Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Ilmu Balaghah

I. Pendahuluan

Kedudukan al-Qur`an sebagai mukjizat Nabi kaum Muslimin sekaligus landasan dan
pedoman hidup bagi mereka menjadikan al-Qur`an seperti permata yang sangat mahal dan
berharga bagi setiap kaum Muslimin, atau bahkan lebih dari itu.

Tingginya kedudukan al-Qur`an tersebut, itulah yang menjadi faktor pendorong mengapa
kaum Muslimin sangat peduli dan memperhatikan al-Qur`an. Salah satu bentuk kepedulian itu
adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa al-Qur`an, dengan tujuan agar anak cucu
mereka, generasi-generasi Muslim selanjutnya, dapat memahami bahasa al-Qur`an dengan
sebaik-baiknya. Oleh karenanya mereka menyusun ilmu Nahwu (dan sharaf) sebagai alat yang
membantu mereka untuk membaca al-Qur`an dengan baik, dan membuat ilmu fiqh lughah
untuk menerangkan ke-arab-an kata-katanya dan kefashihan teksnya.

Meski bahasa al-Qur`an adalah bahasa Arab, yaitu bahasa yang sama yang digunakan
oleh bangsa Arab saat itu, akan tetapi bahasa al-Qur`an -karena rahasia tertentu- kualitas
sastranya tidak sama dengan bahasa Arab biasa yang digunakan oleh bangsa Arab pada
umumnya atau bahkan oleh para ahli sastranya sekalipun. Bahasa al-Qur`an jauh lebih tinggi
kualitas dan keindahannya tidak bisa disamai atau ditiru oleh manusia manapun. Meskipun
pada masa itu bangsa Arab adalah bangsa yang dikenal dengan ahlul Fashahah, bangsa yang
sangat kental dengan budaya bersyair, bersajak, dan berorasi yang kesemuanya mengandalkan
kefashihan bahasa dan lisan.

Inilah yang disebut i’jaz dalam al-Qur’an. I’jaz yang dari sisi bahasa berarti melemahkan
atau membuat orang tidak mampu. Dalam hal ini bisa diartikan bahwa i’jaz adalah sebuah
kelebihan yang dimiliki oleh al-Qur’an yang tidak bisa ditandingi dengan karya lain atau
bahkan ditirupun tidak bisa.

Kemudian yang menjadi persoalan, apakah yang menjadi rahasia i’jaz atau kemukjizatan
al-Qur`an yang membuat seluruh manusia tidak mampu untuk membuat karya semisalnya?

Persoalan inilah yang mendorong para ulama saat itu untuk mengkaji lebih jauh
kandungan al-Qur’an dan memaksa mereka untuk menemukan alat atau ilmu lain untuk
menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur`an ini. Meningat bahwa ilmu bahasa atau ilmu al-
Qur’an yang sudah ada pada saat itu, yaitu Nahwu sharaf dan fiqh lughah, kedua alat itu saja
tidak cukup menjawab persoalan ini, mengingat bahwa nahwu ranahnya hanyalah pembahasan
seputar bangunan kata dan harakatnya, sedang fikih lughah hanya berkutat pada pembahasan
mufradat dari sisi makna dan kearabannya, sementara kemukjizatan al-Qur`an terletak ada
nashnya (teks).

II. Pembahasan
A. Soal I’Jaz al-Qur’an sebagai cikal bakal ilmu Balagah

1
Sejak al-Qur’an turun, al-Qur’an benar-benar menjadi pusat perhatian para ulama Arab.
Sehinga dari al-Qur’an muncul berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, nahwu
sharaf, naqad dan sebagainya. Terlebih lagi setelah Islam menyebar dan meluas ke wilayah-
wilayah bangsa lain yang memiliki bahasa dan tradisi keilmuan yang beragam seperti persia,
dan beberapa wilayah bekas jajahan Romawi. Seiring dengan pergesekan antara budaya dan
tradisi keilmuan ini, muncullah berbagai persoalan dan tantangan pada kaum Muslimin seputar
masalah-masalah keislaman atau tentang al-Qur’an itu sendiri. Salah satu persoalan yang
muncul saat itu adalah sebuah persoalan yang dilontarkan oleh para pemeluk Islam baru yang
menanyakan tentang kemukjizatan al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki
sifat i’jaz tidak lain karena al-Qur’an menggunakan uslub penyampaian bahasa yang berbeda
dengan uslub Arab atau dengan kata lain al-Qur’an itu bukan bahasa Arab secara uslub meski
bahasa Arab secara kosakata. Persoalan semacam ini menggelitik ulama sekaliber Abu
Ubaidah (W 207 H) untuk mengarang kitab “Majaz al-Qur’an” yang menjelaskan cara-cara
atau uslub penyampaian al-Qur’an bahwa uslub yang dipakai al-Qur’an adalah uslub-uslub
yang dipakai oleh orang-orang Arab itu sendiri dengan menghadirkan bukti berupa syair dan
sajak yang diriwayatkan dari para pujangga Arab yang ternama.

Setelah persoalan ini terjawab, kembalilah persoalan yang pertama. Jika bahasa al-
Qur’an menggunakan uslub yang sama dengan apa yang digunakan oleh bansa Arab, lantas
dimanakah letak i’jaz al-Qur’an itu?

Persoalan ini benar-benar menarik perhatian para Ulama sehingga mereka berpikir keras
dan mengadakan banyak diskusi dan perdebatan seputar persoalan ini. Sebagian mereka ada
yang berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur`an tidak lain karena kehendak dan kekuasaan
Allah yang menghalangi atau melemahkan manusia untuk membuat karya yang serupa dengan
al-Qur`an, atau dengan kata lain kemukjizatan al-Qur`an tidak terletak pada al-Qur`an itu
sendiri akan tetapi kemukjizatannya adalah hasil rekayasa Allah yang melemahkan manusia
untuk membuat karya seperti al-Qur`an. Pendapat ini biasa dikenal dengan istilah “as-sharfah”.

Sebagian lagi mengatakan bahwa i’jaz itu ada karena al-Qur’an memberikan informasi-
informasi tentang kejadian di masa yang mendatang kemudian informasi-informasi itu benar-
benar terjadi. Dan manusia tidak mungkin bisa membuat kitab yang seperti itu.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa i’jaz tersebut disebabkan karena al-Qur’an
mengandung syariat yang kekal yang cocok dan relevan digunakan manusia hingga akhir
zaman.

Sementara sebagian besar ulama yang teliti berusaha mengembalikan kemukjizatan itu
pada ke-balaghah-an atau gaya bahasa yang memukau yang ada dalam al-Qur’an, dimana
setiap kata dalam al-Qur’an tampak sangat sempurna berada di tempatnya dan memiliki
pengaruh pada diri pembaca dan menyentuh hati. Akan tetapi pada awalnya mereka hanya
mengataka itu, tanpa menjelaskan sebab ke-balaghah-an bahasa Qur’an tersebut. Sehinga

2
mereka mengatakan, “kebalaghan Qur’an adalah sesuatu yang bisa diketahui tanpa bisa di
identifikasi mengapa, bisa dirasa tapi tidak bisa dideskrpsikan.”1

Akan tetapi, sebagian ulama belum merasa puas dengan hanya menyandarkan i’jaz
Qur’an pada keputusan dzauq semata. Mereka memandang perlu adanya penjelasan yang lebih
detail dan lebih gamblang. Dari situ, mereka terus meneliti dan mencari sebab dan rahasia
kebalaghan al-Qur’an, sehingga mereka gencar meneliti dan mengupas uslub-uslub al-Qur’an.

Dalam hal ini tercatat beberapa ulama telah mengarang kitab dengan tema “Ma’aany al-
Qur’an” seperti, Wasil bin Atha, al-Kasa’iy, al-Akhfasy, Ru’asy, Yunus bin Habib, Qathraba
an-Nahwy, al-Farra, Abu Ubaidah, Al-Mubarrid, Ibnu al-Anbary, dan az-Zajjaj. Penelitian dan
kajian ini merupakan faktor terbesar yang mendorong lahirnya ilmu balaghah.2

Kemudian, al-Jahidz (W 355 H) mengarang kitab “Nazham al-Qur’an”. Meskipun


kitab ini tidak sampai kepada kita, akan tetapi para ulama banyak memuji karyanya yang satu
ini. Tidak bisa diketahui secara pasti apa saja yang ditulis oleh al-Jahidz dalam kita “Nazham
al-Qur’an”, akan tetapi setidaknya kita dapat membaca dalam risalah-risalah-nya yang sampai
kepada kita bahwa al-Jahidz berpendapat bahwa al-Qur’an kemukjizatannya terletak pada
nazhamnya.3 Meski juga ada yang mengatakan bahwa al-Jahidz berpendapat ‘Sharfah’ dalam
hal i’jaz al-Qur’an, akan tetapi menurut Abdul Qadir Husain bahwa ‘Sharfah’ yang dimaksud
al-Jahidz adalah bahwa para ahli balaghah Arab berusaha sekuat tenaga untuk membuat karya
yang menyamai al-Qur’an tapi kemudian mereka berutus asa, lalu mereka pergi meninggalkan
upaya mereka tersebut.4

Ibnu Qutaibah (W 276 H) -salah seorang ulama besar dan ternama di zamannya- juga
mengarang kita “Ta’wil fi musykil al-Qur’an”, beliau mengarang kitab ini untuk
menerangkan uslub-uslub yang sulit dipahami dari al-Qur’an yang sering dijadikan tuduhan
bahwa nazham al-Qur’an tidak rapih atau tidak bagus.

Setelahnya datang al-Baqilaany (W 403) dengan kitabnya “I’jaz al-Qur’an”, selain


menjelaskan tentang kemukjizatan al-Qur’an, ia juga menolak pendapat ulama yang datang
sebelumnya, yaitu ar-Rummaany, yang berpendapat bahwa kebalaghaan itu juga bisa dimiliki
oleh satu tasybih atau jenis badi’ yang lainnya. Menurutnya al-Baqillaany kebalaghan atau
kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada nazham-nya.5

Demikian lah persoalan i’jaz ini membuat sibuk para ulama, sampai seorang Abu Hilal
al-Askary mengarang kitabnya “as-Shina’atain”. Dalam kitab ini juga ia menegaskan bahwa
letak i’jaz al-Qur’an terletak pada nazhamnya. Samapi pada abad 5 H muncullah Abdul Qahir
al-Jurjany dengan dua karya fenomenalnya yaitu kitab “Dalaail al-i’jaz” dan kitab “Asrar
al-Balaghah”. Al-Jurjany dalam kitabnya menegaskan bahwa kata-kata tidaklah memberikan

1
Lihat: Ar-Rummany, Tsalatsu rosail fi i’jazil al-Qur’an, Daar al-Ma’arif, Hal. 22.
2
Lihat: Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001, hal. 23
3
Al-Juwainy, Musthafa, manhaj Zamakhsyary fi tafsir al-Qur’an, cet. II, Daar al-ma’aarif, Hal. 208.
4
Lihat: Husain, Abdul Qadir. Hal. 27
5
Lihat: ibid Hal. 37

3
makna dengan keberadaan dirinya sendiri akan tetapi sebuah makna itu muncul ketika kata-
kata itu bersanding satu sama lain membuat sebuah struktur kalimat atau uslub.

Singkat kata, Jawaban para ahli lughah terhadap persoalan di atas adalah cikal bakal
munculnya kajian Balaghah yang ditandai oleh muculnya karya Abu Ubaidah dan al-Jahidz
yang kemudian digenapkan oleh karya dan pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany.6

Oleh karena itu kita menemukan para ulama balaghah merumuskan tujuan dari ilmu
balaghah sebagai berikut:

‫ِي َح ْذ َو ُه َما‬ ُ ‫ور ْال َك ََل ِم َو َم ْن‬


َ ‫ظ ْو ِم ِه فَن َْحتَذ‬ ِ ُ ‫وف َعلَى أ َ ْس َر ِار ْالبَ ََل َغ ِة فِي َم ْنث‬
ُ ُ‫ْال ُوق‬
“Mengetahui rahasia-rahasia balaghah dalam natsr dan syair sehingga kita bisa
mencontoh keduanya.”

ِ ‫صهُ هللاُ ِم ْن ُح ْس ِن التَّأ ْ ِلي‬


‫ َوبَ َرا َع ِة‬،‫ْف‬ َّ ‫رآن ِم ْن ِج َه ِة َما َخ‬ِ ُ‫از ْالق‬ ِ ‫َم ْع ِرفَةُ َو ْج ِه إِ ْع َج‬
7
.ٍ‫س ََل َمة‬ ُ ‫ َو‬،ٍ‫عذُوبَ ٍة َو َجزَ الَة‬
َ ‫س ُه ْولَ ٍة َو‬ ُ ‫ َو َما ا ْشت َ َم َل َعلَ ْي ِه ِم ْن‬،‫ب‬ِ ‫الت َّ ْر ِك ْي‬
“Mengetahui letak kemukjizatan al-Qur`an yang memiliki kelebihan susunan yang
bagus, struktur yang indah, sejuk dan renyah, mudah dan murni.”

B. Asal Usul Nama Balaghah

Bangsa Arab adalah ahlul Fashahah, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh banyak
orang. Mayoritas bangsa Arab kala itu benar-benar sangat memperhatikan dan melestarikan
budaya sastra, baik syair, prosa, atau orasinya. Sehingga sudah menjadi biasa bagi bangsa Arab
kala itu, jika seseorang melantunkan syair di berbagai macam tempat, tidak hanya di sanggar
atau pasar sastra, atau acara-acara besar, tapi bahkan pada kejadian-kejadian kecil seperti saat
kaki salah seorang tersandung batu, atau sekedar menyendiri mengingat masa lalu,
mencurahkan kegalauan, bahkan sampai sekedar berdialog satu sama lain baik dalam keadaan
marah ataupun senang, mereka kerap bersyair atau mengungkapkan kata-kata bersajak untuk
mengungkapkan ide dan isi hati mereka. Jika dalam hal atau kejadian kecil saja mereka kerap
bersyair atau melantunkan syair, maka apatah lagi dalam acara-acara yang bersifat formal atau
besar.

Ini paling tidak memberikan gambaran bahwa betapa kentalnya budaya sastra pada
bangsa Arab kala itu. Sehingga bagi mereka, salah satu faktor atau kelebihan yang dapat
mendongkrak prestise seseorang adalah kemahirannya dalam mengolah kata atau bersastra.
Sehingga sangat bangga sekali jika seorang Arab kala itu dijuluki sebagai orang yang Fashih
atau Baligh. Maka tidak heran jika seorang Umar bin Khattab yang secara nasab tidak lebih

6
Lihat: Hasan, Tamam, al-Ushul, ‘Alamul Kutub, Kairo 2000, hal. 274.
7
Al-maraghi, Ulum al-Balaghah, hal. 44-45.

4
mulia dari tokoh-tokoh Quraisy yang lain, akan tetapi karena kefashihannya, di masa
Jahiliyyah, ia dijadikan sebagai duta kabilah Quraisy.

Maka jauh sebelum Balaghah muncul sebagai ilmu atau pengetahuan, kata balaghah
telah dikenal dan akrab di telinga bangsa Arab. Para Ulama klasik atau bangsa Arab secara
umum sebelum abad 4 H. acap kali menganggap bahwa balaghah adalah sinonim fashahah,
fashahah adalah balaghah dan balaghah adalah fashahah. Keduanya memiliki makna yang
sama. bahkan dalam kitab “as-Shihah” karya al-Jauhary dikatakan secara tegas bahwa
balaghah adalah fashahah, dan pada saat mereka berbicara tentang fashahah serta syarat-
syaratnya, maka yang mereka maksud adalah balaghah.8

ini tidak lain karena secara bahasa arti dari kedua kata itu hampir sama. Balaghah
bersalah dari ‫ بَلَ ََغ‬yang berarti sampai, dan ‫س‬ ُ ‫اإلب ََْل‬
َ ِ ‫غَ َماَفِيَالنَّ ْف‬ ِ (menyampaikan isi hati) sama artinya
dengan ‫ح‬ َُ ‫صا‬ ْ
َ ‫اإلف‬
ِ (yang akar katanya sama dengan fashahah, berasal dari ‫ح‬ َ َ‫ )ف‬yang berarti
ََ ‫ص‬
“menerangkan atau menjelaskan”. Dalam hal ini Abu Hilal al-Askary mengatakan, “Fashahah
dan balaghah berujung pada satu makna, meski keduanya berasal dari akar kata yang
berbeda, karena keduanya bermakna menerangkan suatu makna dan menjelaskannya.” Dan
sebelumnya ia menjelaskan bahwa mengapa balaghah itu disebut balaghah (sampai), karena
ia (balaghah) menyampaikan makna ke dalam hati pendengar sehingga pendengar itu mengerti
makna tersebut. 9 Bahkan jauh lebih ekstrim dari itu, al-Jahidz mendeskripsikan makna
balaghah dengan perkataannya, “Tidaklah suatu perkataan pantas disebut balaghah kecuali
jika makna dari perkataan tersebut bisa mendahului kata-katanya, jangan sampai kata-
katanya lebih dahulu menyentuh telinga sebelum maknanya sampai ke dalam hati.”10

Adapun Ulama balaghah yang mutaakhir mendefinisikan balaghah dengan,

.‫صا َح ِة ُم ْف َردَاتِ ِه َو ُج ْملَتِ ِه‬


َ َ‫ب ِب ِه َم َع ف‬
ُ ‫ط‬ َ َ ‫طابَقَةُ ْال َك ََل ِم ُم ْقت‬
َ ‫ضى َحا ِل َم ْن يُخَا‬ َ ‫ُم‬
“Kesesuaian kalam dengan kondisi orang yang diajak berbicara disertai dengan
kefashihan kata-kata dan kalimatnya.”11

Jadi dalam pengertian ulama modern, fashahah tidak sama dengan balaghah, akan tetapi
hanya bagian dari padanya, sebagai salah satu dari syarat kebalaghahan sebuah kalam.

Sesuai pengertiannya, balaghah tidak bisa dipisahkan dari bahasa, bahkan dalam hal ini
fungsi balaghah sama dengan fungsi bahasa, yaitu sebagai alat atau sarana menyampaikan
sebuah makna, atau balaghah bisa diartikan sebagai pelengkap dari bahasa untuk membantu
bahasa agar tujuannya lebih mudah tercapai.

C. Perkembangan ilmu Balaghah

8
Mubarak, Mazin, al-Mujaz fi tarikh ilmi al-balaghah, Darul Fikr, Damaskus 1999, hal. 20
9
Lihat: al-Askary, Abu Hilal, kitab as-shina’atain, al-Maktabah al-Unshuriyah, Beirut 1419 H. hal. 6-7.
10
Al-Jahidz, al-Bayan wa at-tabyin, Daar wa Maktabah al-Hilal, Beirut 1423 H. 1/115.
11
Habannakah, Abdurrahman Hasan, Al-Balaghah Al-‘Arabiyah Ususuhaa wa ‘Ulumuhaa wa Fununuhaa, Dar Al-
Qalam, Damaskus 1996, hal. 129.

5
a. Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan. Sebelum ilmu ini dikenal, esensinya
telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Ilmu yang membahas
tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi
berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-
Quran turun.

Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya
berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya
sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling
mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka
tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-
Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur
ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak
dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding.
Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan
Al-Quran.

b. Fase kritik sastra

Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu seperti yang kita ketahui saat ini,
balaghah telah melalui sejarah yang cukup panjang untuk sampai pada titik yang kita pelajari
saat ini. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase. Pada fase yang pertama,
balaghah bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedang pada fase kedua, balaghah
menjadi lebih mirip dengan uslubiyat atau stylistic.12 Atau juga bisa disebut dengan Madrasah
Adabiyah (Madzhab sastra) dan Madrasah kalamiyah (Madzhab ilmu kalam). Sedangkan al-
Imam as-Suyuthi menamainya dengan ‘thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa
ahlu al-falsafah’.

Fase atau madzhab pertama adalah fase pertama kali lahirnya pembahasan balaghah,
sebagaimana yang telah penulis singgung pada mukaddimah bahwa munculnya pembahasan
balaghah adalah respon dari persoalan bagaimana mengetahui rahasia kemukjizatan al-Qur`an
dan bagaimana agar seseorang dapat mengapresiasi nilai-nilai keindahan bahasa al-Qur`an.

Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya lahir bukan di tangan para ulama Nahwu,
akan tetapi lahir di tangan para ulama bahasa. Pada awalnya, pembahasan balaghah ini hanya
bermuara pada penelitian untuk mengidentifikasi mana komunitas atau kabilah yang fushaha`
(ahli fashahah) dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat memilah antara
komunitas yang fushaha` dan kelompok yang tidak dianggap fushaha`, mereka mulai mencatat
atau meriwayatkan warisan sastra dari komunitas ahli fashahah tersebut dan menolak untuk

12
Al-ushul, hal. 279

6
meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka. Alasan mengapa sebuah kabilah atau
komunitas dianggap tidak fushaha` adalah adanya percampuran mereka dengan A’ajim (kaum
non Arab) yang dengan itu disinyalir bahwa bahasa Arab mereka sudah banyak terpengaruhi
dengan lahn (kesalahan berbahasa) kaum non Arab, atau dengan kata lain kemurnian dzauq
‘Arabiy mereka sudah tidak murni lagi.

Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab “majaz al-Qur`an” dan
dengan karya al-Jahidz yaitu “al-Bayan wa at-tabyin” dan “I’jaz al-Qur`an”. Al-jahidz dalam
kitab “al-bayan wa at-tabyin” telah memakai istilah balaghah dan bayan. Akan tetapi kedua
istilah yang digunakan oleh jahidz tersebut belum mempunyai definisi yang jelas, dalam arti
definisi yang dapat mencakup seluruh satuannya (Jami’) dan memisahkannya dari satuan yang
tidak sejenis dengannya (Mani’). Al-jahidz hanya memaknai balaghah sebagaimana dimaknai
oleh al-‘Ataby bahwa balaghah adalah kemampuan untuk memahamkan seseorang apa yang
kita inginkan tanpa menggunakan alat lain selain bahasa. Dan begitu juga istilah bayan, al-
jahidz belum menjelaskan definisinya dengan gamblang.

Kemudian Abdul Qahir al-Jurjani muncul pada Abad ke 5 H dengan dua karyanya yang
fenomenal yaitu Asrar al-Balaghah dan dalail al-i’jaz. Abdul Qahir menemukan teori tentang
kalam nafsy (perkataan di dalam hati/akal yang tidak atau belum diucapkan). Pada gilirannya,
teori ini menuntunnya kepada teori bagaimana menyusun konsep atau makna dalam nafs
(hati/akal), lalu setelah itu ia tertuntut untuk menjelaskan proses produksi kalam atau
perkataan. Sehingga pada akhirnya al-Jurjany sampai pada sebuah hasil, yaitu kerangka atau
bingkai pemikiran yang terdiri dari empat unsur: an-Nadzam (susunan), al-bina` (bangunan),
at-tartib (urutan), dan at-ta’liq (kaitan).

Dalam dalail al-i’jaz, al-Jurjany berpendapat bahwa kata tidaklah diciptakan untuk
memberikan makna dengan sendirinya, akan tetapi antara kata-kata itu harus bergambung dan
tersusun sehingga dapat memberikan sebuah arti atau informasi yang dapat dimengerti 13. Dan
dalam asrar al-balaghah, ia mengungkapkan bahwa yang terpenting bagi seseorang (penutur
bahasa) adalah ia harus sampai pada ungkapan yang jelas, isyarat yang benar, pembagian yang
tepat, susunan struktur yang bagus, cara tasybih dan tamsil yang inovatif dan kreatif, ungkapan
yang umum lalu berpindah pada yang lebih detail, menyambung dan memisahkan pada
tempatnya yang benar, dan menggunakan hadzaf, ta’kid, taqdim, ta`khir dengan memenuhi
syarat-syaratnya.14

Dalam taraf ini, al-Jurjany telah membahas pembahasan yang tidak dibahas oleh ulama
Nahwu atau Ulama lughah, yaitu pembahasan yang dilandaskan pada perasaan dan cita rasa
keindahan yang terikat dengan aturan formal yang longgar dan tidak sampai pada tataran
kaidah seperti yang ada pada disiplin ilmu nahwu.

Itulah buah pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany, dan peraktik ril dari pemikiran tersebut
dituangkan oleh seorang tokoh abad ke 6 H, yaitu Zamakhsyari dalam tafsirnya, “al-Kassyaf”,

13
Al-Jurjany, dalail al-i’jaz, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah, Cet. II 1992. hal. 287-288
14
Al-Jurjany, asrar al-balaghah, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah, hal.7

7
sebuah karya yang mengeksplorasi teks al-Qur`an dengan kritis serta mejelaskan keindahan
dan keagungannya.

Pandangan al-Jahid, Ibnu Mu’taz, dan Abdul Qahir al-Jurjany tentang balaghah ini
adalah pandangan yang benar-benar masuk dalam ranah cita rasa dan bermuara seputar ushul
(prinsip-prinsip dasar) tanpa harus mengekanganya dengan kaidah-kaidah yang sempit,
memberikan ruang yang luas untuk ekplorasi bakat dan menikmati keindahan sastra yang jauh
dari ikatan kaidah.15

Jenis balaghah inilah yang kita sebut dengan balaghah sebagai ilmu pengetahuan, bukan
disiplin ilmu, balaghah yang lebih mengfokuskan pada eksplorasi dan praktik ketimbang
berkutat seputar teori dan kaidah-kaidah.

c. Fase Uslubiyyat (stylistic)

Pada masa yang sama, dimana balaghah sebagai ilmu pengetahuan tumbuh dan
berkembang, muncul juga pembahasan balaghah di kalangan ulama yang lain dengan orientasi
yang berbeda. Yaitu pada abad ke 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam
kritik sastra dan karyanya tersebut dinamaikan dengan “Naqd Qudamah”. Dalam kitabnya itu,
ia melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis. Pembagian
yang ia lakukan itu masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang datang setelahnya
menyempurnakan pembagian itu dengan membuatkan kaidah dan aturan. Qudamah
berkeinginan untuk membuat sebuah kerangka bangunan yang abstrak yang memiliki
klasifikasi dan memiliki definisi-definisi yang sangat menyerupai klasifikasi dalam ilmu
nahwu. Menurutnya, syair terdiri dari empat unsur: lafadz, wazan, qafiyah, dan ma’na, karena
ia mendefinisikan syair dengan “perkataan yang berwazan dan berqafiyah yang menjelaskan
suatu makna”.

Setelahya datanglah Abu Hilal al-‘Askary, pemilik kitab “as-shina’atain”. Ia membahas


seputar fashahah dan balaghah seperti pembahasan iijaz, hasywu, ithnab, dan tathwil, dan
dalam kitabnya itu ia telah mengumpulkan 35 jenis badi’. Abu Hilal adalah orang yang sangat
menguasai sastra, maka dari itu dapat menyajikan banyak syawahid dalam bukunya tersebut,
tetapi dalam hal klasifikasi dan definisinya ia masih mengikuti metode Qudamah bin Ja’far, ia
sekedar berlaku sebagai seorang pakar yang telah memiliki standar-standar untuk ia kiaskan.

Selain itu, muncul juga seorang ulama lain yang sangat cerdas yaitu Fakhruddin ar-Razi
yang memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan Balaghah sebagai sebuah ilmu
atau bisa juga disebut madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam/filssfat). Ar-razy mengarang
sebuah karya dalam kajian balaghah yaitu “Nihayatul ijaz fi dirayatil i’jaz”.16

Karya Abu Hilal dan karya Fakhruddin ar-Razy, kedua mengillhami dan sekaligus
memberikan mukaddimah bagi as-Sakaky yang hidup pada akhir abad ke 6 dan awal abad ke
7 H. Sebenarnya as-Sakaky bukanlah seorang sastrawan, dan bukan orang yang memiliki cita
rasa yang tinggi dalam mengapresiasi dan meresapi keindahan sebuah karya sastra. Meskipun

15
Lihat: Hasan, Tamam, al-Ushul hal. 274-277
16
Lihat: Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001, hal. 13

8
tidak bisa diragukan lagi bahwa ia adalah seorang ilmuan atau ulama dalam bidang bahasa
Arab, nahwu, sastra, ‘arud, syair, kalam, dan fikih. Dalam kitabnya, “Miftah al-ulum”, ia
membahas tiga ilmu secara berurut dari sharf, nahwu, kemudian balaghah dengan tiga
pembagiannya, ma’any, bayan, dan badi’.

Budaya intelektual as-Sakaky sebagai seorang ilmuan sangat mempengaruhi gayanya


dalam mengeksplorasi kajian balaghah. Ia tampak berlebihan dalam merancang definisi-
definisi dan kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah itu sendiri
sangat jauh dari makna penghayatan cita rasa dan kritik teks. Dengan adanya definisi dan
kaidah-kaidah tersebut balaghah secara teori sangat mudah dikuasai akan tetapi sangat jauh
dari malakah (semangat inovasi dan eksplorasi bakat).

d. Fase kejumudan ilmu Balaghah

Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai syarah dan ringkasan seputar kitab
“miftahul ulum” karya as-Sakaky. Para penulis ilmu balaghah setelahnya tidak memberikan
sumbangsih hal yang baru dalam ilmu balaghah, semuanya hanya mengikuti metode dan
pembagian as-Sakaky saja, penambahan dan pengurahan hanya berkutat pada contoh-contoh,
penjelasan, dan penyederhanaan.

Manhaj ilmu al-Balaghah yang diusung oleh as-Sakaky memang sangat memudahkan
untuk dimengerti dan diingat sehingga ia banyak diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan
bahkan menjadi imam besar bagi disiplin ilmu ini. Kitabnya “miftah al-ulum” benar-benar
banyak sekali dibahas oleh orang-orang setelahnya hingga kitabnya itu banyak disyarah dan
juga diringkas. Ia sendiri meringkas kitabnya itu dengan mengeluarkan kitab baru yang
bernama “at-tibyan”, kemudian ibnu Malik juga meringkasnya dalam kitab “al-mishbah” dan
al-Qazwaini juga melakukan hal yang sama dalam kitabnya “talkhish al-miftah” dan “Syarh
al-idlah”. Kitab “mifath al-ulum” beserta syarh dan talkhishnya yang dilakukan oleh Quzwaini
benar-benar laku dan mendulang banyak perhatian di pasaran sehingga banyak sekali ulama
yang kembali mengulas matan dan syarahnya, sebut saja dalam hal ini Sa’ad at-taftajany dan
Sayyid al-Jurjany yang juga membuat syarah bagi kitab tersebut. Bahkan setelah itu, tidak
sedikit dari kitab-kitab syarah yang bermunculan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa
asing (non Arab).

Akhirnya, pada fase ini para pemelajar balaghah asik tenggelam dalam kaidah-kaidah,
dan balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mencapai tadzwwuq atau mengapresiasi
keindahan sastra, meski kini balaghah menjadi pembahasan yang penting dalam ranah yang
saat ini dikenal dalam istilah linguistik modern dengan uslubiyat atau stylistics.17

Penutup

Balaghah dalam sudut pandang ini terbagi menjadi dua fase sebagaimana yang dikatakan oleh
Tamam Hasan. Fase pertama sebagai fase kritik sastra yang lebih mengedepankan eksplorasi

17
Lihat: al-Ushul, hal. 277-278.

9
keindahan sastra dan pengasahan bakat sastra. Sementara yang kedua sebagai disiplin ilmu
yang telah memiliki kharakter dan standar sebagai sebuah ilmu, yaitu Objektif, komprehensif,
terpadu, dan ekonomis.

Dan tampaknya kajian balaghah yang terbentuk dalam fase yang kedua ini masih sangat
dominan hingga saat ini, dan berdampak pada kekeringan cita rasa dan jauh dari keindahana
yang semestinya dirasakan oleh para pemelajar balaghah.

Mungkin salah satu sebab yang menjadikan balagah ala madzhab kalamiyah ini begitu laku
dan diminati banyak orang adalah pertama karena memang pada zaman tersebut ilmu filsafat
sedang menjadi primadona atau sinden yang sangat difavoritkan oleh masyarakata atau para
pelajar. Yang kedua, karena standar fashahah atau balaghah dalam madzhab ini jelas dan
mudah dihafal, sedangkan tabiat manusia selalu lebih suka yang jelas-jelas dan mudah diingat
atau dihafal. Sementara balaghah dan fashahah ala madzhab ahlu al-bulagha lebih banyak
menghukumi pada dzauq, cita rasa keindahan bahasa dalam jiwa orang Arab.

Seandainya saja kedua sisi balaghah ini bisa dipadukan antara yang teratur dan mudah
dipahami tapi juga tidak sampai mengeringkan balaghah dari eksplorasi dan apresiasi
keindahan teks sastra, maka balaghah akan menjadi ilmu atau pembahasan yang menarik bagi
para pemelajar bahasa Arab, tidak seperti sekarang ini dimana balaghah kerap menjadi ilmu
yang kurang diminati karena terkesan sulit dan adanya gap (jarak) yang sangat jauh antara teori
dan kemampuan untuk bereksplorasi.18

18
Lihat: Mubarok, Mazin, Mukaddimah al-mujaz fi tarikh al-balaghah, hal. 1-5

10
Daftar Pustaka

Al-Askary, Abu Hilal, kitab as-shina’atain, al-Maktabah al-Unshuriyah, Beirut 1419 H.

Al-Jahidz, al-Bayan wa at-tabyin, Daar wa Maktabah al-Hilal, Beirut 1423 H.

Al-Jurjany, dalail al-i’jaz, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah, Cet. II 1992.

Al-Jurjany, asrar al-balaghah, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah.

Al-Juwainy, Musthafa, manhaj Zamakhsyary fi tafsir al-Qur’an, cet. II, Daar al-ma’aarif.
Al-maraghi, Ulum al-Balaghah, Maktabah Syamilah versi 3.39, www.shamela.ws

Ar-Rummany, Tsalatsu rosail fi i’jazil al-Qur’an, Daar al-Ma’arif.


Hasan, Abdurrahman Hanbakah. 1996. Al-Balaghah Al-‘Arabiyah Ususuhaa wa ‘Ulumuhaa
wa Fununuhaa. Damaskus: Dar Al-Qalam.

Hasan, Tammam. 2000. Al-Ushul Dirasah efistimulujiyyah li Al-Fikr AlLughawy ‘inda Al-
‘Arab, Kairo: ‘Alam Al-Kutub.

Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001.

11

Anda mungkin juga menyukai