Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Hafiz Anshari

NIM : 200102010149

QIYAS

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Rasulullah SAW, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik
dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada
suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat
ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw
wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang
terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal
permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Qiyas .

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dariYang Maha
Sempurna, kemudian tersampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, dengan Al-Quran
sebagai pedomannya. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunah
atau yang kita kenal dengan Hadis.Al Quran dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi
pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang
tidak terdapat solusinya dalam Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu ada sumber
hukum agama islam lain, diantaranya adalah Qiyas. Namun, Qiyas tetap merujuk pada Al
Qur’an dan Hadis, karena Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.
PEMBAHASAN

1. Pengertian Qiyas
Secara etimologis,kata “qiyas” berarti qadar,artinya mengukur,membanding
sesuatu dengan yang semisal. Tentang arti qiyas terminologi (istilah hukum),terdapat
beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya,diantaranya ialah:

a. AL-Ghazali dalam al-mustashfa memberi definisi qiyas:

‫ت ُح ْك ٍم لَهُ َما اَوْ نَ ْفيِ ِة َع ْنهُ َما بَِأ ْم ٍر َجا ِم ٍع بَ ْينَهُ َما‬
ِ ‫َح ْم َل َم ْعلُوْ ٍم َعلَى َم ْعلُوْ ٍم فِ ْي اِ ْثبَا‬

ِ ‫ِم ْن اِ ْثبَا‬
‫ت ُح ْك ٍم اَوْ نَ ْفيِ ِه َع ْنهُ َما‬
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya,dalam penetapan hukum atau
peniadaan hukum.

b. Qadhi Abu bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan
disetujui oleh kebanyakan ulama,yaitu:

‫ت ُح ْك ٍم لَهُ َما اَوْ نَ ْفيِ ِه َع ْنهُ َما بَِأ ْم ٍر َجا ِم ٍع بَ ْينَهُ َما‬
ِ ‫َح ْم َل َم ْعلُوْ ٍم َعلَى َم ْعلُوْ ٍم فِ ْي ْاثبَا‬
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.

c. Abu hasan al-bashri memberikan definisi:

‫ع ِإل ْشتِبَا ِه ِه َما فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُمجْ تَ ِه ِد ْال ُح ْك ِم ِع ْن َد‬


ِ ْ‫ص ْي ُل ُح ْك ِم اَْألصْ ِل فِ ْي ْالفَر‬
ِ ْ‫تُح‬1
Menghasilkan (menetapkan)hukum ashal pada “furu’”karena keduanya sama
dalam ilat hukum menurut mujtahid.

d. Definisi qiyas menurut AL-Amidi:

‫ع َو اَْألصْ ِل فِ ْي ْال ِعلَّ ِة ْال ُم ْستَ ْنبَ ِط ِة ِم ْن ُح ْك ِم اَْألصْ ِل‬


ِ ْ‫ارةٌ ع َِن اِإل ْستِ َوا ِء بَ ْينَ ْالفَر‬
َ َ‫ِعب‬
1
Amir Syarifuddin, Hlm. 171-173
Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ilat yang di istinbath kan
dari hukum ashal.2

2. Rukun dan Syarat Qiyas


Rukun qiyas ada empat, yaitu:
a) Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Ashal disebut juga maqu’ alaih(yang menjadi ukuran) atau
musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat
membandingkan).
b) Fara’, yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara’ disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupai) atau mahmul (yang
dibandingkan).
c) Hukum ashal¸yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum
itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan illat-nya.
d) Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat itu ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.3

Adapun syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul, antara lain
sebagai berikut :

a) Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara', yaitu yang telah tersebut
dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
b) Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk perkara-perkara yang dapat
difikirkan oleh akal akan sebab-sebabnya.
c) Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu ada pula pada fara' (cabang).
d) Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum sendiri, sebelum diberi hukum
dengan qiyas.
e) Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah cabang itu bertentangan dengan
hukum yang lain.4

3. Kehujjahan atau Dasar Hukum Qiyas


2
Amir Syarifuddin, Hlm. 171-173
3
Muin umar, Ushul Fiqh, hlm. 118
4
Ahmad Sudardi, Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya. Diakses dari
http://ahmadsudardi.blogspot.com/2013/03/rukun-qiyas-dan-syarat-syaratnya.html pada tanggal 15 Desember 2019
pukul 15.10
Sebagian besar para ulama fiqih dan para pengikut madzhab yang empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam
menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar
penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam
mengistimbathkan hukum. Ada yang membatasinya dan adapula yang tidak, namun
semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada suatu kejadian atau peristiwa
tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasarnya.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiyas
sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Zahiri dan sebagian
Madzhab Syi’ah.
Mengenai dasar qiyas bagi yang membolehkannya sebagai hujjah, ialah Al-Qur’an, Hadis,
perbuatan sahabat, dan akal
a) Al-Qur’an

‫ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس‬
‫ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َس ُن‬ َ ِ‫َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
‫تَْأ ِوي ًل‬
Artinya: “Hai orang Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.5

Dari ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT. Memerintahkan
kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
Jika tidak ada diantara keduanya hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak
ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada
Al-Qur’an dan Hadis, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya
dengan yang terdapat dalam nash. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas.

b) Al-Hadis
5
Q.S An-Nisa ayat: 59
Setelah Rasulullah SAW. melantik Muaz bin Jabal sebagai gubernur Yaman,
Rasulullah bertanya kepadanya:

‫ فَِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِ ْي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬


ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ ِ ‫ َأ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫ضى ِإ َذاع ََر‬ ِ ‫َك ْيفَ تَ ْق‬
‫ َأجْ تَ ِه ُد‬:‫ قَا َل‬.‫ فَِإ ْن لَ ْم ت َِج ْد فِ ْي ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللاِ؟‬: ‫ قَاَل‬.ِ‫ فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬:‫ال‬
َ َ‫ب هللاِ؟ ق‬
ِ
َّ َ‫ اَ ْل َح ْم ُدهّلِل ِ الَّ ِذيْ َوق‬:‫ال‬
‫ف َرسُوْ َل َرسُوْ ِل‬ َ َ‫ص ْد َرهُ َوق‬
َ ِ‫ب َرسُوْ ُل هللا‬ َ ‫ض َر‬َ َ‫ ف‬, ْ‫َرْأيِ ْي َوالَ آلُو‬
ُ‫ضى هللاُ َو َرسُوْ لُه‬ َ ْ‫هللاِ لِ َما َ يَر‬
Artinya: “Bagaimana )cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan
suatu peristiwa kepadamu? Mu’az menjawab: akan aku tetapkan berdasarkan Al-
Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-Qur’an? Mu’az berkata: akan
aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah, jika engkau tidak memperoleh sunnah
Rasulullah? Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku
dengan berusaha bersungguh-sungguh. (Mu’az berkata): lalu Rasululah SAW
menepuknya dan berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai
Allah dan Rasulnya.6

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum atas suatu perkara atau peristiwa jika tidak menemukannya dalam
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk ber-ijtihad, diantaranya termasuk qiyas.

c) Perbuatan Sahabat

Para sahabat Nabi SAW. banyak banyak melakukan qiyas dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan khalifah
Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah
disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW.
mewakili beliau sebagai imam sholat diwaktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah
SAW. ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam sholat, tentu beliau lebih
ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.

6
HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmizi
Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari
yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim
mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau ialah:7

‫س ْاُأل ُموْ َر‬


ِ ِ‫ْس فِ ْى ْالقرْ آ ِن َوالَ ُسنَّ ٍة ثُ َّم قَاي‬
َ ‫ك ِم َّمالَي‬ َ ‫ثُ َّم ا ْفهَ ْم فِ ْي َما َأ ْدلِ ْى ِإلَ ْيكَ ِم َّم‬
َ ‫او َر َد َعلَ ْي‬
ِّ ‫ال ثُ َّم ا ْع ِم ْد فِ ْي َما ت ََرى ِإلَى َأ َحبِّهَا ِإلَى هللاِ َوَأ ْشبَبِهَا بِاْل َح‬
‫ق‬ َ َ‫ف اَْأل ْمث‬ ِ ‫ َوا ْع ِر‬, َ‫ِع ْن َد َذالِك‬

Artinya: “. . . . Kemudian fahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan


kepadamu tentang perkara yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian lakukanlah Qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara itu dan
carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang
paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran. . . .

d) Akal

Tujuan Allah SWT. Menetapkan hukum syara’ bagi kemaslahatan manusia.


Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada
pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak
ada dalam nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang illatnya sesuai benar
dengan illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan
hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan berdasarkan nash karena ada persamaan illat-nya diduga keras
akan memberikan kemaslahatan bagi hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari
peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.8

7
Muin umar, Ushul Fiqh, hlm. 109-115
8
Muin umar, Ushul Fiqh, hlm. 115
KESIMPULAN
 Secara etimologis,kata “qiyas” berarti qadar,artinya mengukur,membanding sesuatu
dengan yang semisal.
 Rukun qiyas ada empat, yaitu:
1) Ashal, yang berarti pokok
2) Fara’, yang berarti cabang,
3) Hukum ashal¸yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan illat-
nya.
4) Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat itu ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
 Adapun syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul, antara lain sebagai
berikut :
a) Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara', yaitu yang telah tersebut
dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
b) Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk perkara-perkara yang dapat
difikirkan oleh akal akan sebab-sebabnya.
c) Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu ada pula pada fara' (cabang).
d) Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum sendiri, sebelum diberi hukum
dengan qiyas.
e) Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah cabang itu bertentangan dengan
hukum yang lain.
 Mengenai dasar qiyas bagi yang membolehkannya sebagai hujjah, ialah Al-Qur’an,
Hadis, perbuatan sahabat, dan akal.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia Group.

Umar, Muin, 1987, Ushul Fiqh, Jakarta: IAIN Jakarta.

Pengertian Qiyas, Contohnya dan Motif Hukumnya Serta Rukun Unsurnya, diakses dari
https://www.ilmusaudara.com/2016/05/pengertian-qiyas-contohnya-dan-motif.html,
pada tanggal 30 November 2019 pukul 22.09

Ahmad Sudardi, Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya. Diakses dari


http://ahmadsudardi.blogspot.com/2013/03/rukun-qiyas-dan-syarat-syaratnya.html pada
tanggal 15 Desember 2019 pukul 15.10

Anda mungkin juga menyukai