam atas suatu hokum yang telah disepakati
itu menjadi hukum syara’ yang wajib diikuti oleh umat Islam.

B.5. Objek Ijma’

Objek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, dan peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah gahiru mahdhah, seperti
bidang muamalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan
duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Para imam mazhab yang empat telah bersepakat bahwa tidak ada ijma’ dari apa yang telah ada
dalilnya, baik dari Al-Qur’an dan Sunnah. Maksudnya adalah bahwa ijma’ harus selalu ada dasar
dan dalil dari Al-Qur’an, seperti had zina, mencuri atau selainnya ataupun dalil dari Sunnah, seperti
hukum waris bagi semua kakek, dengan bagian seperenam.
B.6. Macam-Macam Ijma’

Ijma’ dapat ditinjau dari beberapa segi, dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau
dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas :

a. Ijma’ Bayani

Yaitu kesepakatan para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa
ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ sharih, ijma’ qauli, ijma’ haqiqi, ijma’ nuthqi
dan ijma’ fi’li. Atau dalam basaha lain : ‘kesepakatan mereka dengan perkataan dan perbuatan
mereka pada satu masa atas suatu hukum pada masalah tertentu.”

b. Ijma’ Sukuti

Yaitu para mujtahid seluruhnya atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan
tegas, tetapi mereka berdiam diri, atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ ini dipersilihkan atas
kehujjahannya, diantaranya :

 Tidak dianggap sebagai ijma’ dan bukan pula hujjah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I,
Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqilani, Ar-razi, Al-Arwami, Isan bin Aban, Imam Haramain, Abi
Abdillah Al Basri. Pendapat ini diikuti oleh Malikiyah dan Syafi’iyah. Mereka mempunyai
alasan bahwa diamnya sebagai mujtahid tidak dihitung sebagai indikasi sepakatnya
mereka. Sebab, diamnya itu tidak mengandung ijtihad, atau diam karena khawatir atau
takut berbahaya bagi dirinya, atau bisa jadi menghindari mudharat.
 Dianggap sebagai ijma’ dan hujjah. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan kebanyakan dari
Hanafiyah, sebagian Malikiyah, Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Isfarayini. Mereka mempunyai
dua alasan : pertama, menurut adat yang sudah terjadi, untuk mendengarkan seluruh
pendapat para mujtahid sangatlah sulit bahkan kemungkinannya kecil. Kedua, pada
kebiasaan di setiap masa para ulama senior berfatwa dalam suatu peristiwa dan para ulama
junior pasrah dengan kesepakatan mereka, maka ijma’ sukuti termasuk sepakat yang
tersirat.
 Dianggap sebagai hujjah tapi bukan ijma’. Ini pendapat Ash-Shairafi, Abi Hasyim Al-
Jubba’I, Al-Kurkhi, Ibnu Al-Hajib dan Al-Amidi. Demikian juga yang masyhur dari
pendapat A-Subki dan mazhab yang dipeganginya.
 Dianggap sebgai hujjah ijma’, apabila yang berdiam lebih sedikit. Ini adalah mazhab Abi
Bakr Al-Janshshash dari kalangan Hanafiyah.

Berbeda dengan keterangan Dr. Wahbah Az-Zuhaili yang menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah
hujjah apabila; pertama, terdapat indikasi ridha dan setuju dari mujtahid yang diam. Kedua, tidak
ada kemungkinan-kemungkinan yang menghalangi diamnya sesorang mujtahid itu adalah tanda
setuju. Karena bisa jadi diamnya seorang mujtahid itu karena ada intimidasi dari pemimpin yang
dictator, sehingga mereka lebih memilih diam demi kemaslahatan yang lebih besar. Akan tetapi
jika tidak ada tanda atau indikasi ridha, maka ijma’ tersebut hanya menjadi hujjah zhanni.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi dua : pertama,
ijma’ qath’I yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I, diyakini benar terjadinya, tidak
ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda
dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain, dalam arti sebagai masalah yang penting
bagi maslahat umat. Seperti wajibnya shalat 5 waktu dan harmnya zina. Masalah ini tidak ada
seoranpun yang mengingkari kepastiannya, tidak ada yang menyelisihi, bila memang ia tidak jahil.
Kedua, ijma’ zhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma’zhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang
lain, atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Para ulama berselisih tentang
kemungkinan kepastian hukumnya.

Pendapat yang paling kuat dan rajih adalah sebagaiman yang dikatakan Ibnu Taimiyah dalam
Aqidah Al-Wasitiyah, ijma’ yang paling baik adalah sebagaimana yang sudah ditetapkan para
salafus shalih tiga generasi terbaik, karena zama setelahnya banyak sekali terjadi ikhtilaf dam umat
tersebar di mana-mana.

B.7. Konsekuensi Ijma’

Jika ijma’ telah ditetapkan, maka aka nada konsekuensi hukum yang berlaku :

Pertama, wajib mengikuti ijma’ tersebut dan haram menyelisihinya. Inilah yang dimaksud dengan
hujjah. Ibnu Taimiyah berkata; “jika ijma’ umat telah ditetapkan dengan berdasarkan hukum, maka
tidak boleh seorangpun keluar dari ijma’ mereka.”
Kedua, kedudukan ijma’ ini adalah pasti dan benar, tidak akan salah. Tidak mungkin ijma’
menyelisihi nash, Ibnu Qayyim berkata; “dan mustahil umat Islam akan berijma’ untuk
menyelisihi nash Al-Qur’an dan Sunnah, kecuali ada nash lain yang menasakh nash itu”.

Ijma tidak mungkin menyelisihi ijma’ sebelumnya. Jika ada yang menganggap ada ijma’ yang
menyelisihi ijma’ sebelumnya maka salah satu dari ijma’ tersebut batil. Sebab tantangan antara
dalil yang sama-sama qath’I dilarang. Kecuali jika salah satunya diketahui zhanni.

B.8. Mengingkari Ijma’

Ibnu Taimiyah berkata; “bahwa ijma’ yang sudah maklum diketahui maka orang yang
menyelisihinya dikafrikan. Sebagiamana dikafirkan orang yang meyelisihi nash yang
ditinggalkan.” Selanjtunya ia berkata; “adapaun ijma’ yang belum diketahui maka tidak boleh
mengkafirkannya.”

Adapun menurut Muhammad Khudhari Bey, menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma’
tanpa melihat alasannya adalah tidak benar. Untuk itu beliau mengutip pendapat Imam Haramain
yang mengatakan bahwa ucapan yang berkembang di kalangan ulama yang mengkafirkan orang
yang tidak mengikuti ijma’ itu adalah batal secara pasti. Orang yang mengingkari prinsip ijma;
tidaklah kafir. Menghukumi tentang kafirnya seseorang tidaklah mudah. Namun jika ada seseorang
yang meyakini ijma’ sebagai salah satu hujjah syar’iyah, mengakui kebenaran orang-orang yang
melakukan ijma’ serta kebenaran penukilannya, kemudia ia dengan sadar mengingkari apa-apa
yang diputuskan secara ijma’ maka pengingkarannnya itu berarti mendustakan kebenaran pembuat
hukum syar’i. Dan, orang yang mendustakan hukum syari’i dihukumi kafir.

C. Metode Perumusan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

Berikut beberapa perumusan hukum Islam yang tidak disepakati :

C.1. Istidal

Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari
adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam (gono-gini dan harta Bersama) dan
hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat
ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.
C.2. Maslahah Mursalah

Kata tersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan al-Mursalah. Kata al-Mashlahah dari
kata sama dengan beres. Bentuk mashdarnya = keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Kata mursalah, dari kata sama dengan mengutus. Bentuk isim
maf'ulnya = diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah
mursalah, berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum
Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.

Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna: “Maslahah Mursalah adalah
sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh hukum, sesuai dengan akal dan tidak
terdapat pada asal.”

Untuk memudahkan memahami maslahatul mursalah ini, dapat dilihat dari beberapa contoh:

 Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran, memerangi orang yang
membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. menjadi khalifah;
 Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan berbagai pajak, dan putusan
beliau tidak menjalankan hukum potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena
lapar dan masa paceklik;
 Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan
satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.

C.3. Istihsan

Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jelas menyimpang dari ketentuan yang sudah ada
demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang
tepat menurut suatu keadaan. Misalnya, hukum Islam melindungi dan menjamin hak milik
seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat dicabut kalua disetujui oleh pemiliknya. Dalam
keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik
seseorang dengan paksa, dengan ganti kerugian tertentu kecuali jika ganti rugi tersebut tidak
dimungkinkan. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran
jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
sosial.

C.4. Istisab

Pengertian Istishab menurut istilah adalah menjadikan hukum yang sudah ada sebelumnya
tetap menjadi hukum hingga sekarang sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Contohnya seperti hak kepemilikan yang sudah tetap dengan adanya akad jual beli sebelumnya,
Maka hak kepemilikan itu tetap sampai sekarang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan, hukum suci yang sudah ada sebelumnya, maka tetap menjadi hukum hingga sekarang,
sampai ada dalil yang menunjukkan atas hilangnya hukum suci tersebut, dan seterusnya.

C.5. ‘Urf atau Adat Istiadat

‘Urf merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan. ‘Urf terbagi menjadi
Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi
cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih
bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.

Di antara contoh ‘urf yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad transaksi yang
tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah
bersepakat dan saling rela untuk bertransaksi. Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli,
seharusnya penjual berkata,"Saya jual barang ini kepada Anda dengan harga sekian", lalu pembeli
harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli barang ini dengan harga sekian, tunai". Namun akad
dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang ini, khususnya
untuk jual-beli yang ringan nilainya.

D. Asas-Asas Hukum Islam

Asas berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan
dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan
alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Berikut macam-macam asas
hukum Islam :
1. Asas-Asas Umum
 Asas keadilan
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum
sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku
adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari
si pencari keadilan itu.
 Asas kepastian hukum
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan
peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
 Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum
dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.
2. Asas Hukum Pidana
 Asas legalitas
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang
yang mengaturnya.
 Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban
(dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap
kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban
pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
 Asas praduga tak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah
sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu.
3. Asas Hukum Perdata
 Asas kebolehan (mubah)
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang
hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan
kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan
macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan
kebutuhan masyarakat.
 Asas kemaslahatan hidup
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat
dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi
kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya
dalam Qur’an dan Sunnah.
4. Asas Hukum Perkawinan
 Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam,
dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan
dari semua pihak yang terkait.
 Persetujuan kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
 Kebebasan memilih
 Kemitraan suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama,
dalam hal lain berbeda. Untuk selama-lamanya Perkawinan itu dilaksanakan untuk
melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
 Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim
diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Asas Hukum Kewarisan
 Asas Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak
pewaris atau ahli waris.
 Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari
keturunan laki-laki dan perempuan.
 Asas individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan.
 Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga
antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
 Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan,
terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai