Anda di halaman 1dari 50

METODE IJTIHAD

I. IJMA’ (KONSENSUS)
 Pengertian:
 Bahasa: “al - ittifaq” kesepakatan (antara
kelompok) “al-azm wa at - tashmim” (antara
kelompok atau individu)
)17 :‫فأجمعوا أمركم أو شركائكم (يونس‬
 Istilah: Kesepakatan mujtahid umat Islam tentang
hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi
setelah Rasulullah Saw meninggal dunia.

1
 Eksistensi Ijma’:
o “ghair mutashawwir” (unimaginable) terjadinya, disebabkan
ulama terpisah-pisah dan jumlah mereka banyak;
o “mutashawwir (imaginable);
o ulama telah sepakat akan wajibnya shalat dan rukun Islam
lainnya.
o telah ada kesepakatan ulama, sehingga secara image dapat
terwujud.
o mereka sepakat mengenai hal-hal kebutuhan duniawinya
(makan, minum) lebih-lebih akan sepakat tentang urusan
keagamaannya.
o secara pemikiran akal,, tidak mustahil terjadinya ijma’.

2
 Dasar hukum Ijma’:
o Al-Quran:
‫ يا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول‬:‫قال هللا تعالى‬
)59: ‫وأولى األمر' منكم (النساء‬
artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (penguasa) diantara kamu
(An-Nisa: 59).
‫ واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا (آل‬:‫قال تعالى‬
)103:‫عمران‬
artinya: Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada agama
Allah dan janganlah bercerai berai (Ali-Imran:103)

3
‫ ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له‬:‫وقال تعالى‬
‫الهدى ويتبع سبيل غير المؤمنين نوله ما تولى ونصله‬
)115 :‫جهنم وساءت مصيرا (النساء‬
artinya: Barang siapa yang menentang Rasul setelah
kebenaran menjadi jelas baginya dan mengikuti jalan
yang bukan jalannya orang-orang beriman. Kami
biarkan ia beerkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuassainya itu, dan kami masukkan ke neraka
jahannan, dimana merupakan seburuk-buruknya
tempat kembali (An-Nisa: 115).

4
o As-sunnah:
‫ ال تجتمع أمتي على خطأ (اخرجه أبو‬:‫قال صلى هللا عليه وسلم‬
)‫داود والترمذي‬
Artinya: Umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan (HR. Abu Daud dan
Turmuzi).

5
 Pembagian Ijma’:
Menurut ulama hukum Ijma’ dibagi dua:
1) Ijma’ qauly: Para mujtahidin sepakat
menyatakan pendapatnya dengan jelas dan
tegas baik berupa ucapan atau tulisan, Ijma’
ini disebut juga sebagai Ijma’ bayani atau
sharih.

6
2) Ijma’ sukuti: para mujtahidin tidak
menyatakan kesepakatannya dengan
jelas atau tegas, tetapi mereka diam diri
atau absen dan tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahidin lain yang
hidup di masanya, ijma’ ini disebut juga
Ijma’ I’tibari

7
 Ijmak dapat pula dibagi menjadi :
• Ijmak formal: yaitu .kesepakatan
menerima hukum untuk diformalkan
• Ijmak persuasif: kesepakatan
menerimahukum tanpa diformalkan

8
 Obyek Ijma’: adalah semua peristiwa atau
kejadian yang tidak ada dasarnya baik dalam
al-Quran ataupun Hadits Nabi, peristiwa atau
kejadian tersebut tidak berkaitan dengan
masalah ibadah mahdhah, tapi masalah
mu’amalah dan persoalan kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berkaitan dengan
urusan duniawi.

9
II. QIYAS (ANALOGI)
 Pengertian:
o Bahasa: “at - taswiyah (menyamakan), “at - taqdir”
(mengukur)
o Istilah: Menetapkan suatu hukum atas suatu kejadian atau
peristiwa yang belum ada kedudukan hukumnya dengan
suatu kejadian atau peristiwa yang sudah ada
kedudukan/ketentuan hukumnya dari nash al-Quran dan
Hadits, karena adanya segi-segi persamaan antara
keduanya yang disebut ‘illat”.

10
 Dasar Hukum Qiyas:
‫ يا ايها آمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول‬:‫قال هللا تعالى‬
‫ فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى هللا‬،‫وأولى األمر منكم‬
‫ ذلك خير‬،‫والرسول إن كنتم تؤمنون باهلل واليوم اآلخر‬
)59 :‫واحسن تأويال (النساء‬
Artinya: Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah
dan taatlah kepada Rasul - Nya, dan para pemimpin (ulil
amr) dari kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat
tentang sesuatu hendaklah dikembalikan kepada Allah
dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah daan hari
akhirat, demikian itu lebih baik bagimu dan lebbih baik
akibatnya. (QS. An - Nisa:59).

11
....‫ هو الذي أخرج الذين كفروا‬:‫وقال تعالى‬
)2 :‫فاعتبروا يا أولى األبصار (الخشر‬
Artinya: Dialah (Allah) yang mengeluarkan orang-
orang kafir…. Maka ambillah tamtsil/ibarat (dari
kejadian itu) hai orang-orang mempunyai pandangan
yang tajam (QS. Al-Khasyr: 2).

12
‫ إن أمي نذرت أن تحج فلم‬:‫إن امرأة من جهينة قالت‬
،‫ نعم حجى عنها‬:‫تحج حتى ماتت أفأحج عنها؟ قال‬
‫أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضية؟ اقضوا هللا‬
)‫فاهلل أحق بالوفاء (أخرجه البخاري والنسائي‬
Artinya: Seorang perempuan dari qabilah Juhainah menhadap kepada
Rasulullag dan berkata: bahwa Ibuku pernah bernadzar akan melakukan
haji pada waktu hidupnya, namun meninggal sebelum sempat melakukan
haji, apakah aku berkewajiban untuk menghajikannya? Rasulullah
menjawab: Laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya
ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Maka bayarlah
hutangnya kepada Allah karena Allah lebih berhak untuk dibayar (HR.
Bukhari dan Nasai).

13
 Rukun Qiyas:
1) Ashal: yang berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
dalam nash (al - Quran dan Hadits), ashal
disebut juga “maqis ‘alaih” .
2) Fara’: yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ada ketetapan
hukumnya karena tidak ada nash (al - Quran
dan Hadits) yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya, fara’ disebut juga “maqis”

14
3) Hukum al - ashal (hukum asal) yaitu hukum
dari ashal yang telah ditetapkan berdasrkan
nash (al - Quran dan Hadits) dan hukum itu
jugalah yang dtetapkan apabila ada
kesamaan illatnya.
4) Illat: yaitu: suatu sifat yang ada pada ashal
dan sifat tersebut yang dicari di fara’.
Seandainya sifat yang di ashal ada
kesamaannya pada fara’ maka kesamaan
sifat tersebut menjadi dasar dalam penetapan
hukum.
15
 Syarat Qiyas
Syarat Qiyas adalah syarat-syarat dari rukun Qiyas:
1. Syarat hukum ashl (hukum pokok):
a. Hukum tidak merupakan pengecualian atau
kekhususan bagi Nabi Muahmmad Saw, karena ada
dalil yang mnjelaskan hal itu, seperti (QS. Al-
Ahzab: 50: dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang mukmin) (QS. Al-Ahzab:
53: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya
selama-lamanya sesudah ia wafat) dan Nabi dapat
menikah lebih dari empat isteri;

16
b. Hukum ashl adalah hukum syar’i (‘amali)
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
(teks al-Quran dan Sunnah). Seperti haramnya
khamar (QS. Al-Maidah: 90: Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan).
17
Dalam kaitan ini ulama berbeda dalam
menjadikan ijma’ sebagai sandaran qiyas;
Jumhur ulama tidak membolehkan, karena jika
hanya disandarkan pada ijma’ berarti hukum
hanya didasarkan pada kesepakatan;
sedangkan Asy-Syaukani membolehkan ijma’
menjadi sandaran qiyas.

18
c. Illat yang ada pada hukum ashl dapat dijangkau oleh
akal pikiran, karena pada hakikatnya tidak ada hukum
yang ditetapkan tanpa adanya illat, hanya saja ada
illat yang sukar diketahui dan bahkan ada illat yang
tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti apa illat
saat zhuhur empat rakaat atau maghrib tiga rakaat
dsb. Di samping ada juga illat yang mudah diketahui
seperti illat haramnya khamar, haramnya memakan
harta orang lain dsb
d. Hukum pada hukum ashal bukan hukum yang telah di
nasakh (mansukh), karena hukumnya dianggap tidak
berlaku lagi.

19
 Syarat Fara’ (cabang)
a. ‘Illat yang ada pada fara’ hendaknya sesuai
dengan ‘illat hukum ashl seperti ‘illat yang
ada pada nabidz dengan daya rangsang sama
dengan yang ada pada khamar. Karena jika
tidak terjadi kesamaan ‘illat maka disebut
“al-qiyas ma’a al-fariq” (qiyas yang di
dalamnya ada perbedaan).

20
b. Ketetapan hukum pada furu’ tidak menyalahi dalil
qath’i artinya tidak terdapat dalil qath’i yang isinya
berlawanan dengan fara’ seperi hukum tebusan
sumpah (kaffarah al-yamin) dengan tebusan
(kaffarah) pembunuhan tidak sengaja, dengan
pembebasan budak kafir, dimana nash pada kaffah
al-yamin disebutkan budak yang dimerdekakan
disebutkan secara mutlak: ‫( أو ت'''حرير رقبة‬tanpa
batasan: mu’min, (lihat QS. Al-Maidah: 89))
sedang kaffarah pembunuhan tidak sengaja dibatasi
dengan mu’min: ‫( ف'''تحرير رقية مؤمنة‬budak mu’min)
(lihat QS. An-Nisa: 92)

21
c. Hukum fara’ tidak mendahului hukum ashl
dalam keberadaannya, seperti mengqiyaskan
wudhu kepada tayammun dalam kewajibban
niat, maka tidak boleh karena wudhu
disyariatkan sebelum hijrah sementara
tayammum setelah hijrah.

22
 Syarat ‘illat:
a. Sifat illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau
oleh akal dan pancaindera, seperti sifat
menghabiskan harta anak yatim (fara’), terjangkau
oleh pancaindera dan akal, bahwa illat itu ada pada
memakan harta anak yatim (ashl) dan terjangkau
pula pada pancaindera dan akal. Jadi kalau illatnya
samar-samar dan tidak jelas maka tidak dapat
dijadikan sebagai illat hukum
b. Sifat illat itu hendaknya pasti, tertentu, dan dapat
dibuktikan bahwa illat itu ada pada fara’

23
c. Illat itu harus berupa sifat yang sesuai dengan
kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa
keras dugaan bahwa illat itu sesuai sesuai dengan
hikmah hukumnya. Seperti “memabukkan” adalah
hal yang sesuai dengan hukum harmnya khamar,
karena di dalam hukum itu terkandung suatu
hikmah hukum,yaitu memelihara akal dengan
menghindarkan dari dari yang memabukkan.
d. Illat itu tidak hanya ada pada ashl saja, tapi harus
berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain ashl.

24
 Pembagian Qiyas:
 Qiyas ada tiga macam:
1) Qiyas yang mempersamakan ashal
dengan fara’, karena keduanya memiliki
kesamaan illat. Qiyas ini terbagi dua:
 qiyas jali: qiyas yang illatnya berdasarkan
dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain
selain illat tersebut (umpatan terhadap ibu
kandung yang menjadi dasar tidak boleh
ada pemukulan kepada orang tua).
25
 qiyas khafi: qiyas yaang illatnya dapat dijadikan
sebagai illat dan mungkin pula unuk tidak dijadikan
illat (contoh: sisa minuman burung buas
diqiyaskan / dianalogikan kepada sisa minuman
binatang buas, keduanya sama-sama minum
sehingga air liur keduanya dapat bercampur dengan
sisa air yang diminumnya. Namun mulut keduanya
berbeda: burung dari unsur tulang atau zat tanduk
(suci) sementara binatang dari daging, daging
binatang buas haram.

26
2) Qiyas dalalah: qiyas yang illatnya tidak
disebut, namun merupakan petunjuk yang
dapat memberi indikasi adanya illat untuk
menetapkan suatu hukum (contoh: harta
anak-anak kecil yang belum balig, apakah
wajib dizakati atau tidak. Harta tersebut
dapat diqiyaskan kepada harta orang dewasa
yang wajib dizakati, karena kedua harta
terebut dapat bertambah dan berkembang).

27
3) Qiyas syibh: qiyas yang fara’ daapat diqiyaskan
kepada dua ashal atau lebih, akan tetapi diambil
ashal yang lebih banyyak persamaannya. (contoh
dalam masalah perbudakan: hukum merusak
budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak
orang merdeka. Tapi dapat juga diqiyaskan
kepada merusak harta benda, karena budak dapat
juga dikategorikan sebagai harta benda, namun
budak diqiyaskan ke harta benda karena lebih
banyak persamaannya, dibanding dengan orang
merdeka).
28
III. ISTIHSAN
 Secara harfiah : menjadikan sesuatu baik
 Istilah : Meninggalkan ketentuan hukum yang umum
berlaku mengenai suatu kasus dengan mengambil
ketentuan hukum lain karena adanya alasan hukum
untuk melakukan hal demikian.
 Menurut Imam As-Sarkhasi: pada prinsipnya
“istihsan” merupakan dua qiyas (analogi), yaitu
“qiyas jali” memiliki pengaruh lemah dan; “qiyas
khafi” yang memiliki pengaruh kuat, dan inilah yang
disebut sebagai “istihsan” atau “qiyasan istihsanan”.

29
 Contoh : Aturan umum dalam hukum Islam harta wakaf tidak boleh
dijual, dihibahkan atau diwariskan (hadits: sedekahkanlah pokoknya,
tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan, akan tetapi
diinfakkan hasilnya). Namun jika terjadi pemubaziran pada harta
wakaf kalau tidak dijual, maka boleh dijual karena agama juga
melarang tindakan pemubaziran.
 Jadi pembolehan melakukan penjualan harta wakaf dalam kasus ini
didasarkan pada Istihsan, yaitu tindakan mengambil kebijaksanaan
hukum berdasarkan suatu alasan hukum (dalil) yang menghendaki
hal tersebut dilakukan.
 Maka Istihsan adalah suatu kebijakan hukum atau pengecualian
hukum, yang mengalihkan aturan umum mengenai suatu kasus
kepada hukum lain karena adanya alasan hukum yang
mengharuskan diambilnya kebijasanaan tersebut.

30
 Berdasarkan difensi di atas, metode istihsan
dapat terjadi dalam dua hal:
1. Qiyas yang illatnya (tidak jelas) berhadapan
dengan qiyas yang illatnya jelas, namun

31
Contoh:
 hak lewat pada tanah pertanian yang diwakafkan, di mana memunculkan
dua masalah:
1. (illat jelas): menganalogikan tanah wakaf dengan tanah yang dijual,
dengan kesamaan illat keduanya “pindahnya hak milik dari pemilik
pertama kepada orang lain”. Sementara dalam hal jual beli tanah
pertanian tidak termasuk jual beli hak lewat kecuali tercantum dalam
akad, sehingga dengan demikian “hak lewat” pada harta pertanian yang
diwakafkan harus dicantumkan dalam akad.
2. (illat tidak jelas (khafie): menganalogikan tanah pertanian yang
diwakafkan dengan tanah pertanian yang disewakan dengan kesamaan
illat “adanya kepemilikan manfaat kebendaan”. Tanah pertanian jika
disewakan maka termasuk di dalam transaksi sewa menyewa tersebut
termasuk hak lewat, sehingga apabila tanah pertanian diwakafkan maka
dalam transaksi wakaf tersebut juga termasuk hak lewat

32
 Dalam kaitan ini, Ibn As-Subki juga mengajukan dua definisi
yang tidak terlalu juah berbeda dengan ulama Hanafiah:
o Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang
lebih kuat dari (qiyas pertama)
o Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan
karena suatu kemaslahatan
 Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan:
 Definisi pertama tidak menjadi perdebatan karena yang terkuat
diantara kedua qiyas harus didahulukan;
 Definisi kedua ada pihak yang menolaknya. Dengan demikian,
bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena
berlaku seperti itu pada zaman Nabi atau sesudahnya, dan
tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya. Hal ini
tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atai
ijma’. Dalam kaitan ini, adat itu harus diamalkan secara pasti,
namun jika terbukti kebenarannya, maka cara itu tertolak
secara pasti pula.

33
 Jadi hakikat Istihsan:
Seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk
menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi
menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk
qiyas, dalam bentuk kulli, atau dalam bentuk kaidah
umum. Kemudian ia menggantinya dengan dalil lain
dalam bentuk qiyas lainyang dinilai lebih kuat, atau
dengan nash yang ditemukannya, atau dengan ‘urf
yang berlaku, atau keadaan darurat, atau dengan
hukum pengecualian.

34
 Macam-macam Istihsan:
 Ditinjau dari dalil yang digunakan:
1) Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada
yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
Contoh: Mewakafkan tanah yang didalamnya ada jalan dan sumber
air minum.
 Jika ijtihadnya didasarkan dengan qiyas jali, maka jalan dan sumber
air minum tidak otomatis termasuk diwakafkan, seperti yang terjadi
dalam transaksi jual-beli.
 Namun jika di alihkan kasus tersebut dari qiyas jali kepada qiyas
khafi (istihsan) maka akan diqiyaskan kepada transaksi sewa
menyewa, sehingga menyimpulkan hukum lain yaitu dengan
mewakafkan tanah tersebut maka secara otomatis jalan dan sumber
air tersebut termasuk yang diwakafkan. Si mujtahid menggunakan
cara lain (qiyas khafi) karena pengaruhnya dalam mewujudkan
kemudahaan lebih tinggi. Pendekatan inilah yang dikatakan
“Istihsan”.

35
2) Beralih dari yang tuntutan nash yang umum kepada hukum
khusus. Contoh: sanksi hukum terhadap pencuri (QS. Al-
Maidah: 37). Secara dhahir ayat tersebut menyatakan jika
terjadi pencurian yang telah memenuhi syaratnya makan
sanksi hukuman adalah potong tangan. Namun jika pencurian
terjadi pada masa paceklik atau kelaparan, maka potong
tangan sebagai ketentuan umum tidak diberlakukan dan
dialihkan kepada ketentuan lain yang bersifat khusus. Inilah
Istihsan.
3) Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang
dikehendaki hukum pengecualian. Contoh: transaksi wakaf
yang dilakukan oleh orang yang masih dibawah perwalian
(mahjur ‘alaih li al-safahi). Bila ditinjau dari ketentuan kulli,
yang bersangkutan tidak boleh mewakafkan hartanya karena
tidak termasuk dalam kategori “ahliyat at-tasharruf atau
mahjur ‘alaih. Namun berdasarkan istihsan, ketentuan ini
dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri.

36
 Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam
peralihan untuk menempuh cara istihsan.
1) Istihsan dengan sandaran qiyas khafi:
contoh hukum air yang bekas diminum burung buas; jika
burung buas diqiyaskan kepada binatang buas maka
hukumnya tidak bersih, illatnya kedua jenis bintang tersebut
dagingnya haram dimakan (qiyas jali). Namun jika
didasarkan kepada qiyas khafi, maka air itu bersih, karena
burung itu minum berbeda dengan binatang buas, dimana
burung minum dengan paruhnya sehingga air itu tidak
bersentuhan dengan liur burung yang melekat dilidahnya.
Meskipun dagingnya haram dimakan, namun daging burung
buas tersebut hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak
bersentuhan dengan air liur, karena ia minum dengan
paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor.

37
2) Istihsan dengan sandaran nash.
Contoh: Jual beli salam (pesanan atau inden), pada saat transaksi
dilakukan barang yang dijual belum ada. Berdasarkan ketentuan
umum (qiyas) transaksi itu tidak boleh dan tidak sah karena tidak
memenuhi syarat (barang harus tersedia). Namun qiyas itu tidak
digunakan, akan tetapi yang digunakan nash pengecualian yang
disebut “nash istihsan”. Conoth lain, sahnya puasa yang makan di
siang hari karena lupa. Sabda Nabi: lanjutkanlah puasamu karena
Allah yang memberimu makan dan minum.
3) Istihsan dengan sandaran ‘urf (ijma’).
contoh penggunaan kolam renang umum, WC umum dikenai
biaya sebagai tanda masuk. Kalau dasarnya hukum umum, hal itu
sulit diterima, karena jika didasarkan pada jual-beli, tentu nilai
yang dibayarkan sesuai kadar penggunaan, sama halnya dengan
trasaksi sewa menyewa (masa penggunaan). Ketentuan umum
ditinggakan dan memakai ketentuan ‘urf (adat istiadat).

38
4) Istihsan darurat:

contoh: tidak berlaku sanski potong tangan bagi yang


mencuri pada masa paceklik dan kelaparan, seperti
yang terdapat pada nash, namun menggunakan
ukuran darurat (karena mencuri demi
mempertahankan kelangsungan hidupnya).

39
IV. MASHLAHAH (ISTISHLAH)
 Pengertian Mashlahah:
 Mashlahah secara harfiah berasal dari kata “ash shalah” berarti
kebaikan atau manfaat, kebalikan dari kerusakan atau mafsadah
 Mafsadah berasal dari kata “al fasad” berarti “at talaf” (kebinasaan
atau kemudlaratan).
 Jadi al mashlahah adalah sesuatu yang dapat membawa kebaikan dan
menolak kemudlaratan, sementara al mafsadah adalah sesuatu yang
dapat membawa kebinasaan atau kemudlaratan.
 Sementara arti dari “Mursalah” adalah netral.
 Jadi arti dari Mashlahah mursalah adalah segala kepentingan yang
bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash dari al Quran dan Sunnah
yang mendukung secara langsung ataupun melarangnya.

40
 Pada prinsipnya, mashlahah dapat mencakup semua persoalan yang
berkaitan dengan kepentingan manusia, baik hal yang primer
(dlaruriyat); sekunder (hajiyat) dan pelengkap (tahsiniyat).
 Mashlahah dibagi menjadi:
- Mashlah mu’tabarah yaitu: suatu kepentingan yang
baik yang mendapat penegasan secara langsung dari al-Quran
dan Sunnah.
- Mashlahah mulghah: suatu kepentingan (yang menurut
anggapan kita) baik, namun mendapat pelarangan secara langsung
dari al-Quran dan Sunnah
- Mashlahah mursalah adalah suatu kepentingan yang
baik yang tidak mendapat larangan dari al- Quran dan
Sunnah dan juga tidak mendapat penegasan langsung dari
kedua sumber tersebut.
 Contoh: kewajiban melakukan pencatatan nikah

41
V. ISTISHHAB
 Pengertian Istishhab:
 Secara harfiyah Istishhab berasal dari kata
“mushahabah” berarti kebersamaan atau
keberlangsungan
 Secara istilah adalah keberlangsungan status hukum
suatu hal di masa lalu pada masa kini dan masa
depan, sejauh belum ada perubahan terhadap status
hukum tersebut.
Contoh: status hukum orang yang hilang yang tidak
diketahui rimbahnya.

42
Istishhab ada tiga macam:
 keberlangsungan kebolehan umum: segala sesuatu (di
luar masalah ritual ibadah) dasar umumnya
adalah kebolehan umum sampai ada dalil yang
menunjukkan lain.
 keberlangsungan kebebasan asli (al baraah al
ashliyah atau baraat adz dzimmah) artinya bebas
dari tanggung jawab hukum.
 kelangsungan hukum: status hukum yang sudah ada
di masa lampau terus berlaku hingga ada dalil yang
menentukan lain.
Kaidahnya: (Al ashlu baqa’u ma kana ‘ala makan)

43
VI. SADD ADZ-DZARI’AH
 Pengertian:
 Secara harfiyah “Sadd” berarti: menutup dan “Adz dzari’ah”:
Jalan yang menghantarkan untuk sampai kepada sesuatu. Jadi
“sadd adz dzari’ah: menutup jalan.
 Istilah: sebagai pencegahan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan kerugian yang muktabar meskipun awalnya
perbuatan-perbuatan tersebut mengandung mashlahat.
 Jadi Sadd Adz Dzari’ah adalah merupakan tindakan preventif
dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara’
sebenarnya dibolehkan, namun –dengan ijtihad- perbuatan
tersebut dialarang karena karena dapat membawa kepada suatu
yang dilarang atau yang menimbulkan mudlarat.
Contoh: saling berpandangan, dilarang karena dapat mengantar
ke perzinahan.

44
Pembagian Dzari’ah ada tiga:
 dzari’ah yang secara pasti membawa kerusakan: (menggali
sumur - dibelakang pintu rumah - dengan zhalim; perzinahan
yang menyebabkan tercampunya keturunan anak manusia).
 dzari’ah secara praduga yang kuat membawa kerusakan:
(penjualan senjata di waktu komplik; penjualan anggur
sebagai bahan baku minuman keras).
 dzari’ah yang biasanya membawa kerusakan: (merokok, jual
salam, larangan berduaan di tempat tertutup dsb)
 dzari’ah yang kemungkinan kecil dapat membawa kerusakan,
namun jarang terjadi : penggalian sumur di tempat yang aman,
pandangan seseorang terhadap tunangannya).

45
VII. ‘URF (ADAT KEBIASAAN)
 Pengertian:

Secara harfiyah ‘Urf berarti terkenal (diketahui secara umum)


Istilah: suatu hal yang diakui keberadaannya dan diikuti oleh
umum dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat, baik berupa
perkataan, maupun perbuatan sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan nash-nash syari’ah atau ijma’.
Syarat-syarat adat istiadat untuk dapat menjadi sumber hukum al:
- Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan
Hadis) atau Ijma.
- Adat tersebut konstan dan berlaku umum di dalam
masyarakat.

46
Pembagian ‘Urf:
1) ‘Urf Shahih: sesuatu yang konstan dan berlaku
umum tidak bertentangan dengan nash. (akad
istishna’)
2) ‘Urf Fasid: sesuatu yang konstan dan berlaku umum
tapi bertentangan dengan nash. (minuman keras,
perjudian dsb)
Kaidah fiqhiyah:
 Adat menjadi sumebr penetapan hukum (al ‘ādah
muhakkamah)
 Praktik masyarakat adalah hujjah yang wajib
diamalkan (Isti’malun nāsi hujjatun yajibul
‘amalu bihā)

47
VIII. QOUL SHAHABI (FATWA SAHABAT)
 Sahabat Nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi
Saw dan pernah bertemu dengan beliau walaupun sebentar.
 Qaul Sahabi: pendirian seorang sahabat mengenai suatu
masalah hukum ijtihad baik yang tercermin dalam fatwanya
maupun dalam keputusannya yang menyangkut penegasan
dalam al Quran.
 Apabila Qaul Sahabat bukan merupakan ijtihad murni,
melainkan merupakan suatu yang diketahui oleh Rasulullah
maka hal tersebut dapat dijadikan sumber hukum. Demikian
halnya apabila para sahabat sepakat mengenai suatu masalah
maka hal tersebut merupakan ijma’.

48
IX. SYAR’U MAN QABLANA (HUKUM AGAMA
TERDAHULU)
 Yang dimaksud “Hukum Agama Samawi Terdahulu adalah
ketentuan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi
Muhammad Saw seprti Nabi Isa AS, Nabi Ibrahim, Nabi
Musa.
 Apabila hukum agama tersebut tidak mendapat konfirmasi
dalam hukum Islam maka tidak menjadi sumber hukum.
 Yang menjadi pembicaraan dalam hal ini adalah aturan-
aturan hukum agama terdahulu yang disebutkan di dalam al
Quran atau Hadis sebagi suatu cerita mengenai nabi-nabi
terdahulu.

49
 Hukum Agama Samawi Terdahulu ada dua;
- hukum yang tidak dijelaskan dalam al Quran, maka tidak
menjadi ketentuan secara sepakat.
- hukum yang diceritakan dalam al Quran, dalam hal ini
ada tiga:
1. disebutkan dalam al Quran atau Hadis bahwa hal
tersebut menjadi ketentuan: (Hadis: Halal bagiku
rampasan, sekalipun tidak halal bagi nabi - nabi
sebelumku).
2. disebutkan dalam al Quran atau Hadis dan diceritakan
kalau hal tersebut menjadi kewajiban bagi umat
sebelumnya, seperti puasa (kamā kutiba ‘alal ladzina min
qablikum) dan berkurban (dlahu fa innahā sunnatu
abikum Ibrāhimu As)

50

Anda mungkin juga menyukai